Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Korupsi di Indonesia sudah 'membudaya' sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam "budaya korupsi" yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan "perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain" dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat. Belum lagi kasus yang sedang top hits dinegara ini, kasus bill out Century terselesaikan, kini telah muncul lagi mafia-mafia kasus korupsi diperpajakan. Selain itu di kejaksaan suap menyuap telah menjadi darah daging serta tradisi. Ada suatu pertanyaan yang terbesit pada diri kita, mengapa korpsi senantiasa mendera Negara ini? Satu hal penyebabnya adalah penegakan hukum yang masih sangat minim. Bagaimana mungkin seseorang yang hanya mencuri 3 buah rebung seharga 20 ribu rupiah bisa dituntut jumlah hukuman yang sama dengan koruptor yang merugikan Negara hingga puluhan trilyun rupiah, bahkan dengan hukuman yang lebih ringan dengan hanya yang maling ayam sekalipun. Perlu ada penyesuaian dan keadilan dalam masalah hukum ini, pemerintah seharusnya bisa memberikan hukuman yang lebih tegas kepada aktoraktor pencuri uang bangsa sehingga kedepannyta mampu meminimalisakan tindakan korupsi ini. Kasus ketidak adilan tentang hukum ini akan diulas dan diangkat pada penjelasan bab berikutnya.

B. SISTEMATIKA PENULISAN Adapun sistematika penulisan dalam pembahasan paper ini adalah : 1. Pendahuluan - Latar Belakang Permasalahan - Sistematika Penulisan - Metode Penulisan 2. Isi Materi Pembahasan - Definisi Korupsi - Sejajrah Korupsi - Kasus kasus Korupsi Besar - Kasus Maling Kecil - Opini Penulis 3. Penutup - Kesimpulan - Penutup - Daftar Pustaka

C. METODE PENULISAN

Penulisan karya tulis

ini berbentuk Deskriptif Kualitatif, yaitu pengungkapan suatu

pristiwa atau keadaan yang berdasarkan dari beberapa sumber. Gambaran yang didapat diuraikan secara objektif dengan pemaparan yang sesuai konteks. Selain dengan pengambilan dari beberapa sumber melalui media komunikasi, sumber juga didapat dari dialog interaktif dalam persepsi perbandingan hukum antara maling koruptor dan maling kecil. Setelah pemaparan dan pembahasan maupun permasalahan yang ada, maka disusun kesimpulan terhadap permasalahan yang ada, serta beberapa cara dalam mengatasi permasalahan tersebut.

BAB II ( ISI )
A. Definisi Korupsi Korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi. Korupsi adalah tindak penyalahgunaan wewenang, mempunyai motif ekonomi untuk mencapai tujuan dengan memperkaya diri pripadi maupun golongan. Tindakan korupsi dilakukan dengan menghalakan segala cara asalkan tujuan dalam memperkaya diri ini tercapai. Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.

B. SEJARAH KORUPSI

FAKTOR UTAMA INDONESIA NEGARA KORUP ADALAH DARI NENEK MOYANG BANGSA INI YANG HOBBY KORUPSI, SEHINGGA BERLANJUT SAMPAI ANAK CUCU BANGSA

Berikut adalah sejarah kebobrokan moral bangsa yang merupakan warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia. 1. Era Sebelum Indonesia Merdeka. Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi korupsi" yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: AnusopatiTohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia. Sebenarnya kehancuran kerajaankerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda. Belanda memahami betul akar "budaya korup" yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik "Devide et Impera" mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta "berintegrasi' seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris "belum mengenal" atau belum memahaminya. Perilaku "korup" bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar "mengkorup" harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.

2. Era Pasca Kemerdekaan Bagaimana sejarah "budaya korupsi" khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya "Budaya korupsi" yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru. Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi - Paran dan Operasi Budhi - namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian dikenal dengan istilah "Operasi Budhi". Sasarannya adalah perusahaanperusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan. Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, "prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain". Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

3. Era Orde Baru Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya "macan ompong" karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah. Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

4. Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat ganas. Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi. Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)

C. Berikut adalah artikel tentang perbandingan hukum yang tidak ada keadilan sama sekali. Hukum yang berlaku kepada pejabat dan rakyat kecil maupun hukum yang lebih berat bagi rakyat kecil dibanding dengan oknum melakukan korupsi hingga bermilyar jumlahnya.

1. Gayus oh Gayus

Kaburnya pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan ke luar negeri tak bisa tidak membuat Menkeu Sri Mulyani jadi tersudut. Selaku penggagas dan penggerak reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan, yang antara lain ditandai dengan peningkatan gaji plus tunjangan pegawai secara fantastis, Menkeu dihadapkan pada kenyataan bahwa reformasi itu gagal total. Artinya, Sri Mulyani sudah tidak lagi memiliki legitimasi moral untuk terus bertahan sebagai Menkeu. Apalagi, dia ternyata melakukan pembohongan publik dengan acap gembar-gembor bahwa reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik. "Kaburnya Gayus, setelah skandal perpajakan yang melibatkan dirinya semakin terungkap, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan tak mengubah keadaan. Birokrasi kita, khususnya Ditjen Pajak, tetap saja tak terbebas dari praktik korupsi," kata Koordinator Gerakan Indonesia Bersatu Adhie Massardi di Jakarta, kemarin.

Korupsi di BAPINDO

2. Eddy Tanzil??? Kemana Ya???


Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun.

D.

Kasus Maling Kecil


NENEK-NENEK NYURI 3 Buah KAKAO SAMPAI DISIDANG,,,,,,

GAYUS YANG SAMPAI MILYARAN MASIH SANTAI-SANTAI NYURI 10 RB ATAU 100 MILYAR LEBIH BERAT MENCURI 10RB.

KEADILAN S-U-D-A-H M-A-T-I

Belum selesai masalah kriminalisasi KPK, kini hukum di negeri kita kembali dipertanyakan. Seorang nenek disidang karena mencuri tiga buah kakao atau buah cokelat. Sungguh ini adalah sebuah ironi yang sangat menyesakkan dada kita. Hanya karena mencuri buah kakao saja, seorang nenek harus menghadapi sidang. Dimana hati nurani mereka? Menurut pemilik perkebunan, ini adalah sebuah pelajaran agar jera dan tidak mencuri lagi. Tapi, ini mengundang reaksi yang keras dari berbagai kalangan, termasuk pemimpin sidang. Seorang nenek yang kehidupannya sederhana saja bisa menghadapi sidang karena mencuri buah kakao, tapi mengapa para pejabat yang korupsi dan mencuri uang rakyat bisa melenggang dengan santai di luar sana? Apakah hukum di negeri kita ini hanya milik mereka yang memiliki uang? Lalu, dimana pengamalan Pancasila terutama sila kelima yang berbunyi Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Sungguh percuma jasa para pahlawan Revolusi kita berjuang untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara kita. Karena, saat ini Pancasila hanya sebagai simbol negara saja. Apalagi, saat ini sudah tidak ada lagi penghormatan atas jasa mereka dalam mempertahankan Pancasila pada hari Kesaktian Pancasila. Pancasila kini benarbenar hanya simbol semata. Bukan dasar negara kita lagi. Kalimat seperti ini yang akan selalu terucap dari hati dan mulut saya jika melihat keadaan negara kita. Sebagai generasi penerus bangsa, saya sendiri masih mendalami dan berusaha untuk mengamalkan Pancasila dalam kehidupan saya. Walaupun belum sepenuhnya, tapi saya masih ingin menghargai jasa para pahlawan revolusi yang telah berjuang untuk mempertahankan Pancasila.
9

Kembali ke pokok masalah, ukum di negara kita ini masih berat sebelah. Seorang pencuri ayam saja bisa dihakimi oleh masyarakat, bahkan dibakar. Jika masuk penjara, maka akan mendapatkan waktu hukuman yang cukup lama dan siksaan dari penghuni lain. Berbeda dengan para pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi. Mereka akan mendapatkan waktu hukuman yang cukup singkat dan juga servis yang baik di penjara. Perbedaan ini sangat mencolok. Apakah hukum di negara kita ini hanya memihak pada mereka yang memiliki banyak uang? Jika memang masih jiwa Pancasila di dalam hati kita, tentu saja semua ini tidak akan pernah terjadi. Bagaimana tanggapan para sahabat tentang Hukum yang ada di negara kita.

10

E.

Tajuk Opini

INDONESIA GENERASI MIE INSTAN


Mari kita simak ulasan dari saya mengapa saya mengatakan Indonesia adalah GENERASI MIE INSTAN. Melihat pemberitaan dari media tenang Negara ini menjadikan saya malu atas banyaknya persoalan terlebih korupsi yang menjakiti Negara ini. Dari beberapa permasalahan yang ada terungkap jelas masih ada komponen dan system di Negara ini yang belum menerapkan serta mengaplikasikan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut haruslah dipertanyakan mengapa sudah lebih dari 60 tahun bapak bangsa kita memproklamasikan kemerdekaan dan mendeklarasikan Pancasila sampai saat ini masih belum dapat merealisasikan nilai yang terdapat didalamnya. Poin di sila ke lima yang saya soroti adalah sangat jelas, dimana terjadi KEADILAN WARGANEGARA YANG MASIH PREMATUR. Dalam poin pencurian, bagaimana mungkin ada pemerataan jenis hukuman dengan menggunakan pasal hukum pidana yang sama dengan ancaman hukuman hanya 5 tahun baik yang hanya mencuri Ayam dengan kmencuri uang Negara hingga trilyunan rupiah. Inilah penyebab para koruptor tumbuh dengan subur dan sangat deras regenerasi koruptor baru pada tiap dekadenya. Ironis memang, Negara yang kaya akan alam baik mineral maupun kekayaan lainya habis degeragoti tikus-tikus sampah Negara. Bagaimana mungkin seorang Nurdin Halid yang korupsi hingga milyaran rupiah hanya dipidanakan kurang lebih hanya 2 tahun, jumlah tersebut masih belum dipotong masa tahanan dan masih bias memimpin PSSI dibalik jeruji tahanan. Atau mungkin masih jelas teringat kasus Buloggate yang menyeret mantan ketua DPR RI Akbar Tanjung, namun sampai saat ini maih dapat duduk dengan santai sambil menikmati secangkir kopi dan Koran dipagi hari tanpa harus memikirkan bagaimana melaratnya Negara ini atas korupsi yang ia lakukan. Atau kasus mafia pajak yang ramai-ramai mulai terseret boroknya. Layanan iklan membayar pajak yang didengang dengungkan sangatlah tidak patut ditayangkan lagi. Rasanya tikus di di Dirjen Perpajakan sudah tidak malu lagi, menarik pajak rakyat dan pengusaha untuk dijadikan lading uang oleh beberapa oknum di Dirjen Pajak Negara ini. Pemerintah yang telah menaikan tunjangan gaji bagi pegawai perpajakan tidaklah menjamin untuk menghentikan korupsi, justru tumbuh dengan subur. Darah koruptor memang sudah mengalir deras ke tiap anak bangsa yang terlahir, sehingga ketika
11

seseorang memiliki jabatan yang tinggi mampu menjalani birokrasi dengan mudah seketika itu pula pikiran menjadi tikus Negara terbesit, alhasil rumah, mobil, tabungan, dan lain-lain bias dimiliki dengan cara kotor ini. Ingat, hal tersebut berkembang biak dengan baik dinegara ini karena satu hal. HUKUM di Indonesia bagaikan TAHU dan ONCOM, sangat lembek dan tidak tegas terhadap tikus-tikus Negara seperti diibaratkan tahu yang lembek. Hukum mudah diadukadukan hingga menjadi Oncom. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mencuri ayam atau mencuri serokan yang senilai 15 ribu perak lebih berat hukuman dari para koruptor yang trilyunan rupiah. Dengan pasal tuntutan yang sama yaitu pasal pencurian, menjadikan kasus korupsi dimanipulasikan sehingga bisa memperingankan oknum korup tersebut. Pertanyaan yang terbesit dari dalam diri saya adalah mengapa korupsi ini mampu tumbuh dengan subur dinegara ini? Mengapa Korupsi Menjadi Tradisi???? Berdasarkan analisa saya dari hasil study literatur, saya mendapat beberapa poin mengapa korupsi adalah tradisi turun temurun bagi tiap generasi di Negara yang dibilang oleh Syeikh Hasan Al-Bana adalah Negeri yang merupakan Surga Dunia karena segala macam kekeyaab alam dan keindahan alam terdapat semuanya di bumi pertiwi. Berikut adalah analisa saya tentang penyebab koupsi adalah tradisi : 1. Faktor Nenek Moyang Indonesia adalah Koruptor Sebagaimana yang telah dijelaskan diawal kehancuran kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Sriwijaya, Mataram, atau sekalipun Majapahit adalah tidak lain dari factor korupsi. 2. Doktrin Penjajah Nusantara Masih kita ingat factor kehancuran VOC karena banyak pegawai yang korupsi didalamnya sehinga mengakibatkan VOC merugi dan akkhirnya jatuh. Praktek korupsi ini telah tertanam pada diri bangsa selama Belanda menjajah sekitar 350 tahun sehingga terpatri pada setiap lubuk hati dan jiwa warga Negara bahwa untuk memperkaya diri secara instan dapat dihalalkan dengan cara korupsi. 3. Mental Bangsa Yang Cacat Entah apa yang salah dari Negara ini, padahal nusantara telah terbebas dari Penjajah, namun ironinya mental dan sikap bangsa ini masih dijajah oleh mental dan sikap nenek moyang bangsa ini, yaitu memperkaya diri dengan cara instan melalui korupsi. Hal ini lah yang disebut Indonesia saat ini adalah Generasi Mie Instan, yaitu bangsa ini sangat cerdas sehingga mampu menjadi kaya dengan sangat cepat dan sekejap yaitu dengan cara korupsi. 4. Hukum Yang Seperti Tahu dan Oncom Hukum yang tidak jelas dan sangat tidak tegas menjadikan korupsi tambah semarak dinegara ini. Ketidak adilan dari segi hukum antara pencuri yang bernilai puluhan ribu sampai trilyunan dikenakan pasal yang sama dengan maksimal hukuman 5 tahun
12

pidana. Perlu ada tindakan pendiferensiasikan hukum antara maling puluhan ribu dengan puluhan trilyun sehingga fungsi Pancasila sebagai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bisa direalisasikan. 5. Lemahnya Fungsi Eksekutif, Legeslatif dan Yudikatif Kegagalan pemerintah dalam memberantas korupsi terletak pada Eksekutif, Legeslatif dan Yudikatif. Ke tiga elemen tersebut seperti Ayam Sayur sehingga sangat lamban dan tidak tegas dalam pemberantasan tikus korupsi. Legeslatif Negara ini tidak mampu menciptakan hukum yang tegas bagi pelanggaran korupsi. DariYudikatif jangan dipertanyakan lagi, bagaimana mereka mampu menindak pelanggaran korupsi sedangkan dari dalam diri mereka terungkap skandal korup yang besar.

13

BAB IV ( PENUTUP )

1. Kesimpulan
Korupsi adalah cara singkat seseorang dalam memperkaya dirinya. Ketika sebuah jabatn diemban dimana jabatan tersebut memilki peluang untuk memanipulasikan maka orang tersebut akan dengan mudah melakukan tindak korupsi. Hukum yang sangat lemah menjadi lading subur para koruptor yang merugikan Negara hingga trilyunan rupiah. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan warganegara yang hanya mencuri dengan nilai kecil namun mendapat hukuman yang lebih berat dengan oknum yang melakukan korupsi hingga bermilyar-milyar. Pemerintah harus tegas dengan menciptakan undang-undang yang memberikan hukuman sangat berat sehingga kedepannya oknum yang akan melakukan tindak korupsi akan berfikir dua kali karena huum yang berlaku tentang tindak korupsi. "Sistem hukum yang diciptakan tidak didesain sedemikian rupa, begitu pula mentalitas aparat yang hanya memiliki kepentingan agar urusannya segera selesai tanpa memedulikan nasib pihak yang terkena pidana," jelas dia sambil menambahkan ini semua juga menjadi rapor kegagalan pemerintah dalam memberi keadilan pada masyarakat.Padahal, di mata hukum, seharusnya derajat semua manusia tidak dibedakan dari status sosialnya, namun lebih dilihat dari hakikat kemanusiaan. Semua dianggap sama di mata hukum. Hanya saja, realitasnya, selalu terjadi ketimpangan, yang miskin tidak dihargai karena tergolong lemah dalam ekonomi. ada semacam disfungsional hukum di Indonesia, karena banyak pelaku pelanggaran tidak mengetahui hak-haknya, mengingat penyadaran hukum selama ini begitu lemah.

14

2. Pemecahan Masalah

Legeslatif harus segera membentuk tim untuk membuat undang-undang tentang korupsi dan pendiferensiasian kasus pencurian antara pencurian biasa dengan pencuri uang Negara. Seperti dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada para koruptor. Yang utama adalah jangan hanya menangkap oknumnya saja, melainkan harus ada pengembalian uang Negara yang telah dicuri sehingga Negara tidak berlarut-larut kehilangan uangnya. Selain itu harus ada pengusutan kemana larinya dana yang telah dikorupsikan, jangan sampai ada 1 rupiah pun uang Negara yang dicuri. Untuk masalah hukuman jangan lagi menggunakan hukuman 5 tahun saja, melainkan harga mati untuk hukuman orang yang korupsi adalah pidana SEUMUR HIDUP atau bagi kasus dengan korupsi besar seperti Gayus pantas diberikan hukuman Mati. Ketika hukum di Indonesia keras dan tegas, barulah mampu menghentikan kasus korupsi. Karena pasti kedepannya orang akan berfikir berulang-ulang untuk korupsi karena apabila diketahui akan dberikan hukuman yang sangat keras.

15

Daftar Pustaka
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=249722 http://www.tribun-timur.com/read/artikel/99860/Skandal-Pajak-Multimedia-Bikin-DPRBerselisih www.wikipedia.org www.demkominfo.org harian kompas harian wartakota

16

Anda mungkin juga menyukai