Machiavelli
Machiavelli
manajemen intern Negara dan masalah luar negeri. Di samping tugas domestiknya itu, ia pun kerap kali dikirim ke luar negeri di mana ia bisa berjumpa dengan tokoh-tokoh politik seperti Louis XII dari Perancis, dan Maharaja Maximillian dari Jerman. Sebagai pengamat yang tajam dan pemikir yang cerdas juga mendalam, ia memanfaatkan pengalamannya ini untuk mempelajari bagaimana situasi politik yang sebenarnya terjadi pada masanya. Situasi politik di Italia pada masa Machiavelli adalah situasi yang sangat sulit. Semenanjung ini terbagi menjadi lima Negara yang terpisah: Milan, Venice, Naples, Negaranegara Paus, dan Florence. Negara ini tidak hanya tercabik-cabik oleh faktor internal tetapi juga intervensi dari Negara tetangga semisal Perancis, Spanyol, dan Jerman adalah Negara-negara utama yang berusaha meraih hegemoni terhadap semenanjung ini. Demi mempertahankan diri Negara-negara kota ini bersekutu dengan salah satu kekuatan besar ini, semisal Florence bersekutu dengan Perancis. Karenanya, ketika Perancis diusir dari Italia oleh kekuatan lain pada tahun 1512, Medici yang dahulu sempat diusir pada tahun 1494 mampu memperoleh kembali kontrol kota ini dan mengakhiri pemerintahan republik. Machiavelli ditahan dalam operasi pembersihan yang mengiringi kekuasaan Medici, kemudian setelah menjalani hukuman singkat selama satu tahun ia diasingkan ke tanah kelahirannya dekat San Casciano. Akibat dari pengasingannya itu ia menulis dan merenungkan hasil-hasil pengamatan dan pengalamannya selama itu. Dia menghasilkan dua buku yang sangat termasyhur, yaitu Il Princippe (sang pengeran, terbit 1532) dan discorsi sopra la prima decade di tito livio (diskursus tentang sepuluh buku pertama dari titus livius, terbit tahun 1531). Disamping menulis buku-buku politik Machiavelli pun menulis komedi, dan karya komedinya yang cukup terkenal adalah Mandragola yang terbit pada tahun 1518. Di awal zaman modern Eropa, seperti juga dialami dalam setiap Negara yang melangsungkan modernisasi hubungan antara agama dan negara senantiasa dipersoalkan. Di zaman abad pertengahan , Negara berada di bawah dominasi kekuasaan rohani gereja katolik yang dipegang oleh Paus, sehingga kaisar pun diangkat oleh Paus.model kekuasaan seperti ini pada zaman renaisans mulai mengalami krisis. Gagasan Machiavelli mencerminkan gagasan renaisans yang benyak mengadopsi pada kebudayaan klasik. Machiavelli bilang bahwa Negara harus mendominasi agama seperti berlangsung pada kekaisaran kuno, saat agama Kristen diatur oleh Negara. Begitupun dengan ajaran-ajaran moral dan dogma-dogma agama menurut Machiavelli agama mempunyai fungsi untuk mempersatukan Negara. Jadi bagi Machiavelli
agama punya segi pragmatis untuk mengintegrasikan Negara. Agama pun dapat mendukung patriotism dan memperkuat pranata-pranata kebudayaan. Dengan demikian Machiavelli beranggapan bahwa agama merupakan salahsatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan (Hardiman, 2004: 18). Begitupun hubungan antara politik dan moralitas. Hal ini selalu dihubungkan dengan pandangan Machiavelli tentang manusia. Di abad pertengahan, para pemikir mengagungkan manusia sebagai citra tuhan. Hal ini dibantah oleh Machiavelli dengan menyatakan bahwa manusia merupakan suatu makhluk yang dikendalikan oleh kepentingan diri. Tingkah laku manusia selalu diombang-ambing oleh emosi-emosinya. Maka dari itu Machiavelli menegaskan bahwa seorang penguasa harus bisa membentuk opini umum yang bisa mengendalikan tingkah laku warganya. Dalam bukunya Il principe Machiavelli menganalogikan kekuasaan seorang raja dengan sikap singa, rubah dan srigala.
Seorang pangeran harus mampu bermain baik sebagai manusia maupun sebagai binatang buasSang pangeran harus bisa memakai kedua kodrat ituyang satu tanpa yang lain tak dapat ada. Dan karena seorang pangeran harus bisa bermain sebagai binatang buas, dia harus mencontoh rubah dan singa; karena singa tak lepas dari jerat dan rubah tak bisa lolos dari srigala. Jadi, diaharus menjadi rubah untuk mengenali jerat, dan menjadi singa untuk menakut-nakuti srigala-srigala. Mereka yang hanya mencontoh singa tak tahu apa-apa. Seorang penguasa yang cerdik bisa dan karenanya juga tak harus menempati kata-katanya, jika hal itu merugikannya dan alas an-alasannyamencolok. Andaikata semua manusia baik, nasihat ini kiranya tak ada artinya; tetapi karena mereka tak banyak faedahnya dan kata-kata mereka tak ditepati, untuk mereka kau juga tak perlu menepatinya. Juga seorang pangeran jangan kehabisan alasan baik untuk memanis-maniskan pelanggaran janjinya. (Machiavelli, Il principe: bab 18).
Maka dari itu menurut Machiavelli, seorang penguasa tidak perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral. Penguasa bisa saja bertindak dengan moralistis, semisal menunjukan kemurahan hati, sikap shaleh, manusiawi, jujur dan yang lainnya, tetapi semua itu harus berfungsi untuk maksud-maksudnya (Hardiman, 2004: 19). Begitupun dengan sikap sebaliknya, jika kekuasaanya menuntut untuk demikian, maka kekerasan semisal peperangan dan penindasan pun perlu untuk diterapkan, yang penting maksud dan tujuan bisa tercapai. Daftar Pustaka F. Budi Hardiman. Filsafat Modern. 2004. Jakarta: Gramedia pustaka utama. Henry J. Schmandt. Filsafat Politik. 2002. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.