Anda di halaman 1dari 5

KONSEPTUALISASI POLITIK LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA LINTAS MASA PEMERINTAHAN

DISUSUN OLEH: ADIL SAADILAH NIM: 105120413111001 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

A. Konsep Politik Luar Negeri Republik Indonesia Masa Orde Lama Politik luar negeri (Polugri) merupakan hal yang esensial bagi setiap negara dalam membentuk kebijakan luar negerinya, tak terkecuali Indonesia. Indonesia pertama kali menginisiasi konsep Polugrinya melalui Menlu yang pertama Ahmad Soebardjo dengan fokus orientasi pada pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh bangsa lain. Dalam perkembanganya, Polugri RI menunjukan kejelasan arah, dengan dibuatnya landasan Polugri RI yang bebas aktif, sebagai akumulasi gagasan dari Soetan Sjahrir yang menjelaskan kondisi geopolitik Indonesia dalam konstelasi global dalam tulisanya Perdjoeangan kita ditambah dengan kepatenan gagasan Hatta dalam pidatonya mendayung diantara dua karang, sebagai respon ketidakberpihakan Indonesia pada blok manapun. Polugri Bebas Aktif pertama kali diintrodusir dan diaplikasikan pada masyarakat internasional melalui Konfrensi Kolombo 1954, dilanjutkan dengan KAA Bandung tahun 1955 sebagai inisiasi Indonesia dalam menyatukan negara-negara Asia Afrika dalam menentang kolonialisme, imperialisme, dan rasialisme. Juga Konfrensi Non Blok di Beogard tahun 1961 sebagai penyatuan sikap ketidak berpihakan pada blok-blok berkuasa,yang merupakan inisiasi Indonesia dan negaranegara non blok lainya1. Pada masa ini, Polugri Bebas Aktif juga diaplikasikan sebagai sikap anti kolonialisme dan imperialisme. Sebagai prakteknya, Soekarno cenderung bersikap ofensif dengan membentuk pola diplomasi revolusioner2 yang menggalang kekuatan-kekuatan baru dari negara-negara yang baru merdeka untuk bergabung dalam New Emerging Forces (NEFOS), hal tersebut tentu makin menyulut ketegangan dengan Old Established Forces (OLDEFOS). Sifat Polugrinya high profile. Dalam konteks lebih jauh, dapat juga dilihat bahwasanya Polugri Bebas Aktif pada masa ini cederung konfrontatif. Hal tersebut terlihat dari konfrontasi sengketa Irian Barat antara Indonesia dan Belanda sebagai akibat dari kegagalan negosiasi diantara kedua negara, sehingga menyulut tindakan konfrontatif dari Indonesia berupa tindak penyusupan (infiltrasi) pasukan ke Irian Barat, yang berujung pada keterlibatan Amerika Serikat dalam resolving masalah diantara kedua negara tersebut, yakni melalui diadakanya perjanjian New York yang merupakan inisiasi
Mochtar Kusumaatmadja,Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaanya Dewasa Ini,Bandung,Penerbit Alumni,1983,hlm.149 2 Ganewati Wuryandari,Politik Luar Negeri di tengah Pusaran Politik Domestik,Bandung,P2P-LIPI PustakaPelajar,2008,hlm.95
1

dari Ellsworth Bunker3. Juga konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia yang terjadi sebagai akibat dari usaha pembentukan negara federasi Malaysia oleh pemerintah Inggris dan pejabat Malaya, yang ditafsirkan Indonesia sebagai suatu ancaman karena dinilai diartikan sebagai usaha kaum kolonial dalam mengepung Indonesia. Langkah resolutif pernah dilakukan di Manila, namun gagal, sehingga Indonesia makin konfrontatif, dan pada puncaknya keluar dari PBB pada 7 Januari 1945. Pada masa ini pun terjadi pengaburan Polugri Bebas Aktif, yakni dengan adanya tindakan Indonesia yang condong ke Blok Timur dengan dibentuknya Poros Jakarta-Peking. B. Konsep Politik Luar Negeri Republik Indonesia Masa Orde Baru Pada masa Orde Baru, terdapat signifikansi perubahan paradigma Polugri Bebas Aktif dari yang sebelumnya high profile, menjadi low profile. Hal tersebut dapat dijelakan melalui dua masa Orde Baru, yakni pra dan pasca Pemilu 19824. Pada masa pra Pemilu 1982, signifikansi perubahan tersebut digalakan melalui usaha membangun stabilitas politik keamanan dalam negeri maupun regional, dan pembangunan ekonomi. Berangkat dari hal tersebut, langkah Polugri Bebas Aktif yang diambil pada saat itu yakni melalui pemupukan relasi yang baik dengan barat dan membangun neighborhood policy melalui ASEAN. Soeharto pun berusaha mengaluarkan citra lama Indonesia sebagai negara radikal dan revolusioner menjadi lebih asertif dan terbuka. Pada masa ini, Pemerintah Soeharto melakukan pemurnian kembali Polugri Indonesia5,yang dinilai telah diselewengkan pada masa sebelumnya. Secara formal, pemurnian kembali Polugri Bebas Aktif ditandai dengan dikeluarkanya MPRS NO XLI/MPRS/1968 tahun 1968, Nota Pimpinan MPRS No. Nota 1/PIMP/1966 tentang Politik Luar Negeri Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila. Dalam butir VIII.13 nota tersebut berisi paradigma baru Polugri RI yang low profile, yakni Bantuan Luar Negeri serta kerjasama ekonomi internasional harus disinkronisasikan dengan pembangunan nasional. Pinjaman dan bantuan asing harus mempunyai peranan pembantu (supplementary)6. Berangkat dari peristiwa G30SPKI, hubungan Indonesia dengan negara-negara timur menjadi kian memburuk, sehingga Indonesia harus membentuk hubungan dengan negara-negara barat untuk memperlancar pembangunan ekonominya. Untuk hal tersebut, Indonesia melakukan upaya riil dalam menarik perhatian Barat, yakni:
Ibid,hlm.100 Ibid,hlm.114 5 Ibid,hlm.117 6 Ibid,hlm.118
3 4

Indonesia memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Cina, dan mulai fokus pada urusan regional,misal inisiasinya dalam membentuk ASEAN. Alhasil, Indonesia memperoleh sokongan dari barat, misal dengan diadakanya konfrensi Tokyo, dan pemberian bantuan ekonomi senilai 200 juta USD melalui IGGI7. Pada masa pasca Pemilu 1982, melalui kemenangan Golkar dalam Pemilu, posisi Soeharto makin kuat,sehingga mudah dalam mengolah kebijakan luar negeri. Kala itu, Soeharto berfikir bahwasanya sudah saatnya Indonesia untuk turut aktif dalam penyelesaian masalah internasional. Hal tersebut memang terwujud sejak tahun 1984 kedepan8, terlihat dari peran aktif Indonesia dalam memperingati 30 tahun KAA tahun 1985, menjadi Ketua GNB dan pertemuan APEC, serta menjadi penengah konflik Singapura dan Malaysia yang menunjukan sikap pemimpin regional. Pada masa ini pun terdapat perubahan signifikan, yakni sejak tahun 1990, Indonesia kembali membuka hubungan diplomasi dengan RRC,Namun Indonesia pun mulai sensitif terhadap isu HAM di Timor-Timur sebagai dampak Tragedi Dili awal tahun 19919 yang menyebabkan IGGI bubar akibat penolakan bantuan oleh Indonesia. Namun selanjutnya IGGI tersebut berubah menjadi CGI yang dibidani World Bank. C. Politik Luar Negeri Republik Indonesia Masa Reformasi, dan Kekinian Pada masa ini, Polugri yang diimplementasikan Indonesia memiliki paradigma yang rancu, bahkan mengarah pada no profile. Hal tersebut disebabkan oleh instabilitas kondisi dalam negeri pasca reformasi yang menulurkan beragam masalah, yakni: perpindahan sistem otokrasi menuju demokrasi, krisis moneter, gejolak otonomi daerah, dan upaya mempertahankan keutuhan NKRI10. Dimana masalah-masalah tersebut berkontribusi dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri dari beberapa masa pemerintahan, yang dapat dirinci sebagai berikut. Pada masa pemerintahan Habibi,dengan posisi pemerintahan pasca reformasi, langkah yang diambil habibi dalam merespon instabilitas kondisi internal adalah dengan menggalakan semangat demokratisasi dalam kondisi transisional. Kebijakan yang diambil pun tidak banyak berfokus pada situasi eksternal, usaha eksternal yang dilakukan hanyalah mencari bantuan pembiayaan, dan dukungan asing atas pemerintah yang kurang mendapat legitimasi dari masyarakat. Untuk hal tersebut, upaya riil yang dilakukan Habibi adalah memformulasikan UU No.5 Tahun 1998
Ibid,hlm.120 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto,LP3ES,1998, hlm.63 9 Ibid,hlm 77. 10 Ganewati Wuryandari, Op.Cit, hlm.184
7 8

dan UU No.29 Tahun 1999 yang pro perlindungan HAM, Membentuk Komnas Perempuan, dan melakukan referendum atas Timor-Timur, alhasil, Indonesia berhasil membuka hubungan dengan IMF, dan mendapat bantuan 400 juta USD. Pada masa pemerintahan Gus Dur, kebijakan luar negeri diambil degan lebih aktif dan dominan, dimana ia menginisiasi konsep diplomasi persatuan dengan melakukan kunjungan ke 80 negara, sebagai uapa mencari bantuan ekonomi, Juga dukungan internasional dalam membentuk stabilitas nasional akibat konflik komunal antar masyarakat dan gerakan separatis yang bermunculan pada saat itu. Pada masa pemerintahan Megawati, muncul masalah baru berupa terorisme, sehingga kebijakan luar negeri yang diambil pada saat itu lebih mengarah pada penuntasan masalah tersebut. Dengan lemahnya kekuatan diplomasi yang dimiliki pada saat itu, Pulau Sipadan dan Ligitan pun lepas dari NKRI. Pada masa pemerintahan SBY, dengan kondisi internal yang bergerak stabil, Indonesia kembali terlibat dalam beberapa agenda internasional, misal: Indonesia aktif dalam menyodorkan platform untuk ASEAN mengenai gagasan masyarakat keamanan ASEAN, menjadi tuan rumah peringatan 50 tahun KAA tahun 2005, juga menjadi tuan rumah KTT perubahan iklim tahun 2007. Pada masa ini pun, Presiden SBY menggagas konsep Polugri baru dengan label Million Friends Zero Enemy, yang merupakan redefinisi dan perluasan makna dari Polugri Bebas Aktif, dengan menambahkan unsur transformatif11. Hal tersebut tergambar melalui Pidato Presiden SBY dalam HUT Kemerdekaan RI ke 65, yang intinya Polugri Bebas Aktif harus diprluas maknanya demi pencapaian kepentingan nasional, karena sekarang Indonesia berada pada dimensi yang berbeda. Maksud dimensi berbeda disini adalah bahwasanya Indonesia tidak lagi berada dalam kondisi perang dingin, sehingga dengan persaingan terbuka antar negara, Indonesia harus mengembangkan all directions foreign policy berkaitan dengan label a million friends, zero enemy, sebagai upaya menjalankan diplomasi bebas, aktif, dan transformatif dalam rangka memaksimalkan kepentingan nasional.

11

http://nasional.vivanews.com/news/read/171307-presiden-sby--ini-saatnya-indonesia-mendunia

Anda mungkin juga menyukai