Anda di halaman 1dari 4

Jaringan Islam Liberal 1.

Sejarah Lahirnya Jaringan Islam Liberal Jaringan Islam Liberal (JIL) bermula dari sebuah mailing list (milis) bernama islamliberal@yahoogroups.com pada awal tahun 2000-an. Pada awalnya, belum banyak pengikut dari milis ini karena teknologi internet yang saat itu masih relatif baru dan belum populernya imej milis sebagai jejaring sosial di kalangan masyarakat. Sosialisasi milis pun belum tersebar secara merata. Beberapa mahasiswa muslim, alumni IAIN, dan juga dosen masih terpencar untuk disatukan dalam milis ini. Mereka masih bercerai berai pada milismilis kecil dan kelompok-kelompok kajian di beberapa kalangan. Isu Liberalisasi Islam yang diangkat oleh JIL sebenarnya bukanlah hal yang baru. Wacana akan hadirnya Islam liberal secara merata di seluruh daerah sudah sempat dimulai oleh beberapa kalangan, bahkan jauh sebelum ide sekularisasi oleh Nurcholish Madjid mengemuka pada tahun 1970-an. Setidaknya menurut Greg Barton dalam bukunya Gerakan Islam Liberal di Indonesia (Paramadina: 1999), sebuah kelompok diskusi di Jogjakarta tahun 1967 sudah melakukan inisiasi dalam mempopulerkan gagasan liberalisasi pemikiran Islam. Melihat animo yang cukup banyak, jejaring maya ini memiliki daya tahan cukup lama. Muka-muka baru pun muncul mewarnai diskusi seiring derasnya buku-buku liberal hadir di tengah masyarakat. Dominasi periodeisasi pra kelahiran JIL masih dikuasai basis sedimentasi anak-anak Ciputat, juga tak sedikit dari alumni Barat dan para akademisi Jojga yang direpresentasikan mahasiswa IAIN Jogjakarta dan UGM. Dari serangkaian diskusidiskusi inilah kemudian tergagas keinginan untuk membentuk suatu wadah bernama Jaringan Islam Liberal. Kelahiran JIL tidak terlepas dari nama Ahmad Wahib, seorang mahasiswa Fisika UGM yang meninggal sesaat sebelum berangkat ke kantor Tempo sebagai wartawan pada tahun 1973. Nama Wahib kemudian menjadi tenar setelah itu. Catatan hariannya yang berjudul Pergolakan Pemikiran Islam kemudian dibukukan dan menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa liberal saat itu dan masih berlanjut hingga kini. Kata-katanya yang terkenal adalah: Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-

hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian 9 Oktober 1969). Pada tahun 2001 akhirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) resmi didirikan di Jakarta. Menurut Luthfi Asy Syaukanie, salah satu tokoh terkemuka JIL, organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu seperti Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, menurut Luthfi Asy Syaukanie, JIL memang diniatkan sebagai payung atau lebih tepatnya penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, gerakan ini tidak memakai nama organisasi atau lembaga, tetapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis muslim berbagai organisasi Islam Liberal untuk berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas. Sebagai tempat beraktivitas, lokasi Jalan Utan Kayu no. 68 H, di sekitar komplek Rawamangun Jakarta Timur menjadi pilihan utama sebagai kantor JIL. Sebidang tanah ini sebenarnya adalah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad yang juga memiliki visi sama dengan JIL. Komunitas Utan Kayu sendiri didirikan pada tahun 1996 sebagai bentuk perlawanan, khususnya di bidang informasi, terhadap rezim Orde Baru. Di tempat itu juga berdiri galeri kecil dan teater sederhana, yakni Galeri Lontar dan Jurnal Kebudayaan Kalam kedua bergerak di lapangan kesenian baik untuk acara kesenian maupun pertemuan politik. Selain kedua hal tersebut, Komunitas Utan Kayu juga memiliki kantor berita yang dipimpin oleh Santoso. Radio inilah yang disebut KBR 68H. 2. Sekularisme dan JIL Nama Islam liberal menggambarkan prinsip-prinsip Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. Liberal di sini bermakna dua, yaitu kebebasan dan pembebasan. JIL percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Mereka memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu liberal. JIL memiliki slogan Menuju Islam Yang Membebaskan yang menurut empat agenda kebebasannya terdiri dari agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekspresi. Lebih lanjut, JIL bertujuan untuk memperkokoh landasan demokratisasi melalui penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan

humanisme; membangun kehidupan keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan terhadap perbedaan; mendukung gagasan penyebaran pemahaman keagamaan (terutama Islam) yang pluralis, terbuka, dan humanis; mencegah agar gagasan-gagasan keagamaan yang militan dan pro kekerasan menguasai publik. Melalui cara berpikir bebas yang dipegangnya, teranglah bahwa yang dimaksud dengan empat agenda yang membebaskan adalah bebas dari hukum wahyu yang disebutnya sebagai perspektif masa silam dan bukan perspektif pribadi. Dengan kata lain, bebas dari keterikatan terhadap hukum syara. Kelompok atau komunitas ini didirikan memang dengan latar belakang yang sangat kental mengandung unsur kecemasan dan bau rivalitas terhadap apa yang mereka sebut kelompok fundamentalis atau militan yang mereka tengarai mulai marak akhir-akhir ini. Dalam situs resminya, JIL menyebutkan bahwa bila tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan-pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini, jika benar terjadi, akan mempunyai akibat yang buruk buat usaha-usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Ketakutan terhadap akibat buruk yang ditimbulkan kaum fundamentalis dikarenakan pandangan-pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan dengan kelompok agama yang ada, sebut saja antara Islam dan Kristen. Jika ketegangan itu terus muncul, karena kecurigaan yang ditimbulkan oleh pandangan keagamaan yang keliru, maka sudah pasti akan menimbulkan kesulitan dalam membangun suatu kehidupan koeksistensi yang damai di antara kelompok-kelompok keagamaan yang ada. Untuk mencegah kecenderungan yang tidak sehat ini terus berlangsung, maka harus ada upaya untuk melakukan kampanye yang militan guna mendukung dan mengembangkan gagasan-gagasan keagamaan yang terbuka, pluralis dan humanis. Pandangan JIL terhadap kebebasan juga mempengaruhi bentuk negara ideal dalam masyarakat. Negara dalam pandangan JIL, haruslah netral dari pengaruh agama apapun, sedangkan agama harus tetap dipertahankan dalam wilayah privat. Begitu agama dibawa ke wilayah publik, apalagi dengan membawa-bawa peran negara, pasti akan melanggar nilainilai demokrasi yang memberikan jaminan kebebasan kepada individu dan prinsip eksistensi negara sebagai penjaga harmoni interaksi antarkelompok di tengah masyarakat. Tegasnya, menurut JIL, negara sekuler itu lah yang terbaik. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan salah satu anggotanya, Djohan Effendi, yang mengtakan, Saya kira kita harus memperjelas bahwa agama-agama itu sudah ada sebelum adanya negara. Karena itu, sebetulnya negara tidak mempunyai kompetensi untuk mengatur agama, karena agama ada di atas negara.

Sumber data: Kurnia, MR. (2002). Mengkritisi Ide Dasar Islam Liberal. http://jstor.or.id Syafrizal, Efrin. (2011). Bermula dari Mailing List: Sejarah JIL Merusak Akidah Islam di Indonesia. http://erfins.wordpress.com/2011/04/05/bermula-dari-mailing-list-sejarahjil-merusak-akidah-islam-di-indonesia/ Jaringan Islam Liberal. (2008). Tentang Jaringan Islam Liberal. http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil

Anda mungkin juga menyukai