Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH KELOMPOK MATAKULIAH DINAMIKA AFRIKA SUB-SAHARA

KELOMPOK VI: SADAN MUBAROK () SANDI TAWAKAL ANUGRAH SAPUTRA (0906524305) SRI MULYATI ()

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2011

1.1 Latar Belakang Manusia memiliki sifat agresif dan kebinatangan dalam dirinya, tetapi manusia juga memiliki rasionalitas dan hati nurani yang membuatnya menjadi sempurna. Tetapi, berbagai tragedy kemanusiaan besar yang terjadi di dunia pada abad ke-20, seperti perang Dunia kedua, memberikan kita pelajaran bahwa manusia kadang terkalahkan hati nuraninya oleh nafsu kebinatangan, sehingga dengan teganya bisa membunuh sesamanya sendiri dengan kejamnya. Tragedy Rwanda tahun 1994, menjadi salah satu bukti kebinatangan manusia yang tak mampu dikekang, sehingga menimbulkan korban jiwa terbesar kedua dalam sejarah setelah Perang Dunia 2, 800.000 jiwa etnis Tutsi melayang dalam 100 hari. Berawal dari konflik politik antara pemberontak RPF yang digawangi oleh etnis Tutsi, dengan angkatan bersenjata Rwanda dibantu oleh milisi ekstremis Hutu, Interahamwe, konflik berekskalasi ke pembersihan etnis Tutsi secara sadis. Sementara itu, dunia internasional seakan tutup mata dalam menangani konflik Rwanda. Ketidakberdayaan pasukan penjaga perdamaian UNAMIR (United Nations Assistance Mission In Rwanda) dalam menengahi konflik ini membuat pembersihan etnis semakin merajalela. Kondisi ini diperparah pula dengan penarikan pasukan oleh Belgia dan Belanda di tengah kulminasi genosida sehingga 800.000 jiwa etnis Tutsi seolah hanya menjadi angka statistic dalam sejarah kelam peradaban manusia.PBB dinilai gagal karena tidak mampu mengambil langkah intervensi pencegahan sebelum konflik dimulai. Sementara itu, tindakan serius baru dilakukan ketika konflik sudah mencapai puncaknya dan korban terlanjur jatuh terlalu banyak dengan tambahan 5.500 pasukan penjaga perdamaian pada Mei 1994 dan 2500 pasukan pada Juli 1994 dengan sandi operasi Operasi Turqouise1. Dari sini timbul pertanyaan, mengapa penyelesaian konflik ini menjadi begitu berlarutlarut sehingga menimbulkan korban jiwa yang begitu besar . Makalah ini berusaha untuk mengangkat topic penyelesaian konflik di Rwanda sebagai salah satu masalah internal yang diinternasionalisasi ketika otoritas politik domestic gagal dalam mengatasi masalah tersebut. Makalah ini, berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat pada 2 hal, proses internasionalisasi masalah internal dan proses resolusi konflik ynag diterapkan yang meliputi peacekeeping dan peacemaking. Dari sini didapat hipotesis bahwa
1

http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3580247.stm, diakses tanggal 12 Desember 2001, pukul 13.27 WIB

kegagalan PBB dalam mencegah dan menyelesaikan konflik adalah lebih disebabkan karena tarik ulur kepentingan di antara negara-negara anggota Dewan Keamanan yang menghambat operasi peacekeeping dan peacemaking di Rwanda

1.2 Rumusan Masalah 1.3 Kerangka Konsep 1.3.1 Peacekeeping Peacekeeping merupakan salah satu bagian dari pendekatan TRANSCEND yang diperkenalkan oleh Johan Galtung dalam menciptakan perdamaian di daerah-daerah konflik. Galtung melihat tindakan peacekeeping sebagai tindakan menciptakan perdamaian negative atau tindakan untuk menghilangkan kekerasan fisik 2. Sementara itu, John Burton menghubungkan peacekeeping dengan mekanisme represif melalui cara-cara negara untuk mempertahankan kepentingannya dalam level internasional 3. Sementara itu, secara tersirat Andreu Sola Martin melihat peacekeeping sebagai intervensi non-violent dari pihak ketiga yang netral dan tidak memihak terhadap salah satu pihak yang berkonflik4. Di sini, peacekeeping dilihat sebagai tools of conflict containment dan creation of power politics.

Gambar 1 Model Peacekeeping

Selanjutnya, menurut Martin, ada 2 pendekatan dalam peacekeeping , yaitu stabilisator konflik dan penyelesai konflik. Pendekatan peacekeeping sebagai stabilisator konflik berkembang pada masa Perang Dingin, dimana operasi peacekeeping digunakan untuk menstabilan konflik yang dimotori oleh 2 negara besar yang terlibat dalam rivalitas, serta untuk mengamankan kepentingan ekonomi Barat. Sementara itu, peacekeeping sebagai penyelesaian konflik mulai berkembang ketika
2

Galtung, J. (1976) Three Approaches to Peace: Peacekeeping, Peacemaking, and Peacebuilding. InJ. Galtung (ed.) Peace, War, and Defense: Essays in Peace Research Vol. II. Copenhagen: Christian Ejlers, pp. 282-304
3

Burton, J. W. (1990) Conflict: Resolution and Provention. London: Macmilla 4 Andreu Sola Martin, The Contribution of Critical Theory to New Thinking on Peacekeeping, July 2005, diakses dari http://www.brad.ac.uk/acad/confres/papers/pdfs/CCR15.pdf, tanggal 12 Desember 2011, pukul 19.25 WIB, hal 1.

Perang

Dingin

mereda.

Namun

demikian,

bagaimanapun,

dalam

melihat

peacekeeping operation sangatlah signifikan untuk melihat kepentingan negara besar. Kepentingan negara besar tersebut dapat berarti dua, yaitu sebagai pendukung dan sebagai penghambat5

1.3.2 Peacemaking Peacemaking adalah semua proses untuk merubah kemarahan ke araha pengertian dan merubah conflict kearah kerjasama6. Dalam hal ini konflik menjadi target utama untuk diselesaikan. Sementara itu Galtung7 lebih melihat peacemaking sebagai proses institusionalisasi dari tindakan menciptakan perdamaian. Institusionalisasi ini dilakukan dengan diskusi dan perundingan di antara kedua belah pihak dan diakhiri dengan penandatanganan resolusi konflik sebagai tanda keterikatan kedua belah pihak untuk mencapai perdamaian. Kemudian, menurut Pasal 4 Piagam PBB proses peacemaking yang terwujudkan dalam mediasi dan negosiasi ditujukan untuk membawa pihak yang berkonflik kepada persetujuan melalui cara-cara damai. Dari sini bisa dismpulkan bahwa konsep peacemaking merupakan salah satu cara untuk mencapai perdamaian dengan cara-cara perundingan dan mediasi kea rah kooperasi. Menurut Galtung, peacemaking merupakan cara untuk mencapai positive peace yaitu adanya kerjasama melalui perundingan dan persetujuan8

5 6

Ibid, hal 2 Lynn Sandra Kahn, Peacemaking : A Systems Approach to Conflict Management, Maryland: (University Press of America, 2006), hal 5 7 Galtung, J. (1976) Three Approaches to Peace: Peacekeeping, Peacemaking, and Peacebuilding. InJ. Galtung (ed.) Peace, War, and Defense: Essays in Peace Research Vol. II. Copenhagen: Christian Ejlers, hal 285 8 Johan Galtung dan Charles Webel, The Handbook of Peace and Conflict Studies, New York: (Routledge, 2007), hal 31

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengaruh Eksternal di Kawasan Afrika Setiap negara memiliki kedaulatannya sendiri yang idealnya tidak dapat diganggu gugat. Namun demikian, kekuatan external bukan berarti menjadi tidak penting dalam melihat kondisi tertentu dalam suatu negara. Di Afrika, kekuatan-kekuatan politik eksternal menjadi begitu signifikan dalam mempengaruhi kondisi politik dalam negeri dalam suatu negara. Thomson memberikan eksplanasi yang cukup jelas dalam melihat kekuatan eksternal di Afrika. Dalam bukunya9 tersirat ada 2 kekuatan eksternal yang cukup signifikan dalam mempengaruhi dinamika politik dalam suatu negara di kawasan Afrika: pertama, berasal dari negara-negara tetangga di Afrika itu sendiri, baik dalam tataran institusi multilateral seperti OAU, AU, dan lain-lain, maupun bilateral; kedua, pengaruh yang berasal dari luar kawasan Afrika, baik itu bersifat institusi multilateral maupun pengaruh dari negara-negara besar seperti AS, Inggris dan Prancis.

Alex Thomson, An Introduction to African Politics Second Edition, London : (Routledge, 2004). Hal 149-173

Thomson membagi 2 periode dalam melihat pengaruh ekstrnal di kawasan ini yaitu pada masa Perang Dingin dan pada masa Tatanan Dunia Baru. Di sini akan dibahas mengenai pengaruh Prancis, AS, dan Belgia dalam penyelesaian masalah Rwanda. Prancis

Dalam penyelesaian masalah Rwanda, Prancis memiliki kontribusi yang signifikan dengan menyediakan 2500 pasukan untuk terselenggaranya operasi Turquoise dalam penyelesaian konflik Rwanda. Namun demikian, menurut Thomson, tindakan Prancis mengirim pasukan bukan hanya sekedar untuk menciptakan perdamaian dan perlindungan terhadap masyarakat sipil yang terjebak di Rwanda, tetapi untuk menjaga kepentingannya di sana. Pemerintahan Kigali yang dikalahkan oleh RPF merupakan klien sekutu dekat Prancis di Rwanda. Sementara itu, RPF juga berusaha untuk membantu pemberontak Zaire untuk menggulingkan Mobutu Sese Seko yang juga sekutu Prancis. Thomson mencurigai misi humanitarian ini bertujuan untuk menciptakan tempat perlindungan bagi pemerintahan yang terkalahkan untuk regroup yang membuat masalah menjadi berlarut-larut. AS

AS memiliki peran yang cukup signifikan dalam penyelesaian konflik ini, bukan sebagai pendukung, tetapi justru sebagai penghambat karena telah memperpanjang proses negosiasi di tingkat Dewan Keamanan dengan mempertanyakan apakah pembantaian di Rwanda merupakan genosida atau hanya kerusuhan masal biasa. Hal ini mencerminkan ketidaktegasan sikap PBB dalam resolusi yang dikeluarkannya dalam penyelesaian konflik ini. PBB pada 30 April masih mengingkari terjadinya genosida di Rwanda sementara puluhan ribu pengungsi kabur ke berbagai negara terdekat. Sementara itu, baru pada 17 Mei, istilah genosida baru dilekatkan pada peristiwa ini, sementara korban telah mencapi lebih dari 500.000 jiwa. Tindakan AS yang cukup membuat perdebatan semakin alot adalah dengan mengulur penurunan 5.500 pasukan penjaga perdamaian PBB dengan ketidaksetujuannya membiayai penurunan pasukan tersebut. Belgia

Belgia memiliki pengaruh yang signifikan pada masa awal terjadinya konflik dengan kepemimpinannya di UNAMIR. Belgia menjadi satu-satunya negara Barat yang menjadi partisipan dalam UNAMIR ini dengan menurunkan 2.548 pasukan penjaga perdamaian. Pada awalnya, kepemimpinan Belgia ini menjadi secercah harapan bagi pencegahan krisis Rwanda. Menjadi satu-stunya penyedia pasukan dari Barat, pasukan Belgia dianggap sebagai yang paling terlatih, dan paling canggih perlengkapannya serta memiliki kedisiplinan yang lebih dibandingkan pasukan lain, namun demikian mereka memiliki agresifitas yang kurang lebih bisa menimbulkan masalah bagi misi. Sementara itu, pasukan dari negra lain seperti dari Ghana dan Bangladesh digambarkan memiliki semangat tinggi, namun tidak memiliki perbekalan dan perlengkaan yang memadai dalam terselengaranya misi ini10. Titik balik peran Belgia ini adalah ketika Belgia menarik pasukan penjaga perdamaiannya dari Rwanda pada tanggal 14 April 1994 setelah menjalankan misi sejak Februari 1994 setelah melihat konflik begitu gawat dan mengancam keselamtan pasukannya, sementara dunia internasional yang direpresentasikan oleh PBB tampak tidak terlalu menaruh concern pada Rwanda.

BAB III KESIMPULAN

10

Fred Grunfeld dan Anke Huijboom, The Failure Prevent Genocide in Rwanda: The Role of Bystanders, Leiden : (Martinus Nijhoff Publications, 2007), hal 47

Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian konflikRwanda yang lambat disebabkan karena ketidakpedulian negara-negara besar terhadap konflik ini. hal ini terlihat dari tindakan Prancis yang menggunakan penyelesaian konflik ini sebagai sarana untuk mempertahankan kepentingannya di Rwanda. Sementara itu, tindakan AS yang cendrung menghambat PBB dalam mengeluarkan resolusi yang cepat dan tepat menjadi bukti bahwa AS tidak menganggap Rwanda begitu penting. Sementara itu, tindakan Belgia yang begitu heroic di awal konflik, ternyata tidak mampu mencegah konflik ini terus berlanjut, karena kurangnya dukungan dari masyarakat internasional, sehingga Belgia pun menarik pasukannya setelah konflik tersebut turut pula menewaskan anggota pasukan peacekeeper Belgia yang tergabung dalam UNAMIR .

Lampiran

Timeline 100 hari Pembantaian Etnis Tutsi di Rwanda11


Some 800,000 Rwandans, mainly Tutsis, were murdered in a 100-day period following the killing of the Hutu president of Rwanda, Juvenal Habyarimana. The presidential guard quickly murdered the political opposition and enacted a pre-planned campaign of slaughter that spread across the country. Soldiers, government officials and business leaders organised the killings and were joined by a Hutu militia, the Interahamwe. The international community did little to stop the killings and the slaughter was brought to end by the military defeat of the government by the Rwandan Patriotic Front, a Tutsi-led rebel group. 6 April 1994: President Habyarimana and Burundian President Cyprien Ntaryamira are killed when the Rwandan leader's plane is shot down as it is about to land at Kigali Airport. Hutu extremists opposed to the Arusha Peace Accords are believed to be behind the attack. 7 April: The Rwandan armed forces and Interahamwe militia begin the systematic killing of Tutsis and moderate Hutus. UN forces, unwilling to breach their mandate, fail to intervene. 10 Belgian UN peacekeepers are killed. 8 April: The Tutsi Rwandan Patriotic Front (RPF) launches a major offensive to end the killings and rescue 600 of its troops based in Kigali under the Arusha Accords. 9-10 April: French, Belgian and American civilians are rescued by their governments. 11 April: The International Red Cross (IRC) estimates that tens of thousands have been slaughtered. UN soldiers protecting 2,000 Tutsis at a school are ordered to withdraw to Kigali airport. Most are killed after their departure. 14 April: Belgium withdraws its troops from the UN peacekeeping force in Rwanda. 15 April: Slaughter of thousands of Tutsis gathered at Nyarubuye Church seeking protection. 21 April: The UN cuts the level of its forces in Rwanda by 90% to just 270 troops. The IRC estimates the dead could now number over 100,000. 30 April: The UN agrees a resolution condemning the killing but omits the word 'genocide'. Tens of thousands of refugees flee into neighbouring Burundi, Tanzania and Zaire. Mid-May: The IRC estimates that 500,000 Rwandans have been killed. 17 May: The UN Security Council issues a fresh resolution saying that 'acts of genocide may have been committed'. It also agrees to send 5,500 troops with new powers to defend civilians, however deployment is delayed by disagreements between the US and UN over the financing of the operation. 22 May: RPF forces gain control of Kigali airport and Kanombe barracks, and extend their control over the northern and eastern parts of Rwanda. 22 June: With arguments over the deployment still continuing, the UN authorises an emergency force of 2,500 French troops under Operation Turquoise to create a 'safe' area in the government-controlled part of Rwanda. The killing of Tutsis continues in the 'safe' area despite the presence of the French. 4 July: The RPF takes control of Kigali and the southern town of Butare. Its leadership claims it will form a government on the basis of the Arusha Accords.

11

http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3580247.stm, diakses tanggal 12 Desember 2001, pukul 13.27 WIB

13-14 July: Refugees fleeing the RPF advance in north-western Rwanda flood into Zaire. Approximately 10,000-12,000 refugees per hour cross the border into the town of Goma. The massive influx creates a severe humanitarian crisis, as there is an acute lack of shelter, food and water. 18 July: The RPF announces that the war is over, declares a cease-fire and names Pastor Bizimungu as president with Faustin Twagiramungu as prime minister

Daftar Pustaka Sumber Buku Grunfeld, Fred dan Anke Huijboom. The Failure Prevent Genocide in Rwanda: The Role of Bystanders. Leiden : (Martinus Nijhoff Publications, 2007) Thomson, Alex. An Introduction to African Politics Second Edition. London : (Routledge, 2004)

Sumber Elektronik http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3580247.stm, diakses tanggal 12 Desember 2001, pukul 13.27 WIB Andreu Sola Martin, The Contribution of Critical Theory to New Thinking on Peacekeeping, July 2005, diakses dari http://www.brad.ac.uk/acad/confres/papers/pdfs/CCR15.pdf, tanggal 12 Desember 2011, pukul 19.25 WIB, hal 1

Anda mungkin juga menyukai