Anda di halaman 1dari 80

PENGARUH BERMAIN SIMBOLIK TERHADAP PERILAKU KOOPERATIF ANAK SELAMA MENJALANI RAWAT INAP DI RSUP DR.

SARDJITO YOGYAKARTA

Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Keperawatan Universitas Gadjah Mada

Disusun oleh: Yuniarti Harsono 02/155443/KU/10416

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2006

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya Tulis ini Penulis persembahkan: 1. Sebagai bentuk kesungguhan menetapi jalan-Mu, semoga dapat menjadi amal untuk bekal hari kelak. 2. Kepada Ibu dan Bapak, terimakasih atas kasih sayang, doa dan segala pengorbanan selama ini, semoga karya tulis ini bisa menjadi hadiah kecil, penghibur hati. 3. Untuk Adek-adek yang masih di bangku sekolah, gantungkan cita-cita setinggi bintang di langit. 4. Bagi Keluarga dan kerabatku, terimakasih semua 5. Untuk Mas Jenggot dari Bantul dan De Jenggot Teknik SIPIL, terimakasih atas semuanya. 6. Untuk Sahabat-sahabatku, yang selalu menemani dalam suka dan duka

iii

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................. HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... KATA PENGANTAR .......................................................................... DAFTAR ISI.......................................................................................... DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR .......................................................................... INTISARI... ABSTRACT ........................................................................................... i ii iii iv vi viii ix x xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang.. B. Rumusan Masalah. C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian. E. Keaslian Penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bermain 10 B. Hospitalisasi C. Kooperatif.. D. Usia Kanak-kanak Awal. 16 23 25 1 5 6 6 7

vi

E. Landasan Teori F. Kerangka Konsep.. G. Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian B. Populasi dan Sampel.. C. Variabel Penelitian. D. Definisi Operasional.. E. Alat Ukur F. Jalannya Penelitian .... G. Analisis Data.. H. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian.. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil.... B. Pembahasan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan. B. Saran ... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

29 31 31

32 32 33 33 34 36 39 41

44 49

57 57

vii

viii

PENGARUH BERMAIN SIMBOLIK TERHADAP PERILAKU KOOPERATIF ANAK SELAMA MENJALANI RAWAT INAP DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA Yuniarti Harsono,1 Lely Lusmilasari,2 Sri Hartini2

Intisari

Latar Belakang. Sakit merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak, apalagi bila anak harus dirawat di rumah sakit. Dalam keadaan demikian sikap yang biasa muncul adalah sikap regresif, agresif, dan menarik diri (withdrawl) sehingga membuat anak menjadi tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Tujuan. Mengetahui pengaruh bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak yang menjalani rawat inap di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta. Metode. Penelitian quasi eksperimen (pre dan post design). Sampel adalah 23 pasien anak yang sedang dirawat di IRNA I Ruang Cendana 4 (D2) RSUP DR. Sardjito Yogyakarta, selama periode Desember 2005-Maret 2006. Sampel diambil dengan teknik aksidental sampel. Analisa statistik menggunakan paired t-test. Hasil. Ada pengaruh secara bermakna bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak (p=0,047). Kesimpulan. Bermain simbolik (bermain terapeutik) berpengaruh secara bermakna terhadap perilaku kooperatif anak selama menjalani perawatan di rumah sakit.

Kata Kunci: Bermain simbolik, perilaku kooperatif anak.

1. 2.

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada

THE INFLUENCE OF SIMBOLIC PLAY TO CHILDREN COOPERATIVE BEHAVIOUR DURING HOSPITALIZATION AT DR. SARDJITO HOSPITAL YOGYAKARTA Yuniarti Harsono1, Lely Lusmilasari2, Sri Hartini2

Abstract

Background: Ill represents the inconvenience experience for children, and surely, when children have to be taken care in hospital. In this condition, the most common responses are regression, aggression and withdrawl, so that children become incooperative to health worker. Objective: To know the influence of symbolic play to children cooperative behaviour during hospitalization in Dr. Sardjito Hospital Yogyakarta. Method: Research of Quasi experiment (pre and post) design. Sample was 23 children patient which being taken care at Inpatient Installation I Cendana Room 4 (D2) of Dr. Sardjito Hospital Yogyakarta from Descember 2005-March 2006. Sample had been taken with accidental sampling technique. Statistical analysis used the paired t-test. Result: There was significant influence of symbolic play to children behaviour (p=0,047). Conclusion: There had been significant influence of symbolic play (therapeutic play) to children cooperative behaviour during hospitalization.

Keyword: playing at symbolic, behaviour of child cooperative.

1. 2.

Student of Nursing Education Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University. Nursing Education Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University.

BAB I A. Latar Belakang Bermain adalah bagian dari dunia anak-anak dan penting bagi perkembangan kesehatannya. Selama bermain anak belajar tentang diri mereka sendiri, tentang dunianya dan mencoba pengalaman baru serta melakukan keterampilan baru. Bagi anak-anak mengekspresikan perasaannya melalui bermain lebih mudah dan lebih nyaman daripada menyampaikan dengan katakata. Pada kenyataanya, tidak semua anak dapat melalui masa kanak-kanaknya dengan mulus, ada sebagian yang dalam proses tumbuh kembangnya mengalami gangguan kesehatan sehingga mengharuskan anak untuk dirawat di rumah sakit atau menjalani hospitalisasi. Bagi anak, sakit sudah merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan apalagi bila anak ternyata harus dirawat di rumah sakit. Bagi anak yang menjalani hospitalisasi akan muncul tantangan yang harus dihadapi: mengatasi sebuah perpisahan, penyesuaian diri kepada suatu lingkungan yang baru baginya, penyesuaian dengan banyak orang yang mengurusinya, kerapkali berhubungan dan bergaul dengan anak-anak yang sakit lainnya serta pengalaman menjalani terapi yang menyakitkan. Oleh karena itu wajar apabila muncul dampak psikologis pada anak yang mengalami hospitalisasi. Semakin muda usia anak dan semakin lama anak mengalami hospitalisasi dampak psikologis yang dirasakan semakin besar (Simbolon, 1999). Dampak psikologis yang terjadi salah satunya adalah peningkatan kecemasan yang berhubungan erat dengan perpisahan dengan orang tua dan akibat

pemindahan dari lingkungan yang sudah akrab dan sesuai dengannya. Dalam keadaan demikian, sikap regresif, agresif dan withdrawl hampir merupakan fenomena yang umum terjadi pada anak-anak. Sesuai pendapat Freud (1972; cit Simbolon, 1999), sikap regresi merupakan fenomena yang umum terjadi pada anakanak yang menjalani rawat inap. Untuk kasus yang lebih ringan sikap regresi tersebut muncul dalam bentuk menangis, nglendot pada ibu dan mengisap jari serta pada yang agak lebih berat anak bisa menolak makan. Kemungkinan lain adalah terjadinya ketergantungan seperti keinginan untuk terus diperhatikan dan tidak dapat tidur, yang dapat merupakan masalah (Simbolon, 1999) Dengan membuat anak selalu dalam keadaan pasif maka rumah sakit yang hanya memberikan pelayanan kesehatan tanpa pendekatan psikologis khususnya perawat akan membuat mereka lebih infantil (Simbolon, 1999). Untuk itu, anak memerlukan media yang dapat mengekspresikan perasaan seperti takut, cemas, tegang, nyeri dan perasaan yang tidak menyenangkan lainnya, selain itu juga dapat membuat anak kooperatif dengan petugas kesehatan selama dalam perawatan. Media yang paling efektif adalah melalui permainan. Permainan terapeutik didasari oleh pandangan bahwa bermain bagi anak merupakan aktivitas yang sehat dan diperlukan untuk kelangsungan tumbuh kembang anak dan memungkinkan untuk dapat menggali dan mengekspresikan perasaan dan pikiran anak, mengalihkan perasaan nyeri, dan relaksasi. Dari berbagai macam jenis permainan banyak pakar permainan melihat tahuntahun prasekolah sebagai usia emas permainan simbolis atau purapura yang bersifat

dramatis atau sosiodramatis (Bergin et al, 1988; Cit Santrock, 2002). Anak usia sembilan bulan hingga 30 bulan meningkatkan penggunaan benda-benda di dalam permainan simbolis mereka. Melalui permainan pura-pura atau simbolis, anak dapat mengekspresikan perasaan dan menstimulus perilaku kooperatif secara spontan dari perintah dan aturan dalam permainan. Menurut Supartini (2004) aktivitas bermain yang dilakukan perawat pada anak di rumah sakit akan memberikan beberapa keuntungan yaitu meningkatkan hubungan antara klien (anak dan keluarga) dengan perawat, aktivitas bermain yang terprogram akan memulihkan perasaan mandiri pada anak, selain dapat memberikan rasa senang pada anak, juga akan membantu anak mengekspresikan perasaan dan pikiran cemas, takut, sedih, tegang, serta nyeri. Keuntungan yang diperoleh dari permainan yang terapeutik akan dapat meningkatkan kemampuan anak untuk mempunyai perilaku positif, serta menurunkan ketegangan pada anak dan keluarganya pada permainan yang memberi kesempatan pada beberapa anak untuk berkompetisi secara sehat. Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) DR. Sardjito menyediakan pelayanan rawat inap bagi pasien bedah anak-anak ditempatkan tersendiri, menjadi bagian bangsal bedah pasien dewasa. Berdasarkan studi pendahuluan di ruangan Cendana 4, Bangsal Bedah Anak (D2) RSUP DR. Sardjito pada bulan September 2005 melalui metode wawancara kepada perawat yang sedang bertugas dan observasi pasien didapatkan data bahwa di bangsal bedah anak belum disediakan ruang khusus bermain meskipun memiliki alat mainan yang dapat dipinjamkan atau digunakan anak untuk bermain. Di bangsal ini bermain yang menjadi kebutuhan

alami bagi pasien anak, perawat di sana diakui belum menjadi fokus utama perhatian, oleh karena terbatasnya tenaga perawat. Orang tua dipersilakan untuk mengajak putra atau putrinya yang sedang dirawat untuk bermain. Perawat mengijinkan anak bermain asalkan tidak membahayakannya serta meminta orang tua menemani pada saat anak bermain. Memang selama ini terapi

bermain/permainan terapeutik yang ditujukan untuk anak terkadang dilakukan pada pasien anak oleh mahasiswa keperawatan tahap profesi yang sedang menjalani stase Bedah di bangsal rawat inap Bedah Anak. Pada bulan Maret hingga Mei 2005 saja tercatat anak-anak di ruang Cendana 4(D2/bangsal bedah anak) rata-rata menjalani perawatan selama delapan hingga sembilan hari. Dengan lama perawatan terpendek sekitar empat hari dan yang terlama telah menjalani rawat inap selama dua bulan. Perbandingan jumlah usia anak dalam rentang yang dirawat antara usia todler (1-3 tahun), prasekolah (3-5 tahun) dan sekolah (6-12 tahun) adalah 2:1:1. Dengan diagnosa medis utama antara lain Hipospadia, Intracanial Injury, Artificial opening status, Cleft palate with cleft lip, Inguinal hernia dan sebagainya. Studi pendahuluan selanjutnya diperoleh keterangan dari hasil wawancara dengan perawat di bangsal D2 bahwa kondisi yang ditemui di bangsal D2 adalah pada anak yang pertama kali mengalami rawat inap, anak menunjukkan persoalan dalam perilaku yang ditunjukkan dengan menggelayut/nglendot pada orang tuanya terus-menerus, menangis ketika akan dilakukan tindakan medis atau tindakan perawatan, anak tidak menjawab pertanyaan perawat atau orang baru yang ditemuinya, anak terlihat takut pada perawat yang datang oleh karena trauma dengan tindakan

invasif yang dilakukan pada hari sebelumnya. Sehingga membuat perawat cukup kesulitan dalam melakukan tindakan pada anak. Dengan memilih permainan simbolik untuk klien anak diharapkan dapat mengekspresikan perasaan dan menstimulus perilaku kooperatif secara spontan melalui praktek dalam permainan, termasuk praktek perilaku kooperatif pada saat pura-pura berperan menjadi petugas kesehatan seperti dokter, perawat atau tenaga kesehatan lain atau purapura menjalani prosedur perawatan atau pengobatan. Berdasarkan uraian di atas yaitu kondisi anak yang baru pertama kali dirawat inap di ruang Cendana 4, RSUP Dr. Sardjito dengan hari perawatan yang cukup lama, mengalami banyak tindakan medis baik yang invasif maupun yang tidak, sedangkan upaya mengatasi gangguan perilaku akibat hospitalisasi dengan metode permainan belum dilakukan secara optimal, yang pada akhirnya bisa jadi mempengaruhi kerjasama anak pada waktu akan, atau sedang dilakukan tindakan medis atau keperawatan, maka penulis tertarik untuk meneliti pengaruh bermain simbolis terhadap perilaku kooperatif anak yang dirawat di RSUP DR. Sardjito pada saat sebelum dan setelah melakukan aktifitas bermain yang dituangkan dalam karya tulis ilmiah dengan judul: Pengaruh Bermain Simbolik terhadap Perilaku Kooperatif Anak Selama Menjalani Perawatan Di RSUP DR. Sardjito. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disusun, maka perumusan masalah yang dapat ditarik yaitu: Adakah pengaruh bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak yang sedang dirawat inap setelah melakukan aktifitas bermain.

Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah yang telah disusun di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan: Mengetahui pengaruh bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak yang menjalani rawat inap di RSUP DR. Sardjito.

Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang akan dilaksanakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu: 1. Bagi profesi keperawatan Memberi masukan bagi peningkatan dan pengembangan asuhan keperawatan khususnya bidang kerperawatan anak, dalam hal membantu anak mengatasi stres psikologi maupun gangguan perilaku akibat hospitalisasi. 2. Bagi institusi rumah sakit a. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang pengaruh bermain terhadap kemampuan kooperasi anak dalam perawatan sehingga tujuan yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan bisa berhasil dengan memuaskan. b. Menjadi rekomendasi bagi institusi untuk mengembangkan program bermain bagi klien anak dan meningkatkan fasilitas bermain, sesuai perkembangan dan kemampuan anak selama perawatan.

3. Bagi Klien dan Keluarga a. Membantu anak mengatasi stres psikologi maupun gangguan perilaku akibat hospitalisasi sehingga anak dapat lebih menerima tindakan medis dan kooperatif dalam melalui masa perawatan. b. Menambah pengetahuan keluarga tentang pentingnya bermain untuk menjalin komunikasi dengan anak sehingga dapat mengurangi dampak psikologis hospitalisasi. 4. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan baik materi maupun metode dalam penelitian tentang pengaruh bermain pada anak yang dirawat di rumah sakit. E. Keaslian Penelitian Adapun penelitian yang sudah pernah dilakukan yaitu: 1. Nursanti (2000), melakukan penelitian dengan judul Peran keluarga terhadap pelaksanaan terapi bermain pada anak prasekolah di IRNA II RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Dengan metode penelitian analitik kuantitatif. Hasilnya Pengetahuan keluarga terhadap pelaksanaan terapi bermain sudah baik dan peran keluarga dalam pelaksanaan terapi bermain sudah cukup baik. Perbedaan terletak pada variabel yang diteliti yaitu variabel peran keluarga. 2. Penelitian Herliana (2001), dengan judul penelitiannya Pengaruh Terapi Bermain terhadap Tingkat Kooperatif Selama Menjalani Perawatan pada Usia Prasekolah di IRNA II (Bangsal Perawatan Anak) RS. Dr. Sardjito Yogyakarta. Menggunakan metode penelitian analitik kuantitatif, hasil yang diperoleh terapi bermain memberi pengaruh terhadap tingkat kooperasi anak

dimana meningkat setelah diberi terapi. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada karakteristik sampel yang diambil. 3. Sedangkan Simanjuntak (2005), meneliti tentang Peran Perawat dalam pelaksanaan terapi bermain pada anak prasekolah di ruang rawat inap Instalasi Kesehatan Anak RS. Dr. Sardjito. Menggunakan pendekatan Analitik kuantitatif. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada variabel yang diteliti yaitu peran perawat . 4. Zahr (1998), dalam penelitiannya yang berjudul Bermain terapeutik bagi anakanak yang menjalani Hospitalisasi di Lebanon memberikan gambaran bahwa bermain terapeutik telah terpercaya dalam mengurangi respon stres terhadap hospitalisasi dan pembedahan pada anak-anak di Lebanon. Anak-anak yang memperoleh intervensi bermain terapeutik menunjukkan penurunan

kecemasan dan lebih kooperatif serta mengalami penurunan tekanan darah dan nadi selama prosedur injeksi dibanding anak-anak yang tidak memperoleh intervensi bermain terapeutik. Metode penelitian yang digunakan adalah Analitik kuantitatif dengan menggunakan quasi experiment design. Penelitian tidak hanya meneliti pengaruh bermain secara psikologis namun juga secara fisiologis. 5. Suprapto (2002), dengan hasil penelitiannya tentang terapi permainan kreatif dengan mewarnai gambar yang dapat digunakan sebagai metoda penyuluhan kesehatan untuk merubah perilaku anak (makan, penerimaan tindakan medis, dan komunikasi) selama dirawat di rumah sakit. Dengan judul penelitiannya Mewarnai Gambar Sebagai Metoda Penyuluhan untuk Anak: Studi

pendahuluan pada program pemulihan anak sakit IRNA Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menggunakan metode studi eksperimental (pre-post

design). Jenis permainan dalam penelitian ini yaitu metode mewarnai buku gambar merupakan hal yang membedakan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sedangkan judul penelitian ini adalah Pengaruh Bermain terhadap Perilaku Kooperatif Anak Selama Menjalani Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Dilaksanakan tahun 2005 hingga 2006. Metode yang digunakan adalah analitik kuantitatif dengan rancangan pre-post design. Subyek penelitian ini adalah pasien rawat inap, dengan teknik accidental sampling sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar observasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bermain 1. Pengertian a. Bermain (play) merupakan istilah yang digunakan secara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang, maksudnya adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa

mempertimbangkan hasil akhir (Hurlock, 1994). b. Bermain adalah cara individu untuk menyelesaikan konflik dirinya. Bermain secara alamiah berarti usaha untuk mengadaptasi suatu pengalaman baru baginya yang menimbulkan stress (Wong, 1996). c. Supartini (2004) menyebutkan bahwa bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan,

melakukan apa yang dapat dilakukannya, mengenal waktu, jarak serta suara. 2. Fungsi Bermain a. Perkembangan sensori motorik Aktivitas sensori motorik merupakan komponen utama bermain pada semua tingkat usia anak. Bermain aktif menjadi hal yang penting dalam perkembangan sistem otot dan saraf yang bermanfaat dalam melepaskan kelebihan energi.

11

b. Perkembangan kognitif/intelektual Anak dapat mengeksplorasi dan memanipulasi ukuran, bentuk, tekstur dan warna. Mengenali angka, hubungan yang renggang dan konsep yang abstrak. Bermain memberi kesempatan untuk menghilangkan pengalaman masa lalu untuk memasukkan kedalam persepsi dan persahabatan yang baru. Bermain membantu anak untuk mengintegrasikan dunia dimana mereka tinggal, untuk membedakan antara realitas dan fantasi c. Perkembangan moral dan sosial anak Dalam bermain anak belajar memberi dan menerima. Anak belajar membedakan gender, pola perilaku dan tindakan yang disetujui dan diharapkan masyarakat darinya. Perkembangan nilai moral dan etik sangat berkaitan dengan sosialisasi. Anak belajar membedakan yang benar dari yang salah, norma masyarakat dan memahami tanggung jawab dari tindakannya. d. Meningkatkan kreativitas Bermain memberi kesempatan pada anak untuk mengeluarkan ide dan minat kreasi, mengijinkan mereka untuk berfantasi dan berimajinasi serta memberi kesempatan untuk mengembangkan bakat dan minat. Sekali anak merasa puas ketika berhasil melakukan sesuatu hal yang baru maka anak akan memindahkan rasa ketertarikan ini kedalam situasi di luar dunia bermainnya.

12

e. Perkembangan kesadaran diri Bermain memberikan kemampuan untuk membandingkan kemampuan sendiri dengan kemampuan anak lain dan belajar bagaimana pengaruh tingkah laku pribadi terhadap orang lain. f. Nilai terapeutik Dalam bermain anak mampu mencoba dan menguji situasi yang menakutkan dan bisa memahami dan berpura-pura menguasai peran dan posisi yang mereka tidak mampu melakukannya dalam dunia nyata. Anak mengungkapkan banyak tentang dirinya ketika bermain. 3. Jenis Permainan Wholey & Wong (1987) menyebutkan bahwa klasifikasi bermain pada anak dapat dilihat dari klasifikasi bermain menurut isinya dan karakter sosial. Klasifikasi bermain menurut isinya dibagi menjadi: a. Social affective play/bermain afektif sosial Inti permainan ini adalah adanya hubungan interpersonal yang menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi akan mendapatkan kesenangan dan kepuasan dari hubungan yang

menyenangkan dengan orang tuanya dan/atau orang lain. Permainan yang biasa dilakukan adalah cilukba, berbicara sambil tersenyum/tertawa, atau sekedar memberikan tangan pada bayi untuk menggenggamnya, tetapi dengan diiringi berbicara sambil tersenyum dan tertawa.

13

b. Sense of pleasure play/ bermain untuk senang-senang Permainan ini menggunakan alat yang bisa menimbulkan rasa senang pada anak dan biasanya mengasyikkan. Misalnya, dengan menggunakan pasir, anak akan membuat gunung-gunungan atau benda-benda apa saja yang dapat dibentuknya dengan pasir. Bisa juga dengan menggunakan air anak akan melakukan bermacam-macam permainan, misalnya memindahmindahkan air ke botol, bak atau tempat lain. c. Skill play/bermain keterampilan Sesuai sebutannya, permainan ini akan meningkatkan keterampilan anak, khususnya motorik kasar dan halus. Misalnya, bayi akan terampil memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ke tempat lain, dan anak akan terampil naik sepeda. Jadi keterampilan tersebut diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan. d. Dramatic play role play/permainan simbolik atau pura-pura Sesuai dengan sebutannya, pada permainan ini anak memainkan peran orang lain melalui permainannya. Anak berceloteh sambil berpakaian meniru orang dewasa, misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya, kakaknya dan sebagai yang ingin ia tiru. Apabila anak bermain dengan temannya, akan terjadi percakapan di antara mereka tentang peran orang yang mereka tiru. Permainan ini penting untuk proses identifikasi anak terhadap peran tertentu.

14

Selain keempat jenis permainan di atas Supartini (2004) menyebutkan dua jenis permainan lain yang juga berdasarkan pada isi permainannya yaitu: a. Games atau permainan Games atau permainan adalah jenis permainan dengan alat tertentu yang menggunakan perhitungan dan/atau skor. Permainan ini bisa dilakukan oleh anak sendiri dan/atau dengan temannya. Banyak sekali jenis permainan ini mulai dari yang sifatnya tradisional maupun yang modern. Misalnya, ular tangga, congklak, puzzle, dan lain-lain. b. Unoccupied behaviour/ perilaku bermalas-malasan Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir, tersenyum, tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja, atau apa saja yang ada di sekelilingnya. Anak melamun, sibuk dengan bajunya atau benda lain. Jadi sebenarnya anak tidak memainkan alat permainan tertentu, dan situasi atau obyek yang ada di sekelilingnya yang digunakannya sebagai alat permainan. Anak memusatkan perhatian pada segala sesuatu yang menarik perhatiannya. Peran ini berbeda dibandingkan dengan onlooker, dimana anak aktif mengamati aktifitas anak lain. Menurut Hurlock (1994) kategori bermain terdiri atas bermain aktif dan bermain pasif. Permainan aktif adalah bermain yang kegembiraannya timbul dari apa yang dilakukan anak itu sendiri. Dalam melakukan permainan aktif banyaknya waktu yang digunakan dan kegembiraan yang diperoleh dari setiap permainan sangat bervariasi. Adapun variasi tersebut disebabkan oleh sejumlah

15

faktor yaitu: kesehatan, teman bermain, tingkat intelegensia anak, jenis kelamin, alat permainan dan lingkungan. Sedangkan bermain pasif atau hiburan merupakan tempat anak memperoleh hiburan dengan usaha minimum dari orang lain seperti membacakan buku cerita. Kurangnya hubungan sosial mempengaruhi kegembiraan anak sebagaimana bermain aktif. Adapun manfaat dari bermain pasif atau hiburan adalah memberi sumber pengetahuan, membantu anak belajar berkomunikasi dengan orang lain, membantu anak dalam mengontrol emosinya, anak belajar bermotivasi untuk memperoleh keinginannya, membantu mengembangkan kecerdasan anak, mendorong anak berkreatifitas dan membantu anak

mengembangkan kepribadian. Tiga tipe bermain yang bermanfaat untuk mengurangi stress yaitu: a. Bermain rekreasi (untuk senang-senang)/recretional play, adalah bermain spontan dan tidak terstruktur. Terjadi secara spontan, anak memilih alat bermain dan permainan sendiri (LeRoy et al., 2003). b. Bermain terapetik/therapeutik play terjadi bila orang dewasa menstruktur aktifitas untuk tujuan tertentu. Disebut juga expressive play karena memberi kesempatan anak untuk mengekspresikan perasaan,

menghasilkan semangat/energi, dan relaksasi (LeRoy et al., 2003) c. Terapi bermain/play therapy yaitu suatu bentuk terapan dari psikoterapi yang biasa digunakan oleh psikiater, psikolog, praktisi perawat jiwa. Tujuan terapi bermain adalah untuk meningkatkan insight anak terhadap perilaku dan perasaannya (Mott et al., 1990)

16

Adapun bentuk permainan di rumah sakit yang sesuai dengan usia awal masa kanak-kanak (todler dan prasekolah) (Mott et al., 1990) antara lain: a. Anak usia 2-3 tahun Bermain balok, mainan bersusun, bola, alat permainan yang lembut, mendorong dan menarik alat mainan, mendengarkan cerita, musik, dan puzzle yang sederhana. b. Anak usia 3-4 tahun Bermain puzzle, balon, musik, bercerita, bermain game sederhana, belajar bermain kelompok dengan pengawasan orang dewasa, permainan purapura memasak, bermain pura-pura menjadi dokter, perawat, dan lain-lain. c. Anak usia 4-5 tahun Bermain game, menyobek kertas, memotong dengan gunting, mewarnai buku-buku bergambar, menggunakan kertas dibuat boneka, topeng dan perahu, mainan alat musik, bermain games dengan bantuan orang dewasa dalam mengikuti aturan permainan. B. Hospitalisasi Hospitalisasi menurut kamus Dorland (2002) adalah pemasukan seorang penderita ke dalam rumah sakit atau masa selama di rumah sakit tersebut. Sedangkan Supartini (2004) menyebutkan bahwa hospitalisasi (rawat inap)

merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi (rawat inap) adalah memasukkan seseorang ke

17

rumah sakit karena perubahan kondisi tubuh untuk dilakukan perawatan hingga kondisi tubuh membaik. Anak akan menunjukkan berbagai perilau sebagai reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi. Reaksi tersebut bersifat individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimilikinya. Pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan control, ketakutan akan perlukaan tubuh, dan rasa nyeri (Whaley & Wong, 1990). Pengalaman hospitalisasi merupakan hal yang paling berkesan bagi anak dan menyebabkan stres bagi anak dan keluarga. Dampak hospitalisasi pada anak menurut Pearce (2000); cit Gunawan (2001) meliputi; 1. Perpisahan Perpisahan dengan figur pemberi kasih sayang selama prosedur yang menakutkan atau menyakitkan akan meningkatkan rasa tidak nyaman. 2. Kehilangan kendali Hospitalisasi menyebabkan anak menjadi tidak berdaya dan frustasi serta menimbulkan ketergantungan pada orang lain. 3. Perubahan gambaran diri Perubahan penampilan tubuh atau fungsinya disebabkan oleh pengobatan, perlukaan atau ketidakmampuan menyebabkan anak merasa tidak nyaman.

18

4. Nyeri Prosedur yang menyakitkan dan invasif merupakan stressor bagi anak pada semua usia 5. Rasa takut Ketakutan terjadi karena anak berada di lingkungan rumah sakit yang asing baginya dan karena perpisahan dengan orang-orang yang sudah dikenalnya. Kecemasan yang menghinggapi anak ketika mereka harus ke rumah sakit terdiri atas beberapa komponen (Pearce, 2000; cit Gunawan, 2001) 1. Kegelisahan perpisahan jauh dari orang tua dan rumah. 2. Kegelisahan orang asing berada diantara orang banyak yang tidak dikenal. 3. Ketakutan akan hal-hal yang tidak dikenal dan asing. 4. Ketakutan yang didapat dari orang tua. 5. Ketakutan yang nyata akan sakit dan penyakit. Perilaku anak sebagai reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi pada masa todler terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya. Sumber stres yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak sesuai dengan tahapannya, yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran/denial (Supartini, 2004):

19

1. Pada tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. 2. Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih dan apatis. 3. Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai lingkungannya. Sedangkan respon hospitalisasi pada anak usia prasekolah ditunjukkan dengan: 1. Reaksi terhadap perpisahan, seperti perilaku menolak makan, sering bertanya, menangis walau secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. 2. Reaksi agresif yang timbul akibat ketakutan anak terhadap perlukaan, yang muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya ditunjukkan dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat dan ketergantungan pada orang tua. Kail & Nelson (1993), menerangkan dengan dirawat di rumah sakit maka akan terjadi banyak perubahan yang memerlukan penyesuaian pada kehidupan sehari-hari sebuah keluarga. Setiap anak atau remaja berespon terhadap stres dengan cara yang unik oleh karena tergantung usia dan kepribadian individu,

20

tetapi respon regresif, agresif dan menarik diri (withdrawl) adalah respon yang paling umum terhadap hospitalisasi (Freud 1972; cit Simbolon 1999). Perilaku ini seiring dengan waktu biasanya dan sering kali berkurang pada saat anak atau remaja mulai merasa nyaman dan aman dengan peristiwa yang ia alami dan ketika telah terbangun pengalaman atau menjadi kebiasaan. Remaja dan anak-anak kadang mengalami kemunduran yang merupakan koping terhadap situasi baru. Anak-anak mungkin mengambil gaya lama yang nyaman yaitu menyerah, seperti menghisap ibu jari, lebih menggelayut atau melekat pada orang tuanya atau lebih merengek dibanding saat sebelum dirawat di rumah sakit (Kail & Nelson, 1993). Di rumah sakit keputusan yang dibuat untuk anak dan remaja dalam banyak hal sering membuat mereka merasa kehilangan kontrol. Sehingga wajar bila pada anak dan dan remaja bereaksi dengan kemarahan. Respon tersebut termasuk menangis, berteriak, menendang dan melawan. Beberapa anak dan

remaja berespon kurang terbuka terhadap hospitalisasi atau tindakan dengan menarik diri. Orang tua atau perawat dapat mengobservasi mereka menjadi kurang tertarik dengan aktifitas yang biasanya mereka nikmati, tidur lebih banyak, menjadi sedikit berbicara, makannya berkurang atau tidak mengadakan kontak mata (Kail & Nelson, 1993) Bermain dalam masa perawatan di rumah sakit a. Tujuan bermain di rumah sakit (Soetjiningsih, 1998): 1. Dapat beradaptasi lebih efektif terhadap stres di rumah sakit. 2. Dapat melanjutkan tumbuh kembang selama perawatan di rumah sakit.

21

3. Dapat mengembangkan kreativitas melalui pengalaman bermain yang tepat. b. Fungsi bermain di rumah sakit (Wholey & Wong, 1996): 1. Memberi kesempatan anak belajar tentang bagian-bagian tubuh, fungsi dan penyakitnya sendiri. 2. Membantu anak merasa lebih nyaman di lingkungan yang asing. 3. Memberikan hiburan dan membantu relaksasi. 4. Membantu melepaskan ketegangan dan mengekspresikan perasaan. 5. Mendorong perkembangan dan interaksi yang baik. 6. Cara untuk mengekspresikan ide yang kreatif. 7. Menjelaskan tujuan pengobatan. 8. Mengurangi kecemasan. c. Teknik bermain di rumah sakit (Petrillo & Sangen, 1990) 1. Berikan alat permainan yang merangsang anak bermain sesuai dengan umur dan perkembangannya. 2. Berikan cukup waktu untuk bermain dan menghindari interupsi. 3. Berilah mainan yang dapat menurunkan emosi anak. 4. Tentukan kapan anak boleh keluar atau turun dari tempat tidur sesuai kondisi anak. 5. Gunakan pengetahuan tentang tumbuh kembang anak dalam bermain. d. Bermain terapeutik: Suatu bentuk permainan terstruktur yang telah ditemukan dapat mempermudah home sickness, melepaskan ketakutan/gugup, dan menyediakan

22

jalan keluar berupa ide-ide konstruktif dan aktifitas (Hide, 1971; Latimer, 1978; cit Zahr, 1998). Bermain terapeutik dapat membantu perawat dan anggota staf yang lain untuk memperoleh insight terhadap pikiran dan perasaan anak, suka dan ketidaksukaan, keinginan dan kebutuhan anak, selama menemani anak untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh suatu pengalaman (Oremland, 1988; cit Mott et al, 1990) e. Bermain simbolik di rumah sakit Permainan pura-pura/simbolik terjadi ketika anak mentrasformasikan lingkungan fisik ke dalam suatu simbol (De Hart & Smith, 1991; Fein, 1986; Hows, Unger & Seidner, 1989; Roger & Sawyers, 1988; cit Santrock, 2002). Antara usia sembilan dan 30 bulan, anak-anak meningkatkan penggunaan bendabenda dengan menggantikan benda itu dengan benda lain dan memperlakukan benda tersebut seperti benda yang digantikannya. Chaterine Garvey (1977, cit Santrock, 2002) menunjukkan bahwa: Tiga unsur terdapat pada hampir semua permainan pura-pura; alat-alat, alur cerita, dan peran. Anak-anak menggunakan benda sebagai alat di dalam permainan pura-pura mereka. Kebanyakan permainan pura-pura juga memiliki alur cerita, walaupun cukup sederhana. Tema permainan pura-pura seringkali mencerminkan apa yang sedang mereka saksikan berlangsung dalam hidup mereka seperti ketika mereka memainkan keluarga, sekolah atau dokter. Di dalam permainan pura-pura, anakanak mencobakan banyak peran yang berbeda. Beberapa peran berasal dari kenyataan, peran lain datang dari fantasi.

23

Melalui permainan pura-pura atau simbolis, anak dapat mengekspresikan perasaan dan menstimulus perilaku yang diharapkan secara spontan dari perintah dan aturan dalam permainan. Permainan simbolik di rumah sakit dapat berbentuk pura-pura berperan menjadi petugas kesehatan (dokter, perawat atau tenaga kesehatan lain) atau pura-pura menjalani prosedur perawatan atau pengobatan. C. Kooperatif 1. Konsep Perilaku Kooperatif Perilaku adalah sesuatu yang dapat diobservasi, dicatat dan diukur, seperti gerakan atau respon individu. Sebelum perilaku diukur maka harus didefinisikan secara tepat. Perilaku adalah apa yang diobservasi, bukan rangkuman, kesimpulan atau terjemah gambaran dari sebuah observasi. (Stuart & Sundeen, 1994) Kooperasi atau kerjasama biasanya didefinisikan sebagai dua orang atau lebih yang bekerja sama menuju satu tujuan yang sama (Mussen, Conger, Kagan dan Huston, (1994); cit Herliana, 2001). Kerjasama dimulai pada tahun-tahun pertama prasekolah. Dalam suatu kajian klasik terhadap anak-anak dari usia dua hingga lima tahun, Parten (cit Mussen et al, 1994; cit Herliana 2001) membuktikan bahwa anak-anak yang masih sangat kecil kerap terlibat dalam aktivitas bermain paralel (dua anak bermain dengan obyek tersendiri tetapi dekat satu sama lain dan kadang bercakap bersama). Menurut Hurlock (1986): Dalam usia itu hanya sedikit terdapat kerjasama dalam permainan mereka bersama anak-anak yang lain seusianya karena anak yang sangat muda memiliki karakteristik self centered. Sama halnya pada saat berinteraksi dengan orang dewasa kurang terlihat adanya

24

kerjasama oleh karena orang dewasa yang memiliki kecenderungan pada anak untuk mengalah dan membiarkan anak memperoleh sesuatu dengan caranya sendiri. Pada akhir usia tiga tahun, permainan kooperatif dan aktifitas kelompok akan lebih sering dan lebih lama. Dengan melakukan praktek, anak-anak belajar bekerja sama dengan lainnya dan untuk bermain dalam suasana yang bertambah rukun/harmonis. Parten (cit Mussen et al, 1994; cit Herliana 2001) menambahkan sementara anak menjadi semakin besar mereka memanifestasikan aktivitas bermain yang lebih kooperatif. Dalam aktivitas bersama itu, mereka mengkoordinasi kegiatan mereka untuk mencapai tujuan bersama. 2. Pentingnya bersikap kooperatif dalam pelaksanaan keperawatan. Salah satu dampak hospitalisasi adalah timbulnya rasa takut (Mott et al, 1990). Ketakutan tersebut selain ditimbulkan oleh lingkungan yang asing serta orang-orang yang tidak dikenal, juga oleh prosedur-prosedur selama hospitalisasi. Tindakan invasif yang dilakukan tanpa melalui pendekatan dan menimbulkan ketakutan pada anak yang selanjutnya menjadi suatu trauma psikologis yang akan berpengaruh pada perkembangan selanjutnya (Mott. et al, 1990). Dalam memberikan perawatan, perawat memerlukan sikap kooperatif dari anak dan keluarga. Hal ini biasanya tidak terlalu sulit pada anak yang lebih besar tetapi mungkin akan menjadi masalah pada anak yang lebih muda. Oleh karenanya komunikasi non verbal sama pentingnya dengan komunikasi verbal (Mott et al, 1990). Adapun respon yang diperlihatkan anak pada saat anak tidak kooperatif antara lain menangis, berteriak, menjerit, meronta-ronta memeluk ibunya, menarik diri dan tidak memberikan anggota tubuhnya untuk dilakukan

25

tindakan (Parini, 1999; cit Herliana 2001). Anak memerlukan persiapan yang hatihati sebelum tindakan dilakukan, karena pada kenyataannya prosedur yang rutin dilakukan pun bisa menjadikan suatu kecemasan bila tidak diberikan dengan hatihati, akibatnya proses perawatan yang akan dilakukan tidak berjalan lancar sehingga tujuan yang diharapkan tidak tercapai dengan baik. 3. Bermain sebagai upaya peningkatan perilaku kooperatif pada anak. Setiap anak meskipun sedang dalam perawatan tetap membutuhkan aktifitas bermain. Bermain dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk menyelesaikan tugas perkembangan secara normal dan membangun koping terhadap stess, ketakutan, kecemasan, frustasi dan marah terhadap penyakitnya dan hospitalisasi (Mott et al., 1990). Mott et al. (1990), menyatakan bahwa bermain menyediakan kebebasan untuk mengekspresikan emosi dan memberikan perlindungan anak terhadap stres, sebab bermain membantu anak menanggulangi pengalaman yang tidak menyenangkan, pengobatan dan prosedur invasif. Dengan demikian diharapkan respon anak terhadap hospitalisasi berupa perilaku agresif, regresif dan witdrawl dapat berkurang sehingga anak lebih kooperatif dalam menjalani perawatan di rumah sakit. D. Usia Kanak-kanak Awal Perkembangan Umum pada Awal masa Anak-anak: Menurut Hurlock (1994), perkembangan umum pada awal masa anak-anak (usia satu hingga enam tahun) adalah:

26

a. Perkembangan fisik Pertumbuhan selama awal masa kanak-kanak berlangsung lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pada masa bayi. Awal masa anakanak merupakan masa pertumbuhan yang relatif seimbang meskipun terdapat perbedaan secara individual dalam setiap aspek pertumbuhan fisik. Anak dengan tingkat kecerdasan yang tinggi, misalnya, tubuhnya cenderung lebih tinggi pada awal masa kanak-kanak daripada mereka yang kecerdasannya ratarata atau di bawah rata-rata dan gigi sementaranya lebih cepat tanggal. Meskipun perbedaan seks tidak menonjol dalam peningkatan tinggi dan berat badan, tetapi pengerasan tulang dan lepasnya gigi sementara akan lebih cepat pada anak perempuan dari usia ke usia. Anak dari kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung memperoleh gizi dan perawatan yang lebih baik sebelum dan sesudah kelahiran. Oleh karena itu, perkembangan tinggi, berat badan, otot-otot badan cenderung lebih baik. b. Perkembangan keterampilan motorik Keterampilan yang dipelajari anak tergantung sebagian pada kesiapan/ kematangan terutama kesempatan yang diberikan untuk mempelajari dan bimbingan yang diperoleh dalam menguasai keterampilan ini secara cepat dan efisien. Keterampilan motorik pada anak meliputi; 1. Keterampilan tangan, diantaranya adalah; keterampilan dalam makan dan berpakaian sendiri, menyisir rambut dan mandi, melempar dan menangkap

27

bola, menggunakan gunting, bermain tanah liat, membuat kue-kue, mewarnai gambar dan menggambar sendiri. 2. Keterampilan kaki, diantaranya adalah melompat dan berjalan cepat, memanjat, naik roda tiga, berenang, lompat tali, keseimbangan berjalan di atas pagar, sepatu es dan menari. c. Kemajuan Berbicara Selama masa prasekolah, anak-anak memiliki kebutuhan dan dorongan yang kuat untuk belajar berbicara. Hal ini disebabkan karena dua hal, pertama belajar berbicara merupakan sarana pokok dalam bersosialisasi, kedua, belajar berbicara merupakan sarana untuk memperoleh kemandirian. Untuk meningkatkan komunikasi, anak-anak harus menguasai dua tugas pokok yang merupakan unsur penting dalam belajar berbicara yaitu meningkatkan kemampuan untuk mengerti apa yang di katakan orang lain. d. Perkembangan emosi Emosi yang menonjol adalah: 1. Amarah Penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapaimya keinginan dan serangan dari anak lain. Ungkapan marah pada anak antara lain menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat-lompat atau memukul. 2. Takut Pembicaraan, peniruan dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut.

28

3. Cemburu Anak menjadi cemburu bila ia mengira bahwa minat dan perhatian orang tua beralih pada orang lain di dalam keluarganya, misal adik yang baru lahir. 4. Rasa ingin tahu Anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru dilihatnya jugamengenai tubuhnya dan tubuh orang lain. 5. Iri hati Anak sering iri hati mengenai kemajuan atau barangnya sendiri dan mengungkapkan keinginannya untuk memiliki barang orang lain. 6. Gembira Anak-anak merasa gembira karena sehat, situasi yang tidak layak bunyi yang tiba-tiba atau yang tidak diharapkan, bencana yang ringan, membohongi orang lain dan berhasil melakukan tugas yang dianggap sulit. 7. Sedih Anak merasa sedih bila kehilangan sesuatu yang dicintai atau yang dianggap penting bagi dirinya. 8. Kasih sayang Anak-anak belajar mencintai orang, binatang atau benda yang

menyenangkan dengan cara menepuk, memeluk dan mencium obyek kasih sayangnya.

29

e. Perkembangan konsep/pengertian Dengan meningkatnya kemampuan intelektual terutama kemampuan berpikir dan melihat hubungan-hubungan, dengan meningkatnya kemampuan untuk menjelajah lingkungan karena bertambah besarnya kemandirian dan pengendalian motorik serta meningkatnya kemampuan untuk bertanya dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti orang lain maka pengertian anak tentang orang, benda dan situasi meningkat dengan pesat. Anak mulai memperhatikan hal-hal kecil yang tadinya tidak diperhatikan. Dengan demikian anak tidak lagi mudah bingung kalau menghadapi benda-benda, situasi atau orang-orang yang memiliki unsur-unsur sama. E. Landasan Teoritis Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan stres, baik bagi anak maupun orang tua. Lingkungan rumah sakit itu sendiri merupakan penyebab stres bagi anak dan orang tuanya, baik lingkungan fisik rumah sakit seperti bangunan/ruang rawat, alat-alat, bau yang khas, pakaian putih petugas kesehatan maupun lingkungan sosial, seperti sesama pasien, ataupun interasi dan sikap petugas kesehatan itu sendiri. Perasaaan, seperti takut, cemas, tegang, nyeri dan perasaan yang tidak menyenangkan lainnya, sering kali dialami anak (Supartini, 2004). Dalam keadaan demikian, sikap regresif, agresif dan withdrawl hampir merupakan fenomena yang umum terjadi pada anak-anak. Bermain di rumah sakit memberikan kesempatan bagi anak untuk bertanya, merasa takut dan memperhatikan terhadap perlukaan atau penyakitnya, pengobatan dan lingkungan rumah sakit serta menyediakan kebebasan untuk

30

mengekspresikan emosi dan memberikan perlindungan pada anak terhadap stres karena membantu anak menanggulangi pengalaman yang tidak menyenangkan (Mott et al., 1990). Dengan memilih permainan simbolik untuk klien anak diharapkan dapat mengekspresikan perasaan dan menstimulus perilaku kooperatif secara spontan melalui praktek dalam permainan, termasuk praktek perilaku kooperatif pada saat pura-pura berperan menjadi petugas kesehatan (dokter, perawat atau tenaga kesehatan lain) atau pura-pura menjalani prosedur perawatan atau pengobatan. Anak-anak menggunakan benda sebagai alat menurut Santrock (2002) di dalam permainan pura-pura mereka. Tema permainan pura-pura seringkali mencerminkan apa yang mereka saksikan berlangsung dalam hidup mereka. Di dalam permainan pura-pura, anak mencobakan banyak peran yang berbeda (dapat berasal dari kenyataan atau dari fantasi). Dengan demikian bermain permainan simbolik menyediakan kebebasan untuk mengekspresikan emosi dan memberikan perlindungan anak terhadap stres, sebab bermain membantu anak menanggulangi pengalaman yang tidak menyenangkan, pengobatan dan prosedur invasif. Sehingga diharapkan respon anak terhadap hospitalisasi berupa perilaku agresif, regresif dan witdrawl dapat berkurang sehingga anak lebih kooperatif dalam menjalani perawatan di rumah sakit.

31

F. Kerangka Konsep

Anak rawat inap

Bermain simbolik

Perilaku kooperatif anak - regresi - agresi - withdrawl/ menarik diri

Faktor-faktor berpengaruh: -jenis penyakit -jenis tindakan -sikap perawat

Gambar 1. Kerangka konsep Keterangan: Dilakukan Pengamatan Tidak dilakukan pengamatan : : G. Hipotesis Ada pengaruh bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak selama menjalani rawat inap di RSUP Dr. Sardjito.

BAB III Metode Penelitian A. Rancangan penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian quasi eksperimen dengan menggunakan rancangan One Group Pretest-Postest Design (Notoatmodjo, 2002). Dilakukan pengukuran dengan cara observasi sebanyak dua kali yaitu sebelum dan setelah perlakuan. B. Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien anak yang dirawat inap di Ruang Cendana 4, IRNA I RSUP Dr. Sardjito. Rata-rata jumlah pasien perbulan dalam tiga bulan antara Februari-April 2005 sebanyak 34 pasien. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Non probability sampling dengan teknik accidental sampling (Notoadmodjo, 2002), yaitu dengan mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia selama waktu penelitian yang ditentukan. Sampel terdiri atas pasien anak yang dirawat inap di RSUP. Dr. Sardjito, ruang Cendana 4, IRNA I, dengan kriteria: 1. Inklusi a. Anak usia 2 tahun hingga 6 tahun. b. Anak dapat diajak berbicara/berkomunikasi. c. Anak mendapatkan tindakan invasif atau perawatan luka. 2. Eksklusi a. Pasien dalam kondisi koma/tidak sadar. b. Pasien dengan manifestasi klinis perilaku kacau.

33

Waktu penelitian semula direncanakan selama satu bulan yaitu bulan Desember 2005. Menurut Arikunto (2002) jumlah sampel penelitian eksperimen, agar bisa mewakili data penelitian diperlukan jumlah sampel minimal 30 orang, tetapi pada pelaksanaannya proses pengambilan data berlangsung selama tiga bulan yang berakhir pada bulan Maret 2006. Selama waktu tersebut jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 23 anak. C. Variabel Penelitian Variabel Independen : Perilaku Kooperatif D. Definisi Operasional 1. Bermain simbolik: suatu kegiatan yang sengaja direncanakan untuk membantu stimulus anak terhadap perilaku kooperatif dimana dilakukan oleh peneliti sendiri sebanyak dua sesi, kurang lebih 10-20 menit dalam setiap sesinya. Adapun permainan yang dilakukan adalah jenis permainan simbolik atau purapura dengan kegiatan mengenalkan anak pada lingkungan rumah sakit serta tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan selama perawatan di rumah sakit. Alat permainan yang digunakan berupa alat medis tiruan seperti spuit, stetoskop, termometer mainan, gambar-gambar dokter, perawat, boneka. Anak pura-pura berperan menjadi petugas kesehatan seperti dokter, perawat atau tenaga kesehatan lain atau pura-pura menjalani prosedur perawatan atau pengobatan. Untuk menjalin kedekatan dengan anak maka pada permainan sesi pertama anak diajak melakukan aktifitas bermain bebas, anak diberi kesempatan memilih permainan yang disukai dengan peneliti mengarahkannya pada mainan atau permainan tertentu sesuai jenis kelamin dan umur. Alat

34

permainan yang digunakan adalah boneka, mobil-mobilan, alat-alat memasak mainan, mainan alat musik, puzzle, kertas lipat. 2. Perilaku kooperatif anak adalah perilaku anak yang mendukung terhadap tindakan perawatan sehingga tidak menolak terhadap prosedur atau tindakan yang akan dilakukan terhadapnya, dan tidak menolak untuk berinteraksi terhadap perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Perilaku yang diamati meliputi respon regresif, agresif dan withdrawl/menarik diri. Untuk mengukurnya digunakan metode observasi dengan membandingkan tingkat kooperatif sebelum dan sesudah aktifitas bermain. Tingkat kooperatif anak diukur dengan skala interval. E. Alat Ukur Instrumen yang digunakan adalah: lembar observasi yang disusun oleh peneliti, dengan memodifikasi instrumen mengacu pada berbagai literatur yang ada. Instrumen pernah digunakan oleh Herliana (2001) dalam penelitiannya untuk mengetahui tingkat kooperatif pada anak yang menjalani perawatan. Instrumen digunakan untuk mengukur tingkat kooperatif anak pada saat dilakukan tindakan keperawatan atau pengobatan. Pengamat (observer) memberikan tanda check () di muka pertanyaan-pertanyaan yang telah tersusun sesuai dengan pengamatan. Untuk pertanyaan favorabel jawaban ya diberi nilai satu (1) dan jawaban tidak diberi nilai nol (0). Sebaliknya untuk pertanyaan unfavorabel jawaban ya diberi nilai nol (0) dan jawaban tidak diberi nilai satu (1). Instrumen terdiri atas 30 item pernyataan respon perilaku kooperatif anak pada saat dilakukan tindakan invasifpada anak dengan urutan kegiatan:

35

1. Perawat mengajak anak bercakap-cakap atau berbicara. 2. Perawat datang dengan membawa alat-alat perawatan. 3. Perawat melakukan prosedur pemeriksaan/perawatan yang

menyakitkan/invasif. 4. Perawat memerintahkan sesuatu kepada anak sebagai salah satu prosedur perawatan. Instrumen tersusun atas tiga aspek respon perilaku dengan sebaran: Tabel 1 Distribusi pertanyaan sesuai respon Aspek Respon regresif F / T-F F T-F F T-F Respon withdrawl (menarik diri)
F: Favorabel T-F: Tidak Favorabel

Nomor item 5 3,26 6,7,15,25 1,2,8,9,10,16,17,18,19,20 13,14,23,24,30 4,11,12,21,22,27,28,29 Jumlah

Jumlah 1 2 4 10 5 8 30

Respon agresif

F T-F

Sebelum pelaksanaan penelitian, instrumen ini dilakukan uji coba reliabilitas pengamatan atau observasi, dilakukan dengan cara mencari koefisien kesepakatan (KK) agar diperoleh pengamatan yang sama. Observer adalah teman sesama peneliti yaitu mahasiswa PSIK FK UGM yang duduk di semester delapan, yang sebelumnya telah disamakan persepsinya dengan peneliti.

36

F. Jalannya Penelitian Penelitian dilaksanakan di RSUP Dr. Sardjito, ruang Cendana 4 (bangsal Bedah anak/D2) IRNA I. Adapun langkah-langkahnya: 1) Tahap Persiapan: dimulai dengan penyusunan dan presentasi proposal, mengurus perijinan dan penjelasan kepada kepala IRNA I, dan kepala ruang Cendana 4 (bedah anak), serta persiapan asisten sebagai observer. 2) Tahap Uji coba: untuk menyamakan persepsi antar peneliti dan observer dilakukan dengan mendiskusikan format observasi serta latihan bagaimana cara mengisi pengisian format tersebut. Pengamat pertama dan kedua berunding untuk menentukan kesepakatan bersama-sama sebelum melakukan pengamatan. Pengamat pertama dan kedua kemudian melakukan pengamatan sendiri-sendiri terhadap anak dengan menggunakan dua format yang sama, setelah kedua format terisi dilakukan pencatatan hasil. Dalam uji reliabilitas pengamatan atau observasi digunakan rumus yang dikemukakan oleh Fernandes (1984) sebagai berikut:

KK =
Dimana : KK = Koefisien kesepakatan S

2S N1 + N 2

= Sepakat, jumlah kode yang sama untuk setiap objek yang diamati

N1 = Jumlah kode yang dibuat oleh pengamat pertama N2 = Jumlah kode yang dibuat oleh pengamat kedua

37

44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Dari hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu dengan melakukan observasi sebelum dan sesudah intervensi di ruang Cendana 4 IRNA I RSUP DR. Sardjito Yogyakarta, peneliti mendapatkan hasil sebagai berikut: 1. Karakteristik anak Distribusi responden berdasarkan kategori usia, jenis kelamin dan pengalaman hospitalisasi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin dan pengalaman hospitalisasi Karakteristik Frek. % 1. Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 2. Umur (bulan) 25 36 37 60 3. Hospitalisasi sebelumnya Pernah Tidak Pernah Total responden 4 19 23 17,39 82,61 100,00 5 18 21,74 78,26 15 8 65,22 34,88

Sumber: Data primer IRNA I Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito, th 2006

Berdasarkan kategori umur, responden kebanyakan berkisar pada usia 3760 bulan (78,26 %). Total responden sejumlah 23 anak dari target semula sebanyak 30 responden. Hal tersebut dikarenakan pada saat pelaksanaan penelitian sebanyak 7 responden drop out (23,33%).

45

Dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa klien yang menjadi responden penelitian terdiri atas 15 anak (65,22 %) berjenis kelamin laki-laki dan 8 anak (34,88%) perempuan. Hasil penghitungan chi-square menunjukkan tidak adanya pengaruh bermakna antara perbedaan jenis kelamin responden terhadap hasil penelitian. Tetapi variasi pada kategori usia dan pengalaman hospitalisasi sebelumnya berpengaruh secara bermakna terhadap hasil penelitian. Demikian memang dalam periode masa penelitian yaitu bulan Desember hingga Maret 2006 ternyata responden yang berhasil diteliti menunjukkan hasil seperti tersebut dalam tabel di atas. 2. Perilaku kooperatif Untuk mengetahui perbandingan perilaku kooperatif keseluruhan data penelitian antara data sebelum dan sesudah perlakuan dilakukan uji t-tes (table 3), mean sebelum perlakuan 13,6078 mean sesudah perlakuan 15,4783 sehingga didapatkan perbedaan mean sebelum dan sesudah perlakuan 1,8695 dengan data terdistribusi normal. Dengan menggunakan derajat kepercayaan 95 % (p=0,05) diperoleh nilai t sebesar 2,106 p=0,047 (<0,05). Jadi bila dilihat dari hasil

pengujian, maka hipotesis nol yang diajukan penulis adalah ditolak. Artinya ada pengaruh secara bermakna bermain simbolik terhadap perilaku kooperatif anak. Uji normalitas data dengan analisa Shapiro-Wilk (Satoto, 1990) dengan taraf signifikansi sebesar 95 % (p=0,05) diperoleh nilai data sebelum perlakuan p=0,66 dan data sesudah perlakuan p=0,344 (>0,05), maka Ho diterima, jadi kedua data terdistribusi normal.

46

Adapun dari hasil pengujian analisis statistik nilai sebelum dan sesudah intervensi menghasilkan data sebagai berikut: Tabel 3. Uji t perbedaan rata-rata nilai perilaku kooperatif anak antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi bermain Mean SD Beda Variabel t-tes p (mean+SD) Sebelum Sesudah Perilaku 13,605,02 15,475,72 1,874,26 2,106 0,047 kooperatif anak Total 23 23
Sumber: Data olahan IRNA I Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito, th 2006

Tabel 4. Uji t perbedaan perilaku kooperatif anak antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi bermain berdasarkan sikap yang ditunjukkan anak MeanSD Beda Respon t-tes p (meanSD) Sebelum Sesudah Non Regresif Non Agresif Non Withdrawl 0,830,94 7,092,78 5,702,29 1,480,99 8,352,78 5,652,85 0,651,11 1,262,38 -0,042,53 2,81 2,54 -0,08 0,010 0,019 0,935

Sumber: Data olahan IRNA I Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito, th 2006

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan perilaku kooperatif, pada respon non regresif dan non agresif ditunjukkan dengan adanya perbedaan yang bermakna (p=0,01 dan p=0,019) rata-rata nilai sebelum dan setelah intervensi. Kenaikan nilai rata-rata setelah dilakukan intervensi menunjukkan bahwa perilaku regresif dan agresif anak semakin berkurang. Sedangkan pada perilaku withdrawl tidak terjadi perbedaan yang bermakna antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Sehingga intervensi bermain berpengaruh secara bermakna terhadap penurunan perilaku regresif dan agresif pada anak setelah dilakukan intervensi. Berikut distribusi frekuensi tingkat kooperatif anak sebelum dan sesudah intervensi:

47

Tabel 5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat kooperatif sebelum dan sesudah dilakukan intervensi bermain Kategori tingkat Sebelum Sesudah kooperatif Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Jumlah Frekuensi 2 2 6 11 2 23 % 8,70 8,70 26,08 47,82 8,70 100,00 Frekuensi 3 3 11 5 1 23 % 13,04 13,04 47,82 21,75 4,35 100,00

Sumber: Data olahan IRNA I Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito, th 2006

Melihat tabel di atas tampak adanya peningkatan perilaku kooperatif anak setelah diberikan intervensi bermain dibanding sebelum intervensi yaitu; peningkatan jumlah responden kategori sedang dari 6 anak (26,08%) menjadi 11 anak (47,82%). Sebaliknya kategori kooperatif rendah mengalami perubahan dari 11 anak (47,82%) menjadi 5 anak (21,75%).

48

Tabel 6. Tabulasi silang tingkat kooperatif dengan respon anak


Tk Koop T 1 ST T S R SR
1 2 1 1 6

Non Regresif (pre) % S % R %


4.3 4.3 8.6 4.3 4.3 26.1 1 0 1 4 0 6 4.3 0 4.3 17.4 0 26.1 0 1 3 6 1 11 0 4.3 13.0 26.1 4.3 47.8

To tal
2 2 6 11 2 23

%
8.6 8.6 26.1 47.8 8.6 100

T
2 2 7 1 1 13

Non Regresif (pos) % S % R %


8.6 8.6 30.4 4.3 4.3 56.5 1 1 2 1 0 5 4.3 4.3 8.6 4.3 0 21.7 0 0 2 3 0 5 0 0 8.6 13.0 0 21.7

To tal
3 3 11 5 1 23

%
13.0 13.0 47.8 21.7 4.3 100

Total Tk Koop T 2 ST T S R SR
2 1 0 0

Non Agresif (pre) % S % R


8.6 8.6 4.3 .0 .0 0 0 5 8 .0 .0 .0 21.7 34.8 .0 0 0 0 3 2

%
.0 .0 .0 13.0 8.6

To tal
2 2 6 11 2

%
8.6 8.6 26.1 47.8 8.6 100

T
3 1 1 0 0 5

Non Agresif (pos) % S % R


13.0 4.3 4.3 .0 .0 21.7 0 2 10 5 0 17 .0 8.6 43.5 21.7 .0 73.9 0 0 0 0 1 1

%
.0 .0 .0 .0 4.3 4.3

To tal
3 3 11 5 1 23

%
13.0 13.0 47.8 21.7 4.3 100

Total 5 21.7 13 56.5 5 21.7 23 Tk Non Withdrawl (pre) To Koop T % S % R % tal


ST T S R SR Total Ket: 2 2 0 0 0 4 8.6 8.6 .0 .0 .0 17.4 0 0 6 7 0 13 .0 .0 26.1 30.4 .0 56.5 0 0 0 4 2 6 .0 .0 .0 17.4 8.6 26.1 2 2 6 11 2 23

%
8.6 8.6 26.1 47.8 8.6 100

T
0 0 1 2 1 4

Non Withdrawl (pos) % S % R %


.0 .0 4.3 8.6 4.3 17.4 2 2 5 2 0 11 8.6 8.6 21.7 8.6 .0 47.8 1 1 5 1 0 8 4.3 4.3 21.7 4.3 .0 34.8

To tal
3 3 11 5 1 23

%
13.0 13.0 47.8 21.7 4.3 100

ST: Sangat Tinggi T: Tinggi S: Sedang SR: Sangat Rendah R: Rendah Sumber: Data olahan IRNA I Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito, th 2006

Pada tabel tabulasi silang di atas dapat dilihat distribusi frekuensi perbedaan tingkat kooperatif sebelum dan sesudah intervensi bermain beserta komponen respon perilaku yang ditunjukkan anak (regresif, agresif dan withdrawl).

49

B. PEMBAHASAN Dari hasil observasi yang peneliti lakukan secara keseluruhan dapat dilihat bahwa kegiatan bermain terapeutik di rumah sakit dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku kooperatif yang ditunjukkan dengan kenaikan tingkat

kooperatif anak. Hal ini dapat dipahami karena dengan bermain anak dapat mengekspresikan perasaan, keinginan dan fantasi serta ide-idenya tentang berbagai perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami ketika dirawat di rumah sakit. Bagi anak yang lebih muda bermain adalah bentuk utama komunikasi. Selain itu anak dapat mengembangkan kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah serta anak dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress karena sakit dan dirawat di rumah sakit. Dengan demikian bermain di rumah sakit dapat mengurangi rasa cemas dan ketakutan pada anak yang dapat dilihat dari perubahan respon perilaku yang anak tunjukkan pada saat dilakukan observasi oleh peneliti dengan alat ukur yang sama pada saat sebelum dan sesudah dilakukan kegiatan bermain. Pada saat bermain perawat dapat mengajak bercakap-cakap anak, yang merupakan upaya untuk membina hubungan saling percaya. Bermain terapeutik merupakan dasar teknik bermain yang digunakan anak sehingga membantu perawat mengerti perasaan, pikiran dan gagasan serta motivasi anak. Perawat dan petugas kesehatan lainnya juga dapat mengerti apa yang disukai dan tidak disukai oleh anak, kebutuhan dan keinginannya, dimana hal itu dapat dikaji dari anak. Sehingga dapat membantu dalam proses berinteraksi dengan anak, perawat lebih

50

bisa memahami perasaan atau mood yang dialami anak oleh karena telah terjalin hubungan afeksional dengan anak dan orang tua. Pada saat diajak bercakap-cakap anak lebih memperhatikan dan menanggapi apa yang perawat sampaikan oleh perawat. Dengan bermain simbolik dokter-dokteran anak secara psikodinamik dapat mengidentifikasi dirinya sebagai agresor dengan demikian memberi kesempatan kepadanya untuk mengatasi kecemasan dan kemarahannya terhadap prosedur yang menyakitkan Di rumah sakit sebagian besar anak ditunggui oleh ibu atau salah satu anggota keluarganya. Keberadaan ibu atau orang-orang terdekat tersebut dapat membantu mengurangi stres akibat perpisahan dan menjadi sumber dukungan emosional baginya (Potter & Perry, 1993). Oleh karena perpisahan dengan keluarga membuat anak mengalami kehilangan dukungan emosional, anak berpisah dengan keluarga yang menjadi sumber kepuasan emosi dan rasa aman disamping juga pemindahan dari lingkungan yang sudah akrab dan sesuai dengannya. Menurut Simbolon (1990) bahwa anak-anak banyak menunjukkan distres apabila perpisahan itu terjadi pada saat usia anak menunjukkkan kelekatan pada orang tua mereka (usia kurang dari 3 tahun) dimana terjadi kegagalan membentuk keterikatan afeksional sedangkan jika perpisahan terjadi secara berkepanjangan terutama dengan ibu atau ibu pengganti selama 5 tahun kehidupan pertama anak, menyebabkan perilaku delikuen di kemudian hari. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Herliana (2001) yang mendapatkan hasil bahwa ada pengaruh secara bermakna bermain terhadap tingkat kooperatif (menggunakan derajat kepercayaan 95%, p=0,00). Beberapa

51

anak pada awalnya menunjukkan sikap bermusuhan pada perawat/peneliti misalnya anak mengusir perawat/peneliti sebelum sempat bercakap-cakap dengan anak, anak berespon sedikit yaitu hanya menjawab ya dan tidak, ataupun anak tidak menjawab sapaan/pertanyaan perawat/peneliti. Setelah dilakukan permainan dengan anak sikap anak berubah misalnya bersikap lebih ramah kepada perawat, mau diajak bercakap-cakap dan berespon baik terhadap pembicaraan perawat. Perubahan tersebut bisa dikarenakan anak tidak merasa asing lagi dengan lingkungan maupun tenaga pemberi pelayanan perawatan/pengobatan yang menanganinya di rumah sakit. Dengan bermain terapeutik anak merasa lebih familiar dengan lingkungannya yang baru sehingga stress mentalnya berkurang dan tingkat kecemasan anak bisa dikurangi (Mott et al, 1990). Namun pengaruh intervensi terhadap perilaku anak terutama pada respon withdrawl terlihat tidak bermakna. Baik sebelum atau sesudah intervensi hampir sebagian besar anak tetap menunjukkan perilaku withdrawl yang tinggi. Dari penghitungan statistik diketahui mean sebelum perlakuan 5,70 mean setelah perlakuan 5,65 sehingga didapat beda rerata -0,05. Dengan menggunakan derajat kepercayaan 95 %, diperoleh nilai t -0,08 dan p=0,96 (> 0,05). Pada saat perawat datang dengan membawa alat-alat perawatan anak menunjukkan respon mulai menangis, menjerit-jerit, memanggil-manggil orang tuanya, merapatkan diri pada orang tuanya karena anak merasa lebih aman berada dipelukan orang terdekat. Anak merasa tidak nyaman apabila ada perawat yang melintas, karena takut perawat akan melakukan sesuatu tindakan terhadap dirinya yang dirasa menyakitkan (Supartini, 2004). Reaksi demikian memang wajar karena termasuk

52

reaksi hospitalisasi utama pada anak-anak yang biasa muncul disamping reaksi lain seperti kecemasan karena perpisahan, kehilangan kontrol dan nyeri (Whaley & Wong, 1990). Selanjutnya pada saat perawat melakukan prosedur perawatan invasif berupa injeksi obat bolus (jarum ditusukkan pada selang infus) atau perawatan luka. Pengamatan pada respon anak menunjukkan tidak adanya pengaruh permainan simbolik terhadap perilaku withdrawl anak. Meskipun pada saat sesi bermain anak diperkenalkan dengan macammacam alat perawatan, cara penggunaanya serta anak diberikan kesempatan untuk mencoba menggunakan alat-alat tersebut baik pada boneka maupun pada anggota keluarga yang menemani, namun rupanya pada beberapa anak respon yang muncul dipengaruhi oleh suatu pengalaman trauma dari tindakan yang diterima sebelumnya ketika anak dilakukan tindakan/pemeriksaan sebelum anak menjalani perawatan inap yang berdampak pada perilaku kooperatif anak pada saat

dilakukan tindakan keperawatan invasif. Misalnya pengambilan darah yang tidak berhasil sekaligus sehingga harus dicoba lagi berkali-kali menusuk anak. Pengalaman hospitalisasi berperan besar menentukan respon anak-anak ataupun remaja terhadap prosedur invasif, terutama apabila pengalaman tersebut dipersepsikan negatif (LeRoy et al., 2003). Perilaku withdrawl yang nampak pada anak saat dilakukan prosedur invasif mungkin berkaitan dengan perasaan ketakutan berkaitan dengan perawatan kesehatan yaitu ketakutan terhadap jarum, pengalaman tindakan invasif sebelumnya yang melukai bagian tubuh, dipaksa berbaring untuk dilakukan

53

prosedur, menjadi subyek untuk dilakukan pemeriksaan sinar X dan lain sebagainya. Selain di atas sensasi nyeri yang dirasakan merupakan bagian penting dalam perawatan yang tidak dapat diabaikan. Persepsi nyeri pada anak bervariasi sesuai kondisi dan derajat kecemasan yang turut mempengaruhi nyeri. Anak-anak sering mengaitkan kecemasan dan ketakutan dengan nyeri dan mungkin mempersepsikan bahwa nyeri adalah sebagai hukuman bagi orang yang berbuat jahat atau berpikiran buruk (Potter dan Perry, 1993). Selain menangis, anak masih menunjukkan respon ketakutan (withdrawl) dengan merapat pada orang tua, memanggil nama orang tua, mengajak pulang, memukul perawat dan meronta-ronta (agresif). Pada beberapa anak observasi dilakukan pada bentuk tindakan perawatan yang berbeda yang bisa jadi tingkat stimulus stresnya lebih tinggi misalnya dua pasien memperoleh tindakan hecting up pada observasi yang kedua hal tersebut oleh karena anak sudah tidak mendapatkan bentuk tindakan perawatan yang sama dengan tindakan pada saat observasi yang pertama, sehingga kemungkinan dapat menimbulkan bias. Respon anak pada saat perawat memerintahkan sesuatu sebagai salah satu pelaksanaan prosedur perawatan, anak masih menunjukkan respon agresif yang sama seperti pada saat sebelum intervensi bermain. Secara umum tidak terjadi perubahan yang berarti. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan observasi dilakukan ketika perawat melakukan tindakan perawatan yang invasif kepada anak. Sehingga meskipun pada saat bermain anak sudah diajarkan tentang pentingnya anak mematuhi perintah perawat yang akan bermanfaat bagi kesembuhannya, misalnya perintah perawat meminta anak untuk memberikan

54

tangannya untuk diambil darahnya, dan meminta anak untuk tidak menekuk anggota tubuhnya yang akan dilakukan pemeriksaaan atau perawatan. Pada saat dilakukan prosedur invasif anak sedang mengalami keadaan puncak berupa nyeri, cemas, takut sehingga sesederhana apapun perintah perawat tidak dihiraukan oleh anak. Tetapi di luar tindakan invasif anak menunjukkan respon positif, misalnya pada saat perawat memerintahkan untuk mandi, makan, minum obat, atau turun dari tempat tidur pada saat sprei akan diganti. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Zahr (1998), pada

anak-anak usia prasekolah yang mendapat intervensi permainan terapeutik dengan pertunjukkan boneka wayang, anak-anak menjadi lebih kalem/tenang tetapi tidak lebih kooperatif dari kelompok kontrol yang ditunjukkan dengan nilai t sebesar -1,81 derajat signifikansi yang digunakan 99 % (p=0,01). Terdapat kesesuaian dengan hasil penelitian ini, yaitu diperoleh respon regresif dan agresif menurun tetapi respon withdrawl tetap tinggi permainan simbolik Menurut Zahr (1998) dari hasil penelitiannya tentang persiapan anak untuk hospitalisasi menunjukkan hasil bahwa persiapan yang diperoleh dengan metode menggunakan pertunjukkan boneka wayang membantu mereka lebih kalem dibandingkan kelompok kontrol ketika mereka memerima injeksi preoperatif. Manfaat permainan terapeutik juga berpengaruh secara fisiologis yaitu terjadi penurunan rata-rata tekanan darah dan nadi selama injeksi. Hal tersebut sangat besar manfaatnya untuk perawat ataupun ahli pediatrik lainnya (Zahr, 1998). setelah diberikan perlakuan dengan

55

Potter dan Perry (1993) berpendapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perawat pada saat berkomunikasi pada anak dengan membiarkan anak

memperhatikan interaksi yang dekat antara perawat dengan orang tua sebelum mendekati anak, menggunakan boneka sebelum melakukan prosedur tindakan pada anak, berkomunikasi pada anak sejajar dengan posisi mata anak. Membiasakan anak-anak berinteraksi dengan perawat dengan beberapa kegiatan bermain misalnya bermain dengan balon sebelum menyentuh anak. Selain itu berusaha melibatkan orang tua pada pemeriksaan/tindakan apabila memungkinkan serta menghindari bahasa tubuh seperti senyuman yang terlalu lebar dan tatapan yang dalam atau lama. Untuk mengurangi ketakutan pada anak perawat dapat meminta anak untuk duduk untuk pemeriksaan atau prosedur bila memungkinkan, perawat memperagakan langkah-langkah tindakan terhadap boneka, perawat lain atau orang tua sebelum memulai prosedur perawatan. Mempersilakan anak untuk melihat dan memegang peralatan atau menggunakannya pada boneka. Mengupayakan kehadiran orang tua selama prosedur dan perlakuan, memberi kesempatan pada anak untuk bermain dengan pengalamannya dan membebaskan perasaan kemarahan dan frustasi dalam berbagai bentuk tindakan (seperti bermain spuit, melempar mainan, membuat benda dari bahan yang dapat dibentuk dan memainkan alat musik perkusi). Terakhir dengan menyediakan sesi bermain terapeutik (Potter dan Perry, 1993). Perawat seringkali tidak dapat mencegah nyeri tetapi dapat melakukan sesuatu untuk mengurangi ketidaknyamanan fisik. Untuk itu perawat dapat

56

melakukan; pada anak usia todler atau yang lebih muda perawat dapat berbicara dengan suara yang lembut atau dengan nyanyian dan dengan sentuhan fisik seperti memegang, mengayun, memeluk, merangkul dan mengusap-usap. Menganjurkan anak untuk disediakan benda-benda yang dapat membuatnya nyaman seperti selimut kesayangannya, mainan kesayangannya, atau selendang ibunya. Perawat memperbolehkan anak untuk menangis namun tetap melakukan tindakan yang membantu misalnya memegang tangan mereka agar diam selama tindakan. Memberi kesempatan kepada anak untuk memilih misalnya ajari mana yang akan diambil darahnya untuk pemeriksaan. Membiasakan partisipasi anak dalam

prosedur yang mungkin juga menyakitkan, yang menjadi berlebihan oleh kecemasan. Menyediakan perangsang yang dapat mendorong kerjasama

(cooperation) dengan tindakan keperawatan yang menimbulkan ketidaknyamanan (misal memberikan pilihan kepada anak untuk mengambil hadiah kejutan dari kotak yang disediakan setiap kali anak bekerjasama pada saat pengambilan darah untuk pemeriksaan) dan tentu saja perawat secara kolaborasi dapat memberikan analgesik sebagai pengontrol nyeri untuk memberikan kenyamanan dan meningkatkan kerjasama pada pelaksanaan prosedur invasif (Potter dan Perry, 1993).

Nilai koefisien kesepakatan yang ideal adalah 1, namun dalam hal ini hampir tidak pernah diperoleh. Nilai antara 0,8 0,1 dianggap tinggi; antara 0,6 0,8 cukup; antara 0,4 0,6 agak rendah; antara 0,2 0,4 rendah; antara 0,0 0,2 sangat rendah (Arikunto, 2002). Perhitungan nilai koefisien kesepakatan dilakukan pada hasil observasi peneliti dengan observasi asisten peneliti/observer dua. Bagi observer yang memiliki nilai koefisien kesepakatan >0,6 maka dia diterima sebagai asisten peneliti sedangkan bila nilai KK yang diperoleh <0,6 maka akan dilakukan pemahaman kembali format dan observasi kembali sampai diperoleh nilai KK yang >0,6. Hasil uji reliabilitas pengamat yang dilakukan diperoleh nilai KK1 0,6 dan KK2 0,8. Lembar observasi perilaku kooperatif anak berguna untuk memudahkan observer dalam melihat perilaku kooperatif anak selama menjalani rawat inap di ruang Cendana 4 (bangsal bedah anak) RSUP Dr. Sardjito. 3) Tahap Pelaksanaan : Dalam penelitian ini penulis mengambil tempat penelitian di ruang perawatan bedah anak Cendana 4 IRNA I RSUP DR. Sardjito Yogyakarta yang direncanakan selama satu bulan yaitu pada bulan Desember, tetapi proses pengambilan data berlangsung selama tiga bulan yang berakhir pada bulan Maret 2006. Karena dalam tempo waktu satu bulan tersebut belum diperoleh sejumlah sampel yang diharapkan yaitu minimal 30 responden, maka peneliti memperpanjang jangka waktu penelitian selama dua bulan kemudian hingga bulan Maret. Selama waktu tersebut diperoleh sampel sejumlah 23 responden.

38

Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan penelitian yang peneliti lakukan adalah: a. Peneliti melakukan pendekatan pada klien (pasien dan keluarganya), menjelaskan bahwa peneliti akan melakukan dua kali pengamatan kepada anak dan terutama pada saat dilakukan tindakan medis/keperawatan dan saat berinteraksi dengan perawat yaitu sebelum dan sesudah anak bermain. b. Melakukan observasi pretest, kemudian mengajak anak untuk bermain dengan ditemani ayah, ibu, teman sesama pasien atau keluarganya yang lain. c. Melakukan permainan simbolik/pura-pura dengan anak, dengan peneliti sebagai fasilitator. Permainan dilakukan sebanyak dua sesi dengan waktu terpisah, setiap sesi dilakukan kurang lebih selama 10 hingga 20 menit. Peneliti melakukan permainan dengan anak atau membimbing anak untuk melakukan permainan sendiri dengan ditemani keluarganya dengan cara mengarahkan alat permainan yang sesuai. Adapun pelaksanaan permainan dengan anak dilakukan tidak tetap dalam waktu tertentu, peneliti kadang menemui klien pada pagi atau sore hari (setelah anak mendapat tindakan), pada siang hari (setelah anak makan siang) bahkan pada hari libur sekalipun. Pada mulanya permainan direncanakan dilakukan secara berkelompok dengan sesama pasien, namun karena kondisi anak yang tidak mendukung maka permainan secara berkelompok hanya dilakukan pada beberapa pasien saja, sebagian besar anak bermain bersama keluarga yang menemaninya. Kondisi tersebut ialah tahapan perawatan anak yang

39

berbeda-beda, sehingga berpengaruh pada tahap pengambilan data. Apabila menunggu pasien lain untuk permainan berkelompok bisa jadi pasien lainnya drop out karena akan segera pulang, belum, atau bahkan sudah tidak mendapatkan jenis tindakan yang dimaksud peneliti untuk diobservasi perilakunya. d. Setelah dilakukan aktifitas bermain sebanyak dua sesi, peneliti melakukan observasi lagi kepada anak (posttest) untuk melihat perilaku kooperatifnya.

Anak rawat

Perilaku Kooperatif sebelum bermain

Bermain

Perilaku kooperatif setelah bermain

Faktor-faktor berpengaruh: -jenis penyakit -jenis tindakan -sikap perawat

Perbandingan

Gambar 2. Skema Jalannya Penelitian G. Analisis Data Analisa data dilakukan setelah pengumpulan data. Langkah pertama yang dilakukan dengan editing kemudian mentabulasikan seluruh data yang terkumpul, kemudian menjumlah skor dari hasil observasi respon anak. Untuk menganalisis data tersebut, karena dalam hal ini data hasil eksperimen menggunakan pre-test dan post-test one group design, maka rumusnya adalah:

40

t=

Md N ( N 1)

dimana : Md xd : Mean dari beda post test dan pre test : deviasi masing-masing subjek
2

x d
N d.b.

: jumlah kuadrat deviasi : Subjek pada sampel : dientukan dengan N 1 (Arikunto, 2002)

Harga t tersebut kemudian dibandingkan dengan harga t tabel sehingga diperoleh interpretasi dari hipotesis ada tidaknya perbedaan sebelum dan sesudah

perlakuan. Untuk menghitung perbedaan tersebut maka digunakan nilai probabilitas dengan tingkat kemaknaan 95% (p=0,05). Dikatakan ada perbedaan bermakna apabila p<0,05 (Sugiyono, 2005). Sedangkan untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak dilakukan uji Shapiro-Wilk (Satoto, 1990). Selanjutnya untuk memberikan interpretasi skor skala dilakukan dengan bantuan statistik deskriptif berdasarkan standar deviasi yang terbagi ke dalam lima kelas tingkat kooperatif sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi (Azwar,1999). Norma kategorisasi dalam populasi teoritik yang mengikuti sebaran normal standar (=0; standar deviasi ()= 1) berupa: X -1,5 -1,5 < X -0,05 Kategori sangat rendah Kategori rendah

41

-0,05 < X +0,05 +0,05 < X +1,5 +1,5 <X

Kategori sedang Kategori tinggi Kategori sangat tinggi

Distribusi di atas misal bila ditetapkan dalam skala perilaku kooperatif (yang secara teoritis kemungkinan skornya berkisar dari 0 sampai dengan 30 dan standar deviasi () = 5) akan menghasilkan kategori skor sebagai berikut: X 7,5 7,5 < X 12,5 12,5 < X 17,5 17,5 < X 22,5 22,5 < X Kategori sangat rendah Kategori rendah Kategori sedang Kategori tinggi Kategori sangat tinggi

Demikian juga pengkategorian diterapkan untuk masing-masing tingkat respon regresif, agresif dan withdrawl dengan disesuaikan kisaran skor dan standar deviasinya. (Azwar,1999)
H. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian

1. Kesulitan penelitian Kapasitas ruang perawatan bedah anak yang kecil, yang hanya dapat menampung sedikit pasien, sehingga dalam masa pengambilan data selama tiga bulan hanya mendapatkan 23 responden, selain itu lama waktu rawat inap pasien yang relatif panjang juga menyebabkan masuknya pasien baru terbatas karena menunggu antrian tempat untuk dirawat/menjalani prosedur 2. Kelemahan Penelitian

42

a. Identifikasi temperamen anak diperoleh dengan menanyakan pada keluarga tanpa menggunakan panduan, sedangkan untuk mendapatkan identifikasi yang akurat diperlukan instrumen/panduan yang tepat. Sehingga peneliti tidak dapat mengendalikan apakah respon perilaku yang muncul pada responden merupakan dampak karena stressor di rumah sakit atau karena karakteriktik anak memang demikian, yang hal ini dapat menimbulkan bias terhadap hasil penelitian. b. Pada kriteria eksklusi responden dengan manifestasi klinis perilaku kacau memerlukan pengukuran dengan menggunakan instrumen yang tepat, namun dalam penelitian ini hal tersebut belum dapat dilakukan. Sehingga kemungkinan besar menimbulkan bias terhadap hasil penelitian. c. Permainan yang rencananya akan dilakukan secara berkelompok namun karena kondisi tahap perawatan anak yang berbeda-beda maka permainan dilakukan secara individu, anak sebagian besar tidak bermain bersama sesama pasien tetapi bersama anggota keluarga yang menungguinya. Selain itu terdapat variasi dalam waktu lamanya permainan masing-masing anak dan variasi adanya teman/keluarga yang menemani anak selama bemain. d. Dari variabel-variabel yang berpengaruh terhadap hasil pelaksanaan kegiatan bermain terapeutik tidak semuanya dikendalikan. Hanya variabel jenis tindakan saja yang dikendalikan. Variabel jenis penyakit dan sikap perawat tidak dikendalikan. e. Perilaku tidak terjadi secara sporadis (timbul dan hilang saat-saat tertentu), tetapi selalu ada kelangsungan kontinuitas antara satu perilaku dengan

43

perilaku berikutnya, sehingga semakin banyak dilakukan pengukuran semakin baik karena dapat menunjukkan sifat kontinuitas dari perilaku. Namun dalam penelitian ini pengukuran perilaku anak hanya dilakukan dua kali, pre dan pos aktivitas bermain masing-masing dilakukan satu kali observasi.

44

BAB V KESIMPULAN dan SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian intervensi bermain simbolik berpengaruh terhadap peningkatan perilaku kooperatif anak selama menjalani perawatan di rumah sakit. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perbedaan rata-rata perilaku kooperatif secara bermakna antara sebelum dan sesudah bermain, dengan nilai kemaknaan sebesar 0,047. B. Saran 1. Mengingat manfaat bermain di rumah sakit berupa pengaruhnya terhadap peningkatan perilaku kooperatif anak pada saat menjalani perawatan maka hendaknya rumah sakit dapat memfasilitasi terselenggaranya kegiatan bermain bagi pasien di bangsal bedah anak. 2. Hendaknya perawat senantiasa berupaya untuk menyampaikan kepada orang tua tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan anak untuk tetap dapat bermain meski dalam keadaan sakit (yang tentu saja disesuaikan dengan kondisi kesehatan anak). 3. Perawat hendaknya dapat membantu anak dan orang tua dalam praktik bermain, memberikan informasi jenis-jenis bermain terapeutik yang dapat dilakukan untuk mendukung proses perawatan, termasuk bermain simbolik pura-pura menjadi dokter-pasien/perawat-pasien yang dapat menurunkan perilaku regresif dan agresif selama prosedur invasif.

57

4. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perawat pada saat berkomunikasi pada anak yaitu dengan menggunakan boneka sebelum melakukan prosedur tindakan pada anak. Membiasakan anak-anak berinteraksi dengan perawat denagan beberapa kegiatan bermain misalnya bermain dengan balon sebelum menyentuh anak. 5. Tindakan dapat dilakukan perawat untuk membantu mengurangi ketakutan pada anak, perawat dapat memperagakan langkah-langkah tindakan terhadap boneka, perawat lain atau orang tua sebelum memulai prosedur perawatan. 6. Perawat seringkali tidak dapat mencegah nyeri tetapi dapat berupaya mengurangi ketidaknyamanan fisik dengan menganjurkan anak untuk disediakan benda-benda yang dapat membuatnya nyaman seperti selimut dan mainan kesayangannya. 7. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengendalikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi dan penelitian untuk mengetahui jenis permainan apa yang paling efektif untuk meningkatkan perilaku kooperatif anak selama tindakan invasif.

58

Lampiran 1 KARAKTERISTIK RESPONDEN Identitas Responden 1. Nama Anak 2. Jenis Kelamin 3. Umur 4. Tanggal masuk RS 5. Diagnosa Medis 6. Pasien anak no. 7. Pernah rawat

Observasi I / II *

: : : :. : :daribersaudara inap di rumah sakit sebelumnya: ya/tidak*

.. Jika ya: a. Tahunpenyebab rawat inap. b. Tahunpenyebab rawat inap.... c. Tahunpenyebab rawat inap

Keterangan: * Lingkari sesuai pilihan

PERILAKU KOOPERATIF Berikut ini adalah pedoman observasi untuk melihat perilaku kooperatif anak yang dirawat di ruang Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito pada usia 2-6 tahun.

PEDOMAN OBSERVASI PERILAKU KOOPERATIF ANAK SELAMA MENJALANI PERAWATAN

PETUNJUK Berilah tanda check (V) pada kolom ya atau tidak berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh anak: NO. REAKSI YANG MUNCUL PADA ANAK Perilaku anak pada saat perawat mengajak bercakapA. cakap atau berbicara 1. 2. 3. 4. 5. Anak mengusir perawat. Anak menunjukkan respon marah pada perawat. Anak tidak mengeluarkan sepatah kata pun Anak menghindari kontak mata dengan perawat. Anak berespon dengan mengeluarkan jawaban ya atau tidak. 6. 7. Anak bersikap ramah dan berespon baik terhadap perawat. Anak berespon antusias terhadap pembicaraan perawat. Perilaku anak pada saat perawat datang dengan membawa alat-alat B. perawatan 8. 9. Anak menjerit-jerit. Anak menangis. YA TIDAK

10. Anak mengucapkan kata-kata marah atau respon marah pada perawat. 11. Anak mengajak orang tuanya pulang.

ii

12. Anak merapatkan dirinya/bersembunyi pada orang tuanya. 13. Anak bersikap wajar tetapi tetap pada aktivitasnya. 14. Anak menanyakan alat apa yang dibawa perawat. 15. Anak menerima perawat dengan ramah dan menanyakan prosedur apa yang akan dilakukannya. Perilaku anak pada saat perawat melakukan prosedur C. pemeriksaan/perawatan baik yang menyakitkan ataupun tidak 16. Anak memanggil-manggil orang tuanya. 17. Anak meronta-ronta. 18. Anak menendang-nendangkan kakinya. 19. Anak menangis kuat atau menjerit-jerit 20. Anak melawan (misal memukul atau mencakar) perawat yang melakukan tindakan. 21. Anak menepiskan tangan perawat yang memeganginya. 22. Anak menekuk kaku tangan atau anggota tubuh yang akan dilakukan pemeriksaan. 23. Anak memberikan anggota tubuh yang akan dilakukan pemeriksaan. 24. Anak menanyakan dulu kepada perawat tindakan. yang akan dilakukan sakit atau tidak kemudian mempersilakan perawat melakukan pemeriksaan terhadapnya. 25. Anak tanpa bertanya apa-apa langsung mempersilakan perawat melakukan pemeriksaan terhadapnya.

iii

Perilaku anak pada saat perawat memerintahkan sesuatu sebagai salah D. satu prosedur perawatan 26. Anak menangis. 27. Anak menunjukkan respon marah pada perawat. 28. Anak tidak mau melakukan perintah perawat. 29. Anak melakukan perintah tetapi dengan sedikit paksaan. 30. Anak melakukan perintah secara spontan tanpa paksaan. Catatan observer: ...... ...... . ( ) 2005 Tanda tangan Observer

iv

Lampiran 2 Materi kegiatan yang dilakukan pada penelitian Sesi I, selama 10 20 menit Hari/tanggal Waktu : : Ya Tdk

No Materi yang kegiatan 1 Perkenalan dengan anak dan orang tua a. Memperkenalkan nama dan identitas singkat dari peneliti. b. Memberitahukan tentang maksud dan tujuan penelitian. c. Memberikan informasi tentang pentingnya orang tua dalam mendampingi anak selama dilakukan aktivitas bermain oleh peneliti. 2 Melakukan pendekatan dengan anak a. Membina hubungan saling percaya. b. Mengadakan kontrak waktu dengan anak pada awal permainan. 3 Persiapan sebelum melakukan permainan: a. Memilih permainan yang disukai anak untuk bermain dan mengarahkannya pada jenis tertentu. Puzzle, mobil-mobilan, boneka, alat memasak mainan, kertas lipat, mainan alat musik, gambar benda-benda di rumah sakit, buku gambar.

b. Memberikan alat bermain yang tidak menguras tenaga. c. Memberikan alat bermain sesuai jenis kelamin dan umur. d. Mendaftar benda yang ada di rumah sakit dan latihan tebak-menebak tentang benda tersebut. e. Biarkan anak untuk menggambar apa yang disukai dan tidak disukainya di rumah sakit. 4 Mengakhiri permainan. a. Meminta ijin pada anak untuk mengakhiri pemainan. b. Meminta anak melanjutkan permainan lagi nanti atau esok hari. 5 Mencatat respon anak selama permainan. Respon Anak: ... ( ) Tanda tangan pelaksana

Sesi II, selama 10 - 20 menit Hari/tanggal Waktu : :

Sarana yang digunakan : Boneka, gambar dokter dan perawat, peralatan rumah sakit (termometer, stetoskop, alat suntik tanpa jarum, cangkir)

No. 1

Materi kegiatan Mempersiapkan permainan yang akan dilakukan bersama anak.

Ya

Tdk

2 3

Mengadakan kontrak waktu dengan anak Melakukan permainan bersama anak: a. Untuk menjelaskan sakitnya, tunjukkan bagian yang sakit pada anak dengan mempergunakan boneka. b. Mengenalkan dan mendekatkan anak dengan dokter dan perawat dengan menggunakan gambar-gambar dokter dan perawat atau dapat juga mengenalkannya secara langsung. c. Perkenalkan anak dengan alat-alat yang ada di rumah sakit yang tidak menyakitkannya: termometer, stetoskop. d. Ajari anak menggunakannya sambil dijelaskan. e. Perkenalkan anak dengan alat rumah sakit yang

menakutkannya (misalnya: alat suntik tanpa jarum) dan ajarkan cara menggunakannya. f. Anak bermain pura-pura menjadi perawat atau dokter. g. Biarkan anak memegang spuit tanpa jarum, ajarkan menyuntik dan gambarkan lokasi yang akan disuntik dan perlihatkan wajah boneka tersenyum. h. Jika memungkinkan anak bisa bermain air dengan menggunakan spuit. 4 Mengakhiri permainan a. Meminta ijin pada anak dan orang tuanya bahwa tugas perawat sudah selesai. b. Mengucapkan terimakasih pada orang tua atas ijin yang diberikan dan partisipasinya. c. Meminta orang tuanya untuk mengajak anaknya bermain. 5 Mencatat respon anak selama permainan. Respon Anak: ... ( ) Tanda tangan pelaksana

Lampiran 3 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Umur :.. :..

Selaku wali dari anak : Nama Umur :.. :..

telah memberikan persetujuan anak saya untuk di observasi dalam penelitian Pengaruh Bermain Simbolik Terhadap Perilaku Kooperatif Selama Menjalani rawat inap di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta. Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan. Saya mengetahui bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi anak-anak dalam menjalani rawat inap. Demikian pernyataan ini dibuat secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun.

Yogyakarta,2005

(.)

ii

Lampiran 4 Lembar Kesediaan Menjadi Observer

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Umur :.. :..

Jenis kelamin :.. Pendidikan :..

Menyatakan bersedia untuk berpartisipasi sebagai observer dalam penelitian yang berjudul Pengaruh Bermain Simbolik Terhadap Perilaku Kooperatif Anak Selama Menjalani Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Saya telah menerima informasi atau penjelasan dan mengerti tentang observasi yang akan dilakukan pada penelitian ini. Demikian surat kesediaan yang saya buat.

Yogyakarta,..2005

(.)

ii

Lampiran Uji homogenitas sampel

NPAR-Test Chi Square Test Frequencies


KELAMIN Jenis Kel. Laki-laki Perempuan Total Observed N 15 8 23 Test Statistics KELAMIN 2.130 1 .144 Expected N 11.5 11.5 Residual 3.5 -3.5

Chi-Square(a) df Asymp. Sig.

a 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 11.5.

NPAR-Test Chi Square Test Frequencies


USIA Observed N 5 18 23 Test Statistics USIA 7.348 1 .007 Expected N 11.5 11.5 Residual -6.5 6.5

2-3 th 3-6 th Total

Chi-Square(a) df Asymp. Sig.

a 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 11.5.

Lampiran Uji homogenitas sampel

NPAR-Test Chi Square Test Frequencies


HOSPITAL Hospitalisasi Tidak Ya Total Observed N 19 4 23 Expected N 11.5 11.5 Residual 7.5 -7.5

Test Statistics HOSPITAL ChiSquare(a) df Asymp. Sig. 9.783 1

.002 a 0 cells (.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 11.5.

Anda mungkin juga menyukai