Anda di halaman 1dari 3

TUGAS MATA KULIAH HUKUM DAN HAM KELAS RABU SARAH ELIZA AISHAH 0806343166

Pelanggaran HAM terhadap Perempuan Intelektual Sebuah film berjudul Plantungan: Potret Derita dan Kekuatan Perempuan karya Fadillah Vamp Saleh dan Putu Oka memberikan gambaran yang terjadi pada perempuanperempuan yang dituduh telah melakukan pergerakan yang kemudian dikenal dengan peristiwa G30S/PKI. Perempuan-perempuan tersebut diantaranya adalah Nani Nurani, Suci Danarti, Siti Suratih, Pujiati, dan SP Tien Wartini. Mereka ditahan karena diantaranya terlibat aktif sebagai anggota Pemuda Rakyat, kerabat atau keluarga dari aktifis Partai Komunis Indonesia, ataupun anggota dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada masa pemerintahan Soekarno yang kemudian diambil alih oleh Soeharto. Berdasarkan kesaksian yang mereka berikan pada film, maka dapat diketahui bahwa terjadi beberapa pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia (HAM), yaitu penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, kekerasan secara fisik termasuk kekerasan seksual, dan kejahatan kemanusiaan. Berikut ini akan dibahas masing-masing dari pelanggaran HAM yang terjadi. Pertama, perihal penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang. Berdasarkan pasal 1 ayat 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. Berdasarkan pasal tersebut penangkapan merupakan salah satu pembatasan kebebasan dan hak asasi seseorang, untuk mengimbanginya terdapat asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Berdasarkan asas tersebut, tersangka juga memiliki hak untuk diperlakukan manusiawi dan wajar, misalnya tidak ada kekerasan yang dilakukan. Dalam melakukan perintah penangkapan, perlu dipenuhi syarat materil (bukti permulaan yang cukup) dan syarat formil (adnya surat tugas dan surat perintah penahanan). Menurut Surat Keputusan Kapolri SK No. Pol. SKEEP/04/I/1982, bukti permulaan yang cukup meliputi Laporan Polisi, berita acara pemeriksaan di TKP, laporan hasil penyelidikan, keterangan saksi/saksi ahli; dan barang bukti.

Jangka waktu paling lama penangkapan adalah 1 x 24 jam. Jika lebih dari itu, tersangka masih diperiksa tanpa adanya surat perintah maka tersangka wajib dibebaskan. Bukti permulaan yang cukup tidak boleh hanya dengan diduga keras melakukan tindak pidana, hanya dengan dugaan dan bukan fakta, apabila demikian terjadi maka termasuk penangkapan yang sewenang-wenang. Namun kenyataannya, penangkapan para perempuan ini melewati dari 1 x 24 jam tanpa adanya kejelasan mengapa mereka ditangkap. Selain itu, kekerasan terjadi pada penangkapan salah satu perempuan yang telah disebutkan di atas. Demi menemukan dan menangkap Suci Danarti beberapa orang dipukuli hingga babak belur. Setelah para petugas menemukannya, Suci Danarti kemudian diinterogasi perihal keterkaitannya pada aksi-aksi dari PKI. Hanya setelah beberapa pertanyaan, Suci Danarti langsung ditahan, meskipun ia termasuk tahanan golongan C yang mana seharusnya diperbolehkan pulang. Berdasarkan pasal 1 ayat 21 KUHAP, penahanan adalah tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. Dalam melakukan penahanan juga terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi yakni syarat subyektif dan syarat obyektif. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka penahanannya tidak sah sehingga bisa dilakukan upaya hukum berupa pemulihan nama baik. Pada proses penahanan juga harus disertai dengan surat penahanan dan ada jangka waktu tertentu, namun pada kenyataannya yang terjadi adalah mereka langsung ditahan tanpa adanya proses pengadilan terlebih dahulu. Hanya berdasarkan beberapa pertanyaan, mereka langsung ditahan. Penahanan yang dilakukan juga tidak tanggung-tanggung, para pertugas menahan dan membuang mereka ke Plantungan selama belasan tahun tanpa adanya proses pengadilan. Hal ini tentu tidak benar, bagaimana bisa seseorang dipasung kebebasannya selama belasan tahun tanpa adanya pembelaan dari perempuan-perempuan yang ditahan dan dibuang ini. Jelas bahwa pelanggaran HAM telah terjadi. Kedua, mengenai kekerasan fisik termasuk kekerasan seksual yang dialami para perempuan tahanan politik di Plantungan. Pengaturan tentang hak-hak perempuan diatur secara eksplisit pada UUD 1945 dan UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW). Sebagian dari para perempuan tahanan politik di Plantungan ada yang menjadi budak seks dari para Komandan. Tidak ada satu pun yang berani mengadu ataupun melawan karena diliputi oleh rasa takut.

Hal ini tentunya melanggar HAM khususnya terhadap perempuan. Dalam konferensi HAM yang kedua di WINA disepakati secara Internasional bahwa kekerasan terhadap perempuan termasuk pelanggaran HAM. Di sisi lain yang dialami perempuan-perempuan tahanan tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga seksual. Ketiga, kejahatan terhadap kemanusiaan (.crimes against humanity). Pelanggaran ini termasuk pelanggaran HAM berat yang mana kriterianya adalah serangan yang dilakukan secara sistematik dan meluas yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil termasuk merampas kemerdekaan, kekerasan, dan perkosaan. Hal ini dialami oleh para perempuan tahanan sipil dimana terhadap mereka yang merupakan dituduh sebagai penggerak G30S/PKI diperlakukan tidak layaknya seperti manusia. Penguasa pada saat itu membuang mereka ketempat penyakit Lepra, dirawat inap bersama dengan orang gila jika mereka sakit, dipisahkan dari keluarga dan anak-anak mereka, mencabut ilalang dengan tangan mereka sendiri, makanan yang tidak layak, dikucilkan oleh masyarakat sekitar, dan fitnah yang berkepanjangan. Lebih lanjut, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 baru dilaksanakan dengan UU No.39/1999 tengang HAM. UU tersebut memperinci ketentuan TAP itu di bidang Hak untuk Hidup. Hak untuk hidup ini seolah tidak dimiliki oleh para perempuan tahanan politik yang dibuang di Plantungan. Mereka seolah-seolah memang dibiarkan mati dengan perlakuanperlakuan yang sewenang-wenang terhadap mereka. Hak untuk hidup ini merupakan kelompok hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Sehingga, meskipun mereka kelompok PKI, mereka tetap memiliki hak untuk hidup dan diperlakukan secara manusiawi. Dengan demikian, untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi pada perempuan intelektual yang disebutkan di atas, perlu adanya kerjasama dari seluruh pihak (korban pelanggaran HAM, Komnas HAM/Komnas Perempuan, Pemerintah, dan Media Massa). Banyak kasus pelanggaran HAM yang dibawa ke Pengadilan HAM sesuai dengan UU no. 26 tahun 2002 tentang Pengadilan HAM, namun berhenti begitu saja ditengah jalan. Salah satu cara, Komnas HAM dapat membujuk pemerintah untuk meratifikasi Statue Rome ICC Criminal Court agar pelanggaran yang demkian tidak dapat terjadi lagi. Dengan adanya bantuan dari media massa yang juga terus melaporkan kepada masyarakat progress yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai