Anda di halaman 1dari 12
PENGALAMAN, EKSPRESI, DAN KONTROL MARAH PADA ORANG BATAK DAN ORANG JAWA Zahrasari Lukita Dewi Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta ABSTRAK Penelitian lintas budaya dengan menggunakan pendekatan kuantitatif ini ditujukan untuk melihat gambaran dan perbedaan antara orang Batak dan orang Jawa dalam mengalami, mengekspresikan, dan mengontrol rasa marah. Alat ukur STAX/-2 yang telah diadaptasi sebelumnya oleh peneliti digunakan untuk mengetahui seluruh proses marah pada 80 orang Batak yang tinggal di kota Medan dan 82 orang Jawa yang tinggal di kota Yogyakarta. State-anger pada saat dilakukan pengukuran tergolong rendah untuk kedua kelompok, sementara iraif-anger cukup sering muncul hanya pada orang Batak. Orang Batak tampak lebih ekspresif menunjukkan rasa marahnya; Kedua kelompok berbeda secara signifikan dalam beberapa hal, yaita iaif-auger orang Batak lebih tinggi dibandingkan orang Jawa, sementara anger expression-in, anger expression control-in dan anger expression control-out orang Jawa jauh lebih kuat dibandingkan orang Batak. Berdasarkan hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa cultural display rules memiliki peran dalam membentuk kepribadian dan stereotipi tingkah laku ividu di dalam setiap budaya. Penelitian mengenai marah masih perlu dilakukan untuk memperkaya pemahaman tentang emosi marah pada masyarakat Indonesia. Kata kunci : Pengalaman marah, ekspresi marah, kontrol marah ABSTRACT A cross cultural study that incorporates a quantitative approach was conducted to investigate the description and contrast between Batak people and Javanese in experiencing, expressing, and controling anger. STAXI-2 instrument adapted for itse in Indonesia was applied to find out about the anger processes in 80 Batak people who lived in Medan and 82 Javanese who lived in Yogyakarta. State-anger was relatively low in both groups during the time of measurement, while trait-anger was quite high in the Batak people. The Batak people seem to be more expressive in showing their anger. The two groups were significantly different in several areas; i.e. Batak people's trait-anger is higher than the Javanese's; while anger expression-in, anger expresing control-in and Jurnal Psikologi. Vol. 16, No. 2. September 2005 31 anger expression control-out of Javanese are much higher than the Batak people. Based on those results, it could be concluded that cultural display rules have a role in shaping the personality and the behavior stereotype of individuals in each culture. Further study on anger still needs to be conducted to enrich the understanding of the anger emotion in indonesia society. Keywords : anger experience, anger expression, anger control Besamya peran emosi dalam kehidupan individu telah mendorong dilakukannya banyak: penelitian tentang emosi, baik di Indonesia maupun di negara lain. Penelitian dilakukan oleh Markam (1992) tentang dimensi pengalaman emosi pada mahasiswa Indonesia dengan menggunakan teori kognitif dari Frijda. Dalam kaitannya dengan penelitian lintas budaya, Spielberger (dalam Spielberger, Reheiser, & Sydeman, 1995) melakukan penelitian tentang perbedaan pengalaman, ekspresi, dan kontrol marah antara laki-laki dan perempuan dengan menggunakan alat ukur yang dibuatnya, yaitu State-Trait Anger Expression Inventory-2 (STAXT-2) Marah memang merupakan emosi negatif yang dianggap penting untuk diketahui lebih jauh dan mendalam. Lazarus (1991), misalnya, mengungkapkan bahwa marah adalah emosi yang kompleks, secara sosial penting, penuh konflik, dan paling kuat mempengaruhi divi individu karena dapat memberikan efek yang sama, baik pada individu yang mengalami marah maupun orang lain di lingkungan sosial individu tersebut. Pada saat merasa marah, individu dapat melakukan tindakan yang merugikan dan merusak diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan fisik di sekitarnya. Individu dapat Jangsung mengekspresikan perasaan marah itu, atau menutupinya dalam bentuk munculnya emosi lain dan juga gangguan fisik tertentu. Dalam konteks budaya, marah dapat ditihat sebagai emosi yang bersifat universal. Matsumoto (1994), misalnya, mengemukakan bahwa nama emosi marah digunakan untuk menggambarkan kondisi emosi yang sama ‘pada seluruh budaya, terutama bila dilihat dari proses fisiologis yang terjadi dalam tubuh. Selain itu, hasil penelitian Ekman dan Izard (dalam Matsumoto, 1994) menghasilkan kenyataan serupa bahwa ekspresi wajah marah juga bersifat universal. Artinya, individu dengan latar belakang budaya manapun akan menunjukkan ekspresi wajah yang sama pada saat merasa marah. Pendapat tentang emosi marah juga diutarakan oleh beberapa abli Jain. Shaver, dkk (2003) yang meneliti tentang struktur kosa kata emosi dalam bahasa Indonesia menghasilkan suatu kesimpulan bahwa marah merupakan 32 Tumnal Psikologi. Vol, 16, No. 2. September 2005 salah satu emosi dasar dalam bahasa Indonesia. Artinya, bagi budaya atau suku bangsa manapun di Indonesia, marah akan memancing hal yang sama. Penelitian lain yang dilakukan oleh Prawitasari, dkk (1996) menghasilkan kenyataan yang relatif sama, yaitu bahwa marah merupakan emosi yang paling mudah dikenali oleh seluruh budaya yang ditelitinya, yaitu budaya suku Jawa dan suku Kalimantan. Marah dapat juga dikatakan bersifat individual. Maksudnya, bagaimana rasa marah itu terjadi, diekspresikan, dan dikontrol, akan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Perbedaan individual ini muncul karena marah, seperti juga emosi lainnya, merupakan bagian dari keseluruhan kepribadian individu yang unik (Spielberger, Ritterband, Sydeman, Reheiser, & Unger, 1995). Dalam konteks budaya, pengaruh budaya pada kepribadian individu akan tampak saat dilakukan perbandingan pada budaya yang berbeda mengenai bagaimana individu berpikir, merasa, dan juga bertingkah laku (Matsumoto, 1994). Secara lebih khusus, Matsumoto (1994) menjelaskan pula bahwa pengaruh budaya terhadap marah sebagai salah satu emosi dalam kepribadian individu dapat dilinat melalui keseluruhan proses emosi, yang terdiri dari anteseden, pengalaman, ekspresi, dan juga kontrol marah. Setiap budaya memiliki gambaran yang khas mengenai seluruh proses marah tersebut karena setiap budaya memiliki nilai-nilai budaya dan aturan yang khas tentang bagaimana seorang individu dalam budaya itu menghayati suatu stimulus hingga memancing munculnya marah, serta bagaimana mengekspresikan rasa marah tersebut agar tidak bertentangan dengan nilai- nilai yang berlaku pada budaya tertentu. Khusus dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, nilai-nilai budaya satu suku bangsa dapat berbeda dengan suku bangsa lainnya. Perbedaan ini tentu saja juga akan mempengaruhi pola pikir, emosi, dan tingkah laku individu dalam setiap suku bangsa (Koentjaraningrat, 2002). Dalam penelitian ini, peneliti akan mengambil budaya Batak dan Jawa dengan berdasarkan adanya perbedaan stereotipi tingkah laku pada kedua budaya tersebut. Secara stereotipi, orang Jawa umumnya dikenal karena gaya bicara yang lemah lembut, sabar, memiliki sikap pasrah dan nrimo, dan pantang untuk berbicara dan bertingkah laku keras. Menurut Mulder (1994), masyarakat Jawa tidak menyukai ‘emosi kuat’ dan marah (nesu), karena bila hal tersebut diungkapkan dalam suatu hubungan interpersonal dapat merusak keselarasan sosial. Oleh karena itu, kelembutan perasaan merupakan nilai yang sangat dihargai dalam masyarakat Jawa. Jurtial Psikologi. Vol. 16, No. 2. September 2005 33

Anda mungkin juga menyukai