Anda di halaman 1dari 5

Perjalanan Separuh Kerinduan

Haruskah geliat rindu yang kau simpan pada getar dawai hati, bening kilau embun dan segaris cahaya pagi membuatmu mesti berhenti pada sebuah titik yang kau namakan tepian sebuah perjalanan panjang? Kegetiran ini, katamu, melelahkan dan membuatmu kerap terkulai tanpa daya menggapai asa di lereng langit yang telah beku dicekam gigil kangen lalu luruh satu-satu serupa hujan membasahi belantara tak berujung Memori yang telah kita pahat rapi pada dinding kenangan adalah rumah tempat kita pulang dan berteduh dari reruntuhan musim, kisah cinta yang absurd juga wadah atas segala kegagahan kita untuk tetap bertahan dari bentangan jarak dan waktu Pada akhirnya, hasrat itu akan kita titipkan bersama pada bentang bianglala lantas menikmatinya, seraya berucap lirih: Jejak itu akan ada disana, dalam keindahan dan kepahitan, dalam kehilangan dan keberadaan, dalam rindu yang menjelma menjadi remah-remah berpendar terang yang jatuh sepanjang perjalanan

Meniti Garis Edar Pesonamu


Bagai harum hutan pinus di sisi bukit atau wangi melati di pekarangan Aroma cinta yang kau taburkan melayang lembut dengan konfigurasi warna-warni pada lanskap kesunyian yang terhampar sepanjang perjalanan pada atmosfir lara yang telah kita hirup dengan nafas tersengal juga di sepanjang selasar kenangan dimana luka itu kita tinggalkan disana Melepasmu, tuturmu dengan mata basah, laksana mencabut cengkraman kuat akar sebatang pohon kecil dari tanah Menghentak. Memilukan. Menyakitkan. Dan pada lengkung bianglala yang membentang di horison langit hingga ujung batas cakrawala Aku akan meniti garis edar pesonamu yang tak jua pudar sembari menggenggam perih dan sesak rindu sekaligus serta harapan yang luruh sia-sia juga keheningan yang mencekam disudut hat

Kita tak akan pernah bisa menyepuh ulang segala impian dan kenangan yang meranggas perlahan di ringkih hati lalu menyemai harap, segalanya akan kembali seperti semula

Karena apa yang tertinggal, katamu,seperti sisa jejak kaki di bibir pantai yang lenyap terhapus hempasan ombak Kita hanya akan bisa bersenandung merepih pilu Dan membuat segenap angan terbang liar mencabik cakrawala seraya menyimpan segala asa dan rindu pada diam, pada keheningan pada lagu lama yang kita lantunkan dan bergema lirih hingga ke sudut sepi sanubari Karena apa yang kini ada, ucapmu lagi,Adalah tempat dimana angin segala musim bertiup dan arus semua sungai bermuara yang kerap membuat kita gamang pada pilihan : meniti samar masa depan ataukah menggenggam nostalgia dan ikut karam bersamanya

Jika Suatu Ketika Kita Tak Bersama Lagi Aku ingin kau mengenang segala kisah tentang kita yang telah terpahat rapi di rangka langit bersama segenap noktah-noktah peristiwa juga canda dan pertengkaran-pertengkaran kecil yang mewarnai seluruh perjalanan kita Dalam Lengang, Tanpa Kata Jika Suatu Ketika Kita Tak Bersama Lagi Aku ingin kau tetap menyimpan setiap denyut nadi yang berdetak dan degup cepat debar jantung saat mataku memaku matamu disela derai gerimis menyapu beranda kala kita pertama bertemu di temaram senja Dalam Sepi, Tanpa Suara Jika Suatu Ketika Kita Tak Bersama Lagi Aku ingin kita meletakkan segala perih itu

disini, pada titik dimana kita akan berbalik dan menyimpan senyum dibelakang punggung masing-masing lalu membiarkan waktu menggelindingkannya hingga batas cakrawala bersama sesak rindu tertahan didada Dalam Diam, Tanpa Airmata Jika Suatu Ketika Kita Tak Bersama Lagi Aku ingin cinta itu tetap tersimpan rapi pada larik bianglala, pada hujan, pada deru kereta, pada embun di rerumputan, pada pucuk pepohonan sembari memetik mimpi yang telah kita sematkan disana lalu mendekapnya perlahan Dalam Sunyi, Tanpa Cahaya Jika Suatu Ketika Kita Tak Bersama Lagi Aku ingin kita akan tetap saling menyapa lalu merajut angan kembali seraya meniti ulang segala jejak yang sudah kita tinggalkan lantas menyadari bahwa menjadi tua adalah niscaya dan untuk itu kita tak perlu ambil peduli karena kita tahu Dalam Lengang, Tanpa Kata Dalam Sepi, Tanpa Suara Dalam Diam, Tanpa Airmata Dalam Sunyi, Tanpa Cahaya Ada Bahagia Untuk Kita Hanya Kita

Adakah Kilau Rembulan Yang Mengapung indah di beranda matamu adalah sebuah ruang renung untuk memahami lebih dalam setiap desir luka, serpih tawa, isak tangis, jerit rindu dan keping kecewa yang memantul pelan dari dinding hatimu?

Kenangan yang telah dipahat rapi di sepanjang jejak waktu tak ubahnya seperti gugusan awan bersama selarik bianglala yang berbaris sepanjang garis cahaya mentari

serta kepak camar riang membelah langit Harapku, semoga, langkah pasti yang kau tapak kedepan memberi makna di taman jiwa bersama selaksa kembang dan kepak kupu-kupu bersayap cemerlang pada setiap dentang usia seraya melukis potongan kisahnya di kanvas batin

dan kilau rembulan di beranda matamu yang membasuh perih, melerai gulita senantiasa hadir dan mengalir tanpa henti di sepanjang selasar hidupmu

Anda mungkin juga menyukai