Anda di halaman 1dari 4

1.

Depolitisasi negara Menurut Ariel, depolitisasi negara merupakan pilihan yang tidak terelakkan sesuai dengan pilihan pembangunan politik-ekonomi yang dipilihnya. Upaya memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan modal dan teknologi asing, tenaga kerja domestik yang murah, serta jaringan borjuasi non-pribumi, menuntut terpeliharanya stabilitas dan keamanan semaksimal mungkin. Ketegangan, apalagi konflik sosial, merupakan buntut logis dan sekaligus ancaman potensial yang harus ditekan dengan cara apa pun. Depolitisasi lewat bujukan ideologis ataupun tekanan kekerasan merupakan salah satu bentuk praktis bagi upaya penghindaran konflik. Meskipun demikian, kata Ariel, semua hal tersebut belum cukup menjelaskan apa yang terjadi dalam masyarakat luas, dan secara khusus dalam kegiatan bersastranya. Kehidupan masyarakat luas tidak ditentukan hanya oleh keinginan dan kepentingan atau bahkan kekuatan negara. Lagipula, usaha depolitisasi negara pada bidang kesusastraan dapat dibilang sangat minim. Tidak lebih daripada beberapa bentuk sensor bagi yang dianggap mengancam status quo atau penghargaan bagi kesusastraan yang apolitis. Oleh karena itu, kecenderungan apolitis dalam kesusastraan resmi tidak cukup hanya dijelaskan dengan faktor tersebut. 2. Pengalaman Sejarah Masyarakat Luas Menurut Ariel, pengalaman masyarakat luas persis pada tahun-tahun awal terbentuknya Orde Baru merupakan faktor pendukung proses depolitisasi di atas. Pada tahun-tahun itu terjadi pembantaian ratusan ribu warga negara dalam waktu yang relatif singkat yang tidak dapat dijelaskan baik pelaku, korban, maupun motifnya. Yang jelas, peristiwa itu bukan merupakan program rekayasa negara. Yang juga agak jelas, dalam peristiwa tersebut, simbol-simbol politik seringkali dipakai sebagai bahan acuan. Pengalaman itu masih meninggalkan trauma besar hingga kini. Dan trauma itu diasosiasikan sebagai akibat berpolitik, ikut-ikutan berpolitik, atau bahkan sekedar dituduh ikut berpolitik.

Kedua faktor di atas, bagi Ariel, menciptakan lingkungan sosial yang tidak mendukung pertumbuhan aneka aspirasi politik masyarakat dan persaingan mereka dalam suatu ajang demokrasi yang bebas terbuka yang penuh gairah. Akan tetapi, lanjut Ariel, semua itu pun belum menjelaskan bertahan dan berlanjutnya gairah besar untuk bersastra yang apolitis itu. 3. Sejarah Kesusastraan Resmi itu Sendiri Kurang lebih berbarengan waktu dengan peristiwa sosial tersebut, kesusastraan Indonesia mutakhir yang diresmikan mengawali masa kejayaannya. Masa itu ditandai dengan tumbangnya Lekra yang mempunyai semboyan institusional Politik adalah Panglima. Kelompok inti pembentuk kesusastraan Indonesia mutakhir yang resmi, Manifestasi Kebudayaan, secara tegas menolak semboyan itu. Mereka bertekad bersastra sebaik-baiknya, bukan berpolitik. 4. Hegemoni Estetika Ariel mengatakan bahwa doktrin estetika humanisme universal dari kaum Manifes Kebudayaan ternyata menyediakan peluang dan akomodatif terhadap politik apolitis tersebut. Hal inilah yang membedakan watak politik kesusastraan resmi dari bentuk-bentuk yang lain. Sementara faktor-faktor yang disebutkan tadi juga berpengaruh terhadap kesusastraan non-resmi, estetika humanisme universal menjadi beban dan sekaligus kekuatan khusus kesusastraan yang kini diresmikan. Salah satu kecaman pedas yang paling sering diterima kesusastraan resmi ialah keasyikannya bereksperimen dengan estetika bentuk formal yang secara agak seragam bersifat non-realis dan anti-sejarah. 5. Perkembangan Teknologi Komunikasi Menurut Ariel, ada satu kekuatan sosial lain yang ikut memperlemah daya politis kesusastraan resmi. Kekuatan itu adalah teknologi komunikasi massa yang telah merombak kedudukan dan kekuatan sastra sebagai salah satu bentuk medium bermasyarakat.

Hingga awal atau pertengahan abad ini, sastra menjadi salah satu kekuatan politik yang sangat ampuh sebagai pendukung ataupun pembangkang puncak kekuasaan dalam masyarakat. Politikus profesional dan cendekiawan politis Indonesia di awal abad ini banyak yang menyalurkan aspirasi politiknya dalam medium sastra. Mereka bersastra, berpolitik, dan bersastra politik pada saat teknologi komunikasi massa elektronik masih sangat terbatas. Koran, sebagai media massa yang waktu itu sangat berpengaruh, merupakan lahan terpenting bagi pertumbuhan kesusastraan mereka. Sejak terpacunya proses pencanggihan teknologi dalam masa Orde Baru, para negarawan, politikus, dan cendekiawan politis Indonesia sadar betul bahwa sastra dalam pengertian yang konvensional dan diresmikan tidak lagi menjadi medium yang efektif. Bersamaan dengan koran dan berbagai jurnal, televisi dan industri film telah menjadi alternatif yang terkuat. Dalam media massa inilah para pemikir politik yang paling berpengaruh dan pejabat pemerintahan bersastra politik. Itulah sebabnya, lahan inilah yang paling politis dan banyak menjadi sponsor dan sensor politik negara.

Anda mungkin juga menyukai