Anda di halaman 1dari 18

BEAUTY AND THE BEAST: HIPEREALITAS DAN REALITAS AKUNTANSI KAJIAN POSMODERNISME BAUDRILLARIAN ATAS GOODWILL Diah Hari

i Suryaningrum diahharisuryaningrum@gmail.com
ABSTRACT This idea in this essay come on the one hand from metaphora in understanding hiperreality reality and on the other hand based on the Baudrillarian postmodernist perspective. Thus, this essay aims: a) to understand hiperreality and reality in accounting by using a metaphor of a folk story Beauty and the Beast and b) to review and analyze accounting for goodwill from the perspective of Baudrillarian pospodernism. In the center of the analysis lies a provocative thesis that was advanced by N. Macintosh in his article (2000 dan 2003), that todays financial markets operate detached from reality in hyperreality, and these does not exist anything stable to support the financial economy in the order of simulacrum. Consequently, vital accounting information no longer refers to real referents, which mean that we live in the world of free floating signs. In the simulation era of todays world, accounting, just like all other areas of knowledge, is faced with a crisis of representation. Goodwill is a hidden value that, generally, the accounting standards define in the following way: the value of the future economic benefit (internally goodwill) and the difference between fair value and book value of the firm (business combination). This essay concludes that the order of simulacrum (era of simulacra) of accounting for goodwill are as follows: first, era of proprietary; second, era of political-economy; third, era of globalization; and finally, era of virtual. It is also suggest that understanding goodwill is important to determine if information of goodwill has value relevance for decision making. Key words: metahpora, Baudrillarian postmodernism, hyperreality, era of simulacra, goodwill

seeing yourself seeing and seeing yourself sensing What begin as perception returns to affect the structures of society
PENDAHULUAN Akuntansi dapat dipandang sebagai bahasa perusahaan (Suwardjono, 2010; 28), karena akuntansi memiliki seperangkat symbol, baik berupa kata maupun angka, yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi dari penyedia informasi kepada pengguna informasi. Bahasa merupakan aspek penting dalam komunikasi karena bahasa berfungsi sebagai pembawa pesan yang mengandung makna tertentu. Makna yang ingin disampaikan dalam bahasa tersebut mungkin berubah seiring dengan berjalannya waktu atau mungkin berbeda tergantung pada kemampuan pengguna informasi di dalam membaca dan memahaminya (Evans, 2008)1. Oleh karena itu, ungkapan bahasa
1

Evans (2008) melakukan pengamatan atas perubahan dalam bahasa akuntansi dengan menggunakan teori linguistic dan menekankan pengamatannya pada mekanisme dan motivasi yang menyebabkan adanya perubahan tersebut. Papernya menyimpulkan bahwa perubahan bahasa dalam akuntansi, termasuk transmisi antara bahasa dan budaya, dapat memberikan informasi secara historis tentang transfer perkembangan teknikal, sosio-ekonomi, proses politik atau ideology, kekuasaan, dan terminology juridiksional.

harus tepat sehingga maknanya dapat ditafsirkan sama persis dengan makna yang dimaksudkan. Agar informasi akuntansi memiliki kandungan informasi, maka informasi akuntansi mengacu pada realitas yang ingin dikomunikasikan. Suwardjono (2010; 29) mengartikan realitas sebagai kenyataan atau fakta fisik dari kegiatan perusahaan. Jika realitas diartikan sebagai kenyataan atau fakta, maka kegiatan fisik perusahaan yang disimbolkan melalui tanda-tanda bahasa akuntansi harus mencerminkan kenyataan atau factual. Pada konteks ini, akuntansi menjadi syarat dengan pengukuran dan penilaian. Hendriksen dan Van Breda (1992, 15) mengakui bahwa: Accounting number and classifications vary with respect to the degree of interpretation that can be inferred by the reader of accounting reports. For example, the item cash in the statement of financial condition is fairly well understood to mean what accountants intend it to mean. On the other hand, the classification of deferred charges has no specific interpretation apart from the structural processes that gave rise to it. Artinya, angka-angka dan klasifikasi-klasifikasi akuntansi sangat bervariasi tergantung pada penafsiran yang dapat disimpulkan oleh pembaca laporan keuangan. Misalnya, pos kas dalam laporan posisi keuangan (neraca) cukup baik dipahami maknanya sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh akuntan. Sebaliknya, pos beban tangguhan tidak memiliki interpretasi yang spesifik bagi pembaca laporan keuangan. Demikian juga dengan goodwill. Goodwill yang dalam laporan posisi keuangan merupakan bagian dari aset tidak berwujud (intangible assets) bisa memiliki interpretasi yang berbeda bagi pembaca laporan keuangan. Goodwill merupakan konsep yang muncul dalam akuntansi, yang merupakan hasil pemikiran logis, yang berusaha merepresentasikan bagian dari nilai perusahaan yang tidak tampak dalam laporan keuangan dan hanya muncul dalam hal terjadi penggabungan usaha, baik secara individual maupun perusahaan (Zanoni, 2009; 1). Dalam konteks ini, realitas sudah tereduksi menjadi sebuah konsep. Realitas tidak lagi mencerminkan kenyataan atau factual, tetapi hanya mencerminkan symbol itu sendiri (hiperrelaitas). Jika demikian, apakah akuntansi goodwill merupakan realitas atau hiperrealitas? Dalam esai ini, akuntansi goodwill penulis kaji dengan menggunakan perspektif posmodernisme Baudrillarian2. Untuk memahami hiperrealitas dan realitas yang dimaksud dalam perspektif tersebut, penulis menggunakan metafora3 kisah Beauty and the Beast. Tujuan dari esai ini

Merupakan ajaran Jean Baudrillard (1929 2007), seorang filsuf, sosiologis, teoris budaya, komentator politik, dan fotografer berkebangsaan Perancis. Hasil karyanya sering kali diasosiasikan dengan posstrukturalisme dan posmodernisme. Salah satu idenya yang terkenal adalah Simulacra dan Hiperrealitas, yang menyangkut sebuah penyangkalan terhadap konsep realitas. Baudrillard berpendapat bahwa pada masa kini tidak ada apa yang disebut dengan realitas, yang ada adalah hiperrealitas (simulacrum). 3 Aristoteles (348 322SM) dalam karyanya Rhetoric metafora adalah simile (perumpamaan) yang mengalami proses ellipsis atau dilesapkan. Metafora juga berkaitan dengan substitusi atau transfer (ephiphora). Metafora dapat dipahami dari konteks gerakan (transferensi) baik dari genus ke spesies (umum ke khusus) atau dari spesies ke genus (dari khusus ke umum), atau berdasarkan analogi (Aisah, 2010)

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

adalah untuk mendapat penjelasan apakah bahasa akuntansi, khususnya akuntansi goodwill, mampu merepresentasikan realitas dan makna yang memang dimaksudkan oleh akuntan. BEAUTY AND THE BEAST Cerita "Beauty and the Beast" (dalam bahasa Perancis: La Belle et La Btte) adalah cerita dongeng, yang pertama kali diterbitkan oleh Gabrielle-Suzanne Barbot de Villeneuve, dipublikasikan di La jeune amricaine, et les contes marins tahun 1740. Versinya yang paling populer dibukukan oleh pengarang Perancis, Madame Jeanne-Marie de Beaumont, dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1756 pada Magasin des enfants, ou dialogues entre une sage gouvernante et plusieurs de ses lves; versi terjemahan Inggrisnya diterbitkan tahun 1957. Dongeng dengan kisah yang mirip dengan cerita ini banyak ditemukan di berbagai negara. Kisah Beauty and the Beast Seorang duda kaya raya memliki tiga orang anak perempuan. Dua anak tertua setiap hari selalu bersenang-senang, berkeliling kota sambil mengenakan busana Prada, menikmati koktail di restoran Four Seasons, dan hanya mau digoda oleh pria-pria bangsawan. Putri yang bungsu bukan hanya lebih cantik dan lebih ramah, tetapi juga lebih serius dan pintar, dengan kepekaan yang tinggi pada seni sastra. Dia sangat cantik dan menyenangkan sehingga setiap orang memanggilnya "Beauty". Pada suatu saat, duda tersebut kehilangan semua harta yang dia miliki. Bersama ketiga anaknya dia pindah ke sebuah rumah reyot di pedesaan. Di situ tidak ada yang bisa dilakukan selain memandang keluar jendela sambil mengenang masa-masa menyenangkan yang pernah mereka alami. Beauty selalu bangun pagi untuk menolong ayahnya. Pekerjaan di ladang membentuk ototnya dan kulitnya menjadi coklat berkilat. Setahun kemudian, sang ayah menerima kabar bahwa kapalnya telah tiba. Dia berangkat menuju dermaga diiringi permintaan kedua putri tertuanya yang tamak untuk membawa pulang barang-barang mahal-----seperti pakaianmerek Chanel, tas Gucci, coklat Godiva. Beauty hanya meminta setangkai bunga mawar. Ternyata barang-barang yang dimuat di kapal tersebut bermasalah. (Biaya untuk mengurus masalah itu menguras seluruh pendapatannya.) Dalam keadaan bangkrut, sang ayah bermaksud kembali pulang ke rumah, namun kemudian tersesat dalam badai salju. Sekonyong-konyong, dia melihat sebuah kastil yang mentereng di kejauhan. Keadaan di dalam kastil itu seperti Martha Stewart dari abad Pertengahan-----tumpukan daging domba tersaji di atas piring-piring perak, sebuah tempat tidur berukuran sangat luas yang dibuat oleh orang-orang kerdil, celana berkuda yang cocok dengan ukuran yang dia pakai. Pada pagi harinya, bukannya salju yang dia lihat, melainkan sebuah taman yang sangat luas. Dia lalu memetik setangkai bunga mawar untuk Beauty. Tiba-tiba, sesosok makhluk yang menyeramkan (the Beast) muncul di seberang taman, dengan menampakkan deretan giginya yang tajam. Rupanya taman itu merupakan satu-satunya harta berharga yang makhluk itu miliki dan cintai! Sang ayah memohon agar tidak dibunuh, sambil menjelaskan bahwa dia adalah orangtua tunggal. The Beast mengampuninya, dengan syarat bahwa salah satu putrinya harus datang ke kastil tersebut.

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

Beauty pun datang ke kastil itu (setelah ayahnya menjelaskan dengan terperinci bagaimana dia hampir kehilangan nyawanya ketika akan mengambilkan bunga untuk Beauty). Bukannya memangsa Beauty, The Beast malah mempersilahkannya tinggal di dalam kastil dan menyediakan kamar khusus lengkap dengan pakaian dan sebuah perpustakaan. Lama kelamaan Beauty merasa nyaman dengan suasana di dalam kastil. Dia mengakui (setelah dipaksa) bahwa secara fisik, The Beast meskipun menyeramkan, tetapi kala dia memikirkan kebaikannya, rupa buruk tersebut memudar. Andai saja The Beast tidak terus menerus memintanya untuk menikah dengannya (sebuah tawaran yang dengan terpaksa dia tolak). Pada akhirnya, The Beast mengubah permintaannya. Dia hanya meminta Beauty untuk tetap menemaninya seumur hidup. Beauty berkata bahwa betapapun dia menyukai kehidupan di dalam kastil itu, dia tidak akan merasa bahagia jika harus hidup jauh dari ayahnya. Oleh karena menganggap bahwa kebahagiaan Beauty jauh lebih penting dari apapun, The Beast mengijinkanya pergi. Setelah kembali ke rumah ayahnya, Beauty sering melamun memikirkan The Beast. Dia heran akan perasaannya sendiri yang merindukan The Beast. Ada apa ini? Beauty bukanlah jenis orang yang suka mengharapkan apa-apa yang tidak dimilikinya. Setelah bermimpi bahwa The Beast sedang dalam keadaan sekarat, Beauty baru menyadari bahwa sebenarnya dia memang mencintai The Beast, walaupun hanya sebatas teman. Dia bergegas kembali ke kastil tadi.... ...dimana the Beast memang tengah sekarat, dikarenakan rasa rindunya kepada Beauty. Beauty langsung menghambur ke dalam pelukannya, sambil mengucapkan janji bahwa dia bersedia menikah dengannya. Sekejap itu juga, the Beast menjelma menjadi seorang pangeran rupawan. Ternyata selama ini sang pangeran telah dikutuk, berubah wujud menjadi sesosok makhluk buruk rupa sampai ada seorang gadis cantik yang jatuh cinta kepadanya hanya karena kebaikan dan kepribadiannya. Mereka kemudian menikah dan hidup berbahagia selamanya. Kisah Beauty and the Beast Representasi Hiperrealitas dan Realitas Akuntansi Beberapa riset atau artikel akuntansi telah menggunakan kisah dongeng untuk memberikan pemahaman yang sama akan sebuah informasi. Sebagai contoh kisah Ciderella4 yang digunakan untuk memberikan pemahaman akuntansi atas konsep substance over form atau substansi mengungguli bentuk (Hayes dan Baker, NA). Sedangkan Nobes (1985) seperti yang dikutip oleh Page (2005) mencatat bahwa legenda tentang Quest for the Holy Grail, adalah metafora yang umum dipakai oleh para pembuat standard di UK untuk merumuskan rerangka konseptual. Kisah Beauty and the Beast dapat diinterpretasikan untuk merepresentasikan hiperrealitas dan realitas. Beauty digambarkan sebagai sosok yang tidak hanya cantik, tetapi juga baik dan penuh kasih sayang, sedangkan Beast digambarkan sebagai sosok kebalikannya. Dalam dunia nyata, benarkah ada seseorang yang memilki sifat ekstrim yang satu mencermikan kebaikan sedang yang lain mencerminkan keburukan tersebut? Inilah yang dimaksud dengan hiperrealitas, di mana symbol merepresentasikan symbol itu sendiri (bukan merepresentasikan fakta yang ada). Sama seperti kisah4

Cinderella merepresentasikan sesuatu yang baik dari dalam meskipun tampilan luarnya tidak baik yang dibentuk oleh ibu tiri. Hal ini berbeda dengan laporan keuangan, yang bentuk luarnya sangat bagus (penjualan yang naik, laba tinggi, aktiva besar, dan kewajiban yang kecil) tetapi bagian dalam menyembunyikan keadaan sesungguhnya yang mungkin tidak sebaik tampilan luar. Ibu tiri yang membentuk Cinderella menjadi sesuatu yang tidak baik, mencerminkan pihak manajemen sebagai pihak yang membuat laporan keuangan. Sepatu kaca mencerminkan bukti transaksi yang terjadi dalam orgaisasi. Sedangkan penelusuran sepatu kaca kepada pemiliknya, mencerminkan telusuran audit terhadap suatu transaksi sebagai milik perusahaan. berdasar metafora kisah Cinderellan, pihak manajemen dan akuntan auditor harus mengungkapkan keuangan perusahaan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya secara jujur. Substansi dari suatu transaksi harus tercermin sepenuhnya dalam laporan keuangan sehingga tercapai transparansi yang lebih baik.

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

kisah dongeng pada umumnya, kisah tersebut bukan merepresentasikan dunia nyata, tetapi hanya merepresentasikan kisah itu sendiri (hiperrealitas). Kisah Beauty and the Beast dapat digunakan untuk merepresentasikan hiperrealitas dan realitas akuntansi, misalnya akuntansi penjualan/pembelian asset secara kredit (tergantung dari sudut mana transaksi dilihat penjual atau pembeli) dalam konsep akuntansi berbasis akrual5. Pertama, adanya transaksi. Dalam penjualan/pembelian kredit, terjadi transaksi di mana penjual menukar asetnya dengan kewajiban membayar bagi pembeli (dalam kisah Beauty and the Beast, terjadi pertukaran antara bunga mawar dengan diri Beauty yang harus tinggal di Kastil the Beast). Kedua, adanya pengakuan. Penjual akan mendebet piutang dagang dan mengkredit asset, sedangkan pembeli akan mendebet asset dan mengkredit utang. Di sini terjadi realitas fisik di mana ada aliran fisik asset yang berpindah dari penjual ke pembeli (dalam Beauty and the Beast ada realitas fisik bunga mawar). Ketiga, selain ada realitas fisik terjadi realitas social dimana pembeli secara social mempunyai kewajiban untuk membayar utangnya atau ada aliran kewajiban dari pembeli ke penjual (dalam Beauty and the Beast ada Beauty yang mau menyerahkan dirinya untuk tinggal di kastil the Beast). Apakah piutang dan utang (kewajiban) secara faktual ada? (mengapa Beauty mau menyerahkan dirinya? Karena kewajibankah?) Oleh karena itu, catatan akuntansi (journal entry) merupakan bayangan (shadow) dari transaksi yang ada secara factual simulacra atau hiperrealitas (Macintosh et al., 2000). Dan keempat, adanya penilaian. Apakah utang yang nantinya dibayar oleh pembeli mempunyai nilai yang sama dengan asset yang dipertukarkan? Dalam ekonomi, umumnya nilai direpresentasikan dengan uang. (apakah bunga mawar mempunyai nilai yang sama dengan kerelaan Beauty?) PERSPEKTIF BAUDRILLARIAN (ORDER OF SIMULACRA) Macintosh et al. (2000), menjelaskan bahwa Baudrillard menggunakan idenya tentang simulacrum, implosion, dan hyperreality untuk mendeskripsikan secara radikal perkembangan kehidupan masysrakat posmodern. Simulacra (simulacrum) adalah tanda (sign), citra (image), model (model), pretense (pretence), atau bayangan (shadow) yang menyerupai sesuatu seperti aslinya. Implosi (implosion) adalah suatu keadaan di mana batasan antara dua atau lebih entitas, konsep, atau fakta telah mencair, rusak, atau hancur sehingga perbedaan-perbedaan diantaranya tidak lagi tampak. Hiperrealitas (hyperreality) merujuk pada kondisi posmodernitas di mana simulacra (tanda, citra, atau model) tidak berasosiasi dengan kenyataan atau terlepas dari realitas obyek material atau idealitas romatis. Secara ontology, dunia postmodern saat ini di dominasi oleh batasan linguistic dan tekstual, yang saat ini lebih penting dari realitas ekonomi yang mengguncang era industrialism.
5

Berdasarkan konsep akuntansi akrual, suatu transaksi atau peristiwa dicatat pengaruhnya terhadap elemenelemen laporan keuangan pada saat transaksi atau peristiwa tersebut terjadi tanpa mempertimbangkan telah diterima atau dibayarkannya kas atau setara kas. Hingga saat ini, praktik akuntansi menggunakan dasar akuntansi akrual seperti yang tertuang dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (KDPPLK) paragraph 22 (IAI 2009).

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

Baudrillard menggunakan konsep simulacra, implosi, dan hiperrealitas untuk menjelaskan perkembangan relasi tanda dan realitas dalam empat tingkatan (klasifikasi tingkatan ini tidak menggambarkan mana yang lebih penting, akan tetapi lebih menunjukkan yang satu mendahului yang lain). Oleh karena itu, Baudrillard mengungkapkan konsepnya sebagai era tanda (era of sign) atau order of simulacra. Tingkatan simulacra yang dikemukakan Baudrillard adalah sebagai berikut: Pertama, tanda merefleksikan realitas yang benar-benar nyata dan yang ada mendahului tanda (profound reality). Pada era ini, tanda merujuk pada realitas dengan penampakan yang nyata, di mana tanda merepresentasikan realitas yang jujur dan transparan. Kedua, tanda menyembunyikan atau malah menyimpangkan sifat asli dari realitas atau yang mendahuluinya. Dalam era ini, tanda merujuk pada penampakan realitas yang terdistorsi, dalam arti tanda tidak lagi memiliki sifat seperti yang dimiliki realitas. Ketiga, tanda menyembunyikan ketidakhadiran realitas. Pada era ini, tidak berbeda dengan permainan sulap, tanda bermain untuk mewujudkan realitas. Dan terakhir, relasi antara tanda dan realitas dipertukarkan atau dibalik, di mana keberadaan tanda terjadi mendahului keberadaan realitas. Pada era ini, tanda tidak memiliki relasi apapun dengan realitas, bahkan realitasnya sendiri belum atau sama sekali tidak ada (hiperrealitas)6. Order of Simulacra dan Akuntansi Keuangan Dalam artikelnya Hyperreal Finance, McGoun (1997) merepresentasikan instrument ekonomikeuangan dengan permainan poker. Orang bermain poker dengan taruhan token (uang atau saham), yang dengan token tersebut mereka memainkan pasar. Pemain dapat menguangkan token tersebut kapanpun dia kehendaki, dan para pemain menikmati sensasi berkompetisi dan kebanggaan memiliki nilai token yang makin meningkat. MGoun menggambarkan tingkatan simulacra yang dikaitkan dengan uang sebagai berikut: tingkatan pertama uang secara umum menggambarkan symbol (citra) dari kekayaan. Tingkatan kedua, dimana pendapat Bauldrillard dipengaruhi oleh Marx bahwa political-economy adalah transmutasi dari semua nilai (tenaga kerja, pengetahuan, hubungan social, budaya, alam) menjadi nilai pertukaran ekonomi. Tingkatan ketiga, adalah pertukaran hanya demi pertukaran, yang dijustifikasi dengan transaksi pertukaran demi konsumsi. Pada tingkatan keempat, justifikasi transaksi sudah tidak ada. Dengan menggunakan pandangan Bauldrillard, pada tingkatan satu, dua, dan tiga, dalih atau alasan pertukaran dengan uang adalah nilai (value) dari uang, tetapi pada tingkatan keempat, alasan pertukaran uang adalah tanda (sign) dari uang itu sendiri. Fase-fase atau tingakatan ini dapat diaplikasikan secara khusus dalam asset keuangan, misalnya harga saham. Pada tahap pertama, harga saham dengan tepat merepresentasikan nilai intrinsic perusahaan; tahap kedua, harga saham, karena adanya distorsi dan tidak sempurnanya pasar,
6

Hiperrealitas secara literal dimaknai sebagai melebihi, di atas, atau lebih dari realitas. Atau dengan kata lain lebih realitas dari realitas itu sendiri (McGoun, 1997). Borgmann (1992, seperti yang dikutip McGoun, 1997) cenderung memandang hiperrealitas, terutama hiperrealitas ekonomi sebagai realitas virtual-ekonomi. Atau hiperrealitas ekonomi adalah ekonomi dari tanda, yang terlepas dari hal yang nyata, akan tetapi punya kemampuan untuk mempengaruhi hal yang nyata itu sendiri.

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

merupakan indicator yang kurang sempurna dari nilai intrinsic perusahaan; tahap ketiga, harga saham merupakan satu-satunya nilai perusahaan yang dapat diketahui; dan tahap keempat atau tahapan hiperreal, harga saham hanya merupakan tanda nilai yang sama sekali terlepas dari nilai perusahaan. Diilhami oleh tulisan McGoun, Macintosh et al. (2000) dan Macintosh (2003), menganalisa laba (earning), dengan menggunakan pandangan pos-strukturalis, dimana earning yang oleh akuntan disebut laba bersih (net income) merupakan tanda dari tanda, dan tanda ini tidak lagi merepresentasikan laba intrinsic, laba real, atau laba sesungguhnya, tetapi laba bersih yang dilaporkan akuntan hanya merupakan refleksi dari laba bersih itu sendiri (sama sekali terlepas dari realitas). Macintosh (2003) meggunakan pandangan Bauldrillarian dan geneakologi tanda menjadi empat tingkatan (era). Era pertama disebut sebagai era feudal; tanda akuntansi pada era feudal ini secara transparan merupakan refleksi dari obyek yang real. Pada era ini, di Inggris misalnya, harga dan denda benar-benar merefleksikan obyek yang nyata seperti domba, padi, bibit tanaman, dan lainnya, yang juga merefleksikan hubungan social antara majikan (lord) dengan pengurus/pekerja (steward). Dalam usaha persekutuan, laba benar-benar dihitung dari hasil sebuah proyek usaha (venture). Dengan kata lain, laba benar-benar dibagi setelah sebuah proyek usaha berakhir. Begitu juga dengan modal dari sekutu pasif (commenda), dimana commenda memang menggambarkan sekutu (seperti anggota gereja atau kaum bangsawan) yang partisipasinya dalam persekutuan dirahasiakan, karena laba atau melakukan usaha yang mencari laba merupakan tanda eksploitasi, immoralitas, dan ketidakjujuran. Era kedua adalah era kepalsuan (order of counterfeit). Pada era ini terjadi jatuhnya era feudal hirarki social dan lahirnya demokrasi. Tanda tidak lagi didominasi oleh tingkatan social yang hirarkis, kaku, dan tidak dapat dibengkokkan, tetapi tanda (tenaga kerja dan modal) dapat bersirkulasi bebas ke semua pihak. Dan kelas masyarakat yang baru ini (bourgeoisie) menuntut kebebasan hak, partisipasi dalam demokrasi, dan hak untuk menyimpan kekayaan mereka sendiri. Masyarakat baru ini bisa hidup dengan pakaian yang cocok untuk raja-raja, makan di atas satu set piring cina yang kualitas terbaik, yang benda-benda tersebut merupakan tanda kepalsuan sama seperti pemiliknya, yang berusaha mengimitasi atau berpura-pura sebagai kaum bangsawan (royalty). Dalam era ini muncul tanda akuntansi laba (earning), yang merupakaan saat munculnya usaha (venture) yang permanen dengan adanya prinsip investasi modal yang permanen pada usaha berdasar kepemilikan saham (di India pada pertengahan 1660-an). Muncul juga ide tentang keberlangsungan usaha (going concern), sehingga perusahaan harus terus menerus menghitung labanya secara periodik. Akuntansi yang semula merepresentasikan laba sesungguhnya dibagi pada akhir sebuah usaha, sekarang mengimitasi pembagian laba seolah-olah usaha tersebut akan berakhir. Tanda akuntansi laba hanya merefleksikan obligatory of sign yang masih berkaitan dengan laba real, laba hanya merupakan realitas yang mengada (being real). Era ketiga adalah era produksi. Dengan munculnya era produksi pada abad 18, tanda akuntansi laba mengalami perubahan yang radikal. Pada era ini, yang oleh Bauldrillard disebut

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

sebagai simulacra industry, merupakan era di mana teknologi produksi masa mampu memproduksi barang artificial; obyek bukan lagi merupakan refleksi, pemalsuan, atau analogi dari barang yang orisinil, tetapi hanya merupakan tiruan dari sebuah produksi. Oleh karenanya, tanda merupakan obyek dan obyek merupakan tanda. Tingkatan social juga mengalami perubahan yang ditandai dengan adanya produksi aturan, undang-undang, dan hukum. Tanda akuntansi laba juga berubah dengan berkembangnya korporasi dan ketidakhadiran pemilik saham. Modal menjadi memiliki makna sama seperti agregasi atau kumpulan asset dan kewajiban dalam perusahaan. Laba bukan lagi merupakan hasil dari usaha pemilik, akan tetapi merupakan hasil dari modal. Muncullah apa yang dikenal dengan entitas (entity) yang menggantikan persekutuan (proprietary). Era keempat adalah era simulasi. Era ini ditandai dengan realism tanda nonmaterial yang melampaui ekonomi material dari komoditas produksi, konsumsi, dan pertukaran. Bauldrillard menyatakan adanya era baru: the organization of society according to simulations, codes, and models replaced production as the organizing principles of society. Era baru ini juga disebut hiperrealitas, di mana terjadi indikasi bahwa tanda-tanda tidak lagi secara langsung merujuk pada suatu rujukan (referent) tertentu, atau tanda tidak lagi merupakan pemalsuan dari referensi tertentu, atau tanda tidak menyerap atau mendominasi obyek, tetapi tanda murni merefleksikan tanda itu sendiri (simulacra murni). Istilah lain yang digunakan adalah homo semioticus menggantikan homo economicus. Pada era ini, tanda akuntansi laba menimbulkan adanya konsep manajemen laba yang merujuk pada perataan laba (income smoothing) atau bagi kalangan tertentu sebagai manipulasi laba, serta analisis forecast. Macintosh (2003) menyimpulkan bahwa banyak symbol akuntansi yang tidak memiliki rujukan yang jelas pada obyek atau peristiwa nyata, sehingga akuntansi tidak secara penuh menjalankan fungsinya sesuai logika representasi, pertanggung jawaban, atau penyajian informasi ekonomik secara transparan. Tidak jauh berbeda dengan simpulan Macintosh, Riduwan (2009), dalam studi kritikal-posmodernis Derridean, mengimplikasikan bahwa: a) penyajian laporan laba-rugi seharusnya mengungkapkan informasi laba sesuai dengan bingkai penafsiran pragmatis; b) pelaporan informasi laba tidak hanya mengunggulkan idealism, mengingat para pengguna akhir informasi laba adalah mereka yang berada dalam habitus pragmatic; c) idealism akuntansi seharusnya membatasi penerapan asas akrual pada transaksi dan peristiwa nyata, atau mengurangi penerapannya pada peristiwa yang hanya ada sebatas ide atau konsep. DEFINISI GOODWILL Definisi7 adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari konsep-konsep akuntansi, karena definisi diperlukan dalam pembetukan konsep. Definisi dan konsep sebenarnya tidak berbeda, karena
7

Melakukan pendefinisian atau konsepsi bisa dianggap tindakan yang cenderung mengungkung (menghegemoni) pemikiran seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Antonio Gramsci (1891-1937), hegemoni adalah bentuk penindasan terhadap cara berfikir (terutama penindasan oleh pemikiran kapitalis). Gramsci

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

keduanya memberikan penjelasan (deskripsi) untuk merepresentasikan sesuatu yang tidak dapat diamati secara langsung, dengan tujuan agar sesuatu itu masuk dalam pikiran manusia. Oleh karena itu, untuk memahami pemikiran yang sama tentang goodwill, maka diperlukan definisi semua tentang hal goodwill yang perlu didefinisikan. Hendriksen dan Van Breda (1992, 637) menyatakan bahwa bila suatu nama dapat diberikan pada aktiva tak berwujud, menandakan bahwa aktiva tersebut adalah aktiva yang dapat diidentifikasikan. Aktiva tak berwujud yang tidak dapat diidentifikasikan adalah goodwill. Aktiva tak berwujud, meskipun tidak mempunyai substansi, sama seperti aktiva yang lain, harus memenuhi kriteria untuk pengakuan suatu aktiva. Yaitu harus memenuhi definisi suatu aktiva, harus dapat diukur dan harus relevan dan dapat diandalkan. Apakah goodwill perlu diakui, mengingat bahwa goodwill merupakan contoh dari asset tak berwujud (intangible) yang memiliki ketidak pastian yang tinggi? Diungkapkan bahwa goodwill mungkin dapat diakui pada saat tertentu dengan membandingkan nilai pasar perusahaan dengan nilai tercatat asset bersihnya, dan bila nilai pasar lebih tinggi dari nilai tercatatnya, maka goodwill merupakan bagian dari asset perusahaan. Dari sudut pandang ini, sulit mengasosiasikan goodwill dengan biaya atau pendapatan usaha, sehingga tidak ada gunanya untuk mengkapitalisasi goodwill dan diperlakukan sebagai pengurang pendapatan pada saat goodwill terjadi (APB 17). Scott (2009, 231) mendefinisikan goodwill sebagai nilai sekarang (present value) dari laba abnormal (abnormal earnings)8 di masa yang akan datang dalam hubungannya dengan asset tak berwujud. Artinya, sebuah perusahaan akan memiliki goodwill jika asset tak berwujudnya menghasilkan laba abnormal. Berdasar definisi ini, maka goodwill merupakan aktiva tak berwujud yang timbul dari penilaian internal. Contoh pengukuran goodwill ini adalah: Perusahaan mempunyai nilai aktiva bersih $240,000 dan laba bersih tahunan $60,000. pengembalian investasi sebesar 25%. Jika pengembalian normal dipasar adalah 10%, laba $60,000 menyatakan bahwa aktiva secara total bernilai $600,000. Kelebihan pengembalian 15% atas tingkat pengembalian normal berasal dari goodwill atau ada aktiva tak berwujud sebesar $360,000. Jika aktiva tak berwujud yang dapat diidentifikasikan bernilai $240,000 maka goodwill sebesar $120,000. APB 16 merekomendasikan bahwa dalam suatu penggabungan usaha yang dianggap sebagai suatu pembelian, aktiva yang diakuisisi harus dicatat pada nilai wajar atau nilai wajar dari pertimbangan yang dilakukan dalam pertukaran. Pandanagn ini konsisten dengan konsep biaya historis, yang menyatakan bahwa aktiva harus dicatat pada nilai masa berjalannya jika pertimbangan

menyarankan perlunya pembebasan dari hegemoni tersebut (Santoso, dkk 2007; 71-911). Namun demikian, dalam esai ini penulis tetap membuat definisi atau konsepsi, bukan untuk meng-hegemoni atau melakukan doktrinisasi, akan tetapi lebih untuk membatasi kajian tulisan. 8 Hubungan goodwill dengan laba abnormal didasarkan pada realitas ekonomi nilai perusahaan, sehingga nilai goodwill adalah ekuivalen dengan kapitalisasi aliran laba abnormal (abnormal earning) yang diharapkan perusahaan. Persamaan: di mana G: goodwill; I: perpetual expected earning flow; ke: cost of equity; B: equity book value; dan I (ke x B): abnormal earning (Zanoni, 2009; 2).

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

yang diberikan tidak dapat diukur dengan jelas. APB 17 juga menyatakan bahwa, jika biaya dari suatu perusahaan yang diakuisisi lebih kecil dari jumlah nilai pasar/nilai taksiran dari aktiva yang diidentifikasi dikurangi kewajiban, maka perbedaan tersebut harus dialokasikan untuk mengurangi nilai aktiva tak lancar (Belkaoui, 2000). Goodwill dapat diakui setiap saat dengan membandingkan nilai pasar dari sebuah perusahaan dengan nilai aktiva bersihnya. Ekuitas dinaikkan nilainya dengan mengakui goodwill. Namun goodwill merupakan manfaat yang tidak dapat diidentifikasikan secara spesifik, sehingga kekurangan penalaran logis untuk mengaitkan biaya tersebut dengan setiap pendapatan spesifik pada periode di masa depan. Perlakuan atas aktiva yang tak dapat diidentifikasikan masih kurang jelas. Aktiva yang tidak dapat diidentifikasikan tidak mempunyai interpretasi semantik, dan karenanya tidak relevan sehingga tidak boleh diakui sebagai aktiva tak berwujud. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa goodwill adalah bagian dari aktiva tidak berwujud yang merupakan akun penilaian asset perusahaan yang tidak dapat diidentifikasikan. Goodwill dapat terjadi dengan dua cara, yaitu secara penilaian internal dan timbul karena proses penggabungan usaha. Goodwill yang bersumber dari penilaian internal diukur dengan mengasumsikan bahwa goodwill merupakan nilai sekarang yang didiskontokan (present value) atas laba masa depan yang melebihi apa yang diharapkan sebagai pengembalian normal (abnormal return), sedangkan goodwill dari penggabungan usaha diukur dengan membandingkan nilai wajar dan nilai tercatat asset bersih perusahaan. ORDER OF SIMULACRA AKUNTANSI GOODWILL Sejalan dengan pemikiran McGoun (1997), Macintosh et al. (2000), dan Macintosh (2003) tersebut, penulis mencoba melakukan analisis akuntansi goodwill dengan menggunakan perspektif posmodernisme Bauldrillarian. 1. Era Kekayaan Pemilik (Proprietary) Era pertama adalah era proprietary, di mana tanda, symbol, atau citra merefleksikan kekayaan pemilik. Istilah proprietorship awalnya muncul dalam usahanya untuk meletakkan logika pada eksposisi pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping). Dalam akuntansi, persamaan: , di mana proprietor (pemilik) adalah pusat dari kepentingan. Asset diasumsikan

dimiliki oleh proprietor dan liabilitas adalah kewajiban proprietor, sehingga proprietorship adalah nilai bersih dari usaha proprietor (Hendriksen dan Van Breda, 1992; 770). Saat suatu usaha di mulai, nilai perusahaan sama dengan nilai investasi awal pemilik. Dengan berjalannya usaha, nilai ini akan berubah menjadi nilai awal investasi ditambah dengan akumulasi laba bersih dan dikurangi dengan rugi bersih atau penarikan oleh pemilik. Muncullah konsep kekayaan (wealth). Dengan demikian,

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

pada era ini proprietary theory merupakan rerangka logis dari bentuk organisasi persekutuan berdasarkan hukum dan paling tepat diterapkan untuk persekutuan tunggal (single proprietorship). Pada era ini, kegiatan usaha masih berupa venture, sebagaimana yang dikisahkan dalam Beauty and the Beast; usaha ayah Beauty yang terbatas pada satu kali perjalanan kapal. Menurut pendapat penulis, pada era ini goodwill belum muncul, karena pemilik hanya berkepentingan atas kekayaannya sendiri. Selain itu, bentuk penggabungan usaha masih belum banyak dilakukan. Kalaupun ada penilaian perusahaan atau ada pengabungan usaha, goodwill lebih cocok diakui sebagai pengurang pendapatan atau sebagai beban yang akan membentuk kekayaan pemilik (Hendriksen dan Van Breda, 1992; 637). Alasan yang diberikan oleh Hendriksen dan Van Breda adalah untuk mengakui dan menilai goodwill dengan membandingkan nilai wajar perusahaan dengan nilai tercatat asset bersih sulit dilakukan. Berapakah atau dari mana diketahui nilai wajar perusahaan yang merepresentasikan real world jika perusahaan tidak benar-benar dilikuidasi? Seperti yang diungkapkan Macintosh (2003), pada era ini usaha masih didominasi oleh usaha individual, sehingga nilai perusahaan masih ditetapkan oleh individu. Pengambilalihan suatu usaha individu oleh usaha individu lainnya akan tergantung pada individu pemilik, karena pemiliklah yang menentukan berapa kekayaan (wealth) yang dia miliki. 2. Era Produksi (Political-Economy) Era kedua adalah era political-ekonomi, di mana ada berbagai kepentingan yang berusaha dilayani oleh pelaporan akuntansi goodwill. McGoun (1997) mengungkapkan bahwa pada era politicaleconomy ini terjadi transmutasi dari semua nilai (tenaga kerja, pengetahuan, hubungan social, budaya, alam) menjadi nilai pertukaran ekonomi. Pada era ini terjadi booming kapitalisme dengan berkembangnya usaha-usaha termasuk produksi masal menggantikan usaha pemilik individual (proprietary). Yang pada gilirannya membuat perbedaan kepentingan di antara para stakeholder perusahaan menjadi semakin tajam. Berbagai teori akuntansi yang bersumber pada teori ekonomi bermunculan pada era ini untuk menjelaskan praktik-praktik akuntansi. Teori-teori itu antara lain: dynamic capabilities theory, enterprise management theory (enterprise equilibrium theory), yang menjadi dasar penilaian goodwill secara internal. Teori modal (capital theory), di mana adanya pergeseran ekonomi dari ekonomi pertanian ke perdagangan, dan akhirnya menjadi ekonomi industry, menjadikan modal (capital) sebagai factor produksi, yang mengakibatkan adanya pergeseran ke arah dimensi tak berwujud, social, dan dinamik. Zanoni (2009; xii) memberikan contoh seperti: teori-teori tentang human capital theory (Schultz 1961, Becker 1962), social capital (Bourdieu 1980, Coleman 1988), dan intellectual capital (Grindley dan Teece 1997, Dzinkowsky 2000), yang berusaha menjelaskan bahwa perusahaan memiliki nilai lebih mungkin disebabkan oleh keunggulan sumber daya manusia, social, dan kekayaan intelektual. Berbagai teori tersebut tidak terlepas dari munculnya paradigma Political Economy of Accounting (PEA). PEA menegaskan bahwa akuntasi (praktik dan risetnya) harus dianalisis melalui
Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

10

tiga pendekatan, yaitu normative, deskriptif, dan kritis (Cooper dan Sherer, 1984). Pendekatan normative menekankan pada elemen-elemen normative dan penilaian terhadap masyarakat social. Artinya, akuntansi diidentifikasi dan dievaluasi dengan berbagai paradigma dimana politik dan nilai social mempengaruhi pilihan-pilihan akuntansi. Pendekatan deskriptif menekankan bahwa akuntasi pada dasarnya merupakan hal yang praktis, yang dipengaruhi oleh perilaku individu dan kelas-kelas yang ada di dalam atau di luar organisasi. Sehingga untuk lebih memahami praktik-praktik akuntansi perlu adanya pendekatan deskriptif. Pendekatan kritis menekankan pada keadaran kritis untuk mengembangkan dan mengevaluasi alternative paradigma dan metode akuntansi yang

menggabungkan berbagai kepentingan. Meskipun telah terjadi pergeseran akuntansi, akuntansi goodwill masih menekankan pada prinsip nilai historis. Contoh Akuntansi Goodwill Historical Cost Accounting Perusahaan P membayar sebesar Rp87.000.000,- untuk memperoleh saham berhak suara perusahaan S yang beredar pada tanggal 1 Januari 2011 ketika ekuitas pemegang saham perusahaan S terdiri dari modal saham sebesar Rp60.000.000,- dan saldo laba sebesar Rp30.000.000,- Perhitungan goodwill yang diakui perusahaan adalah sebesar Rp15.000.000,- {Rp87.000.000 (Rp90.000.000 x 80%). Perhitungan goodwill tersebut menunjukkan bahwa perusahaan P (induk) mengakui kekayaan bersih perusahaan S (anak) hanya sebesar 80% dari nilai perusahaan anak. Berdasarkan konsep akuntansi historis, penulis berpendapat bahwa pada era ini pendekatan penilaian goodwill dilakukan dengan pendekatan Laporan Laba Rugi. Pengukuran dan penilaian goodwill terutama bertujuan untuk melakukan alokasi terhadap nilai historis perusahaan, baik dengan teknik amortisasi goodwill maupun teknik impairement assets9. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Riduwan (2009) bahwa laba tidak merepresentasikan realitas yang ada. Tanda akuntansi laba hanya merefleksikan obligatory of sign yang masih berkaitan dengan laba real, laba hanya merupakan realitas yang mengada (being real). Oleh karenanya, tanda goodwill juga hanya merupakan realitas yang mengada. 3. Era Globalisasi Era ketiga adalah era globalisasi, di mana akuntansi berusaha distandardisasi secara global dengan diterapkannya International Financial Reporting Standards (IFRS). Berikut adalah alasan mengapa Indonesia mengadopsi IFRS: Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI, Ahmadi Hadibroto menyatakan: Langkah startegis menuju keseragaman bahasa dalam Akuntansi dan pelaporan keuangan di sektor privat ini merupakan agenda utama profesi Akuntansi secara global. Terciptanya harmonisasi standar
9

Pengujian penurunan nilai goodwill (impairment assets) merupakan proses dua tahap. Pertama perusahaan harus membandingkan nilai tercatat (nilai buku) dengan nilai wajar pada tingkat unit pelaporan bisnis. Nilai tercatat ini mencakup jumlah goodwill. Kedua, Jika jumlah tercatat melebihi melebihi nilai wajar goodwill yang tersirat, perusahaan harus mengakui selisihnya sebagai kerugian penurunan nilai. Jumlah kerugian ini tidak boleh melebihi jumlah tercatat goodwill karena perusahaan tidak boleh membalik kerugian penurunan nilai yang diakui sebelumnya (FASB statement no. 142).

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

11

Akuntansi global juga menjadi salah satu tujuan dan komitmen kelompok G-20 dalam meningkatkan kerjasama perekonomian dunia. Dengan adanya standar global tersebut memungkinkan keterbandingan dan pertukaran informasi secara universal. Konvergensi IFRS dapat meningkatkan daya informasi dari laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Adopsi standar internasional juga sangat penting dalam rangka stabilitas perekonomian. Manfaat dari program konvergensi IFRS diharapkan akan mengurangi hambatanhambatan investasi, meningkatkan transparansi perusahaan, mengurangi biaya yang terkait dengan penyusunan laporan keuangan, dan mengurangi cost of capital. Sementara tujuan akhirnya laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) hanya akan memerlukan sedikit rekonsiliasi untuk menghasilkan laporan keuangan berdasarkan IFRS. Yang menarik dari pernyataan ketua dewan pengurus tersebut adalah keseragaman bahasa, stabilitas perekonomian, dan manfaat diadopsinya IFRS. Dari sini, tampaknya adopsi IFRS tidak melihat pada realitas nyata keadaan dan kondisi Indonesia, akan tetapi lebih melihat pada simulacra globalisasi (apakah mungkin berbagai Negara dengan budaya, masyarakat, interaksi social, hukum, dan lain-lain yang berbeda dibuat menjadi seragam?) Penelitian penerapan IFRS di Indonesia (Chariri dan Hendro 2010; Wahyuni dan Lay 2010; Budiono 2008) memberikan bukti bahwa IFRS cocok di Indonesia, namun sayangnya belum ada riset untuk mengetahui apakah adopsi atau harmonisasi IFRS sesuai dengan budaya local dan nilai-nilai spiritual yang ada di Indonesia, serta riset yang bisa membuktikan bahwa Indonesia memang perlu melakukan adopsi IFRS (realitas Indonesia). Prinsip utama yang melatar belakangi IFRS adalah prinsip komparabilitas (comparability) dan uniformitas (uniformity) dengan menekankan pada pendekatan akuntansi nilai wajar (fair value accounting)10. Todd Johnson, seorang staff FASB mengungkapkan (2005, seperti yang dikutip oleh Ball 2005): The Board has required greater use of fair value measurements in financial statements because it perceives that information as more relevant to investors and creditors than historical cost information. Such measures better reflect the present financial state of reporting entities and better facilitate assessing their past performance and future prospects. In that regard, the Board does not accept the view that reliability should outweigh relevance for financial statement measures. Akuntansi Goodwill Fair Value Accounting Akuntansi goodwill terutama diatur dalam hubungannya dengan akuisisi perusahaan atau pengabungan usaha (IFRS 3 dan IAS 36)11: All business combinations are accounted for by applying the purchase method, requiring that one entity is identified as acquirer (IFRS3.17). The difference between the cost of the business combination and the fair value of the assets and liabilities acquired represents goodwill (IFRS

10

Pendekatan fair value accounting memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: diilhami dengan filosofy yang sangat controversial value relevance, lebih menekankan pada relevansi dibandingkan realiabilitas, berasumsi bahwa tujuan utama pelaporan keuangan decision usefulness, dan menurunkan peran stewardship akuntansi (Ball, 2005) 11 Meskipun Indonesia tidak mengadopsi seluruh IFRS (istilah yang digunakan di Indonesia adalah konvergensi, bukan adopsi), akan tetapi untuk standar yang berkaitan dengan goodwill, IFRS dan IAS sepenuhnya diadopsi.

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

12

3.51). Goodwill is not subject to amortisation, but is assessed for impairment at least annually (IFRS3.54 and IAS36.10). Impairment is charged to the income statement (IAS36.60). Contoh akuntansi goodwill menurut IFRS (fair value accounting): Perusahaan P membayar sebesar Rp87.000.000,- untuk memperoleh saham berhak suara perusahaan S yang beredar pada tanggal 1 Januari 2011 ketika ekuitas pemegang saham perusahaan S terdiri dari modal saham sebesar Rp60.000.000,- dan saldo laba sebesar Rp30.000.000,- Perhitungan goodwill yang diakui perusahaan adalah sebesar Rp18.750.000,- {(Rp87.000.000/80%) Rp90.000.000). Perhitungan goodwill tersebut menunjukkan bahwa perusahaan P (induk) mengakui kekayaan bersih perusahaan S (anak) sebesar 100% dari nilai perusahaan anak. Dengan perhitungan ini, nilai goodwill menjadi lebih besar dibandingkan pengukuran goodwill pada era sebelumnya (Rp15.000.000). Hal ini membuat asset perusahaan menjadi lebih besar serta potensi penurunan nilai goodwill yang lebih signifikan yang akan mengurangi laba perusahaan. Pada masa ini, teori entitas lebih ditekankan pada entitas perusahaan yang baru, meskipun secara realitas (legal) entitas baru tersebut tidak ada, dan yang ada hanyalah entitas akuntansi saja. Berdasar teori entitas yang baru dan prinsip relevansi, penulis berpendapat bahwa akuntansi goodwill pada era ini menekankan pada pendekatan Neraca, di mana akuntan berupaya untuk memberikan informasi tentang kekayaan perusahaan pada tanggal neraca (bukan nilai historis dari kekayaan perusahaan). Tampak bahwa pada era ini, obyek (goodwill) bukan lagi merupakan refleksi, pemalsuan, atau analogi dari barang yang orisinil, tetapi hanya merupakan tiruan dari sebuah produksi masal (global). 4. Era Virtual Era terakhir atau keempat adalah era virtual, di mana batasan dunia dan masyarakat social sudah hilang sama sekali. Bentuk perusahaan-perusahaan di masa depan tidak lagi tampak nyata (mortal and brick) akan tetapi lebih dalam bentuk virtual (bentuk perusahaan dalam dunia maya). Revolusi teknologi informasi dan komunikasi telah menghilangkan batas negara, ruang dan waktu untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi membentuk masyarakat global. Perkembangan teknologi juga telah membawa banyak arus perubahan, terutama dalam aktivitas transaksi. Barang dan jasa mengalir tidak hanya melalui daerah pabean dari suatu negara ke negara lain, tetapi juga melalui transfer elektronis (virtual). Konsumen dapat membeli barang dengan mudah melalui internet, dan dalam waktu yang singkat barang sampai ditangan. Perdagangan di dunia maya atau dikenal dengan e-commerce berpotensi sebagai salah satu penggerak roda pembangunan ekonomi terbesar di masa depan. Selain itu, di era masa depan, lalu lintas pembayaran dalam bentuk uang sebagai instrumen untuk menilai transaksi juga akan mengalami perubahan yang radikal. Uang tidak lagi tampak nyata (berbentuk kertas), akan tetapi berubah menjadi bentuk lain yaitu uang elektronik (e-money) suatu bentuk perekaman nilai uang. E-money ini dapat berbentuk card-based product dan softwarebased product (Suryaningrum, 2010). E-money dalam bentuk card-based product sering juga disebut

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

13

sebagai electronic purses yang pada prinsipnya dimaksudkan untuk pembayaran yang bersifat langsung (face to face). Sedangkan softwarebased product sering disebut digital cash, pada prinsipnya merupakan suatu aplikasi (software) yang kemudian di-install ke dalam suatu Personal Computer (PC) yang dijalankan dengan operating system yang standard yang dikembangkan untuk melakukan transaksi melalui suatu jaringan komputer (internet)12. Teknik representasi nilai uang yang digunakan untuk memanipulasi data uang adalah teknik balancebased. Konsep ini menerapkan prinsip yang biasa digunakan dalam proses pembukuan dimana setiap transaksi yang terjadi akan diperlakukan sebagai proses debit atau kredit yang kemudian akan mempengaruhi outstanding (saldo) yang terdapat di dalam e-money. Pada era inilah terjadi simulasi, terjadi indikasi bahwa tanda-tanda tidak lagi secara langsung merujuk pada suatu rujukan (referent) tertentu, atau tanda tidak lagi merupakan pemalsuan dari referensi tertentu, atau tanda tidak menyerap atau mendominasi obyek, tetapi tanda murni merefleksikan tanda itu sendiri (simulacra murni). Perusahaan tidak lagi merupakan referen dari perusahaan, dan uang tidak lagi referen dari uang. Akibatnya, goodwill sebagai bentuk dari nilai perusahaan akan sulit sekali untuk diukur dan dinilai mengingat perusahaannya sendiri hanya ada dalam dunia maya (virtual). Dengan demikian, pertanyaan pentingnya adalah: apakah masih perlu ada akuntansi goodwill di masa depan? DISKUSI AKHIR (KESIMPULAN) Beberapa riset atau artikel akuntansi telah menggunakan kisah dongeng untuk memberikan pemahaman yang sama akan sebuah informasi. Sebagai contoh kisah Ciderella yang digunakan untuk memberikan pemahaman akuntansi atas konsep substance over form atau substansi menggunguli bentuk (Hayes dan Baker, NA). Nobes (1985) seperti yang dikutip oleh Page (2005) mencatat bahwa legenda tentang Quest for the Holy Grail, adalah metafora yang umum dipakai oleh para pembuat standard di UK untuk merumuskan rerangka konseptual. Walters-York (1996) membantah penggunaan metaphora dalam memahami rerangka konseptual. Pencarian kebenaran dengan menggunakan metaphora pasti mengalami kegagalan karena adanya konstruksi arti metaphora secara sosial. Oleh karena itu, dia menggunakan pendekatan yang lebih akrab metaphoric defamiliarisation yang dianggap dapat memberikan pengertian yang lebih mendalam tentang hubungan antar konsep. Pencarian Holy Grail mengandung makna ada sesutau yang lebih dari sekedar pencarian terhadap sesuatu yang sulit ditemukan. Proses pencarian itu sendiri yang memberikan makna adanya suatu yang mengandung nilai.

12

Contoh card-based product yang sudah ada saat ini adalah Octopus Card, Visa Cash, Mondex, Proton dan lain-lain. Sedangkan contoh software-based product di beberapa negara antara lain, Kleline (Prancis), e-cash (Swiss), Barclaycoin (UK), CyberCoin (USA) dan lain-lain. Produk e-money yang berbasis software ini masih relatif sedikit digunakan.

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

14

Dalam esai ini penulis melakukan metafora untuk lebih memahami hiperrealitas dan realitas akuntansi dengan menggunakan kisah Beauty and the Beast. Metafora diperlukan terutama untuk memahami sesuatu yang secara realitas tidak ada, akan tetapi dapat dimasukkan melalui pemikiran manusia. Kajian penulis atas akuntansi goodwill dengan menggunakan perspektif Baudrillarian menghasilkan order of simulacra: 1) era kepemilikan (proprietorship), 2) era produksi (politicaleconomy), 3) era globalisasi, dan 4) era virtual. Kajian akuntansi goodwill dalam esai ini terbatas pada telaah literature dan interpretasi penulis sendiri, sehingga perlu kajian lebih lanjut dengan melakukan riset kualitatif dengan berbagai paradigma seperti paradigma interpretif, kritis, atau posmodernis. Perlu digunakannya paradigm riset non-postivistik adalah untuk menggali lebih dalam tentang pemaknaan goodwill oleh pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan (stakeholder), tidak hanya yang umum seperti investor, pemegang saham, auditor, dan pemerintah, akan tetapi juga akuntan manajemen, akuntan pendidik, atau pihak lainnya. Disamping itu, agaknya perlu dijawab pertanyaan apakah informasi goodwill bermanfaat? Kajian ini penting mengingat bahwa goodwill sebagai akun penilaian perusahaan sering kali mengambil porsi asset yang besar dalam transaksi penggabungan usaha, sehingga penurunan nilai goodwill secara signifikan mempengaruhi penurunan laba perusahaan. Contohnya adalah Ford Motor Company mencatumkan goodwill sebesar $5,378 miliar untuk segmen otomotifnya dan $769 juta untuk segmen jasa keuangannya pada neraca per 31 Desember 2003. Hawlett-Packard mengungkapkan goodwill sebesar $14,894 miliar dan asset tidak berwujud lainnya yang dibeli seharga $4,356 miliar untuk akuisisinya atas Compac Computer Corporation (Beams et al., 2009; 49). Di Indonesia, PT Abdi Bangsa, Tbk dan anak perusahaan melaporkan goodwill sebesar Rp22 miliar pada neraca per 31 Maret 2009. Jumlah goodwill tersebut memiliki potensi untuk mengurangi laba perusahaan secara signifikan di masa yang akan datang. Goodwill sebagai akun penilaian perusahaan, meskipun secara realitas tidak ada (hiperrealitas), akan tetapi punya kemampuan untuk mempengaruhi hal yang nyata itu sendiri.

Every journey into the past is complicated by delutions, false memories, and false naming of the real events (Adrienne Rich)
REFERENSI Aisah, Siti, 2010. Metafora dalam Literatur. Diunduh tanggal 10 Oktober 2011, (online) available www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/132903-T 27763-Metafora dalam-Literatur.pdf Ball, Ray. 2005. International Financial Accounting Standard: Pros and Cons from Investor diunduh tanggal 22 Juli 2009, (online) available http://www.icaew.co.uk/cbp/index.cfm. Beams. Floyd A., Joseph H. Anthony, Robin P Clement, and Suzanne H Lowensohn, 2009. Advance Accounting, Tenth Edition, Prentice-Hall International, Inc., New Jersey

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

15

Belkaoui, Ahmed Riahi. (2000). Accounting Theory, Business Press, Thomson Learning, London United Kingdom. Terjemahan, penerbit Salemba Empat. Boediono. 2008. Sambutan Gubernur Bank Indonesia. http://www.scribd.com Diakses tanggal 13 Desember 2010. Chariri, Anis dan Sonny Kusuma Soedjanto Hedro, 2010. Menguji kualitas standar hasil adopsi IFRS: Studi empiris pada PSAK No. 55 (Revisi 2006), Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto; pp. 1-29. Cooper, David. J., dan Michael J. Sherer. 1984. The Value of Corporate Accounting Reports: Arguments for a Political Economy of Accounting, Accounting, Organizations, and Society, Vol. 9, No. , pp. 207-232. Evans, Lee. 2010. Observation on the changing language of accounting, Accounting History International Conference, February, diunduh tanggal 8 Oktober 2010. (online) available http://www.edwards.usask.ca/special/5ahic/papers/5AHIC-62%20Final%20paper.pdf Hayes, Rick Stephan dan C. Richard Baker. Tahun NA. The Concept of Substance over Forms: A Discussion based on The Cinderella Story. Hendriksen, Eldon S. dan Michael F. Van Breda, 1992. Accounting Theory, edisi ke lima, Ricard D. Irwin, Inc., USA Macintosh, Norman B. 2003. From Rationality to Hyperreality: Paradigm Poker. International Review of Financial Analysis (IRFA), 12, diunduh tanggal 29 September 2011, (online) available at www.sciencedirect.com, pp. 453-456 Macintosh, Norman B., Teri Shearer, Daniel B. Thornton, dan Michael Welker. 2000. Accounting as Simulacrum and Hyperreality: Perspective on Income and Capital. Accounting, Organizations, and Society, 25, pp. 15-30 McGoun, Elton G. 1997. Hyppereal Finance. Critical Perspective on Accounting, vol. 8, pp. 601632. Page, Michael. (2005). The Search for Conceptual Framework: Quest for a Holy Grail, or Hunting a Snark? Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol. 18, No. 4; pg. 565-576. Riduwan, Akhmad, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto, dan Unti Ludigdo, 2009. Semiotika Laba Akuntansi: Studi Kritikal Posmodernis Derridean, Simposium Nasional Akuntansi (SNA) XII, Samarinda. Santoso, Listiyono, dkk. (2007). Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta Scott, William R. (2009). Financial Accounting Theory, fifth edition, Prentice Hall, Pearson Canada Inc., Toronto, Ohio. Suryaningrum, D.H. 2010. Impacts of Electronic Commerce Transactions on Indonesian Tax Systems: An Empirical Study of Public Sector Officials and Private Sector Consultants Perspectives, Simposium Riset Ekonomi IV (Simrek IV), 18 Februari, Universitas Widya Mandala dan ISEI cabang Surabaya Suwardjono. 2010. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi ketiga.BPFE: Yogyakarta.

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

16

Wahyuni, Ersa Tri dan Penny Lay, 2010. The preliminary study of accounting professionals perceptions towards IFRS implementation in Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto, pp. 1-21. Walters-York, L.M. (1996). Metaphor in Accounting Discourse, Accounting, Auditing, and Accountability Journal, Vol. 9, No.5; pg. 45-70. Zanoni, Andrea Beretta, 2009. Accounting for Goodwill. Routledge, New York

Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

17

Anda mungkin juga menyukai