Anda di halaman 1dari 8

HAK MILIK DAN AKAD

A. Pengertian Penguasaan terhadap sesuatu benda (harta), yang penguasanya dapat bertindak terhadap sesuatu yang dikuasainya dan dapat mengambil manfaatnya apabila tidak ada halangan syara. Halangan syara dimaksudkan sebagai sesuatu yang ditetapkan oleh syara yang menghalangi seseorang dalam penguasaan harta dan pemanfaatannya; seperti: anak kecil, pemboros dan orang yang sakit ingatan. B. Macam-macam harta/benda 1. Benda yang tidak boleh menjadi milik perseorangan; yakni semua macam benda yang diperuntukkan bagi kepentingan umum. 2. Benda yang pada dasarnya tidak boleh dimiliki secara perseorangan, kecuali oleh sebab yang dibenarkan syara. 3. Benda yang dibolehkan menjadi milik perseorangan; yakni semua benda yang bukan diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti jalan, wakaf, baitul mal. Pemilikan atas benda tersebut bisa meliputi pemilikan atas benda sekaligus pemanfaatannya atau pemilikan atas salah satu dari keduanya (benda atau manfaatnya). C. Macam-macam milik Milik dapat dibedakan menjadi dua macam: 1. Milik sempurna 2. Milik tidak sempurna

Ad. 1. milik sempurna : milik atas benda sekaligus manfaatnya milik sempurna ini mempunyai ciri-ciri: a. tidak dibatasi dengan waktu tertentu, maksudnya seseorang tetap memiliki benda dan manfaatnya selama kepemilikan belum berpindah ke orang lain dengan akad tertentu. b. pemiliknya berhak untuk memanfaatkan atau mengelola benda yang menjadi miliknya sesuai keinginan.

Meskipun seseorang memiliki suatu barang secara sempurna, namun kepemilikan itu tidaklah mutlak. Maksudnya, terkait dengan fungsi harta itu sendiri, yaitu memiliki fungsi sosial.Jadi, di satu sisi pemilik sempurna berhak bertindak apa saja terhadap miliknya, namun di sisi lain kepemilikan itu ada fungsi sosial yang harus diperhatikan. Bahkan, ketika sampai pada kadar tertentu, harta tersebut wajib dikeluarkan zakatnya.

AKAD
A. Pengertian Pengertian umum/luas: Akad adalah semua tindakan seseorang yang dilakukan dengan niat dan keinginan kuat dalam hatinya, meskipun tindakan itu sepihak, seperti wakaf. Pengertian khusus: Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara, yang menetapkan adanya akibat hukum pada objek akad.

Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai iasi perikatan yang diinginkan, sementara qabul adalah pernyataan pihak kedua yang menerimanya. Adanya ijab dan qabul ini diadakan untuk menunjukkan suatu keridlaan atau suka rela di antara dua pihak yang berakad, sehingga dari sini menimbulkan kewajiban masing-masing secara timbal balik. B. Pembentukan Akad Rukun akad: a. Orang yang berakad (aqidain) b. Objek akad (maqud alaih) c. Ijab dan qabul

Ad. a. Orang yang berakad (aqidain): Secara umum, aqid disyaratkan harus memiliki keahlian dan kemampuan untuk melakukan akad. Dari syarat tersebut kemudian fuqaha memberikan batasan.

Ulama Malikiyah dan Hanafiyah, mensyaratkan bahwa aqid harus berakal (sudah mumayyiz). Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mensyaratkan bahwa aqid harus baligh, berakal dan mampu memelihara agama dan hartanya.

Akad anak mumayyiz dipandang sah, dalam hal: Akad yang bermanfaat bagi dirinya, seperti akad yang tidak memerlukan qabul. Contoh: hibah. Tindakan yang mengandung kemadlaratan bagi dirinya, yaitu tindakan mengeluarkan harta miliknya tanpa memerlukan qabul, seperti meminjamkan atau memberikan suatu barang. Sementara akad yang berdampak pada manfaat dan madlarat atau untung dan rugi, tidak dapat dilakukan oleh anak mumayyiz, kecuali atas ijin walinya.

Ad. b. Objek akad (maqud alaih): 1). Objek akad harus ada ketika akad 2). Objek akad adalah sesuatu yang dibolehkan syara 3). Objek dapat diberikan ketika akad 4). Objek harus diketahui dengan jelas

TEORI AKAD DALAM FIKIH MUAMALAH Akad (al-Aqd), yang dalam pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama manusia. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa. 1. Pengertian Akad (Kontrak) Akad (al-Aqd) dalam bahasa Arab berarti: pengikatan antara ujung-ujung sesuatu. Ikatan di sini tidak dibedakan apakah ia berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qabul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan . Pengertian ini bersifat lebih khusus karena terdapat pengertian akad secara

istilah yang lebih luas dari pengertian ini. Namun ketika berbicara mengenai akad, pada umumnya pengertian inilah yang paling luas dipakai oleh fuqah (para pakar fikih). Adapun pengertian akad yang bersifat lebih umum mencakup segala diinginkan orang untuk dilakukan baik itu yang muncul karena kehendak sendiri (irdah munfaridah), seperti: wakaf, perceraian dan sumpah atau yang memerlukan dua kehendak (irdatain) untuk mewujudkannya, seperti: buy (jual-beli), sewa-menyewa, waklah (perwakilan) dan rahn (gadai). Dari pengertian akad yang lebih umum ini muncul sedikit perbedaan dengan akad yang dimengerti oleh fuqah dan hukum-hukum perdata konvensional. Perbedaannya adalah bahwa dalam pengertian yang lebih luas mencakup kehendak tunggal dapat melazimkan suatu transaksi, sementara menurut undang-undang hukum perdata konvensional akad mesti melibatkan dua kehendak. Karena itu wilayah akad dalam pengertian umum jauh lebih luas dibandingkan dengan akad dalam pengertian khusus. 2. Rukun Akad Dalam pengertian fuqah rukun adalah: asas, sendi atau tiang. Yaitu Sesuatu yang menentukan sah (apabila dilakukan) dan tidaknya (apabila ditinggalkan) suatu pekerjaan tertentu dan sesuatu itu termasuk di dalam pekerjaan itu.. Seperti ruku' dan sujud merupakan sesuatu yang menentukan sah atau tidaknya shalat; keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perbuatan shalat. Dalam muamalah, seperti: ijab dan qabul dan orang yang menyelenggarakan akad tersebut. Menurut Jumhur ulama rukun akad ada tiga; yaitu qid (orang yang menyelenggarakan akad seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma'qd alaih) dan shighatul aqd (bentuk [ucapan] akad) . Ijab adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang memiliki barang. Qabul adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang tersebut kepadanya. Jika transaksi itu jualbeli, maka ucapan si penjual kepada pembeli : "Saya jual buku ini kepada anda" adalah ijab sekalipun hal itu diucapkan belakangan. Dalam transaksi jual-beli di sini, qabul adalah ucapan si pembeli kepada si penjual: "Saya beli buku ini" sekalipun ucapan itu dikeluarkan di depan. Jika ijab dan qabul ini sudah diikat satu sama lain sementara keduanya diucapkan oleh orang yang sehat akalnya maka akan terjadi perubahan status hukum ke atas barang yang diselenggarakan akad atasnya (dalam hal ini adalah buku yang dijual). Perubahan status hukum di sini adalah perpindahan kepemilikan; yaitu sebelum akad, buku tersebut milik si penjual dan setelah akad status kepemilikannya

berpindah kepada si pembeli setelah membayar sejumlah uang sebagai harga dari buku itu. Ijab dan qabul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang melakukan akad. Dalam fikih muamalah, ijab dan qabul ini adalah komponen dari shighatul aqd yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atau qidain (pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan kerelaan hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan. Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam setiap akad, shighat akad harus selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan dari qidain. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimanakah kedudukan hukum jual-beli saat ini yang tidak melibatkan shighat akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli hanya membayar harga dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau ungkapan apa-apa. Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual-beli atau akad semacam ini dan mereka menyebutnya aqd bit ta'athi karena tradisi dan kebiasaan hidup manusia ('urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah menjadi fenomena biasa ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktik demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang merasa keberatan. Bahkan sebagian fuqah (madzhab Hanafi) membolehkan tidak saja dalam jual-beli yang remeh seperti telur, roti dan lain-lain tetapi juga membolehkannya pada semua transaksi besar seperti rumah dan mobil. Sementara itu madzhab Maliki tidak mensyaratkan 'urf sebagai patokan indikator kerelaan pihak yang melakukan akad. Baginya akad adalah sah apabila terselenggara secara suka rela. Tentu pendapat ini lebih luas dan lebih mudah dari pendapat Hanafi. Sekalipun pada umumnya para fuqah menyepakati akad bit ta'athi dalam semua lapangan muamalah tetapi mereka menyepakati bahwa untuk kawin (zawj) dikecualikan. Hal ini disebabkan karena kawin merupakan hal yang agung dan sakral dan memiliki konsekuensi abadi pada pihak wanita. Karena itu diperlukan kehatia-hatian dan kesempurnaan dengan menjadikan ucapan sebagai bukti terkuat untuk mengekspresikan kehendak. 3. Orang yang menyelenggarakan akad (qidain) Pihak yang menyelenggarakan akad ini dapat sebagai pembeli atau penjual atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak. Keduanya mempunyai syarat yang sama yaitu, pertama, berakal atau mumayyiz . Berakal di sini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Mumayyiz artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan. Kedua, orang yang menyelenggarakan akad haruslah bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihan bebasnya.

Dalam keadaan tertentu banyak dijumpai hambatan-hambatan psikis atau fisik yang membuat orang tidak dapat melakukan transaksi atau mengurangi kapabilitasnya untuk menjalankan transaksi. Dalam fikih muamalah hambatanhambatan demikian disebut awridh ahliyyah. Ada dua jenis awridh ahliyyah yaitu samawiyyah dan muktasibah. Samawiyyah adalah jenis hambatan yang tidak disebabkan oleh kehendak orang yang terkena hambatan tersebut, tetapi terjadi di luar kehendak manusia dan bukan merupakan pilihannya seperti gila, pingsan dan tidur. Muktasibah adalah hambatan yang terjadi karena ulah orang itu sendiri seperti mabuk dan utang. Dalam mu,amalah hambatan samawiyah memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan hambatan muktasibah dan ini tentunya kembali kepada kenyataan bahwa dalam hal tersebut orang tidak memiliki pilihan karena itu transaksi yang dilakukan oleh orang yang terkena hambatan ini menjadi batal. 4. Barang dan Harganya (al-Ma'qd Alaih) Barang dan harga dalam akad jual-beli disyaratkan sebagai berikut: Pertama, barang atau harga harus suci dan tidak najis atau terkena barang najis yang tidak dapat dipisahkan. Ini berlaku bagi barang yang dijual-belikan maupun harga yang dijadikan ukuran jual-beli. Kedua, barang dan harga tersebut harus benar-benar dapat dimanfaatkan secara syar'i. Ketiga, barang yang dijual harus menjadi milik dari penjual saat transaksi tersebut diselenggarakan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak dimiliki kecuali dalam akad salam. Barang yang dijual harus dipastikan dapat diserahkan kepada pembeli. Jual-beli yang tidak dapat mengantarkan barang kepada pembeli dianggap sebagai suatu transaksi yang tidak sah. Keempat, barang tersebut harus diketahui karakteristik dan seluk beluknya. Begitu juga harga harus diketahui secara pasti untuk menghapuskan kemungkinan persengketaan yang diakibatkan oleh ketidaktahuan harga. Kelima, dalam akad ini tidak diperbolehkan menambahkan persyaratan bahwa transaksi bersifat sementara. Misalnya si penjual mengatakan bahwa ia menjual mobilnya dengan harga sekian untuk jangka waktu sekian. Persyaratan ini batal karena pemindahan kepemilikian yang dicapai lewat akad bersifat langgeng dan tidak mengenal batas waktu. Begitu perpindahan kepemilikan terjadi, maka hak penggunaan dan pemanfaatan atas barang itu juga berpindah sepenuhnya dari penjual kepada si pembeli dan penjual tidak lagi memiliki hak apapun atas barang yang telah dijualnya. 5. Jenis-jenis Akad Ada banyak jenis akad yang umum dikenal dalam fikih muamalah dengan memandang kepada apakah akad itu diperbolehkan oleh syara' atau tidak;

dengan memandang apakah akad itu bernama atau tidak; dengan memandang kepada tujuan diselenggarakannya akad dan lain-lain. a. Akad Sah dan Tidak Sah Dengan memandang apakah akad itu memenuhi syarat dan rukunnya atau tidak, dapat dibagi menjadi dua yaitu akad sah dan akad tidak sah. Akad sah adalah akad yang diselenggarakan dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. Hukumnya adalah akad ini berdampak pada tercapainya realisasi yang dituju oleh akad tersebut yaitu perpindahan hak milik. Sedangkan akad yang tidak sah adalah akad yang salah satu rukun atau syarat pokoknya tidak dipenuhi. Hukumnya adalah bahwa akad tersebut tidak memiliki dampak apapun, tidak terjadi pemindahan kepemilikan dan akad dianggap batal seperti jual-beli bangkai, darah atau daging babi. Dengan kata lain dihukumi tidak terjadi transaksi. Ada perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan madzhab Hanafi mengenai sah dan batalnya suatu akad. Jumhur melihat bahwa batal dan rusak (fsid) artinya sama. Kalau suatu akad itu rusak, maka ia juga batal. Sedangkan madzhab Hanafi membedakan antara rusak (fsid) dengan batal sehingga mereka membagi akad berdasarkan sah atau tidaknya menjadi tiga macam yaitu akad sah, fsid dan batal. Dalam pandangan madzhab Hanafi, akad yang tidak sah secara syar'i terbagi menjadi dua yaitu batal dan fsid (rusak) di mana dalam pandangan jumhur hanya menjadi dua yaitu sah atau tidak sah dan tidak sah berarti batal dan berarti fsid. Yang batal adalah akad yang rukunnya tidak dipenuhi atau akad yang pada prinsipnya atau sifatnya tidak dibenarkan secara syar'i. Misalnya salah satu pihak kehilangan kapabilitas seperti gila; atau shighat akad tidak memenuhi syarat, atau barang yang ditransaksikan tidak diakui oleh syara' seperti jual-beli miras, daging babi dan lain sebagainya. Hukum akad yang batal ini sama dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan madzhab-madzhab yang ada yaitu dianggap tidak terjadi. Adapun akad fsid, pada prinsipnya dibenarkan secara syar'i tetapi sifatnya tidak dibenarkan. Misalnya akad tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki kapabilitas, barang yang ditransaksikan dibenarkan oleh syara' namun ada sifat yang dilarang oleh syara' seperti menjual suatu barang yang belum jelas kondisinya sehingga akan dapat menimbulkan persengketaan ketika akad tersebut dilakukan. Akad fsid memiliki dampak syar'i dalam transaksi artinya terjadi perpindahan kepemilikan. Namun akad ini dapat dibatalkan (fasakh) oleh salah satu pihak yang melakukan transaksi atau dari hakim yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. b. Dengan Melihat Penamaan

Dari segi penamaan maka akad dapat dibagi menjadi dua juga yaitu akad musamma dan ghairu musamma. Akad musamma adalah akad yang sudah diberi nama tertentu oleh syara' seperti jual-beli (buy'), ijrah , syirkah , hibah, kaflah , hawlah , waklah , rahn (gadai) dan lain-lain. Sedangkan akad ghairu musamma akad yang belum diberi nama tertentu dalam syara' demikian pula hukum-hukum yang mengaturnya. Akad-akad ini terjadi karena perkembangan kemajuan peradaban manusia yang dinamik. Jumlahnya pun sangat banyak dan tidak terbatas seperti istishn' , baiul waf' dan bermacam-macam jenis syirkah (musyrakah) lain-lain. c. Akad Aini dan Ghairu Aini Dilihat dari diserahkannya barang kepada pihak yang diberikan hak sebagai kesempurnaan sahnya suatu akad, maka akad dapat digolongkan menjadi aini dan ghairu aini. Akad Aini adalah akad yang pelaksanaannya secara tuntas hanya mungkin terjadi bila barang yang ditransaksikan benar-benar diserahkan kepada yang berhak untuk misalnya hibah , iarah , wadiah , rahn dan qardh . Dalam akad-akad ini barang yang diakadkan harus diserahkan kepada pihak yang berhak untuk menuntaskan bahwa akad benar-benar terjadi. Kalau tidak diserahkan kepada yang berhak, maka akad tidak terjadi atau batal. Sedangkan ghairu aini adalah akad yang terlaksana secara sah dengan mengucapkan shighat akad secara sempurna tanpa harus menyerahkan barang kepada yang berhak. Umumnya akad-akad selain yang lima di atas dapat digolongkan ke dalam akad ghairu aini

Anda mungkin juga menyukai