Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MATA KULIAH PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI MASSA

Ringkasan

QUALITATIVE METHODS
(Bab 4 Buku Robin L. Nabi & Mary Beth Oliver, The SAGE Handbook of Media Processes and Effects)

DISUSUN OLEH:

DEDE MAHMUDAH (N.I.M. 1106037561) IKA DEASY ARIYANI (N.I.M. 1106038135) NURUL HIDAYAH PUTRI (N.I.M. 1106117341) RENYCHAIRANY (N.I.M 1106117493) RIEKA MUSTIKA (N.I.M 1106038822) SUKMA INDAH RINDUWATI (N.I.M. 1106039062)

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA DESEMBER 2011

METODE KUALITATIF Selama tiga dekade terakhir, metode kualitatif telah mendapat perhatian dalam penelitian komunikasi. Pada awalnya, metode ini diragukan dari sisi nilai ilmiah dan legitimasi, namun sekarang metode ini telah diakui sebagai bentuk disiplin penelitian dengan standar kualitasnya sendiri. Metode ini telah terbukti sangat cocok untuk mempelajari penerimaan audiens media, dimana penerimaan tersebut dipandang sebagai kegiatan yang terletak dalam konteks sosiohistoris, aktivitas rutin yg terintegrasi ke dalam kehidupan sehari-hari, sebuah kecakapan keteramoilan, dan proses hermeneutik (ditafsirkan dengan mengacu pada makna yang ada; Thompson, 1995). Konstruksi makna yang bermanfaat dari studi kualitatif adalah "metode keintiman" (Anderson, 1996) yang memungkinkan seseorang untuk masuk ke domain semiotika mengenai penggunaan media. Metodologi Kualitatif Menurut Taylor dan Trujilllo (2001) kita tidak dapat membuat definisi penelitian kualitatif yang dapat diterima secara universal. Menurut Atkinson dan Hammersley (1994), kunci dari metode etnografi dan lapangan secara umum adalah etnografer menggunakan data yang tidak terstruktur yaitu data yang belum pada titik pengumpulan data dalam hal kategcri analitik Lindlof dan Taylor (2002) membangun sebuah gagasan bahwa peneliti kualitatif mencoba untuk melestarikan dan menganalisis bentuk situasi, isi, dan pengalaman sosial daripada fokus dalam hal hubungan matematis atau hubungan formal lainnya. Para peneliti kualitatif mencoba untuk merepresentasikan kualitas aksi sosial yang diamati dan menangkap semua titik pengambilan data melalui analisis data. Hal ini yang membuat studi kualitatif menjadi "kualitatif. Selain itu penting juga untuk melawan persepsi bahwa metode kuantitatif dan kualitatif dianggap sebagai sesuatu yang berlawanan (Manichean opposites). Bavelas (1995) menolak pemikiran biner yang dianggap sebagai dikotomi semu yang membandingkan empiris vs non empiris, objekif vs subektif, induktif vs deduktif, generalisasi vs non generalisasi dan sebagainya. Dalam pandangannya, pendekatan kualitatif dan kualitatif dapat dihubungkan melalui sebuah model bersama melalui pendekatan ilmiah, walaupun memiliki tujuan yang berbeda dan menciptakan berbagai jenis data. Pendekatan kualitatif dan kualitatif dapat juga digunakan secara bersamaan dalam prakteknya. Misalnya, untuk penelitian menggunakan metode eksperimen misalnya kadangkadang beralih ke teknik kualitatif seperti wawancara/diskusi kelompok ketika dibutuhkan untuk menilai pemikiran subyektif dari berbagai macam stimulus. Di sisi lain, kita kadang

menggunakan pengukuran kuantitaiif ketika mereka ingin melacak frekuensi fenomena sosial tertentu dalam aturan yang dibatasi. Terdapat sebuah metode pemahaman empati yang disebut verstehen. Verstehen dimasukkan ke dalam suatu gerakan melalui penyelarasan dengan subjek. Dalam etnografi, verstehen dijaiankan dengan mengambil bagian dalam kehidupan kelompok yang d'teliti. Mengutip antropolog Bronislaw Malinowski (1922/1961), tujuan dan etnografer adalah untuk memahami titik pandang asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mewujudkan visinya dalam dunianya. Praktek etnografi telah berubah dalam beberapa hal, namun para peneliti kualitatif masih mempelajari apa yang Geertz (1973) sebut sebagai "webs of significance" atau jaring makna yang membentuk dasar dari dunia sosial masyarakat dan praktek-praktek budaya. Jaring makna ini penting seperti kepercayaan, ideologi, nilai-nilai, aturan-aturan sosial, dan semua klaim kebenaran tentang realitas, yang memberikan rasa koherensi, keamanan, dan arah bagaimana kita bertindak. Hampir semua penelitian interpretif berpijak pada doktrin konstruktivisme yang menyatakan bahwa realitas merupakan sebuah produksi berkelanjutan dari usaha manusia sendiri. Dua asumsi konstruktivisme antara lain: pertama, semua pengalaman manusia merupakan subyek terhadap interpretasi variabel dari sifat data seperti warna, pergerakan, dan tekanan udara terhadap data sosial seperti artefak, bahasa, dan ritual. Dalam penelitian kualitatif, ide atau aktivitas interpretasi peneliti dapat mempengaruhi objek yang diteliti. Oleh karena itu merupakan kewajiban peneiiti untuk mencatat aspek relasional dari partisipasi mereka dengan subyek manusia dan mempertimbangkan implikasi etis dan politik dari penelitian lapangan mereka dan publisitasnya. Kedua, realitas yang dibicarakan dalam konstruktivisme dalam dunia sehari-hari merupakan sebuah pemahaman yang umum. Klaim yang sah dalam bentuk-bentuk , seperti pengetahuan, agama, yuridis, moral, dan sebagainya tergantung pada beberapa tingkat kesepakatan intersubjektif mengenai objek yang menjadi referensi. Pemahamanpemahaman ini tidak dimiliki oleh orang-orang secara abstrak, namun diwujudkan dalam praktek ikonik, diskursif, praktek performatif yang merupakan sumberdaya bagi upaya komunikatif (Anderson, 1996). Metode yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah melalui observasi partisipan, wawancara intensif, wawancara dengan kelompok, analisis data, dan sebagainya, yang menempatkan kita di perbatasan pemahaman umum sehingga kita dapat mengungkap tacit knowledge. Melalui proses yang menghubungkan pemahaman antara aktor sosial dari apa yang mereka lakukan dan melalui konseptualisasi formal disiplin akademis sehingga kita secara bertahap belajar untuk memahami pengalaman seseorang atau kelompok mengenai media. Kesimpulan teoritis selalu memiliki kekhususan

sosiohistoris yang merupakan interpretasi dan kelompok di tempat dan waktu saat ini, hidup dalam kondisi sosial, ekonomi dan politik tertentu. Namun, sebuah analisis interpretatif dapat menggeneralisasi temuan untuk beberapa tingkat karena konsistensi budaya dari dunia sosial yang mereka pelajari (Williams, 2000). Sejarah Metodologis Studi-studi Audiens Kualitatif Metode-metode kualitatif muncul secara sporadis selama masa pembentukan penelitian komunikasi massa, yaitu sejak tahun 1930-an hingga 1950-an. Secara sendirisendiri, terutama di Amerika Serikat dan Inggris Raya, studi-studi tersebut menghasilkan deskripsi yang menggugah rasa ingin tahu tentang budaya media nantinya di tahun 1950an, namun tidak ada di antaranya yang mengarah ke penelitian yang terdorong oleh teori. Dari tahun 1940-an hingga 1970-an, penelitian media yang positivistik dan berfokus kepada efek menjadi paradigma penelitian dominan dan karya kualitatif umumnya dianggap prailmiah atau memiliki peran eksploratif. Pada akhir tahun 1970-an, opini tentang nilai penelitian kualitatifkhususnya mengenai ide tentang lembaga audiens dan aktivitas audiensmulai mengalami pergeseran. Namun di awal pembentukannya, terlihat jelas bahwa jalur metodologis kualitatif mengalami percabangan. Di Amerika Serikat, peneliti-peneliti media mengembangkan sebuah pendekatan aksi sosial untuk mempelajari tentang televisi. James Lull pa^a tahun 1980 mendukung penggunaan etnografi dalam setting keluarga, dan James A. Anderson, Timothy P. Meyer, dan rekan-rekannya pada tahun yang sama mengajukan agenda serupa terhadap studi-studi kasus etnografis tentang kehidupan keluarga. Mereka umumnya tidak puas dengan cara penggunaan media ditentukanatau dihiraukanoleh pendekatan-pendekatan survei dan eksperimental untuk pengukuran audiens. Terinspirasi dan sosiologi-sosiologi interpretif etnometodoiogi dan interaksionisme simbolik, James Lull dan James A. Anderson serta rekan-rekannya berpendapat bahwa penelitian etnografis secara unik mampu mengenali penggunaan media secara umum yang memiliki ciri sensitif terhadap konteks dan diterima begitu saja. Etnografi menempatkan peneliti di tengah-tengah tindakan sosial. (Secara ontologis, tindakan sosial tidak memiliki awal atau akhir; namun sebagai masalah praktis, peneliti harus memilih waktu untuk mengintervensi di dalam arus tindakan yang sedang berjalan.) Dengan memasuki sebuah unit yang hidup selama suatu periode waktu, pengamat partisipan memperoleh sebuah perspektif orang dalam terhadap signifikansi penggunaan media para anggota keluarga. Dalam sebuah panduan metodologis awal, Lull pada tahun 1985 menggambarkan beberapa pertimbangan kunci untuk melakukan observasi partisipan, antara lain:

sebuah periode observasi selama 3 hingga 7 hari bersama sebuah keluarga; pembentukan rapport secara lincah dengan para anggota keluarga sehingga peneliti dapat melakukan pengamatan secara tidak mencolok; keterlibatan peneliti dalam kegiatan-kegiatan rutin keluarga (misalnya bekerja, kegiatan waktu senggang) dalam upaya untuk memperoleh penerimaan dan dapat mengajukan pertanyaan internal; dan

di tahap akhir tugas lapangan, sebagai alat periksa terhadap validitas dan reliabilitas, penggunaan wawancara dengan para anggota keluarga mengenai isu-isu yang diangkat oleh observer dan untuk melaporkan keyakinan dan opini mereka mengenai anggotaanggota keluarga lainnya. Timothy P. Meyer Meyer dan rekan-rekannya pada tahun 1980 juga mengajukan

bahwa observasi ditambahkan dengan sederet pengukuran-pengukuran (kuesioner, sketsabiografis, catatan perjalanan waktu, dan sebagainya) untuk memperoleh sebuah gambaranglobal mengenai keluarga yang diobservasi dan sebuah pandangan yang tajam mengenaibagaimana media memainkan peran di sepanjang periode-periode yang lebih panjang. Pertanyaan yang lebih berkonsekuensi mengenai periode observasi adalah: Dapatkah peran media di dalam sebuah sistem kompleks seperti keluarga dipahami hanya dalam beoerapa hari? Lull dan yang lainnya berpendapat bahwa kerangka waktu yangsingkat memadai untuk menarik kesimpulan aturan-aturan sosial dan struktur-struktur peransebuah keluarga yang berhadapan langsung dengan media televisi. Bagaimanapun juga, audiens etnografi awal lainnya melakukan kontak dalam periode yang lebih lama dengan anggota-anggota keluarga. Studi-studi etnografi audiens pertama sangat dipengaruhi oleh gaya pengumpulandata lapangan yang alamiah yang menekankan observasi ketimbang partisipasi. Sebagaisalah satu konsekuensinya, etnografi-etnografi tersebut dicirikan oleh sebuah sikappemisahan netral dari fenomena yang sedang diamati sebagaimana halnya sebuahpenelantaran halus terhadap kekuatan-kekuatan ideologis yang bermain dalam setting lokal. Pada akhirnya, para etnografer media menyadari bahwa sikap tersebut bertentangan dengan proses aktual melakukan pengakuan dan adaptasi mutual dengan pihak-pihak lain di lapangansebuah proses yang dikenal sebagai refleksivitas. Pada akhir 1980-an, inovasi-inovasi antropologis dalam bentuk-bentuk etnografi dialogis dan politis disarng ke dalam ilmu-ilmu sosial lainnya, termasuk studi komunikasi dan media. Sementara itu, di Inggris Raya, David Morley, seorang peneliti yang berafiliasi dengan Pusat Studi Budaya Kontemporer milik Universitas Birmingham, ikut serta dalam sebuah studi selama 4 tahun dalam sebuah program current affairs Inggris, Nationwide.

Penelitian terhadap proses dekoding audiens terhadap program mendaoari sebagian besar studi. Studi tersebut mengemukakan bahwa diskursus yang beredar di dalam kelompokkelompok sosial seseorang memiliki pengaruh yang kuat terhadap cara dia membaca sebuah teks media. Beberapa evaluasi pemirsa bahkan berbias, atau "subversif." terkait maksud yang lebih diutamakan oleh program. Sebagaimana Morley menyatakan temuannya, bahwa makna sebuah teks atau pesan harus dipahami sebagai produk yang dihasilkan melalui sebuah interaksi dari kode-kode yang tertanam di dalam teks dengan kode-kode yang dimiliki oleh bagian-bagian audiens yang berbeda-beda. Studi lainnya dari periode yang sama, karya Janice Radway, Reading the Romance tahun 1984, memainkan peran penting dalam fokus yang baru muncul terhadap kesadaran audions. Radway menemukan bahwa penggemar novel-novel romantis, genre yang membawa tema-tema yang diketahui patriarkal, membaca novel-novel tersebut sebagai cerita-cerita yang memberdayakan dan mencuri-curi waktu membacanya untuk melarikan diri dari tanggung jawab keluarga. Studi tersebut berhasil menyatukan sejumleh elemenelemenanalisis naratif, kritisisme feminis, dan analisis terhadap diskursus audiensuntuk memahami cara sebuah produk media populer masuk ke dalam sebuah konieks sosial. Kemunculan studi-studi Morley aan Radway bersama-sama yang lainnya yang dilakukan pada tahun 1980-an, mengawali sebuah jenis penelitian audiens yang baru, yaitu analisis penerimaan (reception analysis atau studi penerimaan). Analisis penerimaan mengetengahkan beberapa masalah kunci dalam sejumlah bidang dan dalam sejumlah kerangka kerja konseptual, dari studi-studi budaya Inggris hingga semiotika sosial, teori feminis, dan postmodernisme. Dalam istilah metodologis, analisis penerimaan dicirikan oleh sebuah tekad bahwa studi-studi yang dilakukan meliputi sebuah analisis komparatif empiris antara diskursus media dengan diskursus audiensstruktur-struktur konten dengan struktur respons audiens terhadap konten. Komponen audiens didatangkan melalui sebuah metode wawancara yang bertujuan untuk menggali interpretasi, dekoding, pembacaan, produksi makna, penerimaan atau pemahaman para penonton terhadap program. Para analis penerimaan mengambil pandangan tertentu terhadap fungsi dan penggunaan wawancara. Dalam wawancara, cerita rakyat, dan bidang-bidang lainnya, para peneliti kualitatif seringkali menggunakan wawancara panjang untuk menghasilkan narasi (atau sejarah listan) mengenai praktik-praktik budaya, peristiwa-peristiwa kunci dalam kehidupan, atau masalah-masalah personal lainnya. Namun, studi-studi penerimaan jarang memperlakukan perkataan responden sebagai ekspresi dari diri biografis. Alih-alih, ia mengasumsikan bahwa individu-individu mengkonstruksikan subyektivitas mereka dalam hubungannya dengan sebuah teks media melaiui sarana diskursus-diskursus yang mereka

bicarakan

secara

rutin

dalam

dunia

sosial

mereka.

Peneliti

dengan

demikian

memperlakukan partisipan-partisipan studi sebagai "subyek-subyek yang berbicara" yang identitasnya telah terbentuk sesuai dengan konstruksi-konstruksi seperti kelas, ras, dan gender, dan yang tampilan linguistiknya dalam setting penelitian mengungkapkan pengaruh posisi-posisi subyek tersebut pada dekoding media. Salah satu kritisisme utama pada generasi pertama studi-studi penerimaan mengangkat karakter media-sentris dari wawancara, khususnya yang menggunakan diskusi-diskusi kelompok fokus. Kondisi-kondisi studi tampak mendorong partisipan untuk memandang program-program dengan keseriusan tujuan yang terasa asing bagi pengalaman sehari-hari mereka dan kemudian mendiskusikannya dengan sekeiompok orang-orang asing. Morley pada tahun 1987 memahami bahwa bentuk wawancara tersebut berbeda dari irama-irama dan tekstur-tekstur sosial yang lazim dari kegiatan menonton televisi. Periode pertengahan tahun 1980-an sampai dengan awal 1900an menjadi saKs: adanya lonjakan kegiatan penelitian tentang audiens. Banyak dari karya ini adalah teoritis atau polemik di alam, tetapi studi empiris juga diterbitkan dalam jumlah yang lebih besar. Wawancara berdasarkan penelitian penerimaan dilakukan di bawah rubrik dan kajian budaya melebihi etnografi aksi sosial, karena menuntut waktu, logistik, dan keterlibatan sosial. Reseption bahkan memperoleh istilah yang mencakup semua penonton fenomena, bukan hanya konten berupa proses decoding, tetapi juga konteks sosial dan konsekuensi dari menggunakan media (Jensen, 1987, 2002). Perg&ntian abad ke-21 ditandai dengan awal yang baru bagi studi kualitatif penonton. Perkembangan banyak dilakukan dengan masuknya sarjana baru dalam studi media sebagai tren yg bergerak cepat dari ylobalisasi ekonomi; arus informasi dan orang antar Negara. Sebuah generasi kedua dari peneliti penonton, banyak berlatar belakang nonBarat, yang menemukan kembali etnografi sebagai pendekatan yang menggabungkan teoritis, strategis, dan kepentingan pribadi dalam perubahan budaya itu sendiri yaitu ekspresi dan perubahan sosial. (1995) etnografi Gillespie dari budaya mediasi yang berasal dari komunitas imigran India di London sering mendapat penghargaan sebagai studi utama dalam pembaruan ini. Tidak seperti pendahulu mereka, kohort dari etnografer media ini biasanya menghabiskan lebih banyak waktu di lapangan; mengenai informan pada tingkat yang lebih dalam, dan mengadopsi secara tersebar, ini merupakan strategi penelitian multisited dengan mempelajari peserta dalam pergerakan atau di lokasi-lokasi di luar rumah (misalnya, Ritson & Elliot, 1999).

Tanda lain dari tumbuhnya kedewasaan dari etnografi penonton terlihat dalam munculnya diskusi-diskusi yang lebih canggih dari refleksi vitas. Peneliti-peneliti mendapatkan suatu kesadaran yang lebih besar dari situasi-situasi, parsial, dan kesatuan alami dari pengetahuan yang mereka produksi. Diskusi eksplisit dari praktek kerja lapangan juga dapat membantu etnografer audiens berpikir dengan cara yang lebih dapat dipertimbangkan tentang perkembangkan konstruktif dan etika serta cara untuk terlibat dengan orang-orang yang mereka pelajari. Transformasi dalam pandangan media juga diremajakan dalam penelitian kualitatif audiens. Penelitian kualitatif tidak diragukan lagi akan memainkan peran utama dalam mempelajari, pengetahuan yang masuk akal, nilai-nilai, dan kinerja yang mendukung pengembangan komunitas.

Arah masa Depan Memprediksi masa depan selalu berbahaya. Tentu saja salah satu cara yang populer adalah dengan meramalkan kemungkinan tren perkembangan saat ini. Salah satu perkembangan utama yang harus terjadi dalam dekade berikutnya - dan mungkin akan terjadi diakhir dekade adalah pertumbuhan sifat kolaboratif dari studi penonton. Peneliti kualitatif harus bersedia untuk berkolaborasi dengan penyedia konten, pengembang teknologi, dan Iain-Iain di sektor swasta dan publik, ketika kepentingan mereka berkumpul untuk memperluas lingkup data mereka seperti metode pengumpulan data.

Kesimpulan :

Selama tiga dekade terakhir, metode kualitatif telah mendapat perhatian dalam penelitian komunikasi. Pada awalnya, metode ini diragukan dari sisi nilai ilmiah dan legitimasi, namun sekarang metode ini telah diakui sebagai bentuk disiplin penelitian dengan standar kualitasnya sendiri.

Peneliti kualitatif mencoba untuk melestarikan dan menganalisis bentuk situasi, isi, dan pengalaman sosial ketimbang berfokus pada hubungan matematis atau hubungan formal lainnya. Para peneliti kualitatif mencoba untuk meiepresentasikan kualitas aksi sosiai yang diamati dan menangkap semua titik pengambilan data melalui analisis data. Hal ini yang membuat studi kualitatif menjadi "kualitatif.

Hampir semua penelitian interpretif berpijak pada doktrin konstruktivisme yang menyatakan bahwa realitas merupakan sebuah produksi berkelanjutan dari usaha manusia sendiri. Dua asumsi konstruktivisme antara lain: pertama, semua pengalaman manusia merupakan subyek terhadap interpretasi variabel dari sifat data seperti warna, pergerakan, dan tekanan udara terhadap data sosial seperti artefak, bahasa, dan ritual. Kedua, realitas yang dibicarakan dalam konstruktivisme dalam dunia sehari-hari merupakan sebuah pemahaman yang umum. Klaim yang sah dalam bentuk-bentuk , seperti pengetahuan. agama, yuridis, moral, dan sebagainya tergantung pada beberapa tingkat kesepakatan intersubjektif mengenai objek yang menjadi referensi.

Metode yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah melalui observasi partisipan, wawancara intensif, wawancara dengan kelompok, analisis data, dan sebagainya, yang menempatkan kita di oerbatasan pemahaman umum sehingga kita daoat mengungkap tacit knowledge.

Metode-metode kualitatif muncul secara sporadis selama masa pembentukan penelitian komunikasi massa, yaitu sejak tahun 1930-an hingga 1950-an. Di Amerika Serikat, peneliti-peneliti media mengembangkan sebuah pendekatan aksi sosial untuk mempelajari tentang televisi, yaitu melalui etnografi. Etnografi mulai berkembang pada era yang sama hingga tahun 1980-an. Penelitian etnografis secara unik mainpu mengenali penggunaan media secara umum yang memiliki ciri sensitif terhadap konteks.

Kemunculan studi Robert Morley tentang proses deKoding audiens terhadap program current affairs dan studi Janice Radway yang berupaya untuk memahami cara sebuah produk media populer masuk ke dalam sebuah konteks sosialbersama-sama peneliti lainnya yang dilakukan pada tahun 1980-an, mengawali sebuah jenis penelitian audiens yang baru, yaitu analisis penerimaan. Analisis penerimaan memiliki ciri bahwa studi-studi yang dilakukan meliputi sebuah analisis komparatif empiris antara diskursus media dan diskursus audiens.

Peneliti kualitatif hams bersedia untuk berkolaborasi dengan penyedia konten, pengembang teknologi, dan Iain-Iain di sektor swasta dan publik, ketika kepentingan mereka berkumpul untuk memperluas lingkup data mereka dalam metode pengumpulan data

Anda mungkin juga menyukai