Anda di halaman 1dari 36

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan.

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat1,2. Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 1544 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma2. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala. Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, serta kurangnya dukungan sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini memang merupakan tantangan bagi kita dalam menangani pasien dengan trauma, khususnya trauma kepala. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan live saving sebelum melakukan rujukan ke rumah sakit. Diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi.1,2,3

BAB 2 LAPORAN KASUS


1

2.1. Anamnesis 2.1.1. Identitas Pribadi Nama Jenis Kelamin Usia Suku Bangsa Agama Alamat Status Pekerjaan Tanggal Masuk Tanggal Keluar 2.1.2 Anamnesa Keluhan Utama Telaah : Penurunan kesadaran : Hal ini dialami OS waktu masuk IGD setelah ditabrak. Keluar darah dari mulut waktu itu. Darah dari telinga (-). Nyeri kepala (+), nyeri pada daerah belakang kepala bagian kanan, muntah (-), kejang (-). Bengkak pada rahang kanan disertai rasa sakit. Penglihatan, pendengaran dan penciuman normal. Tidak bisa ingat apa yang terjadi. BAK dan BAB normal. Riwayat pingsan(-) Riwayat hipertensi (-) Riwayat DM (-), riwayat penyakit jantung (-), riwayat demam (-). Riwayat Penyakit Terdahulu : Riwayat Penggunaan Obat :: Dedy : Lelaki : 24 tahun : Indonesia : Islam : Jl. Cinta Karya, GG Landasan No.37 Sari Rejo, Medan : Belum menikah : Tentera : 13 November 2011 :

2.1.3. Anamnese Traktus Traktus Sirkulatorius Traktus Respiratorius Traktus Digestivus : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal
2

Traktus Urogenitalis

: dalam batas normal

Penyakit Terdahulu dan Kecelakaan : (-) Intoksikasi dan obat-obatan : (-)

2.1.4. Anamnese Keluarga Faktor Herediter Faktor Familier : Tidak ada riwayat keluarga : Tidak ada riwayat keluarga

2.1.5. Anamnese Sosial Kelahiran dan Pertumbuhan : Lahir spontan Pertumbuhan dalam batas normal Imunisasi Pendidikan Pekerjaan Perkawinan dan anak 2.2. Pemeriksaan Jasmani 2.2.1. Pemeriksaan Umum Tekanan Darah Nadi Frekuensi nafas Temperatur Kulit dan Selaput Lendir Kelenjar dan Getah Bening Persendian : 120/60 mmHg : 63x/menit : 28x/menit : 36.6 C : Laserasi dan ekskoriasi : Dalam batas normal : Dalam batas normal : (+) : Tamat SD : Tentera : Belum menikah

2.2.2. Kepala dan Leher Bentuk dan Posisi : bulat dan medial
3

Pergerakan Kelainan Panca Indra Rongga Mulut dan Gigi Kelenjar Parotis Desah

: sulit dinilai : (-) : Bengkak pada mulut kanan : dalam batas normal : (-)

2.2.3. Rongga Dada dan Abdomen Inspeksi Perkusi Palpasi Auskultasi 2.2.4. Genitalia Toucher

Rongga Dada : simetris fusiformis : sonor : SF normal : SP: vesikuler ST: -

Rongga Abdomen simetris timpani soepel peristaltik (+) Normal

: Tidak dilakukan pemeriksaan

2.3. Status Neurologis 2.3.1. Sensorium 2.3.2. Kranium Bentuk Fontanella Palpasi Perkusi Auskultasi Transiluminasi 2.3.3. Perangsangan Meningeal Kaku kuduk Tanda Kerniq Tanda Brudzinski I Tanda Brudzinski II : (-) : (-) : (-) : (-)
4

: Compos mentis

: Lonjong : UUB tertutup rata : Teraba pulsasi a.karotis dan a.temporalis : Cracked pot sign (-) : Desah (-) : Tidak dilakukan pemeriksaan

2.3.4. Peningkatan Tekanan Intrakranial Muntah Sakit Kepala Kejang : (-) : (+) : (-)

2.3.5. Saraf Otak/Nervus Kranialis Nervus I Normosmia Anosmia Parosmia Hiposmia Nervus II Visus Lapangan Pandang Normal Menyempit Hemianopsia Scotoma Refleks Ancaman Fundus Okuli Warna Batas Ekskavasio Arteri Vena : tidak dilakukan pemeriksaan : tidak dilakukan pemeriksaan : tidak dilakukan pemeriksaan : tidak dilakukan pemeriksaan : tidak dilakukan pemeriksaan : : : : : + + + + : : : : : Meatus Nasi Dextra + Oculi Dextra DBN Oculi Sinistra DBN Meatus Nasi Sinistra +

Nervus III, IV, VI Gerakan Bola Mata Nistagmus Pupil Lebar

Oculi Dextra : : : 3 mm + (-)

Oculi Sinistra + (-) 3 mm


5

Bentuk Refleks Cahaya Langsung Rima Palpebra Deviasi conjugate Fenomena Dolls eye Strabismus Nervus V Motorik

: : : : : :

isokor (+) (+) 7 mm (-) (-) (-) Kanan : sulit dinilai (+) (+) 7 mm

isokor

Refleks Cahaya tidak langsung :

(-) (-) (-) Kiri sulit dinilai sulit dinilai sulit dinilai sulit dinilai sulit dinilai (+) (+) sulit dinilai sulit dinilai

Membuka dan Menutup mulut Palpasi otot masseter & temporalis Kekuatan Gigitan Sensorik

: sulit dinilai :sulit dinilai : sulit dinilai : sulit dinilai : (+) : (+) : sulit dinilai :sulit dinilai

Kulit Selaput Lendir

Refleks Kornea
Langsung Tidak Langsung

Refleks Masseter Refleks Bersin

Nervus VII Motorik


Kanan sulit dinilai + : + +

Kiri sulit dinilai + sulit dinilai sulit dinilai


6

Mimik

Kerut Kening: Menutup Mata Meniup Sekuatnya

: sulit dinilai : sulit dinilai

Memperlihatkan gigi

Tertawa

: sulit dinilai + + : -

sulit dinilai

Sensorik

Pengecapan 2/3 Depan Lidah: Produksi Kelenjar Ludah Hiperakusis Refleks Stapedial Nervus VIII Auditorius : :

Kanan +

Kiri +

Pendengaran : Test Rinne : Test Weber : Test Schwabach Vestibularis


tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan : tidak dilakukan pemeriksaan : : : : (-) (-) (-) (-) (-) (-)

Nistagmus Reaksi Kalori Vertigo Tinnitus Nervus IX,X Pallatum Mole Uvula Disfagia Disartria Disfonia Refleks Muntah Pengecapan 1/3 Belakang Lidah Nervus XI Mengangkat Bahu Fungsi Otot Sternocleidomastoideus Nervus XII Lidah

tidak dilakukan pemeriksaan

: medial : medial : (-) : sulit dinilai : sulit dinilai :(+) : (+) Kanan : (+) : (+) Kiri (+) (+)

Tremor Atrofi Fasikulasi Ujung Lidah Sewaktu Istirahat Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan 2.3.6. Sistem Motorik Trofi Tonus Otot Kekuatan Otot

: (-) : (-) : (-) : medial : sulit dinilai

: normal : normal : ESD : 44444/44444 EID : 44444/44444 EIS : 44444/44444 ESS:44444/44444

Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring) : (Duduk (-)/berdiri(-)/berbaring(+)) 2.3.7. Gerakan Spontan Abnormal Tremor Khorea Ballismus Mioklonus Atetotis Distonia Spasme Tic 2.3.8 Tes Sensibilitas Eksteroseptif Propioseptif Stereognosis Pengenalan Dua titik Grafestesia 2.3.9. Refleks 2.3.9.1. Refleks Fisiologis Kanan Kiri
8

: (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-)

: Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal

Fungsi Kortikal Untuk Sensibilitas

Biceps Triceps Radioperiost APR KPR Strumple 2.3.9.2. Refleks Patologis Babinski Oppenheim Chaddock Gordon Schaefer Hoffman-Tromner Klonus Lutut Klonus kaki Refleks Primitif

: : : : : :

(+) (+) (+) (+) (+) (+)

(+) (+) (+) (+) (+) (+)

: : : : : : : : :

(-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)

(-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)

2.3.10. Koordinasi Lenggang Bicara Menulis Percobaan Apraksia Mimik Test Telunjuk-Telunjuk Test Telunjuk-Hidung Diadokhokinesia Test Tumit-Lutut Test Romberg 2.3.11. Vegetatif
9

: sulit dinilai : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal : sulit dinilai : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal

Vasomotorik Sudomotorik Pilo-Erektor Miksi Defekasi Potens dan Libido 2.3.12. Vertebra Bentuk

: dalam batas normal : dalam batas normal : tidak dilakukan pemeriksaan : dalam batas normal : dalam batas normal : tidak dilakukan pemeriksaan

Normal Scoliosis

: (+) : (-) : (-)

Hiperlordosis : sulit dinilai : sulit dinilai

Pergerakan

Leher Pinggang

2.3.13. Tanda Perangsangan Radikuler Laseque Cross Laseque Lhermitte Naffziger : (-) : (-) : (-) : (-)

2.3.14. Gejala-Gejala Serebelar Ataksia Disartria Tremor Nistagmus Fenomena Rebound Vertigo : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-)

2.3.15. Gejala-Gejala Ekstrapiramidal


10

Tremor Rigiditas Bradikinesia 2.3.16. Fungsi Luhur Kesadaran Kualitatif Ingatan Lama Ingatan Baru Orientasi
Diri Tempat Waktu Situasi

: (-) : (-) : (-)

: Compos Mentis : sulit dinilai : sulit dinilai : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : (-) : (-) : (-) : (-)

Intelegensia Daya pertimbangan Reaksi emosi Afasia

Ekspresif Represif Apraksia Agnosia

Agnosia Visual Agnosia jari-jari Akalkulia Disorientasi Kanan-Kiri

2.2. Kesimpulan Pemeriksaan Keluhan Utama Telaah : Penurunan kesadaran : Hal ini dialami OS waktu masuk IGD setelah ditabrak. Keluar darah dari mulut waktu itu. Darah dari telinga (-). Nyeri kepala (+), nyeri pada daerah belakang kepala bagian kanan, muntah (-), kejang (-). Bengkak pada rahang kanan disertai rasa sakit.
11

Penglihatan, pendengaran dan penciuman normal. Tidak bisa ingat apa yang terjadi. BAK dan BAB normal. Riwayat pingsan(-) Riwayat hipertensi (-) Riwayat DM (-), riwayat penyakit jantung (-), riwayat demam (-). Riwayat Penyakit Terdahulu : Riwayat Penggunaan Obat Status Presens Sens Tekanan Darah Nadi Frekuensi nafas Temperatur Nervus Kranialis N.I N.II, III N.III,IV,VI N.V N.VII N.VIII N.IX,X N.XI N.XII STATUS NEUROLOGIS Sensorium Peningkatan TIK Rangsang Meningeal Refleks Fisiologis B/T KPR/APR Refleks Patologis H/T Babinski : : Compos mentis : sakit kepala (+), muntah (-),kejang (-) : (-) Kanan : +/+ : +/+ Kanan : -/Kiri +/+ +/+ Kiri -/12

:: Compos Mentis : 120/60 mmHg : 63x/menit : 28x/menit : 36,6 C

: normosmia : RC +/+, pupil isokor 3mm : pergerakan bola mata(+) : reflex kornea (+) : sdn : pendengaran(+) : uvula medial : angkat bahu(+) : Lidah istirahat medial

Kekuatan Motorik

: ESD: 44444/44444ESS: 44444/44444 EID: 44444/44444 EIS: 44444/44444

DIAGNOSA Diagnosa Fungsional : Trauma Capitis GCS 15 Diagnosa Etiologik Diagnosa Kerja : Trauma : Trauma Capitis GCS 15+ V. Laceratum+ multiple excoriated wound Penatalaksanaan IVFD RL 20 gtt/menit Inj.TT 0,5cc Inj. ATS 1500 IV-test Inj. Cefotaxim 1gr/12 jam Diagnosa Anatomik : Capitis

Rencana Pemeriksaan Darah Lengkap KGD N/ 2jam PP / adr LFT/RFT Foto Thoraks Head CT-Scan

Follow Up Follow Up 14 Oktober 2011 S: Bengkak pada pipi kanan O: Status Presens Sens Tekanan Darah Nadi Frekuensi nafas Temperatur : CM : 110/70 mmHg : 96x/menit : 24x/menit : 36,8 C
13

Nervus Kranialis N.I N.II, III N.III,IV,VI N.V N.VII N.VIII N.IX,X N.XI N.XII STATUS NEUROLOGIS Sensorium Peningkatan TIK Rangsang Meningeal Refleks Fisiologis B/T KPR/APR Refleks Patologis H/T Babinski Kekuatan Motorik : : : Compos mentis : sakit kepala (+), muntah (-),kejang (-) : (-) Kanan : +/+ : +/+ Kanan -/Kiri +/+ +/+ Kiri -/: normosmia : RC +/+, pupil isokor 3mm : pergerakan bola mata(+) : reflex kornea (+) : sdn : pendengaran(+) : uvula medial : angkat bahu(+) : Lidah istirahat medial

: ESD: 44444/44444ESS: 44444/44444 EID: 44444/44444 EIS: 44444/44444

A: : Trauma Capitis GCS 15+ V. Laceratum+ multiple excoriated wound P: IVFD RL 20 gtt/menit Inj.TT 0,5cc Inj. ATS 1500 IV-test Inj. Cefotaxim 1gr/12 jam

R/ Head CT scan

14

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA


3.1. Definisi Trauma Kapitis Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanan.1 3.2. Anatomi
15

Anatomi yang bersangkutan antara lain : 1. Kulit Kepala (Scalp) Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu : a.Skin atau kulit b. Connective Tissue atau jaringan penyambung c. Aponeurosis atau galea aponeurotika d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar e. Perikranium. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.2 2. Tulang Tengkorak Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan serebelum. 2 3. Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. 2,3 Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
16

Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). 2,3 Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.
2,3

4. Otak Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. 3,4 Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. 3 Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri. 3 5. Cairan serebrospinal Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.3
17

6. Tentorium Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). 2 3.3. Fisiologi Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain : 1. Tekanan Intra Kranial Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal.2,3 Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial.2 2. Hipotesa Monro-Kellie Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ). Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK.3 Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal. 3 2.4. Patofisiologi Trauma Kapitis
18

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan.5 Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup 5,6 Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).5,6 Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. 5,6 Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.5,6
19

3.5. Klasifikasi Trauma Kapitis Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi. 1. Mekanisme Cedera Kepala Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan. 4,6 2. Beratnya Cedera Kepala Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. 4,6 Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. 4,6 Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu : Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit Amnesia post traumatik < 24 jam GCS = 13 15 Kehilangan kesadaran 20 menit dan 36 jam Amnesia post traumatik 24 jam dan 7 hari GCS = 9 - 12 Kehilangan kesadaran > 36 jam Amnesia post traumatik > 7 hari GCS = 3 8
20

Sedang

Berat

3. Morfologi a. Fraktur Kranium Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.4,6 Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. 4,5 Klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut; 1. Gambaran fraktur, dibedakan atas : a. Linier b. Diastase c. Comminuted d. Depressed

2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas : a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak ) b. Basis cranii ( dasar tengkorak ) 3. Keadaan luka, dibedakan atas : a. Terbuka b. Tertutup Lesi Intra Kranial dibedakan atas: 1. Cedera otak difus Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.4,6

21

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya. 4,5 2. Perdarahan Epidural Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak. 4,6 3. Perdarahan Subdural Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural. 4,6 4. Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi. 4.6 3.6. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis Pemeriksaan pada trauma kapitis antara lain: 1. Pemeriksaan kesadaran Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15. 7,8
22

GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi : GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat GCS 9 13 : cedera kepala sedang GCS > 13 : cedera kepala ringan Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.7,8 Tabel 3.2 Glasgow Coma Scale 7 Eye Opening Spontaneous Speech Pain Pain Best Motor Response Commands Pain Pain Opens eyes on own Opens eyes when asked to in a loud voice Opens eyes upon pressure Does not open eyes Follows simple commands Pulls examiners hand away upon pressure Pulls a part of body away upon pressure Flexes body inappropriately to pain (decorticate posturing) Body becomes rigid in an extended position upon pressure (decerebrate posturing) Has no motor response 3 2 1 E4 3 2 1 M6 5 4

Pain Pain Pain

Verbal Response (Talking) Speech

Carries on a conversation correctly and tells examiner where he/she is, who he/she is and the month and year Seems confused or disoriented

V5

Speech

23

Speech Speech Speech

Talks so examiner can understand victim but makes no sense Makes sounds that examiner cannot understand Makes no noise

3 2 1

2. Pemeriksaan Pupil Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala. 7 3. Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.7 4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar. 7

Tabel 3.3 Saraf Kranial

24

3.7. Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Sejak itu GCS merupakan tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosa.8,9 Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata yang bengkak dan setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi prediksi yang kuat; penderita dengan skor mototrik 1 ( bilateral flaksid ) mempunyai mortalitas 90 %. Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas 60 tahun merupakan kombinasi yang mematikan.9,10 Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting.9 3.8. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis
25

A. X-ray Tengkorak Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada.8,10 B. CT-Scan Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. 8 Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita .Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.8 C. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik .6,10 Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan.7,10
26

3.9 Penanganan Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan6: (1) Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman. Pendekatan tunggu dulu pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya1. Faktor-faktor yang memperjelek prognosis5: (1) Terlambat penanganan awal/resusitasi; (2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat; (3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat; (4) Terlambat dilakukan tindakan bedah; (5) Disertai cedera multipel yang lain. Penanganan di Tempat Kejadian Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis3,6. Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan6. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
27

muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal1,3,5,6,7,8. Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial3,5,8,10. Setelah ABC stabil, segera siapkan transport ke rumah sakit rujukan untuk mendapatkan penanganan selanjutnya. Rujukan Sesuai dengan keadaan masing-masing daerah yang sangat bervariasi, pemilihan alat transportasi tergantung adanya fasilitas, keamanan, keadaan geografis, dan cepatnya mencapai rumah sakit rujukan yang ditentukan. Prinsipnya adalah To get 0a definitif care in shortest
28

time. Dengan demikian, bila memungkinkan sebaiknya semua penderita dengan trauma kepala dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas CT Scan dan tindakan bedah saraf. Tetapi, melihat situasi dan kondisi di negara kita, di mana hanya di rumah sakit propinsi yang mempunyai fasilitas tersebut (khususnya di luar jawa), maka sistem rujukan seperti itu sulit dilaksanakan. Oleh karena itu, ada tiga hal yang harus dilakukan3: 1. Bila mudah dijangkau dan tanpa memperberat kondisi penderita, sebaiknya langsung dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas bedah saraf (rumah sakit propinsi). 2. Bila tidak memungkinkan, sebaiknya dirujuk ke rumah sakit terdekat yang ada fasilitas bedah. 3. Bila status ABC belum stabil, bisa dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih baik. Selama dalam perjalanan, bisa terjadi berbagai keadaan seperti syok, kejang, apnea, obstruksi napas, dan gelisah. Dengan demikian, saat dalam perjalanan, keadaan ABC pasien harus tetap dimonitor dan diawasi ketat. Dengan adanya risiko selama transportasi, maka perlu persiapan dan persyaratan dalam transportasi, yaitu disertai tenaga medis, minimal perawat yang mampu menangani ABC, serta alat dan obat gawat darurat (di antaranya ambubag, orofaring dan nasofaring tube, suction, oksigen, cairan infus RL atau NaCl 0,9%, infus set, spuit 5 cc, aquabidest 25 cc, diazepam ampul, dan khlorpromazine ampul). Selain itu, juga surat rujukan yang lengkap dan jelas3. Tetapi, sering pertimbangan sosial, geografis, dan biaya menyulitkan kita untuk merujuk penderita, sehingga perlu adanya pegangan bagi kita untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi pasien. Ada beberapa kriteria pasien cedera kepala yang masih bisa dirawat di rumah tetapi dengan observasi ketat, yaitu5 : 1. Orientasi waktu dan tempat masih baik 2. Tidak ada gejala fokal neurologis. 3. Tidak sakit kepala ataupun muntah-muntah. 4. Tidak ada fraktur tulang kepala. 5. Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah. 6. Tempat tinggal tidak jauh dari puskesmas/pustu. Selain itu, perlu diberi penjelasan kepada keluarga untuk mengawasi secara aktif (menanyakan dan membangunkan penderita) setiap dua jam. Bila dijumpai nyeri kepala bertambah berat, muntah makin sering, kejang, kesadaran menurun, dan adanya kelumpuhan maka segera lapor ke puskesmas atau petugas medis terdekat5.
29

3.10 Komplikasi Jangka pendek : 1. Hematom Epidural o Letak : antara tulang tengkorak dan duramater o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
o

Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. tentorial. 1,8 Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi

o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam) o Interval lucid o Peningkatan TIK o Gejala lateralisasi hemiparese
o

Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma subkutan. 1,8 Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks patologik positif.1,8

o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks o LCS : jernih o Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan pembuluh darah. o
2. Hematom subdural8

o Letak : di bawah duramater o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
30

Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent. Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak) Isodens terlihat dari midline yang bergeser o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral 1

Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
4. Oedema serebri 8

Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi. TIK meningkat Cephalgia memberat Kesadaran menurun

Jangka Panjang : 1. Gangguan neurologis Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese 2. Sindrom pasca trauma
31

Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.8

3.11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prognosis Cedera Kepala Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators (2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis.8,10 Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3 dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap sebagai 3. 8,10

Gambar

32

Gambar 2.1 Relasi antara GCS dengan mortalitas pada 14 hari Sumber ; MRC CRASH Trial Collaborators (2008)

BAB 4 DISKUSI
33

TEORI DEFINISI

KASUS

Trauma kapitis adalah trauma mekanik Pasien ini mengalami cedera pada terhadap kepala baik secara langsung kepala akibat kecelakaan dan hilang ataupun neurologi kognitif, tidak yaitu fungsi langsung gangguan gangguan psikososial yang kesadaran sewaktu di bawa ke rumah fungsi sakit. fisik, baik menyebabkan

temporer maupun permanan BERATNYA CEDERA KEPALA Glasgow digunakan Coma secara Scale umum (GCS) Pasien ini masuk rumah sakit dengan dalam GCS 15.

deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan: 1. GCS Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan penurunan kesadaran dengan

Pada pasien trauma kapitis, nilai GCS 15 pemeriksaan GCS merupakan Dari pemeriksaan neurologis dijumpai diagnose pertama saat masuk sensorium compos mentis. rumah sakit. 2. X ray
3. Pemeriksaan Fisik

Pada pasien ini dilakukan namun tidak dijumpai kelainan atau fraktur.

Dapat dijumpai penurunan kesadaran, Pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelumpuhan sebelah badan, serta tanda deficit neurologis.
34

peningkatan

TIK.

Dapat

juga Head ct scan belum dibuat untuk pasien

ditemukan adanya defisit neurologis ini. pada nervus kranialis.


4. Pemeriksaan Penunjang

Head

CT-Scan

membantu

dalam

diagnosis adanya perdarahan, serta dapat mengidentifikasi komplikasi.

Daftar Pustaka

35

1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American

College of Surgeon, 1997 : 195-227.


2. Listiono LD, ed. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (ed.III). Jakarta : Gramedia Pustaka

Utama, 1998 : 147-176.


3. Bajamal AH. Penatalaksanaan cidera otak karena trauma. In : Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 1999.


4. Trauma

Kepala,

Diakses

dari

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepalateks.html
5. Bajamal AH. Perawatan cidera kepala pra dan intra rumah sakit. In : Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2000.


6. Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi dasar penanganan

cidera otak. Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 : 107-128.


7. Wilberger JE. Emergency care and initial evaluation. In: Cooper PR, ed. Head Injury.

Baltimore: Williams and Wilkins, 1993:27-41.


8. Kisworo B. Penanganan patah tulang terbuka di puskesmas. Medika 1996;10: 802-

804.
9. McKhann II GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital care of the head-injured patient.

In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 103-117.
10. Andrews BT. Fluid and electrolite management in the head injured patient. In:

Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 331-344.

36

Anda mungkin juga menyukai