Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA HEALTH LOCUS OF CONTROL DAN TINGKAT DEPRESI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS

DI RS. NY. R.A. HABIBIE BANDUNG

Oleh : Aulia Iskandarsyah NIP : 132 317 000

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN 2006

HUBUNGAN ANTARA HEALTH LOCUS OF CONTROL DAN TINGKAT DEPRESI PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS DI RS. NY. R.A. HABIBIE BANDUNG Oleh Aulia Iskandarsyah Fakultas Psikologi Universitas Padjadajaran ABSTRAK Gagal ginjal kronis merupakan penyakit yang berat dan menimbulkan gangguan psikologis, hal ini terlihat pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Adanya dampak dari penyakit dan prosedur pengobatan yang harus dijalaninya merupakan suatu situasi yang menekan. Kondisi ini mengakibatkan dampak yang berbeda pada setiap pasien, dari yang mengalami gangguan mood ringan sampai dengan yang menampilkan gejala-gejala depresi. Setiap pasien mempunyai keyakinan kendali atau health locus of control yang berbeda, keyakinan ini akan menentukan sejauh mana pasien mengalami tingkat depresi yang diakibatkan kondisi gagal ginjal kronis yang dialaminya. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran dan kejelasan secara empirik mengenai hubungan antara health locus of control dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di R.S Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode korelasional. Penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan karakteristik sebagai berikut : penderita gagal ginjal kronis yang menderita sakit paling lama 4 tahun dan berumur 40-60 tahun. Dalam penelitian ini sampel yang memenuhi karakteristik sampel berjumlah sebanyak 20 orang. Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara health locus of control dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di R.S Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan The Multidimensional Health Locus of Control Scales Form C dari Wallston, Wallston dan De Vellis dan The Beck Depression Inventory dari Aaron T. Beck. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini berupa data nominal, pengolahan data menggunakan metode statistik non parametrik, yaitu uji Chi-Kuadrat. Berdasarkan perhitungan uji korelasi Chi-Kuadrat dengan taraf signifikansi ( ) = 0,05, menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara health locus of control dengan tingkat depresivitas pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di R.S Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung. Kata kunci : Gagal ginjal, Health locus of control dan Tingkat Depresi

CORRELATION BETWEEN THE HEALTH LOCUS OF CONTROL AND THE DEPRESSION LEVEL OF CHRONIC KIDNEY DISEASE PATIENT AT MRS. R. A. HABIBIE HOSPITAL BANDUNG by Aulia Iskandarsyah Faculty of Psychology Padjadjaran University ABSTRACT Kidney disease is one of terminal illness that could make psychological disturbance, this phenomena appear at many chronic kidney disease patients that suppose to doing hemodialysis. The impact of the illness and the treatment procedure are stressful conditions for the patient. This condition had various impacts for each patient, from the patient who felt a mild mood disturbance to the patient who showed depression symptoms. Each patient has a different health locus of control, this believe will determine how far the patient will feel depressed as an impact from his/her kidney disease condition. The aims oh this research is to have a clear description empirically about the correlation between the health locus of control and the depression level of chronic kidney patient at Mrs. R.A. Habibie Hospital Bandung. The research method used on this research is a correlation. The sampling technique used is a purposive sampling with this characteristic as follow: the patient that has maximum 4 year suffered from kidney diseases, and the age of the patient about 40-60 years old. In this research there were 20 patients that fit with the sample characteristic. The research hypotheses there is a correlation between the health locus of control and the depression level of chronic kidney patient at Mrs. R.A. Habibie Hospital Bandung. Data collecting process used the Multidimensional Health Locus of Control Scales Form C from Wallston & Wallston and De Vellis, and The Beck Depression Inventory from Aaron T. Beck. The data from this research is a nominal data, so the data processed using a statistic non parametric method, that is Chi-Square. The result of the Chi-Square with = 0.05 level of significance showed a non significant correlation between the health locus of control and the depression level of chronic kidney disease patient at Mrs. Ny. Habibie Hospital Bandung. Key words : Kidney Disease, Health locus of control, and depression level

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke khadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan penelitian dengan judul Hubungan antara health locus of control dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis di R.S Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung ini dapat penulis selesaikan. Berbagai pengalaman menarik dialami peneliti sepanjang proses penelitian ini, dari mulai interview dan observasi awal dengan para pasien serta perawat sampai pada pelaksanaan penelitian. Pelajaran serta pengalaman baru yang belum pernah peneliti alami menjadikan penelitian ini sebagai proses penataan, pengkayaan, dan pematangan dalam pola berpikir agar peneliti bisa lebih baik dalam melaksanakan penelitian-penelitian berikutnya. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dan Ketua Bagian Psikologi Klinis atas dukungan dan kepercayaannya, Dr. Hasrini R. Soedarsono MHA selaku Direktur Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung yang telah memberikan izin, kemudahan dan fasilitas untuk melakukan penelitian ini, Bapak Asep selaku Kepala bagian Pendidikan di Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung yang telah banyak memberikan masukan, saran dan kritik selama peneliti melakukan penelitian, para responden yang telah berbaik hati meluangkan waktunya disela-sela perawatan untuk memberikan informasi kepada peneliti, serta beberapa pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang ikut mendukung dan membantu pelaksanaaan penelitian ini. Akhir kata kami harap, semoga laporan ini dapat bermanfaat.

Bandung, Februari 2006 Peneliti

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK........... i ABSTRACT ..... KATA PENGANTAR. DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... PENDAHULUAN... TINJAUAN PUSTAKA.. TUJUAN DAN MANFAAT .. METODE PENELITIAN HASIL DAN PEMBAHASAN... KESIMPULAN DAN SARAN .. DAFTAR PUSTAKA...... ii iii iv v 1 8 20 21 26 35 37

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kontingensi 8 X 2 Health Locus of Control dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis Tabel 2 Hasil Jumlah dan Persentase Tingkat Depresi Tabel 3 Hasil perhitungan median Health Locus of Control Tabel 4 Hasil Jumlah dan persentase Tipologi Health Locus of Control Tabel 5 Hasil uji kontingensi korelasi Tabel 6 Hasil Frekuensi antara Health Locus of Control dengan Tingkat Depresi

Halaman 23

26 26 27 28 28

1.

PENDAHULUAN Manusia pada dasarnya menginginkan dirinya selalu dalam kondisi yang

sehat, baik sehat secara fisik ataupun sehat secara psikis, karena hanya dalam kondisi yang sehatlah manusia akan dapat melakukan segala sesuatu secara optimal. Tetapi pada kenyataannya selama rentang kehidupannya, manusia selalu dihadapkan pada permasalahan kesehatan dan salah satunya berupa penyakit yang diderita. Jenis penyakit yang diderita bentuknya beraneka ragam, ada yang tergolong penyakit ringan dimana dalam proses pengobatannya relatif mudah dan tidak terlalu menimbulkan tekanan psikologis pada penderita. Tetapi, ada juga penyakit yang tergolong penyakit berat yang dianggap sebagai penyakit yang berbahaya dan dapat mengganggu kondisi emosional. Menurut hasil dari penelitian Holmes dan Rahe tahun 1967 dengan menggunakan Live Even Scale atau biasa dikenal sebagai Holmes and Rahe social readjustment rating scale yang mengukur stres dalam perubahan hidup, terbukti bahwa sakit merupakan kondisi yang menimbulkan tekanan secara psikologis dengan angka cukup tinggi yaitu 53 poin, angka ini menunjukkan banyaknya perubahan kehidupan yang harus dilakukannya. Salah satu penyakit yang tergolong berat adalah penyakit gagal ginjal. Penyakit gagal ginjal adalah penyakit yang terjadi ketika kedua ginjal gagal menjalankan fungsinya. Adapun fungsi ginjal adalah sebagai tempat membersihkan darah dari berbagai zat hasil metabolisme tubuh dan berbagai racun yang tidak diperlukan oleh tubuh dalam bentuk produksi urine (air seni). Hal ini disebabkan oleh gangguan imunologis yang terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh, gangguan metabolik akibat dari Diabetes militus dan amilodosis, gangguan pembuluh darah ginjal, infeksi terhadap organ ginjal, hipertrofi prostat dan konstriksi uretra serta adanya kelainan kongenital. Gagal ginjal kronis adalah hilangnya sejumlah nefron fungsional yang bersifat ireversibel, gejala-gejala klinis yang serius sering tidak muncul sampai jumlah nefron fungsional berkurang sedikitnya 70% di bawah normal dan jika jumlah nefron yang rusak melebihi 90%, pasien akan mengalami gagal ginjal stadium akhir (Guyton dan Hall, 1996). Sampai saat ini penderita gagal ginjal tergolong banyak, menurut data dari Yadugi (yayasan peduli ginjal) di Indonesia kini terdapat sekitar 40.000 penderita gagal ginjal terminal (GGT), hanya 3.000 diantaranya yang memiliki akses

pengobatan (Republika, 09 Oktober 2001). Dari angka yang cukup banyak tersebut, Jawa Barat menduduki urutan pertama dengan jumlah penderita sebanyak 3000 orang dan disusul DKI Jakarta di tempat kedua, dan dari 3.000 orang penderita yang ada di Jawa Barat tersebut yang mampu ditangani R.S. Khusus Ginjal Ny. Habibie hanya 600 pasien saja. Angka ini diperkirakan akan terus naik menjadi 10 hingga 20 ribu orang pada rentang tahun 2002 sampai 2004 (Republika, 09 Agustus 2001). R.S. Khusus Ginjal Ny. Habibie merupakan rumah sakit yang paling besar dan khusus menangani pasien gagal ginjal. Rumah sakit ini pertama didirikan pada tanggal 8 Agustus 1988 dengan nama Klinik Ginjal Bandung, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. Habibie pada tahun 1996 dengan menyediakan pelayanan hemodialisis selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Hingga akhir bulan Juli 2003 jumlah pasien gagal ginjal yang melakukan hemodialisis di rumah sakit ini sebanyak 195 pasien dengan mesin dialisa sebanyak 43 mesin yang seluruhnya merupakan mesin dengan program yang canggih. Penyakit gagal ginjal merupakan penyakit dengan resiko kematian yang cukup tinggi, di R.S Khusus Ginjal Ny. Habibie mencapai angka sekitar 17,2%. Kondisi gagal ginjal kronis dimulai ketika terjadinya kerusakan nefron yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Sisa nefron yang sehat akan mengalami hipertropi dan terjadi peningkatan laju filtrasi glomelurus dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban ginjal. Bila kerusakan terus berlanjut, maka laju filtrasi menjadi menurun dan akhirnya mencapai titik nol. Bila hal ini terjadi akan menyebabkan retensi cairan dan elektrolit serta penumpukan sisa-sisa metabolit sehingga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan volume dan komposisi cairan dalam ekstrasel. Dengan kondisi tersebut menimbulkan berbagai gejala yaitu berupa asidosis metabolik, hiper kalemi, gangguan konduksi jantung, gagal jantung kongestif dan azotemia. Keadaan tersebut apabila tidak segera dilakukan perbaikan komposisi dan volume cairan dalam darah, maka dapat menimbulkan kematian. Prosedur pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui hemodialisis (cuci darah) atau transplantasi (cangkok) ginjal, tetapi karena mahalnya biaya operasi transplantasi ginjal dan susahnya mencari donor ginjal, maka cara yang paling banyak digunakan adalah hemodialisis.

Hemodialisis adalah proses pemisahan cairan yang berlebihan dan retensi zatzat sisa metabolisme dari dalam darah ke cairan dialisa melalui membran semi permiabel yang ada dalam mesin dialisa dengan cara difusi, ultrafiltrasi dan konveksi sehingga komposisi zat-zat dan cairan dalam darah mendekati normal. Proses pengobatan tersebut dapat membantu memperbaiki homeostasis tubuh, namun tidak untuk mengganti fungsi ginjal yang lainnya, sehingga untuk mempertahankan hidupnya pasien harus melakukan hemodialisis minimal dua kali seminggu sepanjang hidupnya. Penyakit gagal ginjal menyebabkan pasien mengalami permasalahanpermasalahan yang bersifat fisik, psikologis dan sosial yang dirasakan sebagai kondisi yang menekan. Permasalahan fisik yang dialami pasien gagal ginjal kronis yaitu berupa adanya perubahan pada tubuh seperti kelebihan cairan, anemia, tulang mudah rapuh dan penurunan masa otot. Selain itu keluhan fisik lainnya berupa kesemutan, warna kulit hitam kekuningan, pruritus, perut buncit, kurang gizi, pada beberapa pasien mengalami kelumpuhan , mual, tidak nafsu makan dan penurunan fungsi seksual. Permasalahan Psikologis yang dialami pasien gagal ginjal kronis ditunjukan dari semenjak pertama kali pasien divonis mengalami gagal ginjal. Beberapa pasien merasa frustrasi, putus asa, marah dan adanya perasaan tidak percaya akan hasil diagnosa dokter, bahkan ada seorang pasien yang menjadi marah pada dokter dan mogok makan ketika dia diberitahu bahwa dia mengalami gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisis. Dari hasil interview yang dilakukan peneliti, didapat bahwa setelah mengalami sakit mereka merasa rendah diri sehingga mereka menjadi jarang bertemu dengan orang lain. Seorang pasien mengatakan bahwa dia sekarang jarang pergi keluar rumah dan tidak aktif lagi di lingkungan seperti dulu, misalnya ketika diundang untuk menghadiri suatu acara di kelurahan dia hanya diam dan mendengarkan saja karena sebenarnya dia merasa malas untuk menghadiri acara tersebut disebabkan dia merasa rendah diri dihadapan teman-temannya dan merasa dirinya sudah tidak bisa mengerjakan apa-apa lagi. Pada beberapa pasien mengaku dirinya diliputi oleh perasaan cemas, khawatir dan adanya perasaan takut mati. Mereka enggan untuk melakukan aktivitas dikarenakan adanya anggapan bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi dikarenakan

penyakit yang dideritanya, sehingga mereka lebih banyak mengurung diri di dalam kamar, mengalami gangguan tidur, penurunan nafsu makan dan penurunan minat seksual. Mereka menilai bahwa dari semenjak menderita penyakit, hidupnya selalu dalam keadaan ketidak beruntungan, tidak memiliki harapan dan sangat sensitif terhadap kritik dan saran. Selain itu adanya prognosa yang negatif menyebabkan pada beberapa pasien mengaku dirinya pesimis akan kesembuhannya, bahkan beberapa orang mengaku dirinya sempat berusaha bunuh diri dengan makan berlebihan atau dengan memotong nadi tangannya dikarenakan merasa putus asa dan lelah melakukan hemodialisis. Dari hasil penelitian tentang pengalaman hidup pasien gagal ginjal kronis yang melakukan hemodialisis, terdapat enam tema utama muncul, yaitu : Kemarahan karena penyakitnya telah membuat dirinya menderita, keputusasaan, ketidak berdayaan, merasa lelah menjalani hemodialisis, merasa lebih baik dalam dukungan keluarga dan pasrah pada Tuhan yang memberi kekuatan untuk menghadapi penyakitnya (Mira Suminar, Skripsi, 2001). Adanya permasalahan psikologis yang dialami oleh para penderita, mengindikasikan bahwa situasi gagal ginjal yang dialaminya merupakan kondisi yang sangat menekan dan hal ini menimbulkan gejala-gejala depresi. Menurut Rodin G. dan Karen V. (1989) gejala-gejala depresi sering ditemukan pada penderita dengan penyakit fisik, meskipun sering tidak dikenali dan tidak diobati seperti halnya pada penyakit akibat stroke, jantung, gagal ginjal dan beberapa penyakit fisik lainnya atau sering disebut dengan istilah depresi terselubung. Pasien-pasien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit kebanyakan menunjukkan gejala depresi akibat atau bersamaan dengan penyakit fisik. Permasalahan sosial yang dialami pasien gagal ginjal yaitu berupa adanya anggapan dari masyarakat dan keluarga yang menganggap mereka sebagai individu yang cacat, sehingga seseorang yang sudah menjalani hemodialisis dengan kondisi yang tergolong baik tetap tidak masuk kerja dan menjadi enggan untuk melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Adanya anggapan seperti ini menjadi suatu permasalahan yang menghambat dalam pemulihan kembali kehidupan pasien yang menjalani hemodialisis.

Adanya dampak dari penyakit gagal ginjal yang dideritanya, menyebabkan para pasien akan berusaha untuk melakukan penilaian terhadap situasi menekan tersebut dan akan berupaya untuk menanggulanginya. Adanya diagnosa yang negatif, kondisi yang memburuk dan mengetahui ketidak efektifan treatment yang dijalaninya merupakan suatu stresor. Hal ini akan menimbulkan suatu keyakinan kendali pada diri pasien terhadap kesehatannya. Keyakinan kendali diri terhadap kesehatan ini merupakan derajat keyakinan seseorang apakah kesehatannya ditentukan oleh faktor internal atau oleh faktor eksternal, dalam artian para pasien merasa bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab terhadap kesehatannya atau dia merasa bahwa lingkungannya yang memberi andil terbesar akan kesehatannya. Keyakinan kendali diri terhadap kesehatan ini berbeda-beda pada setiap orang, sebab ditentukan oleh penilaian dan pengalaman-pengalaman selama rentang kehidupannya, sehingga menimbulkan perilaku yang berbeda-beda pula. Pada sebagian orang menampilkan perilaku yang lebih positif, dimana mereka termotivasi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan melakukan hemodialisis secara teratur dan mengikuti prosedur pengobatan yang telah ditentukan, mereka merasa bahwa dirinya masih mampu untuk melakukan aktivitas seperti orang lain walaupun tidak seperti sebelumnya. Mereka merasa bahwa kondisi kesehatannya ditentukan oleh dirinya sendiri, tetapi pada sebagian orang lainnya menampilkan perilaku yang lain, dimana mereka merasa pesimis akan kondisi kesehatannya, sehingga dalam menjalani hemodialisis dan prosedur pengobatan pun harus didorong oleh orang lain karena mereka beranggapan bahwa kondisi kesehatannya sekarang tergantung pada dokter, perawat dan keluarganya ataupun dia beranggapan bahwa dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena semua itu telah ditentukan oleh Tuhan. Penilaian penderita terhadap penyakitnya serta pengalaman-pengalaman hidupnya akan menentukan keyakinan kendali diri terhadap kesehatannya. Hal ini menentukan bagaimana seseorang menyikapi penyakit yang dideritanya, sehingga akan mendasari perilaku yang ditampilkannya. Dengan adanya keyakinan kendali diri terhadap kesehatan ini akan menentukan sejauhmana penderita mengalami gejala-gejala depresi.

10

Berdasarkan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti Hubungan antara Health Locus of Control dengan Tingkat Depresi pada pasien gagal ginjal kronis di rumah sakit Ny. R. A Habibie Bandung. PERUMUSAN MASALAH Setelah mengalami gagal ginjal, seseorang akan melakukan penilaian terhadap sumber stres tersebut. Seseorang akan melihat apakah keadaan tersebut dapat ia tanggulangi atau tidak, sehingga akan memunculkan keyakinan kendali diri pada diri seseorang terhadap kesehatannya yang disebut Health Locus of Control. Konstruksi utama pendekatan Multidimensional Health Locus of Control dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : Internal dan external. Internal Health Locus of Control berarti bahwa pasien yakin kalau yang bertanggung jawab terhadap kesehatannya adalah dirinya sendiri. External Health Locus of Control dibagi menjadi 2 bagian yang terpisah, yaitu : Powerfull Others adalah keyakinan bahwa kesehatannya ditentukan oleh orang lain yang berpengaruh seperti dokter, perawat, teman dan keluarga. Sedangkan Chance Health Locus of Control adalah keyakinan bahwa kesehatan adalah masalah nasib, takdir dari Tuhan. Untuk pasien yang mempunyai penyakit kronis biasanya lebih meyakini External Health Locus of Control dari pada Internal Health Locus of Control (Wallston & Wallston, 1981 : 217). Situasi dan persepsi tentang penyakit gagal ginjal dan prosedur pengobatannya berpotensi dan dapat menimbulkan berbagai tekanan atau stres. Tekanan ini dapat berupa tekanan fisik akibat kerusakan organis pada fungsi ginjalnya ataupun tekanan psikologis yang berupa sikap terhadap penyakit dan keyakinan akan kesembuhan dari penyakit yang dideritanya, serta tekanan sosial dengan adanya anggapan dari keluarga dan masyarakat sebagai orang cacat. Tekanan tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala depresi pada para penderita. Depresi adalah keadaan mood yang ditandai dengan adanya perasaan yang tidak adekuat, perasaan sedih, penurunan dalam aktivitas dan reaktifitas, pesimis, kesedihan dan simptom-simptom lainnya. Secara terperinci Beck (1967) menguraikan simptom-simptom depresi menjadi : Simptom emosional yaitu perubahan perasaan atau tingkah laku yang

11

merupakan akibat langsung dari keadaan perasaannya. Simptom kognitif yaitu manifestasi kognitif yang muncul berupa adanya penilaian diri yang rendah, harapanharapan yang negatif, menyalahkan dan mengkritik diri sendiri, tidak dapat memutuskan dan adanya distorsi body image. Simptom motivasional yaitu berkaitan dengan hasrat dan ketergugahan penderita yang cenderung regresif dan simptom gejala fisik-Vegetatif yaitu muncul dalam bentuk mudah lelah, kehilangan nafsu makan, tidur lebih sedikit, kehilangan minat seksual dan beberapa gejala lainnya. Maka dari itu pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah hubungan antara Health Locus of Control dengan Tingkat Depresi pada pasien gagal ginjal kronis di rumah sakit Ny. R. A. Habibie Bandung.

12

2. 2.1

TINJAUAN PUSTAKA Health Locus of Control Konsep Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter yang

mengacu pada social learning theory. Konsep menerangkan dan menganalisa proses belajar yang terjadi pada manusia dan hewan. Berdasarkan hasil percobaannya pada tingkah laku hewan, beliau menganalisis bahwa tingkah laku dapat dikontrol melalui pemberian imbalan yang dimanipulasi dengan memberikan rangsang yang menghasilkan kepuasan atau hukuman. Pada dasarnya teori locus of control membahas tentang lokasi kontrol dalam kepribadian seseorang dalam hubungannya dengan lingkungan. Dalam teorinya Rotter lebih menekankan pada faktor kognitif, terutama persepsi sebagai pengarah tingkah laku. Teori tersebut menerangkan pula bagaimana tingkah laku dikendalikan dan diarahkan melalui fungsi kognitif. Rotter (dalam Phares, 1978) mengungkapkan adanya perbedaan mendasar dari penghayatan subjektif seseorang terhadap sumber perolehan reinforcement. Ada yang menganggap perolehan reinforcement berasal dari luar dirinya, Rotter (dalam Phares, 1978) menyebutnya sebagai orang dengan locus of control internal. Penghayatan ini diperoleh seseorang berdasarkan pemaknaan terhadap pengalamanpengalaman yang diperoleh sebelumnya, misalnya melalui pengalaman-pengalaman saat itu ia masih kanak-kanak. Orang dengan tipe internal meyakini kehidupannya hasil kerja karirnya, ditentukan oleh faktor-faktor internal, seperti usaha, kemampuan dirinya, dan kemauan. Sedangkan orang dengan tipe ekternal merasakan apa yang diyakininya bersumber dari hal-hal di luar dirinya, seperti nasib, keberuntungan, dan kekuasaan. Pada intinya teori locus of control menjelaskan mengenai pusat kendali dan pusat pengarahan dari setiap perilakunya. Skala locus of control bersifat kontinum, dalam artian adakalanya seseorang mempunyai kecenderungan internal locus of control dan adakalanya kecenderungan eksternal locus of control (Harley London, 1978 : 264-291). Hal ini ditentukan oleh kondisi yang mempengaruhi perubahan-perubahan keyakinan internal-eksternal locus of control. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan internal-eksternal locus of control adalah:

13

1) Faktor usia Seiring dengan bertambahnya usia diharapkan keyakinan locus of control dapat berkembang lebih tinggi. Dari hasil penelitian Peng (1969) dan Crandal (1965) didapat bahwa dalam perkembangan seorang anak, sejalan dengan bertambahnya usia ia akan bertambah efektif dalam mengaktualisasikan dirinya dan semakin internal locus of control. Lain halnya dengan individu yang di dalam hidupnya berkembang rasa takut yang akan berperan penting dapat menghilangkan kontrol internal menjadi eksternal locus of control. 2) Pengalaman dalam suatu lembaga Individu yang pernah tinggal dalam suatu lembaga seperti panti asuhan, penjara, lembaga-lembaga pengobatan, secara umum mereka memiliki kecenderungan eksternal locus of control. Hal ini diakibatkan dari keyakinan individu pada lembaga tersebut, peraturan, sumber-sumber kekuasaan didalamnya yang berperan membentuk eksternal locus of control. 3) Stabilitas perubahan faktor latihan dan pengalaman Menurut Schneider (1971) situasi yang sensitif, seperti konflik dapat meningkatkan skor eksternal yang lebih tinggi. Dalam pengertian bahwa kejadian-kejadian yang terjadi secara besar-besaran dan cenderung sensitif dapat mempengaruhi peningkatan eksternal locus of control. 4) Faktor latihan dan pengalaman Menurut Nowicki dan Barner (1973) dalam meneliti hubungan locus of control dengan kerja, didapat bahwa training atau latihan dan pengalaman dapat merubah keyakinan locus of control. 5) Faktor pengaruh dari terapi Efek dari terapi memberikan pengaruh terhadap perubahan locus of control. Hal tersebut didapat dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli, diantaranya Jefrey (1974) bahwa keberhasilan dalam mengatasi peristiwaperistiwa yang merugikan atau merubahnya mempunyai kecenderungan meningkatkan internal locus of control (Harley London, 1978 : 291). Harapan mengenai health locus of control dipelajari, maka status sehat dan sakit, juga pengalaman dengan sistem pelayanan kesehatan akan mempengaruhi keyakinan ini (Wallston & Wallston, 1982 : 79). Data normatif multidimensional

14

health locus of control yang diperoleh dari berbagai penelitian di USA menunjukan bahwa pasien yang menderita penyakit kronis memiliki keyakinan yang relatif tinggi dalam eksternalisasi kesehatan baik itu Chance maupun Powerfull other, bila dibandingkan kelompok lain (Wallston dan Wallston, 1981: 217). Faktor-faktor tersebut relatif konsisten pada bermacam-macam kondisi. Dari data yang diperoleh, hanya dapat ditarik dugaan bahwa keyakinan tersebut ditimbulkan oleh pengalaman sakit. Seseorang yang memiliki sejarah penyakit dan karenanya seringkali berinteraksi dengan pelayanan kesehatan, mungkin mengembangkan keyakinan yang kompleks dan terdifferensiasi. Seseorang yang berpenyakit kronis mempertahankan keyakinan pada eksternal health locus of control sebagai keyakinan pada chance health locus of control. Selain itu seseorang dengan kondisi kronis lebih percaya pada perawatan anggota keluarga, tenaga professional medis sebagai keyakinan powerfull others health locus of control yang tinggi. Bukti tambahan bahwa keyakinan health locus of control berkembang dalam dengan pengalaman sakit, dipercaya dari survey nasional USA pada penderita epilepsi dengan menggunakan multidimensional health locus of control scales sebagai suatu faktor Learned Helplessness (De Vellis dkk, 1980 dan Wallstone & Wallstone, 1981 : 210). Ditemukan bahwa sejarah penyakit mempengaruhi keyakinan, pengalaman negatif seperti kendali yang rendah mengakibatkan berkembangnya keyakinan kendali eksternal yang tinggi (chance & powerfull others) dan keyakinan kendali internal yang rendah. Berdasarkan teori dari Rotter, tingkah laku orang dapat diprediksikan dengan cara mengetahui bagaimana mereka memandang situasi, harapannya mengenai tingkah laku dan bagaimana mereka menilai akibat-akibat yang mungkin terjadi sebagai hasil perilakunya dalam situasi tersebut ( Wallston & Wallston, 1981 : 189). Sebelum dikembangkannya skala yang secara khusus mengukur locus of control pada pasien medis, telah dilakukan beberapa penelitian di bidang kesehatan dengan menggunakan alat ukur locus of control yang tidak menyinggung masalah kesehatan atau penyakit ( I-E dari Rotter & I, P and C Scales dari Levenson ). Ketertarikan Wallston & Wallston untuk menghubungkan locus of control dengan situasi pelayanan kesehatan dimulai ketika mereka melakukan observasi pada pasien baru yang didiagnosis menderita diabetes, yang bersama keluarganya

15

mendapat serangkaian pelajaran di rumah sakit yang menyajikan suatu konstruk internal locus of control. Pada kesempatan berikutnya, riset utama Wallston & Wallston mencakup aspek pemberian informasi dalam setting praktek keperawatan, dan mereka melihat bahwa orientasi locus of control kesehatan. Wallston & Wallston, Kaplan, dan Madres (1976) mengkonstruksikan health locus of control untuk mengukur Internalitas dan Eksternalitas yang relevan dengan kesehatan orang dewasa. Health locus of control scale terdiri dari campuran item-item yang memuat kendali personal dan kendali etiologi secara umum. Health locus of control ini, walaupun bersifat spesifik pada bidang tertentu (kesehatan) namun tetap merupakan pengukuran harapan yang digeneralisasi / mencakup banyak setting dan tingkah laku yang berhubungan dengan kesehatan. Individu dengan skor di atas median disebut health eksternal, mereka diasumsikan memiliki harapan yang digeneralisasi bahwa dirinya memiliki sedikit kendali pada faktor-faktor yang menentukan kesehatan (faktor eksternal). Individu dengan skor di bawah median disebut health internal, dimana meyakini bahwa locus of control kesehatan adalah internal dan kesehatan adalah akibat dari tingkah lakunya sendiri. Setelah menggunakan health locus of control Wallston & Wallston, dkk sebanyak 6 (enam) kali, mulai mempertanyakan keputusan semula untuk merupakan variabel perbedaan individu yang mungkin berhubungan dengan pertukaran informasi antara pasien dengan petugas

memberlakukan health locus of control sebagi sebuah konsep dimensi. Melalui faktor analisis dan pengukuran konsistensi internal terbukti bahwa skala ini berbentuk Multidimensional. Hal ini kemudian mendorong Wallston & Wallston, De Vellis (1978) untuk menciptakan Multidimensional Health Locus of Control yang merupakan versi multidimensional dari health locus of control (Wallston & Wallston, 1981 : 195). Multidimensional Health Health Locus of Control berdasarkan versi tiga sub skala I-E Scales Rotter yang diciptakan Hanna Levenson (1973). Konstruksi utama pendekatan multidimensional Levenson adalah pembagian dimensi eksternalisasi menjadi 2 (dua) komponen yang berbeda yaitu Powerfull other dan Chance. Levenson membedakan 2 (dua) tipe orientasi eksternal, yaitu

16

keyakinan pada keteraturan dan dapat diprediksikannya dunia bersama harapan bahwa powerfull others mempunyai potensi untuk mengendalikan. Sangatlah mungkin apabila individu yang yakin pada kendali powerfull others juga merasakan adanya cukup keteraturan pada tindakan-tindakan orang lain dan yakin bahwa dirinya dapat memperoleh reinforcement dengan menampilkan tindakan yang bertujuan. Pandangan mengenai eksternal ini, akan sangat serupa dengan konseptualisasi internalitas dari Rotter. Individu yang meyakini Powerfull Others akan berperilaku dan berpikir dalam cara yang berbeda dari individu yang merasa dunia tidak teratur dan tidak dapat diprediksikan (Chance). Implikasi utama dari formulasi ini adalah menjadi eksternal tidak terlalu buruk atau maladjusted. Kontribusi Levenson lainnya adalah dalam cara penyusunan item, dimana seluruh item dinyatakan secara personal, merefleksikan keyakinan mengenai self (Wallston & Wallston, 1981 : 195). Multidimensional health locus of control terdiri Dari 3 (tiga) sub skala, skala Powerfull Others Locus of Control mengukur sejauhmana keyakinan seseorang bahwa kesehatan ditentukan oleh orang lain yang berpengaruh (dokter, perawat, keluarga, temans). Skala Chance Locus of Control mengukur sejauhmana seseorang meyakini bahwa kesehatan adalah masalah kebetulan atau nasib. Kedua skala eksternal ini tidak digabung untuk membentuk pengukuran eksternal kesehatan yang menyeluruh tapi dievaluasi secara terpisah. Skala Internal Locus of Control mengukur internalitas kesehatan, yaitu sejauhmana individu yakin bahwa faktor internal yang bertanggung jawab terhadap kesehatan. Tipologi Multidimensional Health Locus of Control Wallston & Wallston (1982) mengemukakan suatu tipologi berdasarkan pola skor yang mungkin didapatkan dari skala multidimensional health locus of control. Tipologi ini tidak dimaksudkan sebagai tipe kepribadian (yaitu karakeristik individu yang relatif secara neuritis. Ada 8 (delapan) pola harapan health locus of control, berdasarkan relatif tinggi rendahnya skor individu pada masing-masing dimensi internal health locus of menetap), melainkan didasari pandangan bahwa dengan menggunakan tipologi maka pola keyakinan individu mungkin akan tergambarkan

17

control, powerfull others health locus of control dan chance health locus of control. Tiga pola pertama adalah tipe murni, masing-masing berisi persetujuan. Tiga tipe berikutnya berisi skor yang tinggi pada dua dimensi dan skor yang rendah pada satu dimensi. Tipe IV disebut eksternal ganda (double health eksternal) karena individu mendukung dua dimensi eksternal, tapi tidak setuju dengan pernyataan-pernyataan internal. Tipe V ditandai oleh skor tinggi pada internal health locus of control dan powerfull others health locus of control dan skor rendah pada chance health locus of control. Tipe VI (internal health locus of control dan chance health locus of control tinggi, powerfull others health locus of control rendah) kemungkinan tidak dijumpai atau sangat jarang dijumpai. Tipe VII dan VIII seluruh dimensi bersama-sama tinggi atau rendah) dapat muncul dua kemungkinan, yaitu secara valid merefleksikan keyakinan health locus of control atau terjadi karena respon bias. Wortman & Dunkel-Schetter (1979) mengemukakan bahwa keyakinan internal kemungkinan maladaptive untuk beberapa penderita kanker jika tidak ada yang dapat mereka lakukan pada kondisi tersebut (Wallston & Wallston, 1982 : 88). Pasien kanker dengan internal health locus of control yang tinggi (tipe I) mungkin mencurahkan energi dan penghasilannya secara sia-sia dalam usaha dalam mengubah kondisinya atau menolak manfaat beberapa treatment yang mungkin efektif, seperti kemoterapi atau radiasi. Kekurangan lain dari individu dengan tipe I yang kuat adalah dukungan terhadap keyakinan internal kemungkinan untuk menjauhkan dari penolong yang potensial. Pasien dengan penyakit kronis seringkali sangat percaya ada tenaga medis professional atau orang lain seperti keluarga atau teman. Dalam contoh ini, keyakinan powerfull others health locus of control yang kuat merefleksikan kemungkinan situasional aktual yang barangkali adaptif, hanya jika orang lain mau dan dapat membantu orang yang semata-mata yakin pada powerfull others health locus of control (tipe II) akan merasa sangat tidak berdaya bila tidak ada orang lain yang memberikan pertolongan dan petunjuk. Keyakinan internal health locus of control dapat menjadi respon yang positif pada pertanyaan mengapa harus saya ? yang seringkali merupakan reaksi permulaan pada munculnya penyakit atau terluka karena kecelakaan. Stricland (1978) mengemukakan : Barangkali sikap defensif memiliki manfaat saat seseorang

18

yang terbiasa dengan kendali personal tiba-tiba berhadapan dengan peristiwa yang berada di luar personalnya (Wallston & Wallston, 1982 : 88). Jadi pada tahap awal usaha mengatasi penyakit terutama bila kita berada di tangan professional medis yang kompeten mungkin ada keuntungan yang nyata untuk mejadi individu tipe III atau IV. Kaitan antara internal health locus of control, afek depresi dan simptom fisik menunjukkan bahwa keyakinan tipe III mungkin tidak seluruhnya efektif : hanya jika tidak ada kendali yang nyata maka persepsi akan kurangnya kendali mungkin akan sangat adaptif. Dibandingkan tipe dua lainnya barangkali tipe V yang paling adaptif. Pola keyakinan tipe V bersifat kondusif untuk membangun relasi antar konsumen dan pemberi jasa pelayanan kesehatan. Konstelasi keyakinan ini terutama sekali bermanfaat untuk orang yang harus menanggulangi penyakit kronis dimana tanggung jawab untuk kesuksesan perawatan kondisi kesehatan terletak pada pelaksanaan aturan pengobatan yang ditentukan dokter. Tipe VI secara konseptual sulit dipahami, penjelasan yang mungkin adalah bahwa individu telah belajar bahwa ada beberapa aspek kesehatan yang dapat dikendalikannya dan aspek-aspek lainnya sama sekali dapat diprediksikan. Tipe VII adalah yea-sayer, yaitu individu yang setuju dengan seluruh pernyataan tanpa memperhatikan isinya. Tipe VIII adalah ray-sayer. Jika pola ini bukan hasil dari respon yang bias, maka penjelasan yang sama dengan yang diberikan pada tipe VI dapat digunakan untuk tipe VII, di samping itu individu belajar bahwa beberapa aspek kesehatannya dikendalikan oleh orang lain, individu ini mungkin lebih baik daripada tipe V karena persetujuan pada keyakinan internal health locus of control memberikan rasionalisasi yang tepat jika usaha terbaik yang dilakukan dirinya dan orang lain sia-sia. Tipe VIII mungkin menunjukan ray-sayer yang paling selektif, bisa saja mengekspresikan pendapat bahwa contoh item yang terdapat pada skala multidimensional health locus of control tidak merefleksikan harapan health locus of control sebagai contoh seseorang yang sangat yakin pada kendali tuhan akan kesehatannya dan penyakit, mungkin termasuk tipe VIII. Tidak ada klaim bahwa semua kemungkinan keyakinan health locus of control diberikan oleh ketiga dimensi skala multidimensional health locus of control (Wallston & Wallston, 1982 : 71).

19

Tipe I IHLC PHLC CHLC Tinggi Rendah Tinggi


X

Tipe II IHLC PHLC CHLC Rendah Tinggi

Tipe III IHLC PHLC CHLC Rendah

x x
Tipe V IHLC PHLC CHLC

x x x
Tipe VI IHLC PHLC CHLC

x
Tipe IV

IHLC PHLC CHLC Tinggi Rendah

x x

Tinggi Rendah

x x

Tinggi Rendah Tipe VIII ray-sayer IHLC PHLC CHLC

x x

Tipe VII yea-sayer IHLC PHLC CHLC Tinggi Rendah Tinggi Rendah

2.2

Teori Depresi Penelusuran literatur yang dilakukan oleh Beck (1967) menemukan

konsistensi yang menarik perhatian mengenai depresi, seperti adanya penurunan mood, kesedihan, pesimisme tentang masa depan, retardasi dan agitasi, sulit berkonsentrasi, menyalahkan diri sendiri, lamban dalam berpikir serta serangkaian tanda vegetatif seperti gangguan dalam nafsu makan maupun gangguan dalam hal tidur. Beck (1967) sendiri membuat simptom-simptom itu menjadi simptomsimptom emosional, kognitif, motivasional dan vegetatif fisik. Secara rinci Beck menjelaskan lebih lanjut, sebagai berikut : 1. Simptom Emosional Merupakan perubahan perasaan atau tingkah laku yang merupakan akibat langsung dari keadaan perasaannya. Dalam mengukur manifestasi emosi, adalah penting untuk menghitung tingkat mood dan tingkah laku individu. Kondisi berkenaan dengan gejala emosional itu adalah suasana hati sedih. Suasana hati didefinisikan secara berbeda oleh setiap penderita. Maka dari itu peneliti harus mengetahui deskripsi dan konotasi dari kata yang digunakan oleh penderita. Intensitas deviasi perasaan harus diperhatikan pula sehingga penggunaan kata

20

yang mewakili durasi harus dipertimbangkan. Penderita juga mempunyai perasaan yang negatif terhadap diri. Hal ini mungkin berhubungan dengan perasaan disphoria, tetapi yang cenderung mengarah pada diri sendiri. Kehilangan kebahagiaan atau kepuasan merupakan suatu proses yang terus berkembang. Kondisi ini muncul berawal pada aktivitas tertentu dan seiring dengan perkembangan depresi, kemudian meluas pada berbagai aktivitas lainnya termasuk pelaksanaan peran yang menjadi tanggung jawabnya. Kehilangan keterlibatan emosi kasih sayang diwujudkan dengan menurunnya derajat ketertarikan pada aktivitas tertentu atau menurunnya perhatian terhadap orang lain. Penderita juga lebih sering menangis, Stimuli yang pada keadaan sebelumnya tidak membuatnya menangis pada saat ini justru menimbulkan derai air mata. Tetapi, pada tahap yang lebih parah, pasien justru tidak dapat menangis lagi meskipun ia menginginkannya. Hilangnya respon yang menggembirakan dalam arti hilangnya kemampuan menangkap humor. Humor tidak lagi memberikan kepuasan, semua dilihat secara serius bahkan dapat menimbulkan respon tersinggung. 2. Simptom Kognitif Beck (1967) menyatakan manifestasi kognitif yang muncul, antara lain adanya penilaian diri yang rendah, harapan-harapan yang negatif, menyalahkan dan mengkritik diri sendiri, tidak dapat memutuskan dan adanya distorsi body image. Adanya penilaian diri yang rendah muncul dengan adanya harga diri yang rendah. Ia menilai dirinya sebagai seorang yang berkekurangan meskipun mempunyai hal-hal spesifik yang penting. Penderita depresi mempunyai harapan negatif yang ditandai dengan munculnya pesimisme yang berhubungan erat dengan rasa ketidak berhargaan. Mereka mempunyai bayangan buruk dan penolakkan terhadap kemungkinan berbagai perubahan. Mereka berkeyakinan bahwa kondisi kekurangannya akan berlangsung terus atau akan menjadi semakin buruk. Gejala lainnya adalah penyalahan terhadap diri atau memikul tanggung jawab pada diri sebagai penyebab kesulitan atau masalah yang terjadi. Segala hal yang merugikan dianggap berasal dari kekurangannya. Bahkan pada kasus yang lebih parah, penderita mungkin menyalahkan dirinya untuk hal-hal yang sebenarnya tidak berkaitan dengan dirinya. Penderita juga mengalami kesulitan

21

dalam membuat keputusan, bimbang memilih alternatif

yang ada atau

keputusannya sering berubah. Keadaan tersebut terjadi disebabkan; pertama penderita mengantisipasi membuat keputusan yang salah, kedua karena adanya kehilangan kemauan dan kecenderungan menghindar atau meningkatkan ketergantungan pada lingkungannya. 3. Simptom Motivasional Berkaitan dengan hasrat dan ketergugahan penderita yang cenderung regresif. Istilah regresif dikaitkan dengan aktivitas yang dilakukan, dengan derajat tanggung jawab atau dengan banyaknya energi yang akan digunakan. Penderita melarikan diri dari aktivitas yang menuntut peran dewasa dan memilih aktivitas yang lebih memiliki karakteristik peran anak-anak. Kehilangan motivasi positif, kelumpuhan kemauan, adalah ciri yang menyolok. Untuk melakukan tugas utama, seperti makan, perawatan diri atau mencari pengobatan merupakan hal yang berat bagi mereka. Mereka cenderung menghindar dan ingin mengelakkan diri dari pola yang biasa atau rutin dalam hidupnya. Rutinitas dinilai membosankan, tidak berarti atau memberatkan. Mereka sangat ingin mendapat bantuan, bimbingan atau arahan dari orang lain. Lebih parah lagi mereka dapat berkeinginan bunuh diri yang muncul dalam berbagai bentuk. Hal ini dialami sebagai harapan yang pasif (Saya harap, saya orang mati ), sebagai harapan aktif (Saya ingin bunuh diri ), atau sebagai pikiran yang berulang, obsesif, tanpa kualitas kemauan melakukan aktivitas seperti melamun. Harapan ini kadang-kadang menetap, tapi ada juga yang timbul dan menghilang. 4. Simptom Gejala Fisik Vegetatif Perwujudan gejala vegetatif dan fisik benar-benar dipertimbangkan peneliti sebagai bukti untuk melihat gangguan otonom atau hypothalamic yang bertanggung jawab terhadap keadaan depresi (Cambell, 1953. Kraines, 1957). Gejala fisik yang muncul adalah kondisi mudah lelah, hal tersebut sering dirasakan sebagai fenomena fisik murni dan sebagian menganggap sebagai kelelahan akibat kehilangan energi. Gejala kehilangan nafsu makan untuk beberapa penderita bisa merupakan tanda awal dan kembalinya nafsu makan mungkin menjadi tanda pula bahwa kehidupannya telah kembali. Penderita juga tidur lebih sedikit daripada orang normal dan terdapat derajat kegelisahan yang

22

menyolok selama semalam. Pada beberapa kasus, mereka juga kehilangan minat seksual, baik pada diri sendiri maupun terhadap lawan jenis. Model kognitif depresi berkembang dari observasi-observasi klinis yang sistematis dan pengujian-pengujian eksperimental yang berulang kali (Beck, 1979). Model kognitif mendalilkan 3 (tiga) konsep spesifik, yaitu : (1) Concept of Cognitive Triad Cognitive Triad berisi 3 (tiga) pola kognitif utama yang menyebabkan penderita memandang dirinya, masa depannya dan pengalamannya secara ideosinkretik, yaitu didominasi oleh pola-pola kognitif yang negatif. (2) Schemas Unsur utama yang kedua dari Model Kognitif berisi konsep skema. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan mengapa penderita depresi mempertahankan penyebab rasa sakit dan sikap mengalahkan diri walaupun terdapat bukti objektif dari faktor-faktor positif dalam hidupnya. (3) Cognitive Error (informasi yang salah) Pada individu depresi ditemui karakteristik pemikiran yang mencerminkan berbagai penyimpangan dari kenyataan. Kesalahan sistematik dalam pemikiran penderita menambah kepercayaan terhadap keakuratan konsep negatifnya walaupun bukti yang sebenarnya sangat berlawanan (Beck, 1967). Percipitation of Depression Individu yang mempunyai gabungan konstelasi dari sikap-sikap yang telah dijabarkan diatas, memiliki predisposisi untuk mengembangkan depresi klinis pada kehidupan selanjutnya. Konstelasi depresi tersebut dapat menjadi depresi, tergantung pada kondisi yang mampu mengaktifkan konstelasi tersebut. Diantaranya adalah : 1. Stres Yang Spesifik Kondisi atau peristiwa yang memiliki persamaan dengan pengalaman traumatik pada masa lalu dapat menjadi stres kelompok ini. Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan stres yang spesifik dikemukakan Beck antara lain : a. Situasi yang dapat menurunkan harga diri. Yang sering ditemui adalah : ditolak cinta, kegagalan dalam studi, mendapat PHK, diasingkan keluarga.

23

b. Situasi yang menghambat tujuan penting atau dilemma yang harus dipecahkan. Hal ini berkaitan dengan hambatan yang tidak dapat dilalui atau konflik dalam hal-hal yang berpengaruh dalam hidup. c. Penyakit, gangguan fisik atau abnormalitas, kemunduran fisik atau kematian. d. Rangkaian situasi stres yang berulang sehingga mematahkan toleransi stresnya terhadap situasi tersebut. 2. Stres Yang Non Spesifik Individu akan dapat mengembangkan bentuk gangguan psikologis bila dihadapkan pada stres yang berlebihan. Misalnya : bencana yang tidak terduga. Tetapi, kadang-kadang depresi tercetus tidak melalui peristiwa tunggal yang berlebihan melainkan dari serangkaian peristiwa yang dialami. 3. Faktor-Faktor Lain Merupakan faktor yang mampu mengembangkan depresi, di luar dua faktor di atas. Beck menyebut salah satu faktor itu sebagai ketegangan psikologis, yaitu stimulasinya berlebihan atau berkepanjangan periodenya.

24

3. 3.1

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan

suatu kejelasan mengenai hubungan antara health locus of control dengan tingkat depresi yang dimiliki oleh pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung. 3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa : a) Memberikan informasi dan masukan bagi para penderita gagal ginjal, mengenai permasalahan psikologis yang mereka rasakan. b) Memberikan informasi dan masukan tentang bagaimana cara mengambil langkah-langkah praktis dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan health locus of control dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di rumah sakit ginjal Ny. R. A. Habibie Bandung. c) Memberikan informasi dan masukan bagi Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung, khususnya untuk bagian pekerja sosial mengenai dampak psikologis pada penderita dalam rangka mengefektifkan proses terapi. d) Merangsang peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan psikologis yang berkaitan dengan kesehatan secara umum, atau permasalahan psikologis pada penderita gagal ginjal secara khusus.

25

4.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi korelasional, yang bertujuan untuk

mendapatkan data mengenai hubungan antara health locus of control dengan tingkat depresi yang dimiliki oleh pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung 4.1 Sampel Penelitian Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel dengan metode purposive sampling. Dalam purposive sampling peneliti secara intensional (sengaja) hanya mengambil beberapa daerah atau sekelompok saja (Hadi, 1993 : 82). Mengenai jumlah sampel penelitian, Hadi (1977 : 86) mengungkapkan lebih jauh tentang tidak adanya ketetapan mutlak tentang berapa persen suatu sampel harus diambil dari populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung. Seleksi terhadap sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan karakteristik tertentu. Karakteristik sampelnya adalah sebagai berikut : 1. Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Dengan lama penyakit kurang dari 4 tahun karena berdasarkan survey, didapat apabila pasien gagal ginjal yang telah menjalani hemodialisis lebih dari 4 tahun maka ia telah mulai dapat menyesuikan diri dengan penyakitnya. 2. Usia 40-60 tahun a. Subjek dipilih berdasarkan golongan usia antara 40-60 tahun karena pada rentang usia tersebut merupakan usia mayoritas pasien yang menjalani hemodialisis di rumah sakit khusus ginjal Ny. R. A. Habibie Bandung yaitu 55,8 %. b. Usia 40-60 tahun termasuk golongan usia madya (Hurlock, 1991 ). Sampel dibatasi pada golongan usia madya karena perubahan keyakinan locus of control sejalan dengan pertambahan usia. Locus of control menjadi semakin eksternal dari masa dewasa hingga tua, yaitu terjadi peningkatan keyakinan bahwa chance dan powerfull others mempengaruhi kehidupan (Sarafino, 1994).

26

c. Pendidikan minimal SLTA. Hal ini untuk memudahkan pemahaman individu terhadap alat ukur yang diberikan. 4.2 Alat Ukur Alat ukur yang digunakan adalah mengukur kecenderungan Health locus of control pasien terhadap kesehatannya adalah Multidimensional Health Locus of Control Scales dari Wallston, Wallston dan De Vellis (1981). Skor yang diperoleh dari ketiga dimensi yang berbeda secara teoritis dan empiris tersebut, tidak dapat digabungkan menjadi skor tunggal melainkan harus dievaluasi secara terpisah sehingga menghasilkan data nominal yang terbagi dalam 8 (delapan) tipologi health locus of control. Untuk mengukur Tingkat Depresi alat ukur yang digunakan adalah The Beck Depression Inventory (BDI). Menurut David Burn (1988), Beck Depression Inventory merupakan suatu alat pengukur kemurungan yang dapat dipercaya. Alat ini mendeteksi ada atau tidaknya depresi dan secara tepat menunjukan tingkat keparahannya. 4.3 Pengolahan Data Data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan data nominal, oleh karena itu untuk mengolah data tersebut digunakan metode statistik non parametrik. Maka untuk menuju hubungan variabel-variabel tersebut, statistik uji yang digunakan adalah Koefisien Kontigensi C. Untuk mengukur korelasi antar variabel dalam penelitian ini, langkahlangkah perhitungan yang akan diterapkan adalah sebagai berikut : 1. Menyusun frekuensi-frekuensi dalam suatu tabel kontingensi b x k yang dalam penelitian ini digunakan tabel kontingensi 8 x 2 untuk taraf kecocokan antara health locus of control dan penyesuaian diri 2. Kategorisasi untuk health locus of control dibagi dalam 8 (delapan) tipologi, yaitu : 1) Tipe I : Internal health locus of control tinggi, Powerfull others health locus of control rendah, Chance health locus of control rendah

27

2) Tipe II : Internal health locus of control rendah, Powerfull others health locus of control tinggi, Chance health locus of control rendah 3) Tipe III : Internal health locus of control rendah, Powerfull others health locus of control rendah, Chance health locus of control tinggi 4) Tipe IV : Internal health locus of control rendah, Powerfull others health locus of control tinggi, Chance health locus of control tinggi 5) Tipe V : Internal health locus of control tinggi, Powerfull others health locus of control tinggi, Chance health locus of control rendah 6) Tipe VI : Internal health locus of control tinggi, Powerfull others health locus of control rendah, Chance health locus of control tinggi 7) Tipe VII : Internal health locus of control tinggi, Powerfull others health locus of control tinggi, Chance health locus of control tinggi 8) Tipe VIII : Internal health locus of control rendah, Powerfull others health locus of control rendah, Chance health locus of control rendah 3. Kategorisasi untuk tingkat depresi dibagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu tinggi dan rendah. 4. Dengan kategori-kategori untuk masing-masing variabel penelitian di atas, di buat suatu tabel kontingensi 8 X 2 sebagai berikut : Tabel 1. Kontingensi 8 X 2 Health Locus of Control Dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis
TIPOLOGI HLOC TIPOLOGI I TIPOLOGI II TIPOLOGI III TIPOLOGI IV TIPOLOGI V TIPOLOGI VI TIPOLOGI VII TIPOLOGI VIII TINGKAT DEPRESI Tinggi Rendah

28

1. Menghitung X2 (Chi-Square) dengan rumus : X2 = (Oij Eij)2 Eij 2. Untuk melihat banyaknya gejala yang diharapkan terjadi (Eij) digunakan rumus: dimana : Oij = data hasil penagamatan Eij = data yang diharapkan Eij = (nio xnij) n nio = jumlah baris ke I nij = jumlah baris ke j

3. Untuk mengetahui derajat hubungan antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya digunakan koefisien kontingensi dengan rumus : C= X2 N + X2 4. Menghitung distribusi Chi-Square dengan rumus : dk = ( b-1 ) ( k-1) 5. Menguji signifikansi koefisien kontingensi dengan cara melihat batas nilai kritis pada Tabel Harga Kritis Chi-Square dengan X
2 tab

= 0,5 dan kriteria tolak H0 apabila

(X

hit >

tab)

dari batas harga kritis. Terima dalam hal lainnya yang taraf

kepercayaan 95 % dan derajat kebebasan dk untuk distribusi Chi-kuadrat = (b-1) (k-1) 6. Selanjutnya harga C yang dapat dibandingkan dengan koefisien kontingensi maksimum yang bisa terjadi. Harga C maksimum ini dapat dihitung dengan rumus : m-1 Cmaks = m

29

Dengan m = harga minimum antara b & k (harga minimum antara banyak baris dan banyak kolom), atau dapat juga dengan melihat tabel untuk harga Cmaks. Makin dekat harga C kepada Cmaks, makin besar pula derajat asosiasi antara faktor-faktor. Dengan kata lain, faktor yang satu makin berkaitan dengan faktor yang lainnya. Kriteria nilai C adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 5. C=0 0 < C < 0,2 Cmaks (0,1414) 0,2 Cmaks (0,1414) < C < 0,4 Cmaks (0,2828) 0,6 Cmaks (0,4242) < C < 0,8 Cmaks (0,5656) : Tidak ada korelasi : Korelasi rendah sekali : Korelasi rendah : Korelasi sedang : Korelasi tinggi

4. 0,4 Cmaks (0,2828) < C < 0,6 Cmaks (0,4242)

Kriteria Pengujian Hipotesis Tolak Ho, jika X2hit > X2tab pada taraf signifikansi = 0,05 dan dk = 4 dengan melihat tabel C. Hipotesis Statistik Ho : X2hit < X2tab : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara health locus of control dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis di rumah sakit khusus ginjal Ny. R. A. Habibie Bandung. H1 : X2hit > X2tab : Terdapat hubungan yang signifikan antara health locus of control dengan tingkat depresivitas pada pasien gagal ginjal kronis di rumah sakit khusus ginjal Ny. R. A. Habibie Bandung. Hipotesis Penelitian Hipotesa penelitian ini adalah : Terdapat hubungan antara health locus of control dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis di R. S. khusus ginjal Ny. R. A. Habibie Bandung.

30

5. 5.1

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Perhitungan pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan

untuk mengklasifikasikan Tingkat Depresi ke dalam 2 kategori yaitu : tinggi dan rendah. Dari hasil pengkategorian tersebut didapat sebagai berikut : Tabel 2. Hasil Jumlah dan Persentase Tingkat Depresi TINGKAT DEPRESI Tinggi Rendah JUMLAH 11 9 PERSENTASE 55% 45%

Berdasarkan hasil perhitungan median diperoleh hasil bahwa sebanyak 11 orang atau sebesar 55% dari jumlah pasien yang dijadikan sampel mempunyai tingkat depresi yang tergolong tinggi dan sebanyak 9 orang atau sebesar 45% dari jumlah pasien yang dijadikan sampel mempunyai tingkat depresi yang tergolong rendah. Perhitungan kedua adalah perhitungan untuk mengklasifikasikan Health Locus of Control ke dalam 8 (delapan) tipologi, yaitu : Tipologi I, Tipologi II, Tipologi III, Tipologi IV, Tipologi V, Tipologi VI, Tipologi VII dan Tipologi VIII. Berdasarkan hasil perhitungan median diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 3. Hasil perhitungan median Health Locus of Control KRITERIA Nilai Median Tinggi % Rendah % 10 10 10 50% 50% 50% 10 10 10 50% 50% 50% 29,5 16,5 25,5

HLOC IHLOC PHLOC CHLOC

Berdasarkan hasil perhitungan median untuk variabel health locus of control pada pasien gagal ginjal kronis diperoleh sebanyak 10 orang atau sebesar 50% memiliki kecenderungan internal health locus of control yang tinggi dan 10 orang atau sebesar 50% memiliki kecenderungan internal health locus of control yang

31

rendah. Sebanyak 10 orang atau sebesar 50% memiliki kecenderungan powerfull others health locus of control yang tinggi dan 10 orang atau sebesar 50% memiliki kecenderungan powerfull others health locus of control yang rendah. Sebanyak 10 orang atau sebesar 50% memiliki kecenderungan chance health locus of control yang tinggi dan 10 orang atau sebesar 50% memiliki kecenderungan chance health locus of control yang rendah. Dari kecenderungan health locus of control ini, kemudian digolongkan pada salah satu dari 8 (delapan) tipologi health locus of control berdasarkan tinggi rendahnya skor individu pada masing-masing dimensi internal health locus of control, powerfull others health locus of control dan chance health locus of control dengan hasil sebagai berikut : Tabel 4. Hasil Jumlah dan persentase Tipologi Health Locus of Control TIPOLOGI HLOC TIPOLOGI I TIPOLOGI II TIPOLOGI III TIPOLOGI IV TIPOLOGI V TIPOLOGI VI TIPOLOGI VII TIPOLOGI VIII Kriteria Pengujian Hipotesis Kriteria uji berdasarkan metoda statistik yang digunakan untuk menghitung hubungan antar variabel pasien yang mempunyai health locus of control dengan tingkat depresi yang dalam penelitian ini adalah tolak Ho, jika Xhit dengan Xtab dengan dk = (b-1) (k-1), dimana Xtab diambil dari tabel harga-harga kritis Chi-Kuadrat = 0,05 dan taraf kepercayaan 95%. Hal ini berarti bahwa kemungkinan adanya kekeliruan 5 dari 100 kasus. JUMLAH 2 1 3 2 2 1 5 4 PERSENTASE 10% 5% 15% 10% 10% 5% 25% 20%

32

Tabel 5. Hasil uji kontingensi korelasi Hasil Uji Kontingensi X2 = (Oij Eij)2 Eij 5,0499 C= X2 N + X2 0,4489 Tidak Signifikan Xtab dk = 10, 14,1 = 0,05

Berdasarkan pengolahan data dengan Chi-Kuadrat, diperoleh X= 5,0499 dengan = 0,05 dan dk = (31) (81) = 7, didapat Xtab = 14,1. Hal ini menunjukkan, bahwa dari hasil pengujian tersebut didapat Xhit < Xtab, atau H1 ditolak dan berarti Ho diterima atau tidak terdapat hubungan antara health locus of control dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di rumah sakit khusus ginjal Ny. R. A. Habibie Bandung. Tabel 6. Hasil Frekuensi antara Health Locus of Control dengan Tingkat Depresi TIPOLOGI HLOC TIPOLOGI I TIPOLOGI II TIPOLOGI III TIPOLOGI IV TIPOLOGI V TIPOLOGI VI TIPOLOGI VII TIPOLOGI VIII JUMLAH TINGKAT DEPRESI Tinggi 1 0 3 1 1 0 3 2 11 Rendah 1 1 0 1 1 1 2 2 9 JUMLAH 2 1 3 2 2 1 5 4 20

Dari tabel di atas menunjukkan frekuensi health locus of control dengan tingkat depresi, didapat 20 sampel yang diambil dari R.S Khusus Ginjal Ny. Habibie

33

di Bandung diperoleh hasil sebagai berikut: Pertama, dari Tipologi I health locus of control terdapat 1 orang pasien memiliki tingkat depresi yang tinggi dan 1 orang pasien memiliki tingkat depresi yang rendah. Kedua, dari Tipologi II health locus of control terdapat 1 orang pasien memiliki tingkat depresi yang rendah. Ketiga, dari Tipologi III health locus of control terdapat 3 orang pasien memiliki tingkat depresi yang tinggi. Keempat, dari Tipologi IV health locus of control terdapat 1 orang pasien memiliki tingkat depresi yang tinggi dan 1 orang pasien memiliki tingkat depresi yang rendah. Kelima, dari Tipologi V health locus of control terdapat 1 orang pasien memiliki tingkat depresi yang tinggi dan 1 orang pasien memiliki tingkat depresi yang rendah. Keenam, dari Tipologi VI health locus of control terdapat 1 orang pasien memiliki tingkat depresi rendah. Ketujuh, dari Tipologi VII health locus of control terdapat 3 orang pasien memiliki tingkat depresi yang tinggi dan 2 orang pasien memiliki tingkat depresi yang rendah. Kedelapan, dari Tipologi VIII health locus of control terdapat 2 orang pasien memiliki tingkat depresi yang tinggi dan 2 orang pasien memiliki tingkat depresi yang rendah. 5.2 PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengolahan data melalui statistik didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara health locus of control dengan tingkat depresi pada penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di R.S Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung. Menurut konsep dasar health locus of control, orang yang memiliki kecenderungan internal health locus of control adalah orang dengan kendali keyakinan, bahwa ia dapat kembali berada dalam kondisi sehat setelah mengalami suatu penyakit dengan berusaha mengendalikan tingkah lakunya, sedangkan orang dengan kecenderungan powerfull others health locus of control memiliki lebih sedikit kendali dirinya dalam menentukan kesehatannya dan lebih merasakan adanya keteraturan pada tindakan-tindakan orang lain terhadap dirinya, sehingga ia lebih percaya kepada orang lain dibanding kepada dirinya sendiri. Adapun orang dengan chance health locus of control meyakini bahwa kesehatannya adalah masalah nasib, takdir dan kebetulan belaka.

34

Dari konsep dasar di atas, terjadi perkembangan ketika ditemukan fakta bahwa seseorang bisa saja mempunyai kecenderungan internal health locus of control, powerfull others health locus of control dan chance health locus of control dalam waktu yang bersamaan, sehingga digolongkan menjadi 8 (delapan) tipologi health locus of control. Hal ini terbukti dengan adanya 14 orang dari 20 orang pasien yang memiliki kecenderungan health locus of control lebih dari satu. Dari 2 orang pasien yang tergolong tipologi I yaitu internal health locus of control saja yang tinggi, didapat 1 orang pasien memiliki tingkat depresi yang tinggi dan 1 orang pasien memiliki tingkat depresi yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pasien dengan tipologi I mungkin memiliki tingkat depresi yang tinggi atau rendah, dengan kata lain pasien tipologi I mungkin mencurahkan energinya secara tidak efektif dalam usaha mengubah kondisinya ataupun menolak beberapa pengarahan yang mungkin efektif. Kekurangan lain dari tipologi I ini adalah bahwa keyakinan internalnya kemungkinan menjauhkan dirinya dari upaya orang lain untuk menolong dirinya, sehingga merasa bahwa hanya dirinyalah yang mampu melakukan perubahan dalam kesehatannya sedangkan bantuan orang lain sebagai orang yang kompeten justru ditolak. Hal ini jika tidak menunjukkan hasil yang positif justru akan menimbulkan tingkat depresi yang tinggi pada pasien, ini sejalan dengan pendapat Wortman & Dunkel-Schetter (1979) yang mengemukakan bahwa keyakinan internal, mungkin maladaptive jika tidak ada yang dapat mereka lakukan pada kondisi tersebut. Pasien yang tergolong tipologi II yaitu yang semata-mata hanya yakin pada powerfull others health locus of control, akan merasa tidak berdaya bila tidak ada orang lain yang memberikan pertolongan atau petunjuk. Dari data yang diperoleh terdapat 1 orang pasien tipologi II dengan tingkat depresi yang rendah, hal ini dimungkinkan adanya kepercayaan yang besar terhadap tenaga medis professional atau orang lain seperti keluarga dan teman akan kondisi kesehatannya menjadikan pasien hanya mengalami tingkat depresi yang rendah. Tipologi III adalah pasien yang memiliki keyakinan bahwa kesehatannya ditentukan oleh takdir, nasib dan kebetulan semata. Dari data yang diperoleh terdapat 3 orang pasien yang tergolong tipologi III dan semuanya memiliki tingkat depresi yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa psien merasa bahwa dirinya tidak bisa

35

berbuat apa-apa dalam kondisi ggal ginjal yang dia alami sekarang, sehingga hanya bisa pasrah dan menerima apa saja yang akan terjadi. Pasien beranggapan bahwa kondisi gagal ginjal yang dialaminya merupakan suatu yang tidak bias dikontrol dan diprediksi, maka menjadikan pasien bersikap pasif dan merasakan ketidakberdayaan dalam kondisi yang dihadapinya. Hal ini menjadikan pasien menghayati tingkat depresi yang tinggi, ini sejalan dengan hasil penelitian terhadap sampel penderita kanker yang menjalani kemoterapi yang menemukan berupa adanya korelasi yang tinggi antara chance health locus of control dengan depresi (Wallston & Wallston, 1982 : 72). Tipologi IV disebut eksternal ganda atau double health external yang berarti pasien memiliki keyakinan bahwa kesehatannya ditentukan oleh orang lain yang berpengaruh seperti dokter, perawat, keluarga dan teman, sekaligus dia juga meyakini bahwa kesehatannya ditentukan oleh takdir, nasib dan kebetulan. Dari 2 pasien yang tergolong tipologi IV, terdapat 1 orang memiliki tingkat depresi yang tinggi dan 1 orang memiliki tingkat depresi yang rendah. Adanya keyakinan eksternal ganda ini menjadikan pasien merasa yakin terhadap tenaga medis professional atau orang lain seperti keluarga dan teman, tetapi dipihak lain pasien merasa bahwa kondisi yang dihadapinya merupakan sesuatu yang tidak dapat dikendalikan dan dikontrol karena tergantung nasib, takdir dan kebetulan. Hal ini menjadikan pasien memiliki tingkat depresi yang tinggi jika kecenderungan chance health locus of control yang lebih dominan, atau memiliki tingkat depresi yang rendah apabila kecenderungan powerfull others health locus of control yang lebih dominan pada dirinya. Tipologi V adalah pasien yang memiliki internal health locus of control dan powerfull other health locus of control yang tinggi, dimana individu memiliki keyakinan terhadap orang lain yang diikuti oleh kendali diri yang kuat, maka mereka akan mempercayai bahwa ada kekuatan orang lain yang mempengaruhi kesehatannya dan akan membantu dalam usaha untuk membebaskan dirinya dari tekanan atau stres ketika menghadapi masalah kesehatan. Secara konseptual tipologi V merupakan yang paling baik, tetapi dari data yang diperoleh terdapat 2 orang yang tergolong tipologi ini dimana 1 orang memiliki tingkat depresi yang tinggi dan 1 orang memiliki tingkat depresi yang rendah. Pasien meyakini bahwa kesembuhan dapat

36

diperoleh dengan usahanya dan mengikuti semua saran serta petunjuk dari orang lain yang kompeten, tetapi ternyata tidak menjadikan pasien memiliki tingkat depresi yang rendah. Hal ini disebabkan pasien mengetahui bahwa usahanya melakukan hemodialisis secara teratur dan mengikuti apa yang disarankan dokter atau perawat dengan baik bukanlah usaha untuk mencapai kesembuhan, melainkan hanya untuk memperpanjang hidupnya saja. Kondisi ini memungkinkan pasien memiliki tingkat depresi yang tinggi ataupun rendah, dimana tergantung dari sejauhmana keyakinan pasien untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tipologi VI adalah pasien yang memiliki internal health locus of control dan chance health locus of control yang tinggi. Dari hasil penelitian terdapat 1 orang yang tergolong tipologi VI dan memiliki tingkat depresi yang rendah. Secara konseptual tipologi ini sulit dipahami, tetapi dapat dijelaskan bahwa psien meyakini bahwa beberapa aspek kesehatan dapat dia kendalikan dan aspek-aspek lainnya sama sekali tidak dapat dipredikisi. Tipologi VII adalah pasien yang memiliki internal health locus of control, powerfull others health locus of control dan chance health locus of control yang tinggi, dimana pasien meyakini kendali diri terhadap kesehatannya dan mempercayai orang lain yang berusaha membantu dalam proses pengobatannya, juga meyakini bahwa apapun hasilnya merupakan nasib dan takdir Tuhan. Dari hasil penelitian didapat 5 orang atau sebesar 25% dari sampel penelitian tergolong pada tipologi VII, yang secara persentase merupakan tipologi terbanyak. Dari 5 orang yang tergolong tipologi VII, terdapat 3 orang memiliki tingkat depresi yang tinggi dan 2 orang memiliki tingkat depresi yang rendah. Adanya tingkat depresi yang pada pasien disebabkan pasien memiliki kepercayaan yang besar pada dirinya disertai orang lain yang membantunya juga terhadap nasib dan takdir, menjadikan pasien tidak memiliki pegangan yang pasti akan kemajuan dari kondisi kesehatannya sehingga adanya ketidakpastian ini menyebabkan pasien menghayati tingkat depresi yang tinggi. Dari data diperoleh 2 orang memiliki tingkat depresi yang rendah, hal ini disebabkan adanya keyakinan internal health locus of control, powerfull others health locus of control dan chance health locus of control yang tinggi pada pasien tersebut menjadikan dia senantiasa berusaha menjalani proses pengobatan di bawah pengawasan orang-orang yang kompeten dengan baik dan penuh keyakinan diri,

37

kemudian bersikap pasrah terhadap Tuhan, bagaimanapun hasilnya. Hal ini sejalan dengan ungkapan Wallston (1982) bahwa tipologi ini memberikan rasionalisasi yang tepat jika usaha terbaik yang dilakukan dirinya dan orang lain sia-sia, maka dari itu pasien hanya memiliki tingkat depresi yang rendah. Tipologi VIII adalah pasien yang memiliki internal health locus of control, powerfull others health locus of control dan chance health locus of control yang rendah atau disebut ray sayer, tipologi ini mungkin muncul ketika terdapat individu yang tidak terjaring kendali kesehatannya oleh item multidimensional health locus of control, misalnya individu yang sangat yakin pada kendali Tuhan akan kesehatan dan penyakitnya mungkin termasuk tipologi ini. Dari data diperoleh 4 orang yang tergolong tipe VII, dimana 2 orang memiliki tingkat depresi yang tinggi dan 2 orang memiliki tingkat depresi yang rendah. Adanya internal health locus of control, powerfull others health locus of control dan chance health locus of control yang rendah dikarenakan pasien merasa bahwa pada skala multidimensional health locus of control tidak merefleksikan harapan health locus of control, sehingga sangat mungkin mereka memiliki keyakinan yang lain. Menurut Wallston & Wallston (1982 : 71) tidak ada klaim bahwa semua kemungkinan keyakinan health locus of control diberikan oleh ketiga dimensi skala multidimensional health locus of control. Hal ini menjadikan pada sebagian pasien memiliki tingkat depresi yang tinggi dan pada sebagian lainnya justru memiliki tingkat depresi yang rendah. Dari hasil penelitian, didapat bahwa tidak ada hubungan antara health locus of control dengan tingkat depresi pada populasi pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di R.S. Khusus Ginjal Ny. Habibie. Beberapa faktor yang memegang peran penting terhadap upaya seseorang untuk menghayati dan bertingkah laku menghadapi permasalahan kesehatan yaitu faktor usia, pengalaman dalam suatu lembaga, stabilitas perubahan, latihan dan pengalaman, dan terapi. Dalam lingkup yang lebih luas, Comer (1998) menambahkan satu hal lagi yang berpengaruh terhadap health locus of control yaitu kebudayaan. Pada standar budaya barat, segala sesuatu yang di luar kendali kita merupakan ancaman terhadap pengendalian diri kita dan juga internal health locus of control dianggap lebih menguntungkan bagi kesehatan individu (Comer, 1998). Hal

38

ini berbeda sekali dengan standar budaya timur, khususnya Indonesia dimana keyakinan terhadap kendali orang lain justru menambah kekuatan untuk berada dalam kondisi sehat, ditambah dengan keyakinan bahwa apapun yang terjadi merupakan peristiwa yang tidak lepas dari intervensi Tuhan. Perbedaan budaya ini juga terlihat dari pengungkapan gejala depresi yang dialami oleh pasien, dimana pasien secara verbal menyatakan bahwa dirinya mengalami gejala depresi yang kompleks, tetapi setelah dilakukan pengukuran ternyata tingkat depresi pasien tidak seperti apa yang mereka sampaikan secara verbal. Hal ini disebabkan pada budaya kita, pasien relatif lebih banyak mengeluhkan kondisinya agar dia bisa mendapatkan dukungan dan perhatian yang lebih dari lingkungan sekitarnya.

39

6. 6.1

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang

dilakukan terhadap pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di R.S. Khusus Ginjal Ny. Habibie Bandung, diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara health locus of control dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat depresi yang dialami oleh pasien gagal ginjal kronis tidak bergantung pada kecenderungan health locus of control yang dimilikinya dalam artian bahwa hubungan antara health locus of control dengan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis bersifat tidak berarti. Hal ini mengakibatkan kecenderungan health locus of control apapun baik itu internal health locus of control, chance health locus of control ataupun powerfull others health locus of control yang dimiliki oleh pasien tidak menjadikan pasien memiliki tingkat depresi yang tinggi ataupun menjadikan pasien memiliki tingkat depresi yang rendah, karena dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan adanya variasi tingkat depresi pada setiap kecenderungan health locus of control, kecuali pada kecenderungan powerfull others health locus of control yang hanya mendapat 1 orang pasien, sehingga sulit untuk disimpulkan karena hasilnya akan menjadi sangat bias. 6.2 SARAN Berdasarkan hasil penelitian, kiranya ada beberapa saran yang ingin disampaikan peneliti, yakni : 1. Untuk para dokter, perawat serta tenag amedis lainnya, diharapkan untuk lebih memperhatikan faktor psikologis dari pasien selama pasien menjalani prosedur pengobatan berupa hemodialisis, karena terdapat permasalahan psikologi yang kompleks pada pasien sehingga jika hanya keyakinan kendali saja yang menjadi perhatian tidak akan efektif untuk membantu mengurangi permasalahan psikologis yang dialami oleh pasien. Oleh karena itu dibutuhkan tenaga professional lainnya seperti psikolog untuk membantu menanggulangi permasalahan psikologis yang dialami oleh pasien.

40

2. Bagi para peneliti lain yang berminat untuk melanjutkan penelitian tentang health locus of control dengan tingkat depresi pada pasien penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis dianjurkan untuk mengambil subjek pada ketegori usia produktif yaitu dengan rentang 25-40 tahun, dan disarankan untuk melakukan studi populasi dengan menggunakan sampel yang lebih banyak dan disertai observasi dan interview. Hal ini demi mendapatkan hasil penelitian yang lebih meluas, mendalam dan komprehansif.

41

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1998, Manajemen Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta. Atkinson. 1998, Pengantar Psikologi jilid dua, edisi kesebelas, Batam, Interaksara. Azwar, Saiffudin. 2000, Reliabilitas dan Validitas. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Beck, Aaron T. 1967, Depression : Clinical, Experimental and Theoritical Aspects by Hoeber Medica Devision USA, Harper and Row Published Incorporated. Guyton dan Hall. 1996, Fisiologi Kedokteran, edisi 9, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hadi, Sutrisno. 1997, Metodologi Research Jilid I. Edisi satu. Yogyakarta. ANDI Offset Yogyakarta. Lazarus, Richard. 1976, Pattern of Adjustment third edition, Tokyo, Mc. Grow Hill. Phares, Jerry. 1976, Locus of Control in Personality, New Jersey, General Learning Press. Reber, Artur, S. 1985, The Penguin Dictionary of Psychology, New York, Penguin Books. Robin, Locke & Regier. 1991, In Journal of Adolesence Research, Volume 18 number 5, 2003, Sage Publication; Thousand Oaks, London, New Delhi. Sarafino, Edward P. 1994, Health Psychology second edition, New York, John Wiley and Sons, Inc. Sudjana. 1996, Metoda Statistika edisi keenam, Bandung, Tarsito. Siegel, Sidney. 1994, Statistik Non Parametrik, untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. Wallston, Stein, & Smith. 1994, Journal of Personality Assessment. Wallston & Wallston. 1981, Health Locus of Control Scales. In H. Lefcourt (Ed.). Reaserch With The Locus of Control. New York, Academic Press.

42

Anda mungkin juga menyukai