Anda di halaman 1dari 34

Laporan Akhir

FENOMENA URBANISASI DAN SUB URBANISASI DI WILAYAH STUDI


Penetrasi pembangunan yang cepat di kota-kota di Indonesia memberikan dampak luas terhadap kota itu sendiri maupun wilayah pinggirannya. urbanisasi Konsekuensi disertai paling dengan logis laju adalah meningkatnya penduduk

yang

pertumbuhan

perkotaan, baik secara alamiah maupun migrasi penduduk desa ke kota. Dampak lainnya adalah alih guna lahan perdesaan menjadi perkotaan karena adanya peningkatan kebutuhan ruang untuk aktivitas kota. Disamping itu, terdapat keterbatasan supply ruang perkotaan terutama di pusat kota yang justru memiliki intensitas penggunaan

lahan paling tinggi. Akibatnya penduduk perkotaan mengalami kesulitan mendapatkan lahan untuk beraktivitas, salah satu contohnya adalah aktivitas permukiman. Hal ini menyebabkan beralihnya fungsi lahan terbuka dan pertanian yang ada di pinggiran kota menjadi fungsi permukiman. Bila hal ini berlangsung treus menerus, maka akan mengakibatkan terjadinya perluasan kota yang tidak terencana, yang tentu saja akan memebrikan dampak lebih lanjut terhadap kondisi perkotaan. Seperti terjadinya penurunan kualitas lingkungan, banjir, kemacetan, dan sebagainya. Berikut ini akan diuraikan fenomena urbanisasi dan sub urbanisasi di Jakarta dan Semarang. 2.1
2.1.1

FENOMENA URBANISASI Jakarta Metropolitan Jakarta memiliki laju perkembangan kota sangat tinggi dan kompleks. Gejala tersebut mulai terasa sejak akhir tahun 60-an hingga sekarang. Hingga kini urbanisasi di Jakarta telah membengkak lebih dari 10 juta jiwa dengan pertambahan penduduk relatif tinggi. Akibatnya telah terjadi kemacetan lalu lintas, pencemaran lingkungan, banjir, dan penggunaan lahan yang tak terkendali. Kondisi seperti ini telah menjadi fenomena keseharian bagi pertumbuhan Kota Jakarta.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 1

Laporan Akhir

Perkembangan pemanfaatan lahan di Jakarta mulai meningkat dengan dimulainya Repelita. Pada Pelita I dan II, pemerintah bertindak sebagai satu-satunya pemrakarsa pembangunan. Namun kemudian pada Pelita III peran swasta mulai nampak dan memiliki kemampuan untuk melakukan investasi pembangunan. Sebagai akibatnya, kawasan dengan kepadatan rendah yang awalnya diperuntukkan sebagai cachtment area (daerah tangkapan air) berubah menjadi lahan perumahan. Demikian pula dengan kawasan pinggiran Jakarta (perbatasan dengan Botabek), sudah berkembang pesat aktivitasaktivitas perumahan dan industri. Perkembangan lebih lanjut tidak hanya di wilayah Kota Jakarta, melainkan menyebar sampai ke wilayah Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok hingga kemudian ditetapkan sebagai wilayah perluasan Kota Jakarta yang disebut dengan Jabodetabek. 2.1.1.1 Faktor Penyebab Urbanisasi Karakteristik urbanisasi yang terjadi di DKI Jakarta hampir sama

dengan kota-kota besar di dunia, yaitu ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk kota yang terjadi setiap tahun. Kemudian dilanjutkan dengan pemusatan segala aktivitas masyarakat yang tertuju pada satu kawasan sehingga secara radikal merubah struktur keruangan kota. Perubahan tersebut terlihat pada pola perubahan pemanfaatan lahan yang diindikasikan oleh intensitas lahan terbangun, sebaran fasilitas perkotaan, sistem jaringan transportasi serta pola pergerakan ke pusat kota, juga perkembangan land use, perkembangan tingkat urbanisasi dan migrasi penduduk kota, dan selanjutnya perkembangan aktivitas ekonomi kota. 2.1.1.2 Pola keruangan Perubahan Pemanfaatan Lahan
a) Intensitas Lahan Terbangun

Perkembangan Kota Jakarta yang semakin meningkat menimbulkan beberapa permasalahan, terutama dalam hal kebutuan perumahan dan transportasi. Pembangunan perumahan baik oleh pemerintah maupun swasta berdampak pada meningkatnya intensitas lahan terbangun, bahkan lahan konservasi juga dijadikan sebagai
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 2

Laporan Akhir

perluasan permukiman kota. Intensitas lahan terbangun yang terus meningkat menyebabkan sulit dijumpainya lahan hijau/terbuka yang berfungsi sebagai ruang publik. Dapat dipastikan hampir seluruh lahan di DKI Jakarta sudah terbangun baik untuk bangunan

perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, industri, perkantoran maupun bangunan lain. Berdasarkan data Rencana Tata Letak Bangunan (RTBL) dari Dinas Tata Kota DKI Jakarta tahun 1996, terdapat 103 kawasan perumahan baru, 13 rumah susun dan 32 lokasi apartemen dengan luas lantai 5.323.022 m2. Gambar 2.1 Pertumbuhan Jakarta dan Botabek

Sumber : Master Plan DKI Jakarta, Dalam Johara, 1999 b) Sebaran Fasilitas Perkotaan

Aktivitas perkotaan yang ada di Jakarta tidak terlepas dari fungsinya sebagai ibukota negara. Fungsi ini tidak hanya sebagai pusat pelayanan secara nasional tetapi juga interaksi antar negara. Disamping sebagai pusat pemerintahan, pusat industri dan perdagangan, pusat aktivitas pelayanan jasa, Jakarta juga sebagai pintumasuk dan keluarnya transportasi internasional yang

mobilitasnya cukup tinggi. Karena sifatnya yang demikian, maka muncul berbagai kawasan perdagangan, kawasan rekreasi, serta didukung oleh fasilitas perekonomian.
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 3

Laporan Akhir

Efek yang timbul akibat pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan persebaran fasilitas kota, cenderung mengindikasikan adanya

pemusatan aktivitas di beberapa kawasan. Dampak bangkitan yang muncul adalah terakumulasinya aktivitas transportasi ke pusat kota yang semakin padat. Fenomena ini adalah bukti nyata tidak terkendalinya aktivitas transportasi kota dengan baik.
c) Sistem Jaringan Transportasi dan Pola Pergerakan ke Pusat Kota

Jaringan transportasi dan pola pergerakan ke pusat kota Jakarta dari kawasan suburban dan atau kota-kota di luar Jakarta memicu adanya penyesuaian, perbaikan, dan penambahan jalan dan moda angkutan baru. Data tahun 1998/1999 mencatat bahwa pada jamjam puncak setidaknya terdapat lebih dari 40.000 kendaraan yang melintas di berbagai ruas jalan di Jakarta. Selain itu, besarnya mobilitas penduduk ke tempat kerja menuju Jakarta yang berasal dari Bodetabek dan dalam Jakarta sendiri mencapai angka 62,5 %. Pola pergerakan seperti ini mengakibatkan terbentuknya suatu pola ulang alik atau commuter antara DKI Jakarta dan Bodetabek. Faktor utama penyebab kemacetan tersebut adalah adanya bangkitan penduduk di wilayah Botabek ke wilayah DKI Jakarta. Kebijakan penambahan dan pelebaran badan jalan hanyalah salah satu terapi masalah transportasi, sebab apabila mobilitas penduduk tidak dikendalikan dengan baik tanpa melihat aspek keruangannya, maka kemacetan selamanya akan tetap muncul. Oleh karena itu pelebaran badan jalan sebagai langkah antisipasi, tidak akan

begitu saja dapat mengatasi persoalan transportasi. Penekanan penanganan sistem transportasi harus diiringi dengan pemerataan pusat-pusat fasilitas publik di berbagai kawasan sub urban. Dengan demikian pola pergerakan penduduk yang selama ini terpusat di Jakarta, berangsur-angsur mengarah dan menyebar ke kawasan sub urban.
d) Perkembangan Land Use

Perkembangan Kota Jakarta mulai menunjukkan percepatan pembangunan sejak awal Repelita III sejalan dengan keberhasilan
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 4

Laporan Akhir

pembangunan di bidang ekonomi. Lalu perkembangan tersebut semakin masif, dimana terjadi pembangunan dan pengembangan permukiman/perumahan secara intensif dan ekstensif yang

dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Hal ini berdampak pada perubahan struktur tata ruang perkotaan DKI Jakarta. Pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat di Jakarta mempengaruhi intensitas penggunaan lahan untuk aktivitas bangkitan berupa industri, perdagangan dan jasa. Akibatnya harga lahan semakin mahal, bahkan tibul kondisi kelangkaan lahan di pusat kota Jakarta. Sehingga yang terjadi adalah penyebaran minat investasi ke wilayah pinggiran Jakarta yang dibarengi dengan sistem

aksesibilitas yang semakin baik. Perkembangan yang dimulai dari barat kota satelit Bumi Serpong Damai, kemudian Lippo Karawaci, Kota Legenda, memanjang hingga Balaraja Industrial Esate, merupakan bukti nyata adanya pergeseran minat investasi itu. Pada saat ini perkembangan struktur ruang Kota Jakarta masih diarahkan pada pengembangan poros barat dan timur. Akan tetapi karena tekanan pembangunan yang cukup besar maka daerah selatan pun yang sebelumnya adalah kawasan tangkapan air, berangsur-angsur mulai berdiri bangunan-bangunan permukiman. Dampak yang timbul adalah terjadinya sprawling area yang menciptakan wilayah tidak saling terikat secara fungsi antara satu dengan lainnya. 2.1.1.3 Perkembangan Tingkat Urbanisasi dan Migrasi Penduduk Kota Berdasarkan data BPS DKI Jakarta, bahwa penduduk DKI Jakarta sepanjang tahun 1961-2000 terus mengalami peningkatan yang tajam. Jika pada tahun 1961 penduduk Jakarta baru berkisar antara 2,91 juta jiwa maka dalam kurun waktu 10 berikutnya meningkat menjadi 4,55 juta jiwa. Pada akhir tahun 2000 lalu angka tersebut berubah menjadi 9,72 juta jiwa. Namun bila dicermati lagi dalam kurun waktu 1971-1980 hingga 1980-1990 laju pertumbuhan penduduk Kota Jakarta justru mengalami penurunan sebesar 1,55 % per tahun. Sementara pada

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 5

Laporan Akhir

kawasan Botabek berangsur-angsur mengalami peningkatan sebesar 1,26 % per tahun. Gambar 2.2 Grafik Perkembangan Penduduk DKI Jakarta Tahun 1961 2000
3000000 2500000

Jumlah Penduduk

2000000 1500000 1000000 500000 0 SP 1961 SP 1971 SP 1980 Tahun SP 1990 SP 2000

Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur

Sumber : SP 1961, SP 1971, SP 1980, SP 1990, SP 2000

Gambar 2.3 Grafik Kepadatan Penduduk DKI Jakarta per Km Tahun 1961 - 2000
30000 25000
Jumlah Penduduk

Jakarta Pusat 20000 15000 10000 5000 0 SP 1961 SP 1971 SP 1980 Tahun SP 1990 SP 2000 Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur DKI Jakarta

Sumber : SP 1961, SP 1971, SP 1980, SP 1990, SP 2000

Pada saat yang bersamaan, kepadatan penduduk DKI Jakarta menunjukkan fenomena yang cukup mengkawatirkan. Jika pada tahun
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 6

Laporan Akhir

1961 kepadatan penduduk DKI Jakarta masih sekitar 4,395 ribu jiwa per km2 kemudian pada tahun 2004 diperkirakan akan mencapai lebih dari 14,7 ribu jiwa per km2. 2.1.1.4 Perkembangan Aktivitas Ekonomi Perkotaan Kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap aktivitas ekonomi perkotaan. Hal ini dipicu adanya pemusatan aktivitas ekonomi baik yang berskala nasional bahkan internasional. Oleh karena itu perkembangan perekonomian akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan Jakarta sebagai pusat pelayanan berbagai aktivitas. Peningkatan yang cukup tinggi terjadi selama periode tahun 1993-1996, baik yang dilakukan oleh PMA maupun PMDN. Penyerapaninvestasi yang cukup tinggi di wilayah DKI Jakarta meliputi beberapa aktivitas diantaranya adalah kegiatan jasa, perumahan, perkantoran, danperhotelan yang tersebar di seluruh wilayah kota. Apabila dilihat dari struktur PDRB DKI Jakarta, tampak bahwa sektor yang memiliki kontribusi besar adalah sektor perbankan dan lembaga keuangan yaitu sebesar 23 % dari total PDRB, sektor perdagangan dan jasa sebesar 22 %, kemudian sektor industri pengolahan sebesar 21,1 %. Sedangkan pada sektor pertanian, tingkat pertumbuhannya semakin kecil dengan kontribusi hanya sebesar 0,2 % dengan tingkat pertumbuhan 2,24 % per tahun. Kondisi ini memperjelas bahwa DKI Jakarta secara dominan dipengaruhi oleh ketiga sektor utama tersebut yaitu kegiatan perbankan dan lembaga keuangan, jasa dan

perdagangan, dan sektor industri. Meskipun sektor industri telah dibatasi perkembangannya, tetapi tetap menjadi sektor yang cukup memainkan peran dalam menggerakkan roda perekonomian DKI Jakarta. Sebagai antisipasi dalam meminimalisasi dampak aktivitas ekonomi perkotaan adalah berupa perluasan aktivitas industri maupun sektor lain ke wilayah sub urban. Dampak yang diharapkan akan mampu dalam mengurangi beban ekonomi maupun beban sosial. Di sampng itu, proses pemerataan pembangunan dapat berjalan dengan baik dan
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 7

Laporan Akhir

disertai dengan penataan struktur ruang yang responsif terhadap perkembangan kota. 2.1.1.5 Dampak-dampak yang Timbul
a) Struktur Ruang dan Pemanfaatan Lahan yang Tidak Terencana

Perkembangan Kota Jakarta di seluruh aspek pembangunan secara spasial merubah struktur ruang akibat tingginya aktivitas

penggunaan lahan. Dalam perkembangan pemanfaatan ruang yang terjadi di Jakarta terlihat pola perkembangannya cenderung menyebar akibat tingginya harga lahan di pusat kota. Hal ini terlihat dari adanya kecenderungan permukiman ke arah bagian Selatan, Tenggara, serta bagian Barat-Timur wilayah Jakarta. Perkembangan penggunaan lahan Kota Jakarta ditandai oleh pesatnya permintaan akan lahan untuk kegiatan usaha dan tempat hunian. Pada umumnya pertumbuhan perumahan di Jakarta terjadi secara spontan. Sementara sebaran industri Kota Jakarta terdapat di beberapa daerah terutama di bagian utara dan timur mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dan terjadi kecenderungan perkembangan mengarah ke daerah pinggiran (daerah penyangga) yang sebagian besar ke arah timur dan barat Jakarta. Selain itu, pada beberapa perumahan skala besar justru menggunakan kegiatan industri sebagai basis ekonominya. Munculnya aktivitas-aktivitas baru di daerah pinggiran Kota Jakarta seperti permukiman, industri, perdagangan dan jasa tersebut baik secara spontan maupun terencana memberikan dampak luas

terhadap pola pemanfaatan ruang kota, sehingga merubah struktur ruang yang direncanakan sebelumnya dalam RTRW.
b) Penurunan Kualitas Pelayanan Infrastruktur

Perkembangan

aktivitas

penduduk

Kota

jakarta

juga

ikut

mempengaruhi sistem transportasi yang ada, seperti menurunnya kualitas jaringan prasarana transportasi yang berbanding lurus

dengan semakin rendahnya pelayanan sarana transportasi karena meningkatnya jumlah pengguna sarana yang ada. Selain itu,
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 8

Laporan Akhir

tumbuhnya lokasi-lokasi aktivitas penduduk terutama perumahan baru di wilayah Botabek yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan sarana dan prasarana lalu lintas telah menimbulkan berbagai masalah lalu lintas yang pada akhirnya akan berakibat terjadi degradasikinerja sistem lalu lintas dari waktu ke waktu. Indikasi ini terlihat melalui fenomena keruwetan lalu lintas di wilayah

Jabodetabek. Pada umumnya perkembangan permukiman yang terjadi masih mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi dengan Jakarta.

Sebagian besar penghuni perumahan bekerja di Jakarta dan pengembang masih mengandalkan pasarana yang sudah ada. Kemacetan tetap saja terjadi sebab tidak seimbang antara perkembangan perumahan dengan prasarana yang harus tersedia. Selain itu juga terdapat peningkatan kebutuhan akan air bersih di Kota Jakarta yang belum dapat terpenuhi akibat pertumbuhan penduduk yang semakin pesat. Tingkat pelayanan PDAM yanga da sekarang berdasarkan jumlah sambungan pada masing-masing PDAM masih berada di bawah target yangakan dicapai yaitu sebesar 80 %. Kondisi tersebut mendorong besarnya pemakaian air tanah oleh masyarakat padahal kualitas air tanah di Jakarta sudah menurun akibat adanya intrusi air laut.
c) Keterbatasan Daya Dukung Lingkungan untuk Kawasan Terbangun

Meningkatnya peruntukan

kawasan kawasan

terbangun

di

Kota

Jakarta

seperti

permukiman,

industri,

perkantoran, dukung

perdagangan dan jasa menyebabkan menurunnya daya

lingkungan. Akibatnya terjadinya gangguan lingkungan perkotaan seperti banjir, intrusi air laut, suhu udara yang terus meningkat, polusi udara, polusi air dan tanah. Hampir seluruh peruntukan lahan pusat kota diberdayakan untuk kawasan terbangun dan hanya sedikit disisakan untuk lahan penghijauan kota. Pemanfaatan

sebagai daerah resapan air terdapat di wilayah pinggiran kota yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor, khususnya di Kota Depok dan sekitarnya. Namun demikian, saat ini kawasan tersebut telah berkembang menjadi permukiman padat. Hal tersebut tentu saja
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 9

Laporan Akhir

akan mengurangi tingkat pelayanan air bersih. Kebutuhan air bersih untuk wilayah DKI Jakarta sangat bergantung dari sumber air

permukaan sehingga bila ada perubahan siklus hidrologi di daerah Kabupaten Bogor maka akan berpengaruh terhadap DKI Jakarta dalam hal penyediaan air bersih.
2.1.2

Semarang Faktor Penyebab Urbanisasi Urbanisasi selalu dikaitkan dengan adanya kegiatan pengkotaan suatu kawasan atau wilayah. Banyak indikator yang bisa digunakan untuk melihat apakah di suatu kawasan terjadi fenomena urbanisasi atau tidak, salah satunya adalah dengan melihat perkembangan maupun dari segi sosial

2.1.2.1

penduduk, baik dari segi pertumbuhan

ekonominya. Adanya perkembangan penduduk akan mendorong aktivitas-aktivitas lain yang merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan penduduk itu sendiri seperti perumahan, kegiatan perdagangan dan jasa serta fasilitas dan utilitas, atau sebaliknya. Sehingga berakibat pada kawasan tersebut seperti tumbuhnya ruang-ruang perkotaan baru yang merupakan wadah aktivitas masyarakat. 2.1.2.2 Pola Keruangan Perubahan Pemanfaatan Lahan
a) Intensitas Lahan Terbangun

Data terakhir (tahun 1996) tercatat pemanfaatan lahan terbangun di perkotaan memiliki komposisi 38 % untuk perumahan, 20 % untuk industri, 27 % untuk perusahaan dan jasa 15 %. Dengan demikian perumahan masih mendominasi pemanfaatan lahan yang ada di Kota Semarang. Adapun pemanfaatan lahan pedesaan intensitas tertinggi dimanfaatkan untuk kebun campur 13,75 % yang di dalamnya terdapat permukiman penduduk, sedangkan

pemanfaatan lahan pedesaan yang juda memiliki intensitas tinggi adalah sawah sebesar 12,96 %. Apabila dilakukan perbandingan antara luas arahan menurut RTRW dengan kondisi eksisting tampak ada fenomena deviasi (selisih) dalam pemanfaatan lahannya. Apabila dilihat dari arahan RTRW,
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 10

Laporan Akhir

cadangan luas lahan baik untuk lahan terbangun maupun yang belum terbangun masih ada alokasi lahan seluas 10.721,68 Ha (terbangun) dan yang belum terbangun memiliki sisa lahan seluas 10.143,34 Ha dari total lahan arahan RTRW. Sementara untuk selisih penggunaan lahan untuk kegiatan lain (jalan, sungai, saluran, bendungan) mengalami deviasi pemanfaatan lahan seluas 577,36 Ha.
b) Sebaran Fasilitas Perkotaan

Secara umum, keberadaan fasilitas utama kota di Semarang masih memusat di pusat kota. Semakin keluar kota atau semakin dekat ke perbatasan, ketersediaan fasilitas semakin berkurang. Fasilitasfasilitas perkotaan seperti pusat perbelanjaan,rumah sakit berskala regional, pusat pemerintahan secara kuantitas masih terkonsentrasi di pusat kota Semarang (Central Bussines District). Meskipun demikian ada kecenderungan upaya penyebaran fasilitas perkotaan tersebut ke wilayah pinggiran, misalnya saat ini

Universitas Diponegoro membangun kampus baru di Tembalang sebagai wujud perkembangan ke arah selatan Semarang.

Kemudian diikuti dengan pembangunan perumahan real estate di Banyumanik serta pusat perbelanjaan yang cukup representatif untuk memenuhi kebutuhan pada kawasan ini. Hal ini merupakan fenomena urban dan sub urban yang masing-masing menempatkan aktivitasnya sesuai dengan kapasitas pengembangan dan segmen pasar serta harga lahan yang masih memungkinkan untuk dijangkau.
c) Sistem Jaringan Transportasi dan Pola Pergerakan ke Pusat Kota

Sistem transportasi yang ada di Metropolitan Semarang apabila dilihat dari modanya menunjukkan bahwa arus lalu lintas bus umum yang masuk dan keluar terminal, ternyata jumlahnya mengalami penurunan baik penumpang maupun armadanya. Dari tabel di bawah ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi penurunan jumlah armada daritahun 1996 sampai dengan 2000.
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 11

Laporan Akhir

Sementara itu jumlah kendaran pemakai jalan tol cencerung meningkat dari tahun 1996 - 2000. Fenomena ini memberikan kejelasan bahwa bukanlah arus mobilitas masyarakat yang berkurang tetapi adanya fenomena peningkatan kepemilikan

kendaraan pribadi. Dengan adanya peningkatan kepemilikan kendaraan pribadi, semakin berkurang jumlah pengguna bus angkutan umum. Melihat data prasarana jalan yang ada di Metropolitan Semarang (Dishub Kota Semarang), hampir 85-90 % kondisi jalan arteri dan kolektor masih dalam kondisi baik, sedangkan untuk jalan lokal sekitar 7-15 % dalam kondisi yang kurang baik. Tabel 2.1 Perkembangan Jumlah Bus dan Penumpang pada Jalur Utama di Metropolitan Semarang
Jurusan TerboyoJatingaleh TerboyoMangkang NgalianBus Tahun 1996 250 1997 181 1998 130 1999 124 2000 116

Penumpang 5.883.977 4.119.556 2.707.586 2.361.977 1.943.650 Bus 362 332 251 239 263

Penumpang 7.777.153 6.415.929 4.198.538 3.660.241 3.672.985 Bus 220 177 170 173 177

Pucanggading Penumpang 4.193.637 3.349.341 2.929.378 2.582.120 2.502.591 JoharPerumnas Bus Penumpang 225 179 137 151 145

569.113 4.578.960 3.102.282 3.137.077 2.951.356

Sumber : Kota Semarang Dalam Angka Tahun 2000

Dalam rencana pengembangan transportasi Metropolitan Semarang terlihat adanya upaya peningkatan angkutan umum dari sub terminal ke terminal induk. Bahkan ada rencana penambahan trayak baru dari sub terminal ke sub terminal yang lain.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 12

Laporan Akhir

Tabel 2.2 Arus Transportasi yang Melalui Jalan Tol di Metropolitan Semarang
Tahun (1) 1996 1997 1998 1999 2000 Gerbang Tol Muktiharjo (2) 0 0 3.446.802 4.651.333 5.118.120 Gayamsari (3) 0 0 1.191.553 2.018.625 2.239.662 Tembalang (4) 6.198.535 6.497.301 6.000.016 6.820.476 7.771.064 Manyaran (5) 3.773.629 4.139.693 4.737.133 5.560.294 5.775.203

Sumber : Kota Semarang Dalam Angka Tahun 2000

Dalam melihat sistem pola pergerakan, ada dua fenomena khusus yang membatasinya, yaitu pola pergerakaninternal dan pola pergerakan eksternal. Pola internal ini melihat mobilitas yang terjadi dalam kawasan Metropolitan Semarang, misalnya peregrakan buruh industri yangmenuju lokasi industri tempat bekerja. Pola pergerakan eksternal melihat antara Metropolitan Semarang

dengan kota-kota lain di luar Metropolitan Semarang, dilihat dari banyaknya arus transportasi yang masuk dan keluar Kawasan Metropolitan Semarang.
d) Perkembangan Land Use

Berdasarkan

data

BPN

Kota

Semarang,

perkembangan

penggunaanlaahn di Kota Semarang selama tahun 1993 2001 menunjukkan gejala perubahan yang signifikan pada penggunaan lahan untuk perumahandan industri yang mengalami peningkatan luas. Penggunaan lahan untuk perumahan mengalami penambahan luas sekitar 422,78 Ha, untuk industri meningkat menjadi 26,14 Ha, sedangkan untuk perusahaan, jasa , dan lain-lain tidak

menunjukkan perubahan yang berarti.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 13

Laporan Akhir

TABEL 2.3 PERKEMBANGAN PENGGUNAAN LAHAN DI METROPOLITAN SEMARANG SELAMA TAHUN 1993 - 2001
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Perumahan 10.496,77 10.580,14 10.660,69 10.801,18 10.845,56 10.879,15 10.884,56 10.902,61 10.919,55 Perusahaan 935,55 935,55 935,55 935,55 935,55 935,55 935,55 935,55 935,54 Penggunaan Lahan (Ha) Open Industri Jasa Space 650,71 829,17 21.898,65 652,60 829,17 21.813,39 653,14 829,17 21.732,30 654,28 829,17 21.591,30 655,48 829,17 21.545,72 673,65 829,17 21.493,96 673,65 829,17 21.488,55 675,30 829,17 21.468,85 676,85 829,17 21.450,35 Taman 13,52 13,52 13,52 13,52 13,52 13,52 13,52 13,52 13,52 Lain-lain 2.545,63 2.545,63 2.545,63 2.545,63 2.545,63 2.545,63 2.545,63 2.545,63 2.545,63

Sumber : BPN Kota Semarang Tahun 2002

GAMBAR 2.4 POLA KONSTELASI KOTA METROPOLITAN

Sumber : Bappeda Kota Semarang dalam Program Jangka Menengah Kota Semarang Menuju Kota Metropolitan

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 14

Laporan Akhir

Arah kecenderungan perkembangan secara fisik Kota Metropolitan

Semarang

berjalan

dari

arah

Barat

Laut

(Kecamatan

Tugu)

memanjang ke arah timur (Genuk) dan membentang berkembang ke bagian tengah, selatan dan tenggara. Perkembangan ini cenderung sebagai wilayah Kota terbangun (built up area) Kota Metropolitan sistem

Semarang.

Semarang

dikembangkan

melalui

pengembangan-pengembangan yang bersifat terencana, terarah, terpadu dan dinamis dengan usaha menciptakan sarana dan prasarana bagi kegiatan masayarakat dalam taraf optimal. Dalam proses pertumbuhannya, kutub pengembangan ini secara desentralisasi akan memberikan dorongan pertumbuhan pada pusatpusat pengembangannya dan secara konsentris pusat-pusat

pengembangan akan tetap terikat pada pola kutub pengembangannya. Namun secara sistem jaringan konstelasi akan terjadi pola hubungan fungsional maupun kausal diseluruh ruang-ruang kegiatan kota, maka akan didapatkan suatu bentuk Kota Metropolitan Semarang yang utuh dengan pola kegiatan yang berimbang di antara ruang-ruang kegiatan (pemerataan). 2.1.2.3 Perkembangan Tingkat Urbanisasi dan Migrasi Penduduk Kota Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu indikator adanya urbanisasi dengan melihat perkembangan penduduk suatu kawasan. Di Kota Semarang, fenomena urbanisasi yang terjadi dapat ditunjukkan dari kondisi pertambahan migrasi penduduk pada tahun 1990-2001. Tabel di bawah ini menunjukkan adanya gejala pergeseran penduduk kota dari CBD ke sub-urban karena faktor-faktor yang kurang mendukung bagi penduduk untuk tinggal nyaman di pusat Metropolitan Semarang.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 15

Laporan Akhir

Tabel 2.3 Jumlah Pertambahan Penduduk Kota Semarang Tahun 1990 2001
Tahun (1) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Pertambahan Pertambahan Migrasi Alami (2) (3) 12.186 -3.937 12.313 9.401 10.509 6.352 5.923 5.488 9.853 7.800 9.913 5.414 8.130 4.542 6.375 2.875 7.288 5.778 7.994 8.845 9.613 8.782 9.088 9.853 Rata-rata pertambahan per tahun Total (4) 8.199 21.714 16.861 11.411 17.653 15.327 12.672 9.250 13.066 16.839 18.395 18.941 15.027

Sumber : BPS Kota Semarang Tahun 1990 2001

Tabel 2.4 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Metropolitan Semarang 2000 dan 2001
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. Kecamatan Mijen Gunungpati Banyumanik Gajah Mungkur Semarang Selatan Candisari Tembalang Pedurungan Genuk Gayamsari Semarang Timur Semarang Utara Semarang Tengah Semarang Barat Tugu Ngaliyan Sayung Maranggen Karangawen Ungaran Bergas Pringapus Kaliwungu Boja Metropolitan Semarang Jumlah Penduduk Tahun 2000 2001 37.377 37.927 56.901 57.485 101.978 104.578 56.933 57.550 77.813 78.036 77.302 77.719 98.989 103.343 133.739 137.784 61.299 62.996 62.429 63.142 84.836 81.816 127.293 122.736 77.774 77.210 144.888 146.651 23.895 24.145 86.221 89.202 89.573 88.927 124.575 126.500 75.619 75.324 114.860 114.982 50.096 51.030 41.662 42.120 61.898 88.631 88.025 62.291 1.955.975 1.972.125 Pertumbuhan (%) 1,47 1,02 2,50 1,08 0,28 0,53 4,39 3,02 2,76 1,14 - 3,55 - 3,57 - 0,72 1,21 1,04 3,45 -0,72 1,55 -0,39 0,11 1,86 1,10 43,19 -29,23 0,83

Sumber: Bappeda Semarang, 2000

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 16

Laporan Akhir

Secara

keseluruhan lahan

kondisi secara

tersebut

terjadi

karena

adanya kawasan

penggunaan

besar-besaran

sebagai

permukiman, hal ini dipicu oleh harga lahan yang relatif murah dibandingkan dengan kawasan di pusat Kota Semarang. Selain itu, adanya beberapa peruntukan lahan sebagai aktivitas industri di pinggiran Kota Semarang juga mendorong proses urbanisasi di pinggiran Kota Semarang seperti di Kecamatan Ngaliyan, yang tumbuh pesat akibat kegiatan industri di Kecamatan Tugu, atau Kecamatan Sayung yang juga berkembang akibat adanya kegiatan industri di Kecamatan Genuk. 2.1.2.4 Perkembangan Aktivitas Ekonomi Perkotaan Karakteristik urbanisasi di Kawasan Metropolitan Semarang selain dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk perkotaan, juga dipengaruhi oleh perkembangan aktivitas ekonomi perkotaan. Adapun salah satu yang termasuk dalam ekonomi perkotaan ini adalah aktivitas industri, perdagangan dan jasa. Dari ketiga sektor ekonomi tersebut, selama tahun 1988 hingga 1998 (10 tahun) tingkat pertumbuhan tertinggi berada pada sektor jasa yakni sebesar 29,06%, lalu disusul sektor industri dan perdagangan berturut-turut 22,46% dan 24,27%. Ketiga sektor tersebut secara signifikan telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan urbanisasi di Metropolitan Semarang.

Kegiatan industri sangat erat kaitannya dengan jumlah tenaga kerja dimana adanya kegiatan industri yang menimbulkan bangkitan penduduk baik yang bersifat tetap (migrasi) maupun ulang-alik (commuter) untuk bekerja dan atau menetap di sekitar kawasan industri. Sedangkan untuk kegiatan perdagangan dan jasa,

perkembangannya lebih banyak dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana terutama sekali jaringan jalan. Pada umumnya kegiatan perdagangan dan jasa, selain yang berada di pusat Kota Semarang juga berkembang di sepanjang jalan utama di pinggiran Kota Semarang. Kondisi ini pada taraf lebih lanjut akan mendorong perkembangan aktivitas penduduk seperti perumahan, pendidikan, perkantoran atau jasa.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 17

Laporan Akhir

Faktor lain yang juga berpengaruh pada perkembangan ekonomi perkotaan adalah perkembangan nilai investasi PMA dan PMDN di Kota Semarang. Pada tahun 2001-2002, nilai investasi di Kota Semarang lebih didominasi oleh PMA. Ini menunjukkan tingginya nilai investasi ke Kota Semarang, yang berarti akan semakin tinggi pula konsentrasi aktivitas ekonomi di Kota Semarang sebagai kawasan metropolitan. 2.1.2.5 Dampak-dampak yang Timbul Adapun dampak-dampak yang timbul akibat terjadinya fenomena urbanisasi di Kawasan Metropolitan Semarang adalah sebagai berikut: a) Struktur Ruang dan Pemanfaatan Lahan Yang Tidak Terencana b) Penurunan Kualitas Pelayanan Infrastruktur c) Keterbatasan Daya Dukung Lingkungan untuk Kawasan Terbangun 2.2
2.2.1

FENOMENA SUB-URBANISASI Pinggiran Jakarta Pada mulanya, wilayah Metropolitan Jabotabek terdiri atas 7 wilayah administrasi. Namun sejak tanggal 29 April 1999, Kotatif Depok diresmikan menjadi Kota, sehingga wilayah Jabotabek saat ini berubah menjadi Jabodetabek yang meliputi : Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta; Kota Bogor; Kabupaten Bogor; Kota Tangerang; Kota Bekasi; Kabupaten Bekasi; Kota Depok (mulai diresmikan sejak tahun 1999). Fenomena perkembangan sub-urbanisasi di pinggiran Jabodetabek ini diwakili oleh Kota Tangerang yang merupakan wilayah yang secara langsung terkena dampaknya dari perkembangan wilayah barat Jakarta. Dan yang mewakili wilayah perluasan permukiman da industri Kota Jakarta di bagian selatannya adalah Kabupaten Bogor. Kedua

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 18

Laporan Akhir

wilayah ini secara representatif dapat mewakili perkembangan wilayah sub-urban dengan segala implikasinya terhadap pemanfaatan ruang. 2.2.1.1 Karakteristik Sub Urbanisasi Fenomena sub-urbanisasi di Indonesia lebih bercirikan sebagai globalisasi di kawasan sub-urban. Faktor-faktor pendorongnya

merupakan kombinasi dari kekuatan politik-ekonomi yang bergerak pada tataran makro hingga mikro. Hal ini kemudian berdampak pada perkembangan penggunaan lahan kota dan pola interaksi aktivitas yang berlangsung di atasnya, dan pada sisi lain terjadinya peningkatan eksploitasi lahan terutama konversi lahan pertanian produktif maupun kawasan konservasi dan perluasan kerusakan ekosistem lokal. Karakteristik sub urbanisasi di pinggiran Jakarta dicirikan oleh faktor-faktor sebagai berikut : a. Tingkat Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk kota yang semakin tinggi, maka tingkat perkembangan di wilayah pinggirannya juga akan semakin tinggi. Oleh karena itu perkembangan penduduk Kota Tangerang dipengaruhi oleh laju arus migrasi masuk ke Kota Tangerang. Migrasi ini diakibatkan tekanan penduduk Kota Jakarta yang setiap tahunnya terus meningkat sementara itu terjadi kelangkaan permukiman. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk kedua kota mengalami peningkatan setiap tahunnya sehingga proses urbanisasi masih akan berlangsung. Dengan demikian potensi perkembangan penduduk Tangerang dan Kabupaten Bogor akan semakin masif seperti yang terjadi di Jakarta. Hal ini akan berdampak langsung pada penggunaan lahan di wilayah sub-urban. Jika pada awalnya sebagian besar guna lahan wilayah sub-urban adalah lahan pertanian, lama kelamaan bergeser menjadi lahan permukiman dan industri. lahan di perkotaan terutama untuk aktivitas

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 19

Laporan Akhir

b.

Perkembangan Perumahan Skala Besar Pada umumnya pertumbuhan perumahan atau permukiman skala besar di Wilayah Jabotabek terjadi secara spontan. Dalam hal ini pola pertumbuhan atau perkembangan tidak mengikuti sistem kota-kota yang berjenjang. Akibatnya terjadi ketidakefektifan dan kurang efisiennya pelayanan jaringan prasarana. Selain itu, dengan adanya kota baru atau permukiman berskala besar beserta kegiatan ekonomi yang mengikutinya mendorong

perubahan ordo kota di beberapa kota kecil seperti Kota Cikupa, Pasar Kemis dan lain sebagainya. Perkembangan permukiman skala besar ditandai oleh pesatnya permintaan akan lahan untuk kegiatan usaha atau tempat hunian, khususnya kawasan perumahan sebagai akibat perkembangan ekonomi yang cukup pesat di Kota Jakarta. Sehingga

perkembangan permukiman di wilayah sub-urban Jabodetabek yang terjadi pada umumnya masih punya ketergantungan yang sangat tinggi dengan Kota Jakarta. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Botabek, batas peruntukan lahan untuk permukiman sebesar 159,780 Ha, sedangkan saat ini sudah terbangun untuk kawasan permukiman baik itu yang dibangun melalui developer maupun individu telah mencapai 67.483 Ha. Ini berarti telah terjadi fenomena perkembangan penggunaan lahan permukiman secara luar biasa yang melampaui batasan aturan normatif yang ada. c. Perkembangan Kawasan Industri Secara umum perkembangan penggunaan lahan di wilayah Bodetabek terutama kegiatan industri dan jasa pertumbuhannya cukup signifikan. Perkembangan industri yang mulai ke timur merupakan perluasan kawasan industri yang berada di Jakarta Utara. Hal ini disebabkan semakin padatnya kegiatan industri di Jakarta Utara yang telah mengarah pada penurunan kualitas lingkungan. Perkembang ini juga menyebar ke wilayah Barat Jakarta, dan juga sudah menjangkau wilayah Selatan Jakarta.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 20

Laporan Akhir

Salah satu dari bangkitan akbat tumbuhnya industri di beberapa wilayah Jakarta tersebut adalah pembangunan perumahan dalam skala besar. Hal ini terjadi akibat tuntutan kebutuhan tempat tinggal para pelaku industri/karyawan yang ingin bermukim di sekitar kawasan untuk mengurangi biaya transportasinya. d. Peningkatan Intensitas Pergerakan Aktivitas Kota Wilayah Jabotabek memiliki volume lalu lintas yang cukup tinggi terutama pada jam-jam puncak. Seperti pada ruas Jalan Daan Mogot yang menghubungkan Kota Tangerang DKI Jakarta arus lalu lintas kendaraan mencapai 47.880 unit. Besarnya volume kendaraan disebabkan oleh : Adanya kawasan industri skala menengah dan besar dengan pergerakan angkutan barang yang tinggi. Volume lalau lintas telah melebihi daya dukung jalan ( di atas 30%) terutama di kota-kota penyangga Jakarta. Sebagai pusat perdagangan dan jasa yang merupakan core pertumbuhan utama di wilayah Jabotabek. Mobilitas penduduk ke tempat kerja (DKI Jakarta), baik itu yang berasal dari Botabek maupun internal DKI Jakarta sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan pola ulang-alik (commuter) antara Jakarta Botabek semakin meningkat, terutama ruasruas jalan tertentu atau disimpul-simpul jalan tol. 2.2.1.2 Pola Keruangan Perubahan Pemanfaatan Lahan a) Intensitas Lahan Terbangun Pesatnya perkembangan sub-urban Kota tangerang secara

langsung berdampak pada perubahan pola keruangan lahan kota. Proporsi lahan terbangun dan lahan terbuka hijau di Kota tangerang sudah tidak ideal lagi yakni 26,22% untuk lahan terbuka hijau sementara lahan terbnagun telah mencapai 73,78%. Secara rinci penggunaan lahannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Dapat disimpulkan bahwa intensitas lahan terbangun berpengaruh besar terhadap pola keruangan pemanfaatan lahan. Hal ini

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 21

Laporan Akhir

diindikasikan oleh banyaknya kawasan-kawasan terbangun baik untuk perumahan, industri, perdagangan maupun aktivitas lainnya. b) Sebaran Fasilitas-Fasilitas Perkotaan Meningkatnya jumlah penduduk dan aktifitas masyarakat di wilayah sub-urban seperti yang terjadi di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bogor, dengan sendirinya memelurkan keberadaan fasilitas-fasilitas sosial. Dalam hal ini, fasilitas sosial yang dimaksud adalah fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, fasilitas olahraga. Peletakan Bandara Soekarno-Hatta di barat Jakarta dekat Tangerang juga merupakan upaya menyebarkan fasilitas kota agar tidak terakumulasi dalam satu kawasan. c) Sistem Jaringan Transportasi Ketersediaan jaringan transportasi yang semakin luas, seperti pembangunan jalan tol, jalan regional, ataupun penambahan jalur kereta api menyebabkan aksesbilitas dari Jakarta Botabek menjadi semakin mudah, apalagi jarak Jakarta Botabek relatif dekat sehingga memungkinkan untuk dilaju. Kondisi tersebut ditambah dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan permukiman menjadi salah satu katalisator perkembangan Kota Jakarta ke wilayah pinggiran (Jabotabek). Ini terlihat dari pembangunan beberapa jaringan transportasi yang ternyata sangat mempengaruhi perkembangan wilayah Jabotabek. Perkembangan sarana dan prasarana tansportasi di wilayah Jabotabek berkembang seiring perkembangan beberapa aktivitas utama yang potensial sebagai pembangkit lalu lintas seperti sektor perdagangan dan perumahan. Pada kegiatan perdagangan, dengan adanya pembangunan jaringan transportasi menyebabkan tumbuh kembangnya kawasan perdagangan, terutama di wilayah-wilayah pinggiran. Perkembangan aktivitas perumahan, terutama

perumahan skala besar sangat signifikan pengaruhnya terhadap sistem transportasi yang ada, sebab lokasi-lokasi perumahan juga merupakan pembangkit lalu lintas yang sangat besar.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 22

Laporan Akhir

2.2.1.3

Faktor-faktor Penyebab a) Harga Lahan Perkotaan Yang Semakin Mahal dan Meningkatnya Penjualan Lahan Di Kawasan Pinggiran Metropolitan Jabodetabek b) Pembangunan Transportasi c) Peningkatan Permintaan Perumahan bagi Masyarakat Golongan Menengah ke atas Kota Berbasis Pada Perluasan Jaringan

2.2.1.4

Dampak-dampak yang Timbul a) Peningkatan Kemacetan Lalu Lintas pada Pintu-Pintu Masuk Kota Fenomena kemacetan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Ibukota Jakarta. Hal yang lebih berpengaruh terhadap penduduk kemacetan penglaju lalu lintas Jakarta yang adalah di fenomena Wilayah

(commuter)

terdapat

Jabodetabek. Para commuter ini tidak hanya menggunakan kendaraan publik seperti bus, mikrolet atau kereta saja tetapi jumlah kepemilikan kendaraan pribadi meningkat, sementara kemampuan dyaa angkut tidak maksimal atau kurang dari kemampuan angkutnya. Hal itu semua berlangsung karena pada daerah Jabodetabek, mobilitas penduduk ke tempat kerja menunjukkan arah pergerakan ke DKI Jakarta. b) Perkembangan Kota yang Tidak Beraturan Pemanfaatan ruang yang terjadi di daerah sub-urban

menunjukkan pola yang menyebar, dimana aktivitas menjadi terpusat dan menimbulkan adanya kantong-kantong aktivitas terutama pada daerah sub-urban. Perkembangan kota yang mneyebar tersebut diakibatkan oleh tingginya harga lahan pada daerah perkotaan, sehingga untuk menyiasati pembangunan perumahan tersebut dilakukan pada daerah pinggiran. Sebaran aktivitas, terutama permukiman, yang tidak terpusat ini berdampak pada penyediaan fasilitas dan utilitasnya, yang menjadi tidak efisien, karena membutuhkan biaya investasi yang tinggi. c) Degradasi Lingkungan

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 23

Laporan Akhir

Masalah degradasi lingkungan adalah berupa : Terjadinya pemanfaatan lahan berupa permukiman padat di daerah resapan air. Fenomena tersebut mengakibatkan dampak berupa terganggunya siklus hidrologi yang dapat mengganggu ketersediaan air bersih bagi DKI Jakarta. Pemanfaatan lahan pada kawasan lindung sebagai daerah permukiman. Perkembangan tersebut dapat mengakibatkan bencana banjir di wilayah hulu sungai (Jakarta), Longsor/erosi di daerah Bogor. Reklamasi pantai di sepanjang pantai utara TangerangJakarta, yang dpaat mengakibatkan kerusakan pantai dan mudah masuknya air laut ke daerah daratan, karena reklamasi tersebut mengakibatkan terjadinya abrasi dan kerusakan hutan bakau.

2.2.2

Pinggiran Semarang Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Metropolitan Semarang adalah Kota Semarang yang memiliki penduduk 1.322.320 Jiwa (> 1 Juta Jiwa) termasuk didalamnya kecamatan-kecamatan yang secara administratif berada di dalam wilayahnya. Sedangkan wilayah pinggirannya adalah wilayah yang berbatasan langsung baik secara administratif maupun adanya keterkaitan teknis perkembangan sistem kota-kota terhadap Kota Semarang. Wilayah belakang tersebut antara lain Kecamatan Boja dan Kecamatan Kaliwungu (Kab. Kendal), Kecamatan Sayung, Mranggen, dan Karangawen (Kab. Demak), Kecamatan Ungaran, Bergas, dan Pringapus (Kab. Semarang). Pengambilan wilayah pinggiran Metropolitan Semarang seperti di atas adalah atas pertimbangan kemudahan dalam penyusunan programprogran pembangunan yang akan dilaksanakan secara terpadu.

2.2.2.1

Karakteristik Sub-Urbanisasi a. Tingkat Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Pertumbuhan dan kepadatan penduduk tertinggi di wilayah pinggiran Kota Semarang, terdapat di IKK Mranggen masing-

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 24

Laporan Akhir

masing sebesar 5,01% dan 1.730 jiwa/km2, kawasan Mranggen didominasi dengan aktivitas industri. Secara keseluruhan, wilayah pinggiran Kawasan Metropolitan Semarang pada tahun 1999 2000, terjadi peningkatan pertumbuhan dan kepadatan penduduk terutama untuk wilayah Kabupaten Kendal dan Demak, yakni IKK Sayung, Karangawen, dan Boja. Kecenderungan pengembangan pertumbuhan penduduk

mengarah pada wilayah pinggiran kota sebagai akibat dari perluasan aktivitas kota. Pusat kota yang tidak lagi mampu menampung desakan jumlah penduduk memberikan dampak yang cukup serius terhadap wilayah dipinggirannya (sub-urban). Sehingga batasan urban dan sub-urban lama kelamaan menjadi bias dan bahkan tidak ada batasan lagi. Pertambahan penduduk yang terus meningkat mengindikasikan bahwa perkembangan penduduk Kota Semarang menyebar kearah pinggiran kota (sub-urban) sehingga sebagai

konsekuensinya adalah terjadi perubahan guna lahan perkotaan. Selain itu meningkatnya pertumbuhan penduduk di wilayah suburban seperti yang terjadi di Banyumanik, Tembalang atau lainnya menyebabkan kemajemukan aktivitas masyarakat. Dan lambat laun wilayah-wilayah tersebut menjadi kota satelit bagi Semarang seperti halnya Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi sebagai kota peyanggga aktifitas masyarakat Jakarta. b. Perkembangan Perumahan Skala Besar Perkembangan permukiman baru di wilayah pinggiran

Metropolitan Semarang disebabkan berkurangnya daya dukung lingkungan permukiman di pusat Kota Semarang seperti kawasan yang secara fisik kurang atau tidak sesuai untuk kawasan terbangun. Hal tersebut diakibatkan karena kurangnya daya dukung lahan permukiman di pusat Kota Semarang, dan semakin tingginya harga lahan di pusat kota. Kondisi ini mendorong perkembangan perumahan skala besar yang siap bangun (siap huni) di wilayah pinggiran Kota Semarang.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 25

Laporan Akhir

Beberapa daerah di kawasan sub-urban Semarang yang memiliki karakteristik khusus untuk daerah perumahan, dapat dirincikan sebagai berikut : Di Metropolitan Semarang pengembangan perumahan

terbanyak adalah di Kecamatan Banyumanik dengan total luasan izin lokasi yang dimohon oleh 21 pengembang mencapai luas 384,67 ha. Disusul perumahan di Kecamatan Tembalang oleh 13 Pengembang dengan total luas izin lokasi 788,48 ha, kemudian pengembangan perumahan di Kecamatan Ngalian oleh 12 Pengembang dengan total luas izin lokasi 338,26 ha. Daerah Tugu dan daerah Genuk, daerah ini persebaran perumahan cukup pesat karena ditunjang oleh aksesibilitas yang baik, namun pengembangan ke arah ini perlu diperhatikan mengingat fungsi utama daerah ini adalah sebagai lahan industri. Perkembangan Kecamatan Mranggen yang cepat setelah adanya Perumahan Pucanggading dan Kecamatan Boja dengan adanya pembangunan Kota Baru Bukit Semarang Baru di Kecamatan Mijen. Adapun dampak ikutan dari pembangunan kawasan perumahan Bukit Semarang Baru secara umum membawa implikasi positif dan negatif. Dampak positif yang muncul adalah peluang kerja bagi masyarakat setempat, peningkatan kualitas infrastruktur, sebagai indikator peningkatan kesejahtertaan masyarakat, serta peningkatan nilai lahan. Sedangkan implikasi negatif yang muncul diantaranya adalah tidak terkontrolnya pertumbuhan wilayah suburban, menyempitnya lahan pertanian, kepadatan lalu lintas, pengelompokan masyarakat desa, serta perubahan ekologi lingkungan. Begitu juga hal pembangunan perumahan skala menengah dan besar di Kecamatan Tembalang meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Sesuai dengan peruntukan yaitu

kawasan pendidikan tinggi dan permukiman kota maka hampir


Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 26

Laporan Akhir

sebagian besar penggunaan lahan mengarah pada fungsi utama. Tetapi di beberapa pusat pertumbuhan seperti di Kelurahan Tembalang dan Bulusan, intensitas guna lahan mengarah kepada pengembangan kawasan pendidikan. Sehingga timbul

permasalahan yang serupa dengan di Kecamatan Banyumanik yaitu berupa penguasaan lahan oleh pengembang skala

menengah dan besar. Jumlah pengembang yang terdapat di Kecamatan Banyumanik sebanyak 14 pengembang dengan jumlah ijin lokasi yang dimohon sebesar 592,63 Ha atau sebesar 28% dari luas permukiman di Kecamatan Tembalang atau 13% dari luas keseluruhan di Kecamatan Tembalang khususnya di daerah yang berada jauh dari pusat kota seperti Kelurahan Tandang, Sendang Mulyo, dan Sendang Guwo. Sedangkan mengetahui lebih lanjut mengenai perbandingan ijin lokasi yang diperoleh terhadap penggunaan lahan permukiman di Kecamatan Tembalang dapat dilihat pada tabel berikut: Luas lahan yang dimiliki oleh para pengembang tersebut belum seluruhnya dibebaskan. Dari permintaan ijin lokasi seluas 592,63 ha, pihak pengembang baru dapat membebaskan lahan sekitar 373,8 ha atau sekitar 63% dari permohonan awal. Tanah yang telah dikuasai oleh pengembang sebagian besar baru

dimatangkan saja tanpa dilakukan pembangunan secara fisik. Keterlambatan ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya karena ada keterbatasan modal. Sehingga pihak pengembang hanya dapat membangun lahannya untuk kawasan permukiman sebesar 58,27 ha atau sekitar 9,8% dari luas ijin lokasi yang dimohon. Jika hal tersebut dibandingkan dengan Kecamatan Banyumanik maka lahan yang telah dibebaskan oleh pengembang di Kecamatan Tembalang jumlahnya jauh lebih kecil dari Kecamatan Banyumanik. Kondisi ini menyebabkan banyaknya lahan tidur di Kecamatan Tembalang, yang pada akhirnya juga menjadi penyebab pelayanan fasilitas seperti telepon dan transportasi menjadi terbatas. Fenomena ini merupakan salah satu pemicu terjadinya perkotaan terpencar, di mana penduduk tidak
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 27

Laporan Akhir

dapat mendirikan bangunan di lahan tersebut karena lahan tersebut telah dikuasai oleh para pengembang. c. Perkembangan Kawasan Industri Pengembangan kegiatan industri di wilayah pinggiran Metropolitan Semarang terdapat di Kecamatan Sayung, Kaliwungu dan Ungaran. Adanya kegiatan industri tersebut ternyata berdampak terhadap perkembangan wilayah pinggiran Semarang, khususnya daerah-daerah yang merupakan lokasi kegiatan industri. Pada umumnya daerah-daerah yang merupakan lokasi industri

mengalami transformasi penduduk dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan yang lebih cepat dibanding daerah lain. Hal tersebut ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk di beberapa kecamatan di wilayah pinggiran Metropolitan Semarang yang cenderung meningkat sebagai indikasi perkembangan suatu wilayah kearah pinggiran perkotaan. Selain itu perkembangan wilayah pinggiran Metropolitan Semarang akibat kegiatan industri juga ditunjukkan oleh proporsi tenaga kerja sektor industri yang relatif besar dibandingkan sektor lain kecuali sektor pertanian. d. Peningkatan Intensitas Pergerakan Perkembangan daerah-daerah pinggiran Metropolitan Semarang baik dari aktivitas permukiman maupun industri menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas pergerakan sehingga dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas pada ruas-ruas jalan tertentu sebab terjadi peningkatan volume kendaraan pribadi. Selain itu, intensitas pergerakan juga meningkat pada kawasan-kawasan yang memiliki peruntukan lahan untuk kegiatan industri di Kecamatan Tugu, Genuk, Kaliwungu dan Sayung akibat

penggunaan jalur transportasi bersama (jalur Pantura Jakarta Surabaya) sehingga volume kendaraan yang lewat semakin meningkat. Selain itu pembangunan jalur transportasi darat yang baru di Metropolitan Semarang mampu mendorong perkembangan

wilayah di sekitarnya yang ditandai dengan adanya peningkatan intensitas pergerakan. Berikut ini adalah pembangunan prasarana
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 28

Laporan Akhir

jalan yang mempengaruhi perkembangan wilayah pinggiran Metropolitan Semarang:

a) Arteri Primer yang menghubungkan Kota Semarang Bawen


Yogyakarta serta Semarang Bawen Solo. Jalur ini merupakan jalur propinsi dengan intensitas pergerakan

tertinggi. Menyebabkan perkembangan Kota Ungaran dan sekitarnya, selain akibat adanya kegiatan industri yang dialokasikan di sekitar Ungaran.

b) Kolektor Primer, menghubungkan Kota Semarang Purwodadi


yang berpengaruh terhadap perkembangan Kota Mranggen sebagai daerah permukiman.

c) Pembangunan Jalan Tol Semarang yang mehubungkan Jalan


Sukun Teuku Umar Krapyak Majapahit Kaligawe yang menyebabkan perkembangan beberapa wilayah pinggiran di Metropolitan Semarang.

d) Pembangunan beberapa jalan arteri seperti jalan arteri di


daerah Pedurungan yang menyebabkan perkembangan Kecamatan Pedurungan menjadi lokasi permukiman. Besarnya arus pergerakan manusia ditandai dengan seberapa besar tingkat ulak-alik (comutting) penduduk setempat dalam menjangkau aktifitas perkotaan. Seperti diketahui bahwa

banyaknya permukiman di kawasan Banyumanik berdampak serius pada menjejalnya sistem aktifitas yang ada. Sementara ini penduduk Banyumanik yang notebene-nya adalah pendatang menyebabkan arus pergerakan lebih terkonsenrasi pada CBD (central business district) terdekat seperti Kota Semarang dan Ungaran, karena kedua kota ini merupakan tujuan aktifitas maupun tempat bekerja penduduk Banyumanik. Selain itu pergerakan aktifitas kawasan masih terkonsentrasi pada kawasankawasan strategis yang berada pada jalur transportasi dengan memanfaatkan potensi pasar. 2.2.2.2 Pola Keruangan Perubahan Pemanfaatan Lahan a) Intensitas Lahan Terbangun
II - 29

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Laporan Akhir

Intensitas lahan terbangun di kawasan pinggir Kota Semarang pada tahun 2001 relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan lahan tidak terbangun. Kondisi lahan terbangun yang ada di wilayah pinggiran Kota Semarang sudah mencapai angka 30% kecuali di Karangawen, Kaliwungu dan Pringapus masih dibawah 20%. Pada kawasan yang lahan terbangunnya masih berada di bawah 20% secara riil masih memiliki kelonggaran dalam hal pendirian bangunan baru. Sementara pada kawasan yang memiliki prosentase lahan terbangun di atas 30% seperti di Mranggen, Boja, Sayung, Ungaran dan Bergas, kontrol terhadap pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang harus diperketat. Karena pada kawasan ini sebagian besar merupakan lahan persawahan sebagai salah satu basis sumber pangan Metropolitan Semarang. Proporsi intensitas lahan terbangun paling besar adalah lahan permukiman dan perumahan. Lokasinya tersebar di Banyumanik dan Tembalang, dengan pola ruang yang tidak terstruktur dan bersifat sporadis. b) Sebaran Fasilitas-Fasilitas Perkotaan Sebaran fasilitas-fasilitas perkotaan pada umumnya masih

terpusat di CBD Semarang. Pada Kawasan Sub-urban Kota Semarang sebaran fasilitas-fasilitas perkotaan sebagian besar berupa aktivitas industri, perumahan dan pendidikan. Wilayah pinggiran yang ditumbuhi kawasan industri paling banyak adalah di Kecamatan Sayung sepanjang Jalan Arteri Primer Semarang Demak (Pantura). Selain itu di Kecamatan Tugu juga tak kalah pesatnya yaitu di sepanjang Jalan Arteri Primer Semarang Kendal. Di selatan Kota Semarang pertumbuhan industri terdapat di sepanjang ruas jalan menuju Ungaran. Sedangkan untuk perumahan tumbuh dan berkembang di Ngalian sebagai dampak akan kebutuhan tempat tinggal bagi buruh industri yang ada di Kecamatan Tugu. Selain di Kecamatan Tugu, pengembangan perumahan juga tumbuh pesat di Kecamatan Banyumanik, yang menjawab kebutuhan tempat tinggal bagi pembukaan titik

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 30

Laporan Akhir

pertumbuhan

baru

yang

dianggap

cepat.

Selain

itu

juga

merupakan antisipasi kebutuhan akan perumahan bagi tumbuhnya pusat pendidikan tinggi yakni Kampus Baru UNDIP di Tembalang. c) Sistem Jaringan Transportasi Jaringan transportasi di pinggiran Metropolitan Semarang tidak terlepas dari sistem yang ada di dalam Kota Semarang sendiri. Akses ke luar Kota Semarang dihubungkan oleh 5 (lima) jalan arteri, empat diantaranya arteri primer yaitu: Jalan Semarang Demak/Surabaya, Jalan Semarang Kendal/Jakarta, Jalan Semarang Purwodadi Jalan Semarang Ungaran/Yogyakarta dan satu jalan arteri sekunder dari Semarang menuju arah Boja. Di dalam Metropolitan Semarang sendiri terdapat Jalan Tol Semarang. Di sebelah barat berpangkal di Krapyak, sedangkan sebelah timur berawal di Kaligawe yang kedua-duanya bertemu di pintu tol Jatingaleh. Akhir dari tol ini adalah di Banyumanik selanjutnya menyebar atau terus ke Jalan Setiabudi langsung menuju Yogyakarta atau Solo. Permasalahan yang muncul sehubungan dengan transportasi di pinggiran Metropolitan Semarang ini adalah kurang terkoordinirnya aktivitas angkutan perkotaan, dimana dibiarkannya mobil pribadi dijadikan angkutan umum. Permasalahan ini muncul akibat kurangnya moda transportasi yang ada di pinggiran kota. Selain itu masih banyak kawasan pinggiran yang belum tersentuh oleh jalur angkutan kota, maka muncul terminal ojek bagi warga yang membutuhkan dengan biaya cukup tinggi bila dibandingkan dengan angkutan kota. 2.2.2.3 Faktor-faktor Penyebab Faktor-faktor yang mendorong terjadinya sub-urbanisasi di wilayah pinggiran Metropolitan Semarang antara lain: a) Harga Lahan Perkotaan yang Semakin Mahal dan Meningkatnya Penjualan Lahan di Kawasan Pinggiran Metropolitan Semarang. b) Pembangunan Transportasi
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 31

Kota

Berbasis

pada

Perluasan

Jaringan

Laporan Akhir

c)

Peningkatan Permintaan Perumahan bagi Masyarakat Golongan Menengah ke Atas.

2.2.2.4

Dampak-dampak yang Timbul Dampak yang ditimbulkan dari sub-urbanisasi di wilayah pinggiran Metropolitan Semarang adalah sebagai berikut: a) Peningkatan Kemacetan Lalu Lintas pada Pintu-pintu Masuk Kota Perkembangan wilayah pinggiran yang tidak diimbangi dengan penyediaan fasilitas yang memadai mampu memberikan

permasalahan tersendiri bagi kota induk salah satunya adalah kemacetan lalu lintas. Hal ini disebabkan penduduk di wilayah pinggiran sebagian besar aktivitasnya masih berlangsung di kota induk sehingga pada saat mereka akan melakukan aktivitasnya di kota secara bersamaan akan terjadi kemacetan lalu lintas akibat penumpukan kendaraan pribadi di pintu masuk kota. Hal ini dapat dilihat di salah satu wilayah pinggiran Metropolitan Semarang, yaitu Mranggen, dimana pada pagi dan sore hari terjadi kemacetan lalu lintas akibat penumpukan kendaraan pribadi (sepeda) maupun angkutan umum yang membawa penduduk Mranggen bekerja di Semarang. Selain itu perkembangan Banyumanik yang membentuk sistem aktivitas kota mengakibatkan terjadinya perubahan guna lahan yang cenderung menyebar/meloncat (froging) sehingga tidak membentuk sistem fungsi lahan yang compact. Selain itu perkembangan sektor-sektor perdagangan, industri dan jasa di ruas jalan tersebut berdampak kepada terganggunya sistem transportasi wilayah. Salah satunya adalah kondisi kelas jalan sudah tidak mampu lagi menahan beban arus lalu lintas dan jenis kendaraan yang melintasinya. Adapun industri-industri yang berada pada ruas jalan tersebut diantaranya PT. Kubota Indonesia, PT. Yuwono Setiabudi, PT. Jamu Jago, PT. Mega Rubber Factory, dan lain-lain. Pengaruh yang tidak kalah penting adalah keberadaan Swalayan ADA dan pintu tol Banyumnaik dan Jatingaleh.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 32

Laporan Akhir

b)

Perkembangan Kota yang Tidak Beraturan Pertumbuhan penduduk yang tinggi menuntut adanya kebutuhan ruang kota guna mampu menampung aktivitas penduduk yang selalu berkembang. Di satu sisi perkembangan aktivitas penduduk kota mendorong perubahan dan perkembangan kebutuhan lahan dan ruang kota, sedangkan di sisi lain kebutuhan lahan kota yang terbatas menyebabkan pemenuhan kebutuhan akan ruang kota, salah satunya terpenuhi di wilayah pinggiran kota induk. Seperti pertumbuhan penduduk Banyumanik yang tinggi menuntut adanya pengendalian pemanfaatan lahan kota yang mampu menampung aktivitas penduduk yang juga selalu berkembang. Penyebab utama ketidak teraturan guna lahan disebabkan oleh tidak meratanya persebaran fasilitas kota yanhg hanya

terkonsentrasi di salah satu pusat kota saja. Dengan kata lain perkembangan fasilitas fisik meloncat (urban sprawl) sehingga tidak ada kesatuan dari perkembangan ruang-ruang aktivitas perkotaan yang menyebabkan perkembangan lahan perkotaan menjadi tidak terkendali. c) Degradasi Lingkungan Dampak sub-urbanisasi di wilayah pinggiran ditinjau dari segi

lingkungan hidup adalah turunnya kualitas lingkungan hidup seperti tingkat polusi dan kebisingan di kawasan semakin meningkat, hilangnya lahan konservasi dan penurunan muka air tanah akibat tingginya pemenuhan akan lahan terbangun. Kenyataan penurunan luasan lahan konservasi maupun

penurunan muka air tanah akan menimbulkan bencana banjir, longsor pada kawasan lokal maupun kawasan di bawahnya. Pertambahan jumlah penduduk dan penggunaan lahan

berdampak langsung kepada struktur ekologis lingkungan seperti berkurangnya daya permeabilitas tanah, suhu udara yang meningkat, berkurang kandungan air tanah dalam bumi dan berkurangnya sistem drainase alam. Seperti pada kawasan Banyumanik, indikasi ke arah tersebut sudah terlihat dengan adanya gejala yang terjadi seperti ;
Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban II - 33

Laporan Akhir

1. Tingginya

intensitas

penggunaan

lahan

kawasan

yang

mengabaikan persyaratan KDB dan KLB sehingga kepadatan kurang terkendali dan tingkat run off wilayah di bawahnya. 2. Berkurangnya lahan kosong sebagai drainase dengan yang tinggi kepada

meningkatnya intensitas lahan terbangun seperti di kelurahan Banyumnaik, Ngesrep dan Sumurboto. 3. Berkurangnya ruang hijau akibat aktivitas penggunaan lahan yang tidak teratur seperti di beberapa jalur tranportasi kawasan.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan & Sub Urban

II - 34

Anda mungkin juga menyukai