Anda di halaman 1dari 2

Editorial

Bertahan Menghadapi Perubahan Iklim

eski tengah menjadi bahasan hangat di tingkat dunia, istilah climate change atau perubahan iklim mungkin masih asing bagi sebagian besar petani Indonesia. Tapi coba tanyakan dalam bahasa daerah mereka. Musim jih meu ubah? Punapa mangsanipun malih? Geus teu usumna? Yu lera sele geu? Kesonda raka attunna? Pasti para petani akan lancar bercerita tentang apa yang kini mereka alami. Perubahan pola musim hujankemarau, makin panasnya suhu udara, dan makin sulitnya mendapat air. Walau kadang tak benar-benar mengerti konsep perubahan iklim, sebenarnya petani adalah pihak yang paling merasakan akibatnya. Ini karena berhasil/gagalnya pertanian sangat dipengaruhi kondisi iklim. Khusus bagi petani skala kecil yang hanya memiliki sumber daya dan pilihan terbatas, perubahan iklim yang seringkali drastis dan datang tiba-tiba bisa mengancam keberlangsungan penghidupan mereka. Pertanyaannya sekarang, apakah petani sadar dan siap menghadapi semua perubahan tersebut? Dan bagaimana LEISA/pertanian berkelanjutan membuat petani lebih bisa bertahan menghadapi tekanan lingkungan akibat perubahan iklim? Inilah bahasan yang diangkat Majalah SALAM edisi ini.
Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu panjang (50100 tahun) dan disebabkan oleh kegiatan manusia, terutama yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. (Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia)

kaca yang merupakan salah satu pemicu terjadinya perubahan iklim. Sementara aplikasinya pada lahan telah menurunkan kesuburan dan menyebabkan erosi tanah. Dan seperti lingkaran setan, perubahan iklim yang terjadi membuat efek negatif dari pertanian konvensional menjadi lebih parah dan berlangsung lebih cepat. Misalnya, hujan sangat deras yang belakangan kian sering terjadi mempercepat pengikisan lapisan atas tanah. Kesuburan tanah yang sudah rusak akibat pupuk dan pestisida kimia pun makin rusak. Kekeringan dan suhu udara yang meningkat juga membuat hutan lebih rentan terhadap kebakaran. Fenomena Perubahan Iklim Terkait Pertanian Jika dicermati, ada beberapa fenomena perubahan iklim yang terjadi di seluruh duniatak terkecuali Indonesiadan sangat berimbas pada pertanian. Pertama, pergeseran atau perubahan pola musim. Kini di hampir seluruh wilayah Indonesia, batas musim hujan dan kemarau tak lagi jelas. Secara perlahan pergeseran ini mulai mengubah pola tanam. Ini khususnya dirasakan daerah pertanian tadah hujan. Jika saat semai tak tepat, bisa jadi benih tak akan tumbuh karena kekurangan air. Untuk mengantisipasinya, petani harus memiliki persediaan benih yang lebih banyak untuk keperluan semai ulang. Alternatif lain, bisa memanfaatkan pengetahuan lokal seperti pranata mangsa agar aktivitas pertanian sesuai dengan kondisi iklim. Ini bisa dibaca di artikel Bertahan Walau Iklim Tak Menentu (hal. 6). Selain itu, pergeseran musim hujan dan kemarau memengaruhi proses pembungaan tanaman. Ini bisa mengurangi hasil panen dan ketersediaan benih untuk musim tanam berikutnya. Kedua, terjadinya kenaikan suhu. Laporan terakhir dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa dalam satu abad terakhir terjadi kenaikan rata-rata suhu dunia sebesar 0,76 C. Diprediksikan, tahun 2050 akan terjadi kenaikan sebesar 2 C. Kondisi ini menyebabkan banyak sumber air di pegunungan yang mengairi sungai-sungai mengering. Kenaikan suhu juga menjadi ancaman serius bagi petani, terkait dengan pola penyebaran hama dan penyakit. Karena kondisi lingkungan menghangat, ada beberapa hama dan penyakit yang tadinya bukan ancaman serius bagi pertanian, berubah menjadi sangat merusak. Hal sebaliknya juga bisa terjadi. Hama penyakit yang dahulu ganas bisa berkurang serangannya karena perubahan suhu. Artikel Perubahan Iklim, Pemicu Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman (hal. 22) mengulas tentang gejala ini dan langkah adaptasi yang bisa dilakukan petani.

Pertanian Konvensional Menyumbang Terjadinya Perubahan Iklim Perubahan iklim bukan lagi sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Ia sudah terjadi. Terbukti dari apa yang kini dialami petani. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pertanian konvensional yang dipakai secara luas sejak era Revolusi Hijau turut menyumbang pada terjadinya perubahan iklim. Pertanian konvensional yang intensif (baik dari sisi pemakaian mesin pertanian atau luas lahan) memicu penebangan hutan untuk membuka lahan. Gundulnya hutan berarti hilangnya bahan organik dari tanah. Padahal bahan organik berperan mengikat air dan menahan laju penguapan. Tak heran lebih banyak terjadi kekeringan. Berkurangnya jumlah vegetasi juga menurunkan kelembapan udara dan meningkatkan suhu udara. Produksi pupuk dan pestisida kimia yang dipakai pertanian konvensional juga menghasilkan gas rumah

26 januari 2009

Ketiga, kekeringan berkepanjangan yang makin banyak terjadi. Kian menipisnya ketersediaan air ini disebabkan oleh peningkatan evaporasi dan evapotranspirasi akibat peningkatan suhu udara dan hilangnya vegetasi penutup tanah. Selain itu juga disebabkan oleh curah hujan yang makin sedikit. Belakangan banyak terjadi ketidakseimbangan jumlah air di musim kemarau dan musim hujan. Masyarakat mengalami kekurangan air di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan. Banjir dan kekeringan juga menyebabkan kegagalan panen. Untuk beradaptasi dengan kondisi ini petani perlu mengembangkan dan menggunakan cara bertani yang lebih hemat air. Dari situs Kementerian Lingkungan Hidup, diperoleh informasi bahwa menurut Kepala Badan Litbang Pertanian, Dr. Joko Budianto, secara teknis tanaman padi sawah membutuhkan air 8001.200 mm3 per musim tanam. Jauh lebih banyak dibanding jagung, kedelai, dan kacang tanah yang berturut-turut membutuhkan 300, 350, dan 450 mm3 air per musim tanam. Untuk menghemat air petani bisa memakai SRI (System of Rice Intensification). Ini adalah teknik budi daya padi yang menggunakan air seefisien mungkin. Strategi Adaptasi Karena perubahan iklim sudah terjadi, yang harus dilakukan sekarang adalah upaya adaptasi dan mencegah terjadinya akibat yang lebih buruk lagi. Untuk itu, perlu adanya sosialisasi dan pendidikan bagi petani seputar perubahan iklim dan proses adaptasinya. Artikel mengenai Sekolah Lapangan Iklim (hal. 8) menunjukkan salah satu inisiatif memperkenalkan konsep perubahan iklim dan langkah antisipasi kepada petani lewat metode sekolah lapangan. Cara bertani yang lebih berkelanjutan adalah strategi yang paling jitu. Pertanian berkelanjutan yang mengedepankan keberagaman jenis tanaman dan integrasi ternak lebih mampu bertahan menghadapi tekanan perubahan iklim. Pola tanam berlapis mulai dari penutup tanah hingga pohon akan membantu tanah mengikat air lebih baik, sehingga lebih mampu menghadapi kekeringan. Kotoran ternak dan serasah/sisa tanaman juga bisa menjadi mulsa dan pupuk organik yang menyuburkan dan menjaga kelembaban tanah. Tanaman yang beragam juga menjamin ketahanan pangan bagi keluarga petani. Karena jika satu jenis tanaman gagal panen, masih ada cadangan panen dari jenis tanaman lain. Pemakaian benih/bibit unggulmisalnya yang tahan kekeringanjuga bisa menjadi pilihan untuk mengantisipasi gagal panen. Petani bisa mencoba membudidayakan jenis tanaman tradisional atau tanaman yang selama ini kurang diperhitungkan. Seperti diceritakan di artikel Varietas Baru untuk Menghadapi Perubahan Iklim (hal. 27) tentang pilihan petani menanam sorghum, yang sebelumnya dianggap tanaman orang miskin.

Dan untuk memastikan ketersediaan air, petani perlu melakukan upaya memanen air seperti pada artikel Peduli Air, Strategi Bertahan Petani Andes (hal. 29). Dari artikel ini kita bisa belajar bahwa sebenarnya banyak air terbuang sia-sia, seperti limpasan air hujan. Padahal dengan langkah sederhana kita bisa menyimpannya di tanah untuk persediaan musim kemarau. Perubahan iklim memang terjadi pada skala global. Tetapi dampaknya justru lebih terasa di tingkat lokal. Khusus bagi petani skala kecil yang memiliki sumber daya dan pilihan terbatas, perubahan yang kadang terjadi tibatiba dan sangat drastis bisa menyulitkan mereka untuk bertahan. Karena itu perlu adanya cara berpikir antisipatif dan peran aktif petani untuk menghadapi tekanan perubahan iklim. Mitigasi Mitigasi adalah istilah yang banyak dipakai dalam bahasan mengenai perubahan iklim. Arti mitigasi adalah tindakan yang dilakukan untuk meringankan dampak perubahan iklim sehingga tidak menjadi lebih buruk. Definisi ini ditegaskan IPCC dalam laporannya yang dikeluarkan pada 4 Mei 2007. Dalam laporan ini juga disebutkan bahwa sektor pertanian konvensional bertanggung jawab atas setidaknya 1/4 bagian dari total emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer. Ini utamanya berasal dari penebangan hutan, erosi tanah, serta produksi dan aplikasi pupuk kimia. Namun, kini banyak beredar bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa petani juga mampu melakukan mitigasi untuk meringankan dampak perubahan iklim. Cara-caranya sebenarnya serupa dengan praktik pertanian LEISA. Seperti mengurangi atau tidak memakai pupuk kimia, mengurangi pemakaian bahan bakar fosil untuk mesin pertanian, mengusahakan pengikatan nitrogen di dalam tanah, dan menjaga kandungan bahan organik dalam tanah (misalnya dengan memanfaatkan kotoran ternak). Petani juga bisa mengurangi gas karbondioksida (CO2) yang dilepas ke udara dengan menanami/menghijaukan lahan gundul, menghindari penebangan hutan, dan mengolah tanah dengan cara yang lebih berkelanjutan. Seperti disebutkan oleh IPCC, Greenpeace (lembaga swadaya masyarakat bergerak di bidang lingkungan) dan FAO (Food and Agriculture Organization), sektor pertanian memiliki potensi besar untuk melakukan mitigasi dengan menerapkan praktik pertanian yang lebih berkelanjutan. Termasuk di dalamnya peran petani skala kecil. Karena itu perlu adanya sosialisasi dan penghargaan lebih terhadap kontribusi penting petani skala kecil dan kelebihan LEISA/pertanian berkelanjutan sebagai pilihan dalam menahan terjadinya dampak perubahan iklim yang lebih buruk lagi.

26 januari 2009

Anda mungkin juga menyukai