Anda di halaman 1dari 8

3.

1 Pengertian Istilah "jurisprudence" berasal dari kata Latin juris yang artinya hukum, dan prudence yang berarti pengetahuan. Dengan demikian, jurisprudens dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang hukum. 3.2 Ruang Lingkup Penyelidikan Filsafat (teori) Hukum Sebagai bukti dikutip di bawah ini daftar isi dari tiga bush literatur di bidang jurisprudence yang ter kenal sebagai berikut: Lord Lloyd of Hampstead, Introduction to Jurisprudence, membahas (secara garis besarnya): (1) Nature of jurisprudence; (2) Meaning of law; (3) Natural law; (4) Positivism, analytical jurisprudence and the concept of law; (5) Pure theory of law; (6) Sociological school; (7) American realism; (8) The Scandanavian realist; (9) Historical and anthropological jurisprudence; (10) Marxist theory of law and socialist legality; (11) Juricial process. Dias, Jurisprudence, membahas tentang: (1) Introduction; (2) Advantages and disadvantages; (3) Distributive justice; (4) The problem of power; (5) Control of liberty; (6) Justice in deciding disputes; percedent; (7) Statutory interpretation; (8) Custom; (9) Values; (10) Duties; (11) Persons; (12) Possession; (13) Ownership; (14) Justice in adapting to change. Dari perumusan Salmond ataupun Gray yang dikutip terdahulu sesungguhnya tersirat apa yang menjadi ruang lingkup filsafat (teori) hukum itu. Yang diselidiki filsafat (teori) hukum sebelum banyak dipengaruhi oleh disiplin ilmu-ilmu lain, menurut Salmond ialah: "...which seeks to lay bare the essential principles of law and legal systems." Jadi, mengenai prinsip-prinsip dasar dari hukum dan sistem-sistem hukum. Hal ini barangkali akan nampak jelas perbedaannya apabila dibandingkan dengan ilmu hukum . positif yang membahas bidang-bidang hukum tertentu yang berlaku pada saat ini di negara tertentu (A.K. Sarkar, 1970). Contohnya, misalnya hukum perjanjian (kontrak) atau tort terdiri dari serangkaian peraturan dan prinsip hukum yang berasal dari pihak yang berwenang yang ditetapkan kepada situasi Faktual untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam praktek. Sebaliknya filsafat

(teori) hukum tidak terdiri atas seperangkat peraturan yang tidak bersumber dari pihak yang berwenang dan tidak memiliki nilai praktis. Akibat dari perbedaan ini, karena filsafat (teori) hukum membuka seluas mungkin kepada para ahlinya untuk menggunakan pemikirannya dan pendekatannya masing-masing, maka terdapat berbagai variasi ruang lingkup dalam berbagai buku teks mengenai obyek penyelidikan filsafat (teori) hukum ini. Konsekuensi lainnya dari perbedaan ini ialah: "...the method of inquiry apt for jurisprudence will not necesarily be one used in the study of ordinary legal subject. Thus, whereas in law we look for the rule relevant to a given situation (e.g. given the facts we can apply the rules wether a binding contract has been made). In jurisprudence we ask what it is for a rule to be a legal rule, what distinguishes law from morality, etiquette and other related phenomena. In this, jurisprudence comprises philosophy of law." (A.K. Sarkar, 1979:1)4) 4) Setha (1959) mengemukakan ruang lingkup penyelidikan filsafat (teori) hukum dengan merumuskan: "Jurisprudence is the study of fundamental legal principles including their philosophical, his terical and sociological bases and an analysis of legal concepts." Menurut penulis ini, aspek-aspek filsafat, historis, sosiologis, dan analisisnya tercakup ke dalam filsafat (teori) hukum. Dari kutipan di atas cukup jelas bahwa materi filsafat hukum tercakup ke dalam obyek penyelidikan filsafat (teori) hukum, sebab filsafat (teori) hukum juga mencoba menjawab pertanyaan, apakah yang menjadi dasar berlakunya suatu ketentuan hukum. Dalam perkembangannya kemudian, yaitu setelah banyak dipengaruhi oleh disiplindisiplin ilmu lain, ruang lingkup penyelidikan filsafat (teori) hukum menjadi lebih luas dan lebih empiric. Hal ini dibuktikan oleh Dias (1976) mengenai masalahmasalah yang harus diselidiki dan dijawab oleh filsafat (teori) hukum yang meliputi: faktor-faktor apakah yang menjadi dasar berlakunya suatu hukum, faktor-faktor apa yang mendasari kelangsungan berlakunya suatu peraturan hukum, bagaimana days berlakunya, dan dapatkah hukum itu dikembangkan. Defenisi hokum (Beberapa Definisi Hukum Menurut Para Ahli) Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum. Berikut ini definisi Hukum menurut para ahli : - Menurut Tullius Cicerco (Romawi) dala De Legibus: Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Rudolf von Jhering dalam Der Zweck Im Recht 1877-1882: Hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu Negara

Substansi hokum Menurut Friedman, the substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should be have. Jadi, yang dimaksud dengan

substansi menurut Friedman adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law books. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.32 Pendapat Friedman mengenai legal Substance ini sejalan dengan pandangan Lon Fuller. Lebih dalam Lon Fuller menjelaskan mengenai substansi hukum dalam sebuah sistem hukum yang menjadi landasan dan syarat-syarat legitimasi bagi implementasi legalitas hukum, teori Fuller ini kemudian terkenal dengan principles of legality theory. Menurut Fuller,33 dikatakan bahwa untuk mengenal hukum sebagai suatu sistem maka harus dicermati apakah sudah memenuhi 8 (delapan) asas atau principles of legality berikut ini: 1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. 2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan. 3) Peraturan tidak boleh berlaku surut. 4) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain. 6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7) Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah. 8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan pelaksanaannya sehari-hari. Bertolak dari rangkaian pembahasan tersebut disimpulkan, bahwa pada dasarnya hukum mempunyai banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, Oleh karena itu, dalam perumusannya sebagai hukum positif harus dipahami suatu sistem norma. Pemahaman ini penting artinya untuk menghindari terjadinya kontradiksi atau pertentangan antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah kedudukannya. Pemahaman ini semakin penting artinya, apabila kita tetap berkeinginan agar keberadaan ( eksistensi ) hukum sebagai suatu sistem dalam menjalankan tugasnya di masyarakat.Dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pernbangunan, maka sistem hukum itu dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai. Sistem hukum dapat dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan efektivitas hukum ini, persyaratan yang diajukan oleh Fuller di dalam penjelasan hukum sebagai suatu sistem norma kiranya perlu diperhatikan. Selain itu, Paul dan Dias,34 mengajukan 5 ( lima ) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu:

1) Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami. 2) Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan. 3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hokum. 4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa. 5) Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif. Tentang berlakunya hukum dibedakan atas tiga hal, yaitu berlakunya secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Bagi studi hukum dalam masyarakat maka yang penting adalah hal berlakunya hukum secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas hukum. Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan antara realistas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan ( law in action ) dengan hukum dalam teori (law in theory), atau dengan perkataan lain, kegiatan ini memperlihatkan kaitan antara law ni book dan law in action.35 Realitas hukum menyangkut perilaku dan hukum itu dinyatakan berlaku, berarti menemukan perilaku hukum yaitu perilaku yang sesuai dengan ideal hukum. Dengan demikian apabila diketemukan perilaku sesuai dengan (ideal) hukum, yartu tidak sesuai dengan rumusan yang ada undang-undang atau keputusan hakim ( case law ), dapat berarti bahwa keadaan dimana ideal hukum tidak bertaku. Hal tersebut juga mengingat bahwa perilaku hukum tidak terbentuk karena faktor motif dan gagasan, maka tentu saja bila ditemukan perilaku yang tidak sesuai dengan hukum berarti ada faktor penghalang atau ada kendala bagi terwujudnya perilaku sesuai dengan hukum. Masyarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu ketertiban, bagaimanapun kualitasnya. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh berbagai lembaga secara bersama-sama seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan sahamnya dalam menciptakan ketertiban itu. Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan. Karena adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib struktur hukum Menurut Friedman, the structure of a system its skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process flowing within bounds. Jadi struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.30 Jelasnya,struktur

bagaikan foto diam yang menghentikan gerak ( a kind of still photograph, which freezes the action ). Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur. Salah seorang pemikir pertama mengenai konsep birokrasi adalah Max Weber. Menurutnya ciri-ciri utama dari Struktur birokrasi didalam tipe idealnya adalah sebagai berikut : 1) Tugas-tugas organisasi dibagi ke berbagai posisi sebagai tugas tesmi. Di sini tersurat pembagian kerja yang jelas antara posisi-posisi tersebut yang memungkinkan spesialisasi tingkat tinggi. Spesialisasi pada gilirannya meningkatkan keahlian staf, baik secara langsung maupun dengan memungkinkan organisasi untuk mempekerjakan karyawan atas dasar kualitas teknis mereka; 2) Posisisi atau kantor diorganisasikan ke dalam struktur otoritas heirarki. Dalam kasus umum heirarki ini mengambil bentuk piramida di mana tiap pejabat bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan bawahan serta keputusan dan tindakan dia sendiri kepada atasannya di dalam piramida itu, dan dimana setiap pejabat memiliki otoritas atas para pejabat di bawahnya. Lingkup otoritas supervisor atas bawahan digariskan dengan jelas; 3) Sistem aturan dan regulasi yang ditetapkan secara formal mengatur keputusan dan tindakan pejabat. Pada prinsipnya, kerja dalam organisasi administratif semacam itu melibatkan aplikasi peraturanperaturan umum untuk kasus-kasus khusus. Peraturan rnenjamin keseragaman operasi dan bersama dengan struktur otoritas, memungkinkan koordinasi berbagai aktivitas. Perturan juga menjamin kelangsungan operasi sekalipun ada pcrubahan-perabahan personel, sehingga meningkatkan stabilitas, yang tidak dimiliki oleh tipe kelompok kolektivitas, seperti gerakan-gerakan sosial; 4) Terdapat staf administrasi khusus yang tugasnya menjaga organisasi dan khususnya jalur-jalur komunikasi di dalamnya. Level terendah dalam aparatur administrasi ini terdiri atas staf tata usaha yang bertugas menyimpan catatan-catatan tertulis atau file-file organisasi, yang mencakup semua keputusan dan tindakan resmi. Sementara staf produksi menyumbang secara langsung pada pencapaian tujuan organisasi. Staf administrasi menyumbang pada pencapaian tujuan secara tidak langsung dengan menjaga organisasi itu sendiri tetap; 5) Para pejabat diharapkan memiliki orientasi impersonal dalam kontak mereka dengan klien dan dengan para pejabat lain. Klien haras diperlakukan sebagai kasus, dimana para pejabat diharapkan mengesampingkan semua pertimbangan personal serta melepaskan ikatan emosi onal, dan bawahan diperlakukan juga dalam cara impersonal. Jarak sosial antara level-level hierarkis dan antara pejabat dan klien mereka dimaksudkan untuk mendukung formalitas semacam itu. Hubungan impersonal tanpa ikatan emosional dirancang untuk mencegah perasaan personal para pejabat dan mendistorsikan penilaian rasional mereka dalam menjalankan tugas-tugas mereka;

6) Pekerjaan yang diberikan organisasi merupakan karier bagi pejabat. Secara tipikal seorang pejabat adalah karyawan penuh dan menginginkan kerier seumur hidup di kantor. Pekerjaan didasarkan pada kualifikasi teknis kandidat dan bukan atas dasar politik, keluarga atau koneksi-koneksi lain. Biasanya kualifikasi semacam itu dites dengan ujian atau dengan ijazah yang menunjukkan prestasipendidikan pelamar ijazah sarjana, misalnya. Kualifikasi pendidikan semacam itu menciptakan homogenitas tertentu diantara para pejabat, karena relatif tidak banyak orang dari kelas buruh punya ijazah sarjana, meskipun jumlah mereka terus meningkat. Para pejabat ditunjuk untuk menduduki posisi-posisi, bukan dipilih, sehingga bergantung pada atasan dalam organisasi dan bukan pada konstituen. Setelah masa percobaan pejabat memperoleh kedudukan tetap dan terlindungi dari pemecatan sewenang-wenang. Upah berupa gaji, dengan uang pensiun disediakan setelah pensiun. Kemajuan karier adalah sesuai dengan senioritas atau prestasi, atau keduanya. Organisasi publik memiliki stakeholder privat. Karena stakeholder dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang bersinggungan satu sama lain, yang mengakibatkan ukuran kinerja organisasi publik dimata para stakeholder juga menjadi berbeda-beda. Menurut Dwiyanto, ada tiga konsep yang dapat dijadikan sebagai acuan guna mengukur kinerja organisasi publik, yakni responsivitas (responsiveness), responsibilitas (responsibility) dan akuntabilitas (accountabilitay). Responsivitas mengacu kepada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik maka kinerja organisasi tersebut dinilai semakin baik. Sementara responsibilitas menjelaskan sejauhmana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip baik yang implisit atau eksplisit. Semakin kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan pnnsip-prinsip administrasi, peraturan dan kebijakan organisasi maka kinerja dinilai semakin baik. Sedangkan akuntabilitas mengacu kepada seberapa besar pejabat publik dan kegiatan organsiasi publik tunduk kepada pejabat politik yang dipilih oleh rakyat, oleh karena itu kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini karyawan bisa belajar seberapa besar kinerja yang mereka lakukan secara informal, seperti komentator yang baik dari mitra kerja, Namun demikian, penilaian kinerja mengacu pada suatu sistim formal dan terstruktur yang mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat kehadiran. Fokus penilaian kinerja adalah untuk mengetahui seberapa prodoktif seorang karyawan apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih efektif pada masa yang akan datang.

A legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance and culture interact. Komponen Sistem Hukum 1. Substansi Hukum : Norma-norma hukum (peraturan, keputusan) yang dihasilkan dari produk hukum 2. Struktur Hukum : Kelembagaan yang diciptakan sistem hukum yang memungkinkan pelayanan dan penegakan hukum 3. Budaya Hukum : Ide-ide, sikap, harapan, pendapat, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum (bisa positip / negatip).

Hukum bukan sekedar alat yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, tetapi merupakan perangkat tradisi, obyek pertukaran nilai yang tidak netral dari pengaruh sosial dan budaya Hukum harus dilihat sebagai suatu sistem yang utuh. Pengertian Sistem : a. Berorientasi pada satu tujuan b. Lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagian c. Berinteraksi dengan sistem lain yang lebih besar d. Bekerjanya bagian-bagian menciptakan sesuatu yang berharga. Secara Sosiologis : hukum sebagai sistem nilai yang merupakan sub sistem dari sistem sosial (T. Parsons)

Budaya : Berfungsi sebagai kerangka normatif dalam kehidupan manusia menentukan perilaku Budaya berfungsi sebagai sitem perilaku Budaya hukum sangat mempengaruhi efektifitas berlaku dan keberhasilan penegakan hukum Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai sosial yang terbentuk dari kebudayaan Kegagalan hukum modern seringkali karena tidak compatible dengan budaya hukum masyarakat (Misal : UU PemDes 9/1975). Budaya Hukum : a. Internal Legal Culture : kultur yang dimiliki oleh struktur hukum b. External Legal Culture : kultur hukum masyarakat pada umumnya

Anda mungkin juga menyukai