Anda di halaman 1dari 11

Tradisi Pesantren

Feb 3, '08 12:14 AM untuk semuanya

IDENTITAS BUKU Judul Buku : Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai Pengarang : Zamakhsyari Dhofier Penerbit : LP3ES Tahun Terbit : 1994 A. Pendahuluan Buku dengan judul Tradisi Pesantren yang karang oleh Zamakhasary Zhofir adalah sebuah tesis untuk memperoleh gelar Doctor dalam bidang Antropologi Sosial pada Australian Bational University, Cambera, Australia pada tahun 1980. Buku ini menyodorkan suatu laporan yang bersifat historis dan etnografis dengan pendekatan sosiologis tentang Pesantren Tegalsari dan Tebuireng, dengan fokus utama peranan kyai dan kedua pesantren tersebut dalam melestarikan dan menyebarkan Islam. Pada umumnya studi tentang Islam di Jawa selama ini menitikberatkan analisanya dari segi pendekatan intlektual dan pendekatan teologi, hingga seringkali memberi kesimpulan yang meleset. Sebagai contoh, selama ini sering disimpulkan bahwa para kyai, karena sangat terikat oleh ajaran-ajaran kaum sufi dan mengamalkan tarekat, dianggap telah mengamalkan Islam yang salah, Islam yang hanya mementingkan hidup akhirat dengan melupakan kehidupan duniawi. Oleh karena itu, agar tidak terjebak pada kesalahan dalam menyimpulkan Islam di Jawa, pendekatan sosiologis akan mengurangi kecendrungan menarik kesimpulan yang terlalu cepat seperti di atas. Sebagai gambaran umum apa yang tulis oleh Geertz, ia secara tidak tegas dan saling bertentangan dalam menyimpulkan Islam di Jawa. Di satu pihak ia mengatakan bahwa kehidupan pesantren ditandai oleh tipe etika dan tingkah laku ekonomi yang bersifat agresif, penuh watak kewiraswataan dan menganut paham kebebasan berusaha. Sehingga banyak dari lulusan pesantren sebagai seorang pengusaha. Tapi di lain pihak, ia menggambarkan kehidupan pesantren hanya berkisar kepada kepentingan akherat yang bertujuan untuk memperoleh pahala dan lebih banyak berpikir tentang nasib mereka setelah di kubur. Ia juga menggolongkan orangorang pesantren sebagai orang yang kolot, yaitu menerima paham-paham sinkretis yang bertentangan dengan Islam. Tetapi lucunya, sama dengan apa yang ia simpulkan tentang ciri-ciri abangan yang merupakan campuran keagamaan yang bersifat animistis, Hindu-Budistis, dan Islam. Begitu juga dengan Deliar Noer yang salah paham terhadap Islam Tradisional di Jawa, dengan tanpa melakukan penelitian cukup di lembaga-lembaga pesantren ia menyimpulkan bahwa Islam tradisional walaupun mengikuti empat mazhab, akan tetapi umunya mereka tidak mengikutinya dan membatasi diri kepada ajaran-ajaran para imam yang berikutnya. Dalam bidang Tasawwuf, banyak penganut Islam Tradisional tergelincir ke dalam praktek-praktek syirik. Pesantren sebagai bahan kajian di sini lebih terfokus kepada pesantern-pesantren yang ada di Jawa dan diindikasikan sebagai cikal bakal pesantren di seluruh Indonesia. Namun secara umum dalam kajian tentang pendidikan Islam para peneliti sebelum Zamahsyari Dhofir lebih fokus pada pendidikan Islam klasikal hingga muncul istilah Islam tradisional yaitu pendidikan Islam yang tidak menganut sistem klasikal dan Islam modern yang menganut sistem klasikal dan ini lebih banyak di kembangkan di Pulau Sumatera. Dan dalam buku tradisi pesantren ini hanya

membahas tentang Islam tradisional. B. Ciri-Ciri Umum Pesantren Sebelum tahun 60-an pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. istilah pondok yang dipakai berasal dari bahasa arab funduq yang berarti hotel atau asrama. Sedang perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal santri. Tapi Jhons berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari Bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedang C.C Berg berpendapat istilah tersebut berasal dari bahasa india yaitu shastri yang berarti orang yang tahu buku suci Agama Hindu. Pondok pesantren identik dengan kyai yang keberadaannnya tidak hanya dipatuhi oleh orangorang dalam pesantren tapi menjadi tokoh agama dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu, masyarakat yang menginginkan anaknya menjadi seorang yang berilmu mereka menitipkan anak-anak mereka di pondok pesantren. Pengajaran agama pada masyarakat Islam dilakukan secara bertahap. Pada tahap pemula yaitu mengenal bacaaan al-Qura>n biasanya dilakukan oleh orang tua di rumah mereka masingmasing, hingga pada tahap bisa membaca al-Quran. Ini dimaksudkan agar anak setelah masuk pondok bisa mendapatkan pelajaran agama dengan lebih cepat tanpa harus memulai dari belajar al-Quran, walaupun pondok pesantren juga mengajarkan santrinya yang belum bisa baca alQura>n dari awal. Kehidupan pondok pesantren adalah kehidupan dengan pola hidup mandiri, di sini santri dituntut untuk dapat mengurus dirinya terutama kebutuhan badaniyahnya atau tidak tergantung pada orang lain kecuali kepada Allah. Begitu juga dalam belajar kitab-kitab klasik, kyai menuntut pemebelajaran secara individual, artinya setiap santri dituntut mampu belajar secara mandiri dan berusaha membaca kitab-kitab yang lebih besar setelah kyai memberikan dasar dalam mempelajarinya. Dengan pola seperti ini akan terlihat santri yang pintar dan kurang pintar. Dalam sistem transfer keilmuan kyai menyimak secara individual setiap santri lebih dikenal dengan nama sorogan. Di samping sorogan pengajaran di pondok pesantren juga dilakukan dengan cara berkelompok antara 5 sampai 500 orang, mereka mendengarkan seorang kyai yang membaca, menterjemahkan dan menerangkan buku-buku yang berbahasa arab, sistem ini lebih dikenal dengan nama bandongan atau weton yang dalam istilah arab dikenal dengan halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan kyai. Pengajaran dengan sistem sorogan biasanya diperuntukkan bagi santri yang betul-betul ingin menjadi seorang alim dan kelaknya dapat mengajarkannya dan membuat pondok pesantren. Sedangkan sitem bandongan diselenggarakan secara umum, ini hanya sifatnya aktifitas di dalam pondok sendiri karena biasanya kyai memberikan kepercayaan kepada santri senior untuk mengajar kepada santri yunior dalam beberapa kelompok. Tradisi pesantren dan juga termasuk tradisi Islam secara umum adalah pemberiaan Ija>zah yaitu pencantuman nama dalam suatu daftar rantai trasnmisi pengetahuan yang dikeluarkan oleh gurunya terhadap muridnya yang telah menyelesaikan pelajarannya dengan baik tentang suatu buku tertentu sehingga si murid tersebut dianggap menguasai dan dapat mengajarkannya kepada orang lain. Pemberian ija>zah ini hanya diberikan kepada santri-santri tingkat tinggi yang menguasai kitab tertentu sehingga kyai menyarankan untuknya membuka pengajian atau mendirikan pondok pesantren.

C. Elemen-Elemen Sebuah Pesantren 1. Pondok Pesantren pada dasarnya tidak terlepas dari pemondokan atau asrama bagi para santri yang menuntut ilmu di pesantren tersebut. Pembangunan pondok bagi santri dibagun di atas tanah milik kyai, walaupun dalam perkembangannya sudah banyak pemondokan didirikan di atas tanah milik masyarakat yang diwakafkan ke pondok pesantren. Pemondokan bagi santri merupakan ciri khas dari pondok pesantren dengan sistem pendiidkan tradisional sedang pada sistem modern hanya menyediakan gedung belajar dan santri pulang pergi dari rumah mereka atau sebagaian dari mereka menyewa rumah penduduk di sekitar pondok. Di Jawa sendiri pemondokan dibangun sesuai dengan jumlah santri yang menuntut ilmu di pondok tersebut semakin besar jumlah santri, maka semakin banyak asrama yang dibutuhkan dan ini dibebankan kepada santri dan wali santri dengan uang sumbangan pembangunan. Sebagai contoh Pondok Pesantren Darussalam, blok Agung di Banyuwangi mewajibkan para santri membanyar Rp. 6.000, / setahun, menyediakan sepotong kayu bangunan, satu meter kubik pasir dan diwajibkan membuat 200 buah batu bata setahun sekali. Pesantren Ploso di Kediri mewajibkan para santrinya membayar uang pondok sebanyak Rp. 7.000,- setahun, dan mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya di kampung asal santri di waktu musim panen untuk kepentingan perluasan bangunan dalam lingkungan pesantren. Ada tiga alasan pondok pesantren menyediakan pemondokan bagi santri. Pertama, kemasyhuran seorang kyai kedalaman pengetahuan agamanya menarik santri-santri dari jauh untuk menuntut ilmu dari kyai tersebut sehingga untuk dapat memaksimalkan diri menuntut ilmu santri harus menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa terpencil di mana tidak tersedia perumahan atau penginapan yang cukup untuk santri, dengan demikian secara tidak langsung perlu adanya asrama bagi santri jauh. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, di mana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, dan kyai menganggap para santri sebagai titipan Allah yang harus senantiasa di lindungi. Sikap saling membutuhkan ini menimbulkan rasa tanggung Jawab kyai untuk menyediakan asrama bagi santri, dan tumbuh dalam diri santri sikap selalu taat kepada kyai. Keadaan asrama biasanya sangat sederhana, cukup untuk berteduh dan menaruh beberapa barang pribadi sehingga santri yang kaya pun harus puas dengan keadaan seperti itu. Beberapa dapur juga disediakan bagi santri yang memasak, sedangkan yang lainnya bisa berlangganan makan di warung sekeliling pesantren, 2 atau 3 kali makan dengan membanyar uang di muka untuk satu bulan yang rata-rata bayarannya Rp. 4.000 sampai dengan Rp. 6.000 atau lebih, tergantung dari jenis lauk-pauk makanannya. Untuk tempat tinggal santri putri biasanya terpisah dari asrama putra dan keadaannnya pun tidak jauh berbeda dengan arsama untuk santri putra. 2. Masjid Keberadaan masjid tidak terlepas dari dunia pendidikan Islam karena ia adalah salah satu pusat pengembangan ajaran Islam pada masa awal Islam. Keberadaannya yang sangat vital menuntut pondok pesantren untuk membangun masjid dalam pesantren sebagai tempat mendidik para santri, shalat lima waktu, dan pengajian kitab-kitab klasik. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pondok pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini diambil karena perintah gurunya yang menilainya telah mampu memimpin sebuah pesantren.

3. Santri Pengertian santri lebih tertuju kepada pesantren dengan sistem pendidikan tradisional sedangkan pada pendidikan modern yang menganut sistem barat di sebut siswa. Namun dalam pendidikan sistem tradisional pesantren ada dua macam santri. Pertama, Santri Mukim yaitu santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren, dan mereka juga mempunyai tanggung Jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Kedua, Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap di dalam pesantren. Untuk mengikuti kegiatan pesantren, mereka pulang pergi dari rumahnya sendiri. Keberadaan jumlah santri mukim dan santri kalong menjadi cerminan besar dan majunya sebuah pondok pesantren. Semaikin besar jumlah santri mukim, maka semakin besar sebuah pesantren. Dan pesantren kecil jumlah santri kalongnya lebih banyak dari jumlah santri mukimnya. Keberadaan santri di pondok pesantren dan menetap di asrama dengan berbagai alasan antar lain: a. Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai yang memimpin pesantren tersebut. b. Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren yang terkenal. c. Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya. Di samping itu, dengan tinggal di pesantren yang sangat jauh letaknya dari rumah tidak memungkinkannya untuk pulang bolak-balik. 4. Kyai Keberadaan kyai dalam sejarah pondok pesantren adalah salah satu yang sangat vital, karena keberlangsungan pesantren tergantung dari peran kyai di dalamnya. Penyebutan kyai dalam sejarah pesantren atau masyarakat Islam di Jawa mempunyai tiga pandangan berbeda antara lain: a. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat seperti, Kyai Gadura Kencana dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta. b. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya c. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Penyebutan kyai di beberapa daerah berbeda-beda. Di Jawa barat sendiri orang yang memimpin pesantren di sebut dengan Ajengan, sedangkan di Jawa Timur di sebut Kyai. Perkembangan zaman membawa perubahan areal penamaan kyai tidak terbatas pada orang yang mempunyai atau memimpin pondok pesantren, akan tetapi beberapa orang yang mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat walaupun tidak mempunyai pondok pesantren di sebut juga dengan kyai. Sebutan kyai pada masa penjajahan mempunyai kedudukan yang prestise, karena kesultanan pada masa itu lebih banyak mengurus masalah politik, maka secara otomatis bidang agama dipegang oleh kyai. Karena cakupan bidang agama melingkupi segala aspek seperti, hak milik, perkawinan, perceraian, harta warisan, dan lain-lain, kekuasan kyai lebih besar dari pada kesultanan atau raja pada masa itu. Oleh karena itu, mereka lebih diterima secara umum di nusantara dan bahkan pada masa kemerdekaan banyak di antara mereka diangkat menjadi menteri, anggota parlemen, duta besar, dan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan. D.

Hubungan Intlektual Dan Kekerabatan Sesama Kyai Sarana para kyai yang paling utama dalam usaha melestarikan tradisi pesantren ialah membangun solidaritas dan kerjasama sekuat-kuatnya antara sesama kyai. Cara praktis yang mereka tempuh untuk membangun solidaritas dan kerjasama tersebut adalah: 1. Mengembangkan suatu tradisi bahwa keluarga yang terdekat harus menjadi calon kuat pengganti kepemimipinan pesantren. 2. Mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogamous antara keluarga kyai. 3. Mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intlektual antara sesama kyai dan keluarganya. Hubungan antar kyai dengan kyai lainnya terjalin dalam dua bentuk , yaitu kekerabatan memalui nasab atau keturunan dan kekerabatan melalui intlektualisme atau turun-temurunnya ilmu antar mereka. Biasnya seorang kyai dalam pendidikan pesantren sangat mengutamakan anak-anaknya karena mereka adalah pengganti dan penerusnya, biasanya yang dipersiapkan adalah anak tertua dari kyai, sedangkan yang lain dipersiapkan untuk mendidirkan pondok pesantren yang lain atau menggantikan mertua mereka yang kebayakan juga seorang kyai. Kebanyakan kyai juga mengawinkan anak-anak perempuan mereka dengan anak laki-laki dari kyai yang lain atau dengan murid-murid yang pandai dan memungkinkan bisa meneruskan kepemimpinan pesantren. Dengan mata rantai seperti ini, tidak salah bila kepemimpinan pondok pesantren di Jawa terbatas pada kalangan mereka yang berdarah kyai. Sebagai contoh, Kyai Sihah mempenyai 4 orang anak perempuan dan 6 anak laki-laki. Ia mengawinkan anaknya yang tertua, Layyinah, dengan seorang muridnya, Kyai Usman, yang kemudian mendirikan Pesantren Gadang di Jombang dalam permulaan tahun 1850-an. Kyai Usman mempunyai beberapa anak laki-laki, salah seorang di antaranya menggantikan dirinya sebagai pemimpin pesantren Gadang, dan yang lain mendirikan pesantren-pesantren baru. Kyai Usman mengawinkan salah seorang anak perempuannya, Winih, dengan seorang muridnya yang paling pandai, Kyai Asyari yang berasal dari Demak, Jawa Tengah. Kyai Asyari mendirikan pesantren Keras, 8 kilometer dari Jombang pada tahun 1876. Kyai Asyari mempunyai 4 anak perempuan dan 7 anak laki-laki. Salah seorang anak- laki-lakinya Kyai Saleh menggantikan kedudukannya sebagai pemimpinan Pesantren Keras. Hubungan secara intlektual antar kyai pun tidak terputus, karena antar satu pesantren, baik dalam satu kurun zaman maupun dari satu generasi ke generasi berikutnya, terjalin hubungan intlektual yang mapan. Pada dasarnya satu pesantren mengikuti watak atau bentuk dari pesantren lainnya tempat ia belajar. Karena seorang Kyai dapat diakui keilmuannya kalau ia mempunyai mata rantai keilmuan dengan kyai-kyai terkenal sebelumnya atau yang dikenal dengan nama sanad. Sanad tersebut memiliki standar, artinya dalam satu angkatan, ada ulama tertentu yang dianggap sah sebagai satu mata rantai, sedangkan yang lain dianggap batal dan diragukan. Setiap cabang ilmu dalam Islam menjaga standar daripada sanadnya sendiri. Kyai Munawir, pendiri pesantren Krapyak di Yogyakarta misalnya, terkenal di Jawa sebagai seorang kyai yang paling kompeten dalam tajwid di abad ke-20 ini. Dari mata rantai kyai Munawir dan gurunya ke atas, seseorang dapat layak mengajarkan ilmu tajwid. E. Profil Pondok Pesantren Di Abad XX 1. Pondok Pesantren Tebuireng Pondok pesantren Tebuireng didirikan oleh Kyai Hasyim Hadratu Syekh pada tahun 1899 di

Desa Cukir yang terkenal dengan pabrik gulanya pada zaman kolonial belanda hingga saat ini. Pondok Pesantren Tebuireng berada di atas sebuah blok seluas kurang lebih 2 hektar, blok kedua dipakai sebagai lapangan olah raga, dan blok ketiga berrupa persawahan, luasnya kurang lebih 9 hektar dan terletak 9 kilometer di sebelah tenggara komplek pesantren, dan blok ini adalah aset pesantren dalam upaya pembiayaan pesantren. Blok pertama dan ketiga adalah wakaf dari Hadratu Syekh, sedangkan blok kedua dibeli oleh pesantren pada tahun 1974. Seluruh komplek pesantren terdiri dari 4 unit gedung, masjid yang terletak di tengah-tengah komplek, rumah direktur pesantren, 15 unit pondok, dan gedung-gedung sekolah dan universitas. Pesantren Tebuireng , yang mulai menarik mahasiswa yang telah mencapai tingkatan tinggi dalam pengetahuan Islam hanya memerlukan waktu 10 tahun untuk mengembangkan diri menjadi sebuah pesantren besar. Disamping kecakapan manajemen dari Hadratu Syekh, beliau juga dibantu oleh kyai-kyai senior seperti, Kyai Alwi, Kyai Masum, Kyai Baidlawi, Kyai Ilyas, dan Kyai Wahid Hasyim. Seperti pondok pesantren yang lain, Tebuireng antara tahun 1899-1916 mengikuti sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Antara tahun 1916 dan 1934, madrasah di Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi ke dalam dua tingkatan, yaitu sifir awwal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki madrasah lima tahun berikutnya. Mereka dididik khusus untuk memhami bahasa arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun. Kurikulum madarasah pada tahun 19161919 terdiri dari pengetahuan agama saja. Dan pada tahun 1919 mulai ditambah dengan pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Bumi, mulai tahun 1926 ditambah pula pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah, kedua pelajaran ini diperkenalkan oleh Kyai Ilyas, keponakan Hadratu Syekh yang menamatkan pendidikannya di H.I.S Surabaya. Kyai Wahid Hasyim putra tertua Hadratu Syekh, sekembalinya dari belajar selama 1 tahun di Makkah mengusulkan sistem pengajaran bandongan diganti dengan sistem tutorial agar lebih efektif dan sistematis. Kemudian Hadratu Syekh menyetujuinya dan dibuatlah Madrasah Nidhomiyah pada tahun 1934, di mana pengajaran pengetahuan umum merupakan 70 persen dari keseluruhan kurikulum. Akan tetapi Madrasah Nidhomiyah ini terancam bubar dan ditiadakan setelah Kyai Wahid Hasyim lebih aktif sebagai pimpinan NU di tahun 1938. Sejak itu ia memilih jadi politikus daripada menjadi pimpinan pesantren. Dan kemudian digantikan oleh adiknya yang tertua Khaliq Hasyim sebagai direktur pesantren. Sejak meninggalnya Hadratu Syekh pada tahun 1947, kelas Musyawarah tidak bisa diteruskan karena tidak ada yang mampu memimpin kelas ini. Namun demikian sampai permulaan tahun 1970-an, para santri senior masih bisa mengikuti pengajian kitab-kitab tinggi yang diajarkan oleh staf senior, yaitu Kyai Baidlawi, Kyai Idris, Kyai Adlan Ali, Kyai Karim Hasyim, dan Kyai Manan. Tahun 1950-an sistem madrasah diorganisir untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kehidupan pesantren yang agak suram pada waktu itu. Dalam periode ini didirikan jenjangjenjang madrasah dari madrasah Ibtidaiyyah, Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah, dan Madrasah Mualimmin. Setelah Haliq Hasyim digantikan oleh Yusuf Hasyim, salah seorang putra Hadratu Syekh, sebagai direktur pesantren, ia membentuk Dewan Kyai dan Majlis Tarbiyyah wa Tali>m yang kedua-duanya menangani kegiatan pendidikan dan kehidupan keagamaan sehari-hari di pesantren. Kepemimpinan Yusuf Hasyim terbilang unik karena ia bukan berlatarbelakang seorang ahli agama, tapi ia memiliki keterampilan dalam mengorganisasi pondok. Banyak perkembangan baru menjadi terobosannya antara lain mendirikan Universitas Hasyim Asyari pada tahun 1967 yang terbuka bagi mahasiswa putra dan putri, mendirikan madrasah Huffa>dh

pada tahun 1971, dan mendirikan SMP dan SMA untuk murid pria dan wanita pada tahun 1975. Akan tetapi padatnya kegiatan Yusuf Hasyim menjadi anggota DPR, pimpinan NU, dan PPP menyebabkan kekurangan waktu untuk dapat secara langsung memimpin Tebuireng. Akhirnya beliau mempercayakan kepada anggota Dewan kyai dan Majlis Tarbiyyah wa Tali>m untuk mengurus pesantren, walaupun belum dapat tidak dapat mengambil keputusan seperti direktur pesantren. Keberadan Dewan Kyai dan Majlis Tarbiyyah wa Tali>m di Pesantren Tebuireng sangat berarti, karena majlis ini bertanggungjawab mengurusi masalah-masalah kesiswaan dan membuat rencana tahunan untuk pengajaran kitab-kitab Islam klasik pada kelas-kelas halaqah, terutama untuk tingkat dasar dan menengah. Majlis ini juga menentukan aturan-aturan tingkah laku, disiplin dan kesejahteraan siswa, mengorganisasi jamiyyah dan mencari pengajar kitab. Jumlah anggota Majlis sebanyak 30 orang dan 20 dari mereka itu adalah santri senior yang juga bertitel ustadz karena mereka juga mengajar santri yunior dalam kitab-kitab dasar dan menengah. Dalam 30 tahun pertama, tujuan pendidikan Tebuireng ialah untuk mendidik calon ulama. Sekarang ini, tujuan pendidikan Tebuireng sudah diperluas, yaitu untuk mendidik para santri agar kelak dapat mengembangkan dirinya menjadi ulama intlektual ( ulama yang menguasai pengetahuan umum) dan intlektual ulama ( sarjana dalam bidang pengetahuan umum yang juga menguasai pengetahuan Islam). Untuk mengejar kedua tujuan tersebut, Tebuireng menyelenggarakan 10 macam tipe aktivitas pendidikan yaitu: a. Kelas Bandongan b. Madrasah Ibtida>iyyah c. Sekolah Persiapan Tsanawiyyah d. Madrasah Tsanawiyyah e. Madrasah Aliyah f. SMP g. SMA h. Madrasah al-Huffa>dh i. Jamiyyah, dan j. Universitas Hasyim Asyari Kesepuluh aktivitas tersebut diselenggarakan secara terpisah dan pada waktu yang berlainan. Dengan demikian, setiap santri dapat mengikuti kegiatan sebanyak mungkin aktivitas pendidikan tersebut. 2. Pondok Pesantren Tegalsari Pondok pesantren Tegalsari didirikan oleh Kyai Muhammad Rozi dengan bantuan saudara iparnya, Kyai Ali Munawwir. Kyai Muhammad Rozi dilahirkan di Tempursari dekat Klaten, yang setelah menikah dengan keluarga istrinya di Tegalsari, Salatiga, Ayahya, Kyai Imam Rozi, adalah pendiri Pesantren Tempursari (Klaten), sedangkan keponakannya Kyai Idris, adalah pemimpin pesantren Jamsaren (Surakarta), sebuah pesantren yang sangat terkenal sejak akhir abad ke sembilan belas sampai pertengahan abad ke dua puluh. Tidak seperti Hadratu Syekh, Kyai Muhammad Rozi tidak memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Setelah belajar pada ayahnya sendiri, kemudian ia mendirikan Pesantren Tegalsari. Keterbatasan pendidikannya menyebabkan kurangnya pengaruh pesantren pada awal perkembangannya. Pengaruhnya baru mulai berkembang dengan lancar sejak menantunya, Kyai Abdul Jalil mendirikan cabang Tarekat Naqsabandiyyah di Tegalsari. Kyai Abdul jalil dilahirkan di Banyumas, beliau menikah dengan anak pertama dari Kyai

Muhammad Rozi dan menetap di Tegalsari. Kemudian oleh mertuanya ia dikirim ke Mekkah untuk belajar. Ia berada di Makkah selama 8 tahun, empat tahun ia habiskan untuk mempelajari bahasa arab, fikih, tafsir, hadis, dan tasawwuf. Sedang empat tahun terakhir dipergunakan untuk mengikuti kegiatan dan amalan tarekat di bawah pimpinan Syekh Sulaiman Efendi, sampai akhirnya dipercaya untuk mendirikan cabang tarekat di Tegalsari. Kyai Abdul Jalil mengajarkan murid-muridnya untuk mempraktekkan sulu>k, di mana para murid selama 40 hari dilatih untuk beribadah sebanyak-banyaknya, terutama zikir dan wirid. Latihan ini dimaksudkan agar sekembalinya dari sulu>k, mereka tidak akan meninggalkan kebiasaannya melakukan amalan-amalan ibadah. Keberhasilan Kyai Abdul Jalil mengembangkan Tarekat Naqsabandiyyah ini juga memungkinkan dirinya untuk memusatkan perhatiannya pada tugasnya semata-mata sebagai pemimpin agama. Ia dapat mengirim keenam anak laki-lakinya belajar ke Mekkah, tiga di antaranya tiggal di Mekkah antar lima sampai delapan tahun. Pesntren Tegalsari belum sepenuhnya berkembang sewaktu Kyai Abdul Jalil meninggal dunia pada tahun 1916. Sedangkan anak tertuanya Kyai Jufri belum cukup cakap untuk memimpin pesantern karena ia tidak banyak menguasai mengajarkan kitab-kitab hanya memusatkan perhatian pada pengamalan ajaran-ajaran tarekat. Akhirnya pada tahun 1917, adiknya Kyai Hisyam yang masih berumur 22 tahun dan masih belajar di Mekkah terpaksa menghentikan kuliahnya dan mulai mengisi kekosongan kepemimpinan dalam pengajaran kitab-kitab. Ia cukup berhasil mengembangkan sistem madrasah yang dapat menarik anak-anak di sekitar Tegalsari. Tapi, kini Pesantren Tegalsari hampir punah, namun dalam masa hampir satu abad, pesantren ini telah berhasil membentuk kelompok-kelompok masyarakat yang sangat taat kepada Islam di 4 dari ke-15 kelurahan di Kecamatan Susukan. Di empat kelurahan ini, yaitu Sidoarjo, Ketapang, Bakalrejo, dan Gentan, jumlah orang yang patuh kepada Islam sudah merupakan mayoritas penduduk. Secara tidak langsung perkembangan pesantren di daerah Candran di Kotamadya Salatiga yang dipimpin oleh Kyai Ghufron dan Ishom ( kedua-duanya putra terakhir Kyai Abdul Jalil ), adalah merupakan karya dan ekspansi pengaruh Pesantren Tegalari. F. Kyai dan Tarekat Pondok Pesantren Tebuireng telah menjadi pusat Tarekat Qadariyah dan Naqsabandiyyah sejak bulan Januari 1978. perkembangannya turut mempengaruhi lingkungan di sekitarnya, terutama daerah Jawa Timur. Kaitannya dengan perkembangan tarekat di pesantren, dalam pembahasan ini ada dua fokus bahasan yaitu pentingnya elemen tarekat dalam tradisi pesantren dan meneliti bentuk tarekat yang dipraktekkan oleh para Kyai. Perlu diperhatikan ada dua term dalam masalah ini, yaitu Tasawwuf dan Tarekat. Tasawwuf bidang kajiannya hanya semata-mata pada aspek intlektual saja, sedang Tarekat lebih terarah pada aspek-aspek praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan pesantren, istilah tarekat diberi makna sebagai suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan Syariah Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-praktek wara>, mengerjakan amalan yang bersifat sunah, baik sebelum maupun sesudah shalat wajib, dan mempraktekkan riya>dhah. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tarekat adalah bagian inheren dari kehidupan pondok, ia merupakan amalan-malan murni ajaran Islam demi mencari satu jalan menuju Allah melalui praktek-praktek keagaman, bukan terkait dengan organisasi tarekat tertentu. Pada umumnya para sarjana barat yang mempelajari Islam sependapat, bahwa tarekat merupakan

salah satu unsur tambahan yang dianggapnya tidak memiliki sumber atau dasar yang kuat dari alQura>n dan al-Hadi>ts. Mereka juga menyimpulkan bahwa para penganut tarekat mengamalkan Islam yang salah, bertentangan dengan ajaran tauhid. Kesimpulan ini diambil dari praktek tarekat di mana seorang murid dianggap sah mengamalkan ajaran tarekat bila di bawah bimbingan seorang guru, karena ia menjadi perantara menuju Allah dan mempunyai otoritas mutlak atas murid-muridnya, baik dalam persoalan kehidupan spritual maupun material. Namun pernyataan di atas dibantah oleh para Kyai, termasuk Kyai dan anggota tarekat di Jombang. Menurut mereka, bimbingan yang diberikan oleh guru tarekat dalam amalan-amalan tarekat itu tidak mereka anggap sebagai suatu campur tangan, melainkan sebagai kawan dalam perjalanan menuju ke sisi Allah. Para pemimpin tarekat mengajarkan keharusan adanya tawassul semata-mata untuk menaikkan status guru tarekat setinggi mungkin dengan tujuan kepercayaan yang tinggi kepada gurunya itu untuk selanjutnya dapat menumbuhkan kepercayaan yang kuat kepada si murid akan belas kasihan Allah dan balasan syurga. Dan kebanyakan dari mereka yang berguru kepada pemimpin tarekat bermaksud memperoleh pertolongan bersifat spritual, yaitu menghilangkan kejiwaan atau untuk memperkuat semangat dalam mencapai suatu keinginan. Sehingga kebanyakan dari anggota perkumpulan tarekat dewasa ini adalah orangorang yang sudah lanjut usia yang tidak lagi didorong oleh keinginan mengejar kehidupan duniawi sebagai dasar memperoleh kebahagiaan. Setelah menyadari bahwa akhir hidupnya sudah semakin dekat, mereka merasakan kebutuhan spritual untuk lebih mendekati Allah. Perkembangan tarekat di pulau Jawa sudah ada sejak abad ke-16, sebagaimana yang dikemukan oleh Profesor Rinkes bahwa Tarekat Sata>riyyah mula-mula dikembangkan oleh Abdurrauf Sinkel. Kemudian menyebar ke Jawa Barat, di bawah pimpinan Abdul Muhyi, salah seorang murid Abdurrauf Sinkel. Dari Jawa Barat kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Demikian pula Tarekat Qadiriyyah, bermula dari Aceh di bawah pimpinan Hamzah Fansuri yang selama hidupnya banyak berkelana ke daerah-daerah lain termasuk Jawa dengan maksud menyebarkan Tarekat Qadiriyyah. Tarekat yang paling berpengaruh tersebar secara luas di Jawa pada saat ini ialah Tarekat Qadariyyah dan Naqsabandiyyah. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat empat kelompok organisasi tarekat lainnya, yaitu Syata>riyyah, Siddi>qiyah, Syadhi>liyyah, dan Wahi>diyah, namun tidak tersebar secara luas dan pengaruhnya relatif kecil. Tarekat Syata>riyyah berasal dari India dan pertama kali didirikan oleh Syekh Abdullah Syattar (meninggal tahun 1485). Dewasa ini terdapat dua buah pusat Tarekat Syatta>riyyah di Jawa Timur, yaitu di Nganjuk (Madiun) di bawah pimpinan Kyai Kusnun, dan di Takeran (Madiun) di bawah pimpinan Kyai Turmudhi. Sebelum tahun 1966. Tarekat ini tidak begitu penting, tapi sejak tahun itu pengikutnya semakin bertambah dan kebanyakan pengikutnya berasal dari kaum abangan. Lain halnya dengan Tarekat Sidd>iqiyyah yang asal-usulnya tidak begitu jelas. Namun muncul dan perkembangannya di Jombang, Jawa Timur, di mulai oleh kegiatan Kyai Muhktar Mukti yang mendirikan tarekat tersebut di Losari, Ploso (Jombang) pada tahun 1958. namun demikian, ia sendiri tidak menganggap dirinya sebagai pendiri pertama tarekat tersebut, tetapi menerima warisan kepemimpinannya dari Kyai Syuaib yang pergi ke luar negeri dan menyerahkan kepemimpinan tarekat kepada Kyai Muhtar Mukti pada tahun 1958. Sedangkan Tarekat Wahi>diyah didirikan oleh Kyai Majid Maruf di Kedunglo (Kediri) pada tahun 1963. secara teoritis tarekat ini terbuka untuk siapa saja, karena orang tidak usah mengucapkan sumpah untuk menjadi anggota, siapa saja yang mengamalkan dzikir Salawat Wahidiyyah sudah dianggap sebagai anggota. Yang mendorong Kyai Majid Maruf mendirikan

tarekat ini adalah untuk meningkatkan ketaatan orang Islam kepada perintah-perintah agama. Menurut pengamatannya, kehidupan masyarakat Islam di Jawa dewasa ini semakin jauh dari ukuran-ukuran keislaman, orang mengukur kehidupan semata-mata dari sudut kebendaan, sehingga mereka mengalami kekosongan agama dan kejiwaan. Akan tetapi para Kyai yang tergabung dalam organisani NU di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengnggap Tarekat Qodiriyyah dan Naqsabandiyyah sebagai tarekat yang mutabar (sah), sedangkan keempat tarekat di atas, dianggap tidak mutabar. Pada tanggal 10 oktober 1957, para Kyai mendirikan suatu badan federasi bernama Pucuk pimpinan Jamiyyah Ali Thori>qoh Mutabarah, sebagai tindak lanjut dari keputusan mutamar NU tahun 1957 di Magelang. Dalam Mutamar NU di Semarang tahun 1979 diganti dengan nama Jamiyyah Thoriqoh Mutabarah Nahdliyyin. Sejak terbentuk, organisasi ini dipimpin oleh para Kyai terkenal antara lain; Kyai Baidlawi, Kyai Masum dan Kyai Hafidh (ketiganya pemimpin Pesantren Lasem, Rembang), Kyai Muslih dari Mranggen (Semarang), Kyai Adlan Ali dari Tebuireng (Jombang), dan Kyai Arwani dari Kudus. Tujuan pembentukan organisasi ini adalah untuk membimbing organisai-organisasi tarekat yang dinilai belum mengajarkan amalan-amalan Islam yang sesuai dengan al-Qura>n dan Hadi>ts, dan untuk mengawasi organisasi-organisasi tarekat agar tidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenarkan oleh ajaran-ajaran Islam. G. Faham Ahlussunnah Wal-Jama>ah Secara umum perkataan Ahlussunnah wal Jama>ah dapat diartikan sebagai para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan Ijma Ulama. Sering disimpulkan bahwa pengikut Ahlussunnah wal Jama>ah adalah suatu kelompok besar dalam lingkungan umat Islam di seluruh dunia, yaitu kelompok Sunni> yang dibedakan dengan kelompok Syiah. Tapi, bagi para Kyai Jawa, Ahlussunnah wal Jama>ah mempunyai arti yang sempit. Tidak semata-mata membedakan dengan kelompok Syi>ah, tetapi juga untuk membedakannya dengan kelompok Islam Modern ( yang berpegang hanya kepada al-Qura>n dan Hadi>ts dan menolak Ijma). Secara eksplisit KH. Bisyri Musthafa menjelaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama>ah adalah faham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut: 1. Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat. Dalam praktik, para kyai adalah penganut kuat Mazhab Syafii. 2. Dalam soal-soal Tauhi>d, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hassan al-Asyari> dan Imam Abu Mansu>r al-Maturidi>. 3. Dalam bidang Tasawwuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qo>sim al-Juna>id. Dari formulasi di atas, menjadi jelas bahwa para kyai membedakan dirinya dari kaum Islam Modern yang tidak mengikuti ajaran-ajaran para Imam tersebut di atas. Dalam bidang tasawwuf, pengikut Islam Modern tidak membenarkan segala bentuk tarekat yang mengajarkan asetisme dan pengulangan jenis-jenis dzikir. Sebaliknya para kyai menganggap bahwa tarekat merupakan salah satu inti ajaran-ajaran dan praktek-praktek Islam. Penolakan kaum Islam Modern terhadap segala bentuk praktek tarekat didasarkan kepada tiga alasan, yaitu; pertama, praktek dzikir dan wirid yang dilaksanakan oleh para pengamal tarekat dianggapnya terlalu berlebih-lebihan. Kedua, banyak guru dan pengikut tarekat yang seringkali mengamalkan hal-hal yang dianggap syirik seperti, azimat-azimat yang dianggapnya dapat memelihara pemiliknya dari roh atau nasib buruk. Ketiga, praktek dzikir melalui tawassul dianggap oleh kaum Islam Modern sebagai pengakuan adanya perantara dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Namun dalam bidang teologi mereka menegaskan tidak ada perbedaan, seperti: a. Keduanya percaya sepenuhnya pada monotheisme, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. b. Mereka percaya sepenuhnya kepada takdir dan kadar. c. Mereka percaya akan adanya hari akhirat. d. Mereka percaya sepenuhnya tentang peranan agama yang menyeluruh dalam mengatur kehidupan manusia. Dalam bidang syari>ah, kedua kelompok mengajarkan bahwa orang-orang Islam yang mengucapkan dua Kalimah Syaha>dht, mengerjakan sembahyang lima waktu, membayar zakat, puasa pada Bulan Ramadha>n, dan melaksanakan haji, dapat dianggap sebagai orang Islam yang baik dan mendapatkan balasan syurga di akhirat nanti. Namun tidak dapat disangkal adanya perbedaan antara mereka terutama dalam masalah furu>iyah. Para kyai menganggap amalan tambahan, baik ritualitas maupun nonritualitas yang baik, dapat diamalkan. Sebaliknya kaum Islam Modern menganggap amalan-amalan tambahan sebagai perbuatan mengada-ada atau bidah, sesuatu yang dilarang dalam Islam. H. Kyai Dalam Situasi Indonesia Saat Ini Tradisi pesantren dalam sejarah perkembangan bangsa indonesia mempunyai pengaruh yang besar, terutama oleh para kyai-kyai yang sekaligus juga sebagai pejuang. Walaupun para pemimpin di Indonesia tidak menyatakan Indonesia sebagai negara Islam, namun mereka juga mau menerima ideologi-ideologi dari barat yang bersifat liberalitas, humanistik, dan sekuler. Hal ini tampak pada pembukaan UUD 1945 dan dalam pancasila yang menjadi dasar dan falsafah Negara Indonesia. Islam di Indonesia telah menjadi pendorong tumbuhnya gerakan nasionalisme memerangi penjajahan di negeri ini. Perjuangan para kyai sebagai bukti dari peranan islam dan sumbangsih kyai dalam upaya mempersatukan umat islam Indonesia. Bahkan pada masa kemerdekaan, banyak para kyai yang duduk di lembaga legislatif, baik di pusat maupun daerah. Kebanyakan penulis tentang Islam Tradisional telah keliru menyimpulkan bahwa modernisasi menyebabkan peranan kyai tidak diperlukan lagi. Bahkan ada yang menyipulkan bahwa para kyai telah menghambat laju prosesnya modernisasi tersebut. Padahal dalam kenyataannya, disekeliling kita menunjukkan bahwa di tengah gejolak pembangunan ekonomi di Indonesia dewasa ini, para kyai tetap merupakan sekelompok orang-orang yang bersedia membangun kesejahteraan spritual bangsanya. Para kyai dalam pesantren tidak menutup mata terhadap modernisasi dalam dunia pendidikan, mereka mengambil sikap lapang dada dalam menyelenggarakan modernisasi lembaga-lembaga pesantren. Namun modernisasi tersebut tidak merubah esensi pesantren sendiri sebagai tempat pengembangan tradisi Islam. Hal ini juga terlihat pada putra/putri kyai yang disekolahkan di universitas-universitas pemerintah dan setelah selesai mereka bekerja di kantor-kantor pemerintah atau balik ke pesantren membantu orang tua mereka guna melakukan modenisasi pendidikan pesantren. Oleh karena itu, masa depan pesantren tentunya akan tergantung banyak kepada sikap kyai dalam menghadapi tantangan-tantangan yang timbul sebagai akibat proses perkembangan masyarakat Indonesia dewasa ini.

Anda mungkin juga menyukai