Anda di halaman 1dari 7

Sesi IV Studi al-Qur'an dan Hadis (Konsentrasi Hukum Bisnis Syariah) Teori Motif (nazariyat al-Ba'is) dalam pelaksanaan

Kontrak Prespektif Fiqh dan Ushul Fiqh : 14 65 1. : 5 2 11 92 23 "... 2. 3. : Dalam konteks ajaran fiqh, kebebasan berkontrak sudah menjadi wacana sejak awal perkembangan fiqh itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari ayat yang menyatakan kehalalan jual beli dan keharamann riba, dan ayat yang menyatakan larangan memakan harta orang lain kecuali dengan perniagaan yang berbasis pada kerelaan. Dari ayat-ayat yang bersifat umum ini, kaum fuqaha' merumuskan kaidah fiqhiyah yang menyatakan: Memang diakui kebebasan berkontrak dalam sistem hukum Islam harus mengacu pada praktik-praktik faktual yang dilakukan oleh Rasulullah dan prinsip larangan terhadap riba, garar, darar dan jahalah. Namun elemen-elemen yang membentuk kontrak seluruhnya bersifat ijtihadi yang sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pada saat itu. Di dalam ilmu hukum dikenal apa yang disebut dengan iktikad baik dalam kontrak dan merupakan lembaga hukum yang berasal dari Romawi yang kemudian diserap oleh civil law. Dalam perkembangannya diterima pula dalam hukum kontrak di beberapa negara yang menganut sistem common law. Walaupun teori iktikad baik kita tidak temukan secara langsung di dalam karya-karya fiqh, namun di dalam berbagai karya ushul al-fiqh dan fiqh ditemukan nazariyat al-ba'is al-zati atau juga disebut al-dafi' al-b a'id. Teori ini sudah dikenal oleh kaum fuqaha' klasik dan mendiskusikan pengaruhnya terhadap berbagai akad dalam kehidupan masyarakat. Namun anehnya sebagian pelaku akad dewasa ini nyaris melupakan peran teori ini dalam berbagai transaksi perdagangan, sehingga banyak di antara pelaku akad melakukan perbuatan haram, makan riba, atau memberikan barang riba. Hal ini semata-mata karena mereka tidak menaruh perhatian penuh terhadap teori ini, dan kurang memperhatikan al-bawa'is al-dakhiliyah (motif internal atau tujuan dan niat buruk yang disembunyikan pada saat melakukan kontrak). Atau mungkin karena mereka sengaja melalaikan teori ini semata-mata menginginkan pekerjaan, mencintai harta secara berlebihan tanpa membedakan yang

halal dan yang haram sehingga mereka lebih berpedoman pada zahir akad (isi perjanjian secara lahir). Anehnya sebagian komunitas muslim membuka kantor untuk melakukan buyu' alajal atau buyu' al-'inah yang sesungguhnya bertentangan dengan teori al-ba'is (motivasi subyektif). Kita tentu belum tahu sepenuhnya apakah sudah difatwakan oleh fuqaha' mereka padahal ini jelas mengandung unsur riba. Mereka kadang-kadang beralasan bahwa jual beli ini sahih secara lahir, dan dibolehkan oleh sebagian imam mazahab, akan tetapi mereka lupa bahwa pendapat yang mengatakan bahwa akad ini sah pada zahirnya, tidak berarti membolehkannya secara syara'. Menurut doktrin fiqh suatu akad berstatus sahih kalau rukun dan syarat-syaratnya sudah terpenuhi secara syariah, namun pelaku kontrak tersebut tergolong berdosa, melakukan perbuatan maksiat di depan Allah. Mereka melakukan sesuatu yang haram dengan klaim bahwa perbuatannya itu adalah halal. Fuqaha' yang membolehkan dan melihat akad semata-mata menurut zahirnya, mengatakan "untuk menghukumi sesuatu tidak harus mempertimbangkan niat buruk (iktikad tidak baik) karena dosa semata-mata menjadi urusan Tuhan, hukum syariah melihat sesuatu dari aspek kehalalan dan keharaman dengan tolok ukur yang nyata dan obyektif. Sedangkan al-qashdu dan alniyah mengandung permasalahan tersendiri antara lain berkaitan dengan keabstrakannya sehingga akan menimbulkan subyektifitas dalam menilainya. Syariah sudah semestinya tidak menuntut suatu hukum yang sejalan dengan teori al-qalbiyah aldakhiliyah yang mencerminkan elemen subyektif yang berkaitan dengan sikap batin dalam arti bahwa apakah yang bersangkutan menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak dengan norma-norma etis religius. Namun dari aspek lain terdapat doktrin fiqh yang menyatakan bahwa keabsahan perbuatan secara syara' tergantunng pada al-niyah dan al-qashd sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Hadis Umar Ibn Khattab: Hadis ini salah satu fondasi ajaran Islam. Berdasarkan hadis yang sangat populer ini kaum fuqaha' memformulasikan kaidah fiqh yang diterima oleh semua fuqaha': dan Kaidah : yang diakui oleh mayoritas fuqaha'. Dari hadis dan dua kaidah tersebut sikap fuqaha' tentang nazariyat al-sabab sebagaimana dipahami dewasa ini menjadi sangat jelas. Artinya nazariyat al-sabab yaitu: al-iradah al-zahirah dan al-iradah albathinah dan sejauh mana pengaruhnya terhadap hukum. Sehubungan dengan ini terdapat dua pandangan dalam fiqh Islam mengenai apakah dalam mengukur prilaku para pihak yang

melakukan kontrak dengan menggunakan standar obyektif (alnazrah al-maudhu'iyah) atau dengan menggunakan motivasi subyektif (al-niyaat wa al-bawa'is). Pandangan pertama: Mazhab Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Zahiriyah. Menurut mereka untuk menetapkan status hukum kontrak harus berpedoman pada al-iradah al-zahirah. Sedangkan al-iradah al-bathinah bersifat abstrak dan subyektif. Mereka semata-mata melindungi prinsip stabilitas dalam muamalat. Mereka tidak mengambil nazariyat al-sabab atau al-ba'is, karena fiqh mereka memilik kecenderungan untuk mengukur sesuatu berdasarkan norma-norma yang obyektif dan nyata. Sedangkan nazariyat al-ba'is bersifat subyektif dan dapat mengancam stabilitas konsep hukum muamalat itu sendiri. Fiqh mereka sama dengan sistem hukum Jerman dan negara yang mengikutinya. Tidak ada pengaruh al-sabab atau al-ba'is terhadap kontrak kecuali kalau suatu keinginan dinyatakan dalam isi perjanjian yang tercermin dalam iradah al-zahirah, seperti menyewa grup "penyanyi", dan al-malahi dan maksiat-maksiat yang lain. Apabila tidak dinyatakan dalam isi perjanjian dalam arti al-iradah al-zahirah tidak mengandung al-ba'is yang ilegal, maka kontrak menjadi sahih karena memenuhi unsur-unsur dasar kontrak berupa ijab dan qabul serta kecakapan para pihak dalam melakukan akad. Hukum dan konsekuensi kontrak dalam hal ini: jual beli misalnya mengakibatkan perpindahan hak milik, penjual berhak atas harga yang disepakati, dan pembeli berhak atas barang yang dibeli. Maksiat terkadang tidak akan terjadi setelah pembuatan kontrak, al-sabab atau al-ba'is tidak dapat menjadi faktor untuk membatalkan akad. Kesimpulannya: Status akad adalah sahih sejalan dengan zahir isi perjanjian kontrak tanpa mempertimbangkan al-niah atau al-qoshd (al-ba'is) yang ilegal. akan tetapi akad tersebut makruh tahrim menurut Hanafiyah karena terdapat niat tidak baik (gairu masyru'). Aatas dasar ini maka fuqaha' Hanafiyah dan Syafi'iyah berpendapat status akad-akad berikut ini adalah sah, walau bersifat karahah tahrimiyah menurut Hanafiyah, atau al-karahah al-'adiyah berdasarkan zahir akad menurut fuqaha' Syafi'iyah dan Zahiriyah. Sedangkan dosa dikenakan kepada pelaku akad : 1. Bai' al-'Inah, jual beli simbolis (formalitas) untuk menghalalkan riba seperti membeli barang dengan harga Rp. 1.10.000.000 dengan sistem hutang dalam waktu yang sudah ditentukan, kemudian dalam waktu yang sama sipenjual membeli barang itu kembali dengan harga lebih murah kontan misalnya Rp. 100.000.000,- Selisih harga tersebut termasuk riba. Akan tetapi menurut Abu Hanifah

akad ini adalah fasid -pengecualian dari prinsip fiqh muamalahnya yang menyatakan "dalam hal menetapkan status hukum akad tidak memandang dan mempertmbangkan niat ilegal (gairu masyru'), kecuali kalau ada orang ketiga sebagai perantara antara pemilik yang pada hakikatnya adalah kreditur, dan pembeli yang pada hakikatnya adalah debitur. 2. Menjual anggur untuk dijadikan minuman keras: Pemilik anggur menjual anggurnya kepada orang yang ia tau berprofesi sebagai produser minuman keras, atau setidaknya berdasarkan dugaan kuat bahwa anggur tersebuat akan dibuat minuman keras. Jika pemilik anggur itu ragu apakah akan dibuat minuman keras atau tidak, maka hukum jual belinya menjadi makruh. 3. Jual beli senjata pada saat peperangan, atau senjata tersebut dimaksudkan untuk membunuh umat Islam. Termasuk juga jual beli alat perjudian, atau jual beli kayu untuk peralatan "musik" , menyewakan rumah untuk tempat perjudian atau tempat beroperasi PSK, atau menyewakan rumah pada konstributor minuman keras. 4. Ziwaj al-Muhallil: yaitu orang yang melakukan akad perkawinan dengan seorang wanita yang berstatus janda talak tiga (bain kubro), dengan tujuan agar wanita tersebut dapat (boleh) menikah kembali dengan suami pertamanya dengan akad baru. Tentu saja si muhallil sebelum menceraikan wanita tersebut sudah pernah melakukan hubungan badan minimal satu kali. Setelah perceraian terjadi dengan laki muhallil suami pertama dapat melakukan perkawinan dengan akad baru sebagai pengamalan dari ayat: 230 )) Pendapat kedua dipelopori oleh mazhab Malikiyah, Hanabilah dan Syi'ah. Mereka menjadikan al-qashd dan al-niah (al-ba'is) sebagai pertimbangan dalam menetapkan status hukum kontrak. Mereka membatalkan kontrak yang mengandung unsur al-ba'is yang ilegal, dengan catatan bahwa salah satu pihak mengetahui niat buruk tersebut, atau mengetahui niat tidak baik tersebut setelah mencermati situasi dan kondisi atau dengan adanya indikasi-indikasi (al-zuruf wa al-qarain) yang mengarah pada maksud yang keji. Mazhab ini berpedoman pada nazariyat al-sabab atau mazhab al-iradah al-bathinah dalam sistem hukum Perancis sebagai upaya melindungi faktor-faktor yang berkaitan dengan etis dan agama. Jika al-ba'is bersifat legal maka hukum kontrak

menjadi sahih, sebaliknya jika al-ba'is tersebut tidak legal maka hukum kontraknya menjadi batal (haram) karena mengandung unsur tolong menolong dalam berbuat dosa dan mengarah pada permusuhan antara para pihak. Atas dasar ini menurut Fuqaha" Malikiyah, Hanabilah tidak boleh menjual tanah unntuk menjadi tempat bangunan gereja, atau menjual kayu untuk membuat tanda salib, atau menjual hamba sahaya untuk dijadikann penyanyi, atau menjual sutra untuk dipakai oleh kaum putra. Sumber Silang Pendapat Pendapat Pertama mengatakan tidak ada efek atau pengaruh motif (al-ba'is) terhadap batal atau fasadnya suatu kontrak. Sedangkan pendapat kedua mengatakan terdapat efek atau pengaruh dari suatu motif terhadap status hukum (batal atau fasad) suatu kontrak. Perbedaan pendapat ini muncul tidak lepas dari posisi starategis al-niah dan al-lafz (kata) yang merefleksikan isi kontrak yang selanjutnya perbedaan ini berada dalam bingkai status prinsip Sad al-zarai dalam ushul al-Fiqh. Artinya saddu alzarai' menjadi sebuah pertimbangan dalam menetapkan hukum apabila menghasilkan al-maslahah di tengah masyarakat. Kalau wasilah atau sarana itu mengarah kepada larangan yang mengandung mafsadah maka status hukumnya dilarang. Prinsip as-saddu al-zara'i tidah hanya melihat niat dan tujuan-tujuan individual, melainkan juga melihat kemanfaatan umum atau sebut saja untuk mencegah mafsadah umum. Dengan demikian prinsip saddu al-zarai' terfokus pada pencermatan keberadaan niat para pihak yang melakukan kontrak dan efeknya di tengah masyarakat. Adapaun mengenai masalah niat dan lafaz (lisan maupun tulisan) dalam isi kontrak terdapat dua pandangan dari kaum fuqaha' yaitu: Pertama pendapat dari mazhab Syafi'i, Abu Hanifah dan Daud al-Zahiri. Intinya mereka mempertimbangkan lafaz (kata tertulis maupun lisan) dalam kontrak, bukan al-niyat atau alqushud karena keberadaan niat atau motif tidak baik biasanya terselubung, sehingga urusannya diserahkan kepada Allah, dan pelakunya akan mendapat siksa dan dosa. Oleh karena itu mereka menetapkan kaidah: ) ( )( Artinya jika tidak terdapat di dalam isi kontrak yang mengindikasikan adanya niat atau tujuan secara ekplisit maka status hukum sangat tergantung pada isi perjanjian secara lahir.

Tetapi jika ada indikasi dalam isi perjanjian mengarah kepada sesuatu yang buruk yang mencerminkan iktikad tidak baik secara implisit maupun ekplisit maka kaidah yang berlaku adalah: Pendapat kedua dari mazhab Malikiyah dan Hanabilah. Mereka mengatakan bahwa niat dan tujuan subyektif yang terselubung menjadi pertimbanngan dalam mennetapkann status hukum kontrak. Jadi bukan saja pada isi perjanjiann secara lahir. Pendapat ini diperkuat oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah beliau mengatakan: " Hal ini jelas bahwa pendapat pertama melihat pada fenomena lahiriyah pada saat perbuatan hukum itu terjadi, tanpa melihat niat atau tujuan yang masih terselubung dan efeknya. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Syafi'i dalam memposisikan keberadaan al-zarai'. Pendapat Syafi'i sejalan dengan pendapat Abu Hanifah yang tidak menganggap prinsip al-zara'i". Pandangan tersebut berbeda dengan pandangan Imam Malik dan Imam Ahmad, keduanya menyatakan berpegang pada al-zarai' dan menjadikannya sebagai pertimbangan dalam menetapkan hukum, disamping niat dan tujuan dari para pihak yang membuat ikatan kontrak. Orang yang melakukan akad dengan tujuan sesuatu yang haram, maka akad tersebut batal karena motivasi subyektif yang tidak benar, sedangkan pelakunya mendapat dosa di sisi Allah. Dengan mencermati kedua pendapat tersebut, maka pendapat Malik dan Ahmad tampak lebih kuat karena sejalan dengan: 1. Kaidah Fiqh: 2. Hadis Nabi : kalimat pertama dari hadis ini Nabi menjelaskan bahwa perbuatan tidak akan terjadi kecuali berdasarkan niat, sedangkan dalam kalimat kedua Nabi menjelaskan bahwa pelaku tidak akan memperoleh sesuatu dari perbuatannya kecuali apa yang sudah diniatinya. Doktrin ini bersifat umum berlaku dalam bidang ibadah dan muamalah, al-aiman, al-nuzur, dan semua bentuk akad dan perilaku. Dari sini kemudian prinsip al-zarai' menjadi salah satu kaidah dalam ushul fiqh di kalangan Maliki, Ahmad dan mazhab Syiah. Kaidah-Kaidah yang berkaitan dengan niat Terdapat sejumlah kaidah yang berkaitan dengan niat yang paling pokok adalah: Dari kaidah ini kemudian

:dikembangkan menjadi beberapa kaidah antara lain 1. 2. . 3. . 4. . 5.

Anda mungkin juga menyukai