Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH TUGAS AKHIR

MATA KULIAH SEJARAH INDONESIA

Oleh : Rizka Nurul Fatimah, 0806453996

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia dengan dosen pembimbing Bapak. Hasan Djafar

Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Mei 2009

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah atas anugerah Allah SWT jualah akhirnya upaya pembuatan makalah ini dapat terwujud. Pembuatan makalah ini adalah langkah nyata dari tugas yang diberikan oleh Dosen Sejarah. Sebagian besar saran serta masukan yang masuk sangat diharapkan penulis dalam pembuatan makalah ini. Penyusun menyadari bahwa banyak sekali kesalahan yang terdapat pada makalah ini. Singkat kata, upaya pembuatan makalah ini didasarkan atas harapan penulis agar dapat selalu memberikan yang terbaik dan bermanfaat baik masa kini maupun masa mendatang. Dan kepada semua pihak yang telah mendukung dan memberi saran yang sangat berharga, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Depok, 25 Mei 2009 Penyusun

PERDAGANGAN PADA MASA MAJAPAHIT Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar di Indonesia pada masa lampau. Kerajaan ini telah mencapai puncak kebesaran dan keemasannya pada abad ke-14, yaitu pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk yang bergelar Sri Rajasanagara (1350-89M). Pada masa itu kekusaan dan kebesaran Majapahit sangat luas dan berpengaruh pula terhadap negara-negara tetangganya di Asia Tenggara (Hasan Djafar 1978:1). Istilah perdagangan secara umum dipakai untuk menjelaskan hubungan timbal-balik yang dilakukan, sedikitnya oleh dua pihak, sebagai usaha untuk mendapatkan barang melalui pertukaran (exchange) yang lebih menekankan aspek kebutuhan daripada aspek sosial (Rowland 1973:589). Faktor-faktor yang melatari hubungan saling membutuhkan diantara masyarakat yang melakukan perdagangan, antara lain faktor perbedaan lingkungan, penyediaan bahan baku, tingkat teknologi dan mata pencaharian. Faktor-faktor ini yang mengakibatkan terjadinya bentuk-bentuk hubungan dagang yang dapat dibedakan atas dasar arah datangnya barang atau batas lingkungan budaya. Oleh karena itu kemudian muncul istilah seperti perdagangan eksternal (dari luar) dan perdagangan internal (dari dalam), atau perdagangan lokal, regional, dan internasional (Hammond 1975:601-603; Rowland 1973:590). Mengenai perdagangan pada masa Majapahit ataupun pada masa sebelumnya kita mendapatkan keterangan dari data tertulis, baik prasasti maupun naskah berita dari Cina. Dari prasasti diketahui bahwa sebelum masa Majapahit pun sudah terdapat perdagangan antar desa (lokal), antar wilayah (regional), dan internasional. Keterangan tersebut merupakan suatu indikasi bahwa pada masa itu telah ada kelompok masyarakat Cina yang menetap di Jawa. a.1. Pelayaran dan Perdagangan Jalur sungai mempunyai peranan yang tidak kecil artinya untuk komunikasi dan transportasi. Jawa Timur terdapat dua sungai besar, yaitu Sungai Brantas dan

Bengawan Solo, yang sangat penting dalam jalur perdagangandaerh-daerah pedalaman ke daerah-daerah pesisir maupun sebaliknya. Sungai Brantas yang bermata air di lereng Gunung Penanggungan ini sangat lebar, tepinya landai dan arusnya tenang dan tetap. Karena hal itulah, Sungai Brantas dapat diarungi perahu sampai ke pedalaman. Sedangkan Bengawan Solo bermata air di tanah bukit sebelah selatan Surakarta, semula hanya merupakan sungai kecil tetapi setelah berturut-turut bertemu dengan sungai-sungai lain makin lama makin besar. Seperti halnya kondisi Sungai Brantas, kondisi Bengawan Solo pun memungkinkan perahu kecil dan sedang mengarunginya sampai jauh ke pedalaman. Di daerah-daerah sepanjang sungai-sungai dan muara-muara sungai di tepi pantai bermunculan desa-desa yang kemudian berkembang menjadi kota-kota pusat kegiatan perdagangan, pelayaran dari penyebrangan antar daerah. Beberapa kota pelabuhan yang penting di Majapahit pada abad ke-16 ialah Canggu, Surabhaya, Gresik, Sidhayu, Tuban, dan Pasuruan. Pada masa Majapahit perdagangan sekitar perairan Nusantara telah dikuasai oleh para pedagang Jawa. Pada waktu itu mereka telah merupakan pedagang kaya raya (Schrieke 1919:424). Pedagang-pedagang Jawa khususnya dari Tuban, pada waktu itu telah mengadakan hubungan dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa, yaitu dengan Banda, Ternate, Ambon, Banjarmasin, Malaka dan kepulauan Piliphina (Schrieke 1916:26). Hal ini tidak mengherankan, karena menurut berita Ying-yai Sheng-lan, pelabuhan utama di Jawa Timur pada waktu itu adalah Tuban. Dari pelbuhn inilah diekspor hasil bumi dan jenis hasil komoditi lainnya yang berasal dari Jawa Timur ataupun dari daerah-daerah lainnya. Makin ramai perdagangan dan pelayaran di daerah Asia Tenggara ini sangat mempengaruhi perkembangan kota-kota pelabuhn di pesisir utara Jawa. Beberapa di antaranya tumbuh menjadi kota-kota pelabuhan besar dan ramai yang sering

dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab, Parsi, Gujarat, Benggala dan Malaka (Cortesao 1944:182). a.2. Distribusi dan Komoditi Distribusi dan komoditi, baik berupa bahan mentah atau bahan jadi, dari tempat asal pemakaian atau tempt pembuatan ke tempat pemakaian dilakukan dengan berbagai cara. Untuk jalur darat dalam prasasti disebut Mahawan (=melalui jalan). Pedagang-pedagang dari daerah pedalaman yang melalui jalur darat dan mengangkut barang dagangannya dalam jumlah terbatas menggunakan kuda atau sapi. Atau kadangkala diangkut sendiri oleh pemiliknya dengan dipikul (pinikul dagangannya). Sedangkan untuk mengangkut barang dagangan dalam jumlah yang cukup besar, dipakai gerobak yang ditarik sapi atau kerbau (padati, apadati, magulungan). Untuk jalur sungai, barang dagangan diangkut oleh perahu (maparahu). Dari data prasasti kita mengetahui jenis-jenis komoditi yang diperdagangkan di pasar desa antara lain hasil bumi seperti beras, sirih, pinang, buah-buahan, mengkudu (Morinda Linn), bawang, kapas, kasumba (Carthanus Tinctorius Linn); hasil industri rumah tangga seperti perkakas dari besi dan tembaga, pakaian, paying, keranjang dan barang-barang anyaman, kajang, kepis, gula, arang, kapur sirih, sapi, kambing, itik, ayam dan telurnya. Pada masa Majapahit ataupun masa-masa sebelumnya telah dikenal perdagangan antar pulau dan perdagangan Internasional. Dalam prasati tidak dijumpai keterangan mengenai komoditi ekspor dan hanya satu jenis komoditi yang mungkin sekali di impor yaitu kain buatan India. Komoditi yang harus diimpor dari Cina, selain kain sutra juga besi dan kepeng yang keduanya diekspor lagi ke Sulawesi (Soejatmi Satari 1984:337). Dari berita Ying-yai Sheng-lan dijumpai keterangan bahwa pada masa itu penduduk Majapahit menyukai

keramik Cina dengan bunga hijau, kesturi, kain linen polos maupun berkembang, kain sutera, manik-manik kaca dan sebagainya (Groeneveldt 1960:53). a.3. Bentuk-bentuk Transaksi Pada masa Majapahit dikenal dua bentuk transaksi dalam perdagangan. Pertama, transaksi yang dilakukan secara barter. Penukaran secara barter dilakukan atas perbandingan kesatuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak. Kedua, transaksi dilakukan dengan mempergunakan mata uang sebagai alat penukar. Dari berita Ying-yai Sheng-lan diketahui bahwa penduduk Majapahit untuk membeli barang-barang dagangan mempergunakan uang kepeng dari berbagai dinasti Cina. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada masa Majapahit telah dikenal perdagangan antar desa, antar pulau maupun internasional. Karena itu tidak mengherankan jika terdapat beberapa kota pelabuhan di pantai utara Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit telah menjadi kota pelabuhan yang bertaraf internasional. Berkembangnya kota-kota pelabuhan tersebut ditunjang oleh peranan para pedagang Majapahit. Mereka tidak hanya berperan pasif, tetapi juga berperan aktif dalam melakukan perdagangan. Perdagangan yang telah mencapai taraf internasional ini terus berlangsung walaupun yang menguasai kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa berganti. Karena seperti diketahui, setelah kekuasaan Majapahit berangsur-angsur tenggelam dan kemudian runtuh, kotakota pelabuhan di pantai utara Jawa dikuasai oleh kerajaan Islam yang pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak.

A. KEHANCURAN MAJAPAHIT DARI PANDANGAN GEOLOGI b.1. Geologi Daerah Trowulan Trowulan disebut-sebut sebagai bekas pusat kerajaan Majapahit, secara fisiografi terletak di daerah Dataran Aluvial Jawa Utara (lembah Brantas) dan Sub Zone Ngawi dari Zona Solo yang terdiri atas jajaran gunung api, menurut pembagian fisiografi oleh Van Bemmelen (1949). Bekas pusat kerajaan Majapahit terletak pada ujung dari kipas alluvial Jatirejo, dengan ketinggian antara 30 meter sampai 60 meter di atas permukaan laut, berupa dataran yang melandai ke arah Utara dengan kemiringan antara 0,45% sampai 2%. Morfologi daerah ini bergelombang landai membentuk punggungan rendah dan lembah-lembah yang datar. Pada punggungan-punggungan ini dijumpai sisasisa bangunan dari jaman Majapahit dan perkampungan-perkampungan penduduk sekarang. Tanah pembentuk wilayah pusat kerajaan Majapahit dari kenampakan lapangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Daerah Kedaton dan Segaran umumnya terdiri atas pasir sedang sampai halus, abu-abu, bersifat lepas dan kadang-kadang terpadatkan, dibagian atas kadangkadang ditemukan lapisan tufa berwarna putih. Sedangkan di daerah Candi Bajang Ratu, Candi Tikus didapatkan tanah campuran dari kerakal pasir dan kadang-kadang tercmpur pecahan batu bata dan keramik, di atasnya ditutup oleh pasir (tufa) dengan tebal mencapai 70 cm. b.2. Timbunan di atas Bangunan Mjapahit

Pada beberapa lokasi bangunan kuno yang diekskavasi, didapatkan beberapa bangunan yang tertimbun oleh pasir/pasir tufa. Bangunan yang diekskavasi itu antara lain di: a) Segaran Tidak diperoleh keterangan tentang bahan penutup. Kenampakan sekilas di atas penggalian tanah penutup berupa pasir/tufa. b) Dataran Pendopo Agung Tertutup tanah sekitar 0.6 M (keterangan juru kunci Pendopo Agung), di bawah ternyata terdapat bertumpuk-tumpuk bangunan fondasi yang terdiri atas pasir, dengan sedikit campuran bekas-bekas budaya manusia. c) Lantai dan Fondasi di Kedaton Tertutup oleh lapisan pasir setebal 1.5m. Bekas fondasi ini sebagian terletak dibagian atas lantai setinggi 0.25cm yang dialasi oleh pasir tercmpur bekas bangunan. d) Candi Tikus Penutup mencapai ketebalan 1m sampai 1,5m. Tufa penutup terlihat berlapis warna putih kekuningan, menampakkan gejala lapisan mendatar, di bawah didapat pula lapisan pasir berwarna coklat tercampur batu dan bata. Proses penutupan ini dapat dijadikan masalah, antara lain: sebagai akibat banjir debu gunung api yang terdapat air dan yang langsung dari udara

Terdapatnya batu bata atau sisa-sisa bangunan di atas dan di bawah tufa dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: penutupan akibt banjir/bencana alam penutupan oleh manusia, baik dari pembangunan masa lalu, dalam

rangka perbaikan sifat tanah atau sebagai buangan dan hasil penutupan oleh galian masa kini sebelum daerah ini terlindung.

b.3. Kerusakan Pusat Kerajaan Majapahit Keruntuhan Majapahit, menurut ahli sejarah terjadi karena perang saudara yang silih berganti setelah wafatnya Hayam Wuruk, dan terakhir diruntuhkan oleh Adipati Unus dari Demak. Sampurno (1980) dalam tulisannya menyatakan kemunduran Majapahit terutama oleh bencana alam dan pendangkalan Kali Brantas merupakan penyebab kemunduran Majapahit. Bencana alam yang tercatat dalam kitab sejarah hanya letusan Gunung Kelud. Catatan tentang banjir besar yang telah melanda pusat kerajaan ini belum jelas asalnya. Dari catatan sejarah Gunung Kelud telah meledak sebanyak 8x selama Majapahit berdiri dan 19x runtuh. Kemudian setelah jatuhnya Majapahit oleh Demak Gunung Kelud masih meletus sampai letusan terakhir tahun 1996. B. ASPEK ADAPTASI DALAM SUBSTANSI SAWAH PADA JAMAN INDONESIA KUNO DI JAWA Iklim dan Ekologi Sawah 1. Agihan Curah Hujan Tidak perlu diragukan lagi bahwa pendukung utama produksi persawahan adalah pengadaan air. Pada prinsipnya pengaturan ketersediaan air-irigasi-bagi tanaman padi sawah mempunyai kegunaan: untuk diserap langsung maupun pelarut zat makanan bagi tanaman untuk menetralisir racun pada tanah sekaligus rumput yang tumbuh untuk mempertahankan suhu dengan kebutuhan tanaman untuk melunakan lapisan olah sekaligus meratakan permukaan tanah Sebenarnya ketersediaan air tanah tidak hanya berpengaruh pada tanaman padi saja tetapi juga pada vegetasi yang lain. Agihan curah hujan di Jawa

misalnya, mempengaruhi pola agihan vegetasi sebagaimana diperlihtkan oleh S. Dillon Ripley. Menurutnya, Jawa Barat dan Jawa Tengah memiliki pola vegetasi hutan tropik hujan, sedang Jawa Timur memiliki pola vegetasi hutan tropik musiman. Secara lebih rinci, agihan curah hujan di Indonesia dapat dijelskan oleh sistem iklim yang dikemukakan oleh Koppen, daerah katulistiwa memiliki curah hujan rata-rata 2000mm pertahun dengan suhu yang tinggi, dan dimasukkan ke dalam tipe iklim A. Pemilihan tipe-tipe iklim di Indonesia dilakukan pula oleh FH. Schmidt dan JHA Ferguson dengan menggunakan sistem yang dikembangkan sendiri sehingga disebut sistem Schmidt-Ferguson. Hasil yang diperoleh oleh Schmidt-Ferguson tidak terlalu berbeda dengan kesimpulan Ripley maupun Koppen di atas. Bahkan Schmidt-Ferguson memberikan gambaran yang lebih rinci. Misalnya disebutkan bahwa Jawa Tengah tidak sepenuhnya selalu basah dan berhutan tropik hujan. Sedang Jawa Timur tidak saja bertipe iklim sedang dengan vegetasi hutan tropik musiman, tetapi juga beberapa bagiannya tipe iklim agak kering dan bervegetasi sabana seperti di Kepulauan Nusa Tenggara sebelah timur.

Anda mungkin juga menyukai