Haruskah cinta dikorbankan Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu Dalam sunyi Dalam gelap Di tengah keramaian Di bawah bulan perak Di terik mentari Di bayang kedamaian pohon Di sela semilir angin Di antara gemiricik sungai Aku ada untukmu Selayaknya kau ada untukku Selamanya Meski sangkakala terpagut manis dunia
Saya menafsirkan sajak ini adalah tentang dua anak manusia yang masing-masing keberadaannya saling memberikan arti. Di kala susah di kala senang. Meskipun begitu, ternyata di sini cinta masih dipertanyakan. Apakah semua terjadi atas nama cinta? Seperti yang tertulis pada bait ke-3, yang kemudian dilanjutkan pada bait berikutnya: Apakah ini cinta? Pun ketika jemari bertautan Kau masih menanyakan cinta Tetapi pada bait ke-8 saya menemukan kontradiksi pada makna yang ingin disampaikan. Ketika sebelumnya cinta masih dipertanyakan keberadaannya, pada bait ini cinta seolah sudah sudah hadir (mewujud) sejak awal: Aku, KauKita Haruskah cinta dikorbankan Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu Sehingga yang ingin disampaikan sedikit menjadi rancu: keberadaan cinta yang dipertanyakan, atau cinta (yang sudah ada) yang harus dikorbankan?. Pada bait penutup tertulis, Meski sangkakala terpagut manis dunia, di mana sangkakala yang dalam KBBI berarti terompet; terompet yang berbunyi secara berkala namun dapat juga diartikan sebagai diambang kiamat/kiamat telah datang yang dilanjutkan dengan terpagut manis dunia. terpagut dalam KBBI berarti mematuk, mencatuk. Maka saya menafsirkan bait ini adalah suatu kebahagian yang harus berakhir/direnggut oleh sesuatu yang menyakitkan. Dan kalau memang pesan itu yang ingin disampaikan, menurut saya pilihan kata yang pas adalah memagut dan bukannya terpagut. Mengacu pada sajak yang sejatinya merupakan kumpulan kata-kata (simbol/lambang) hasil dari imajinasi -yang kreatif- yang memberikan pengalaman baru yang bermakna, tidak dapat saya temukan pada sajak ini. Meskipun demikian, bagi saya menulis puisi adalah sebuah
proses belajar dan 'mencari' yang tidak akan pernah ada habisnya. Akhir kata, seperti tulisan penyair Sutardji Calzoum Bahri dalam kumpulan esai-nya Isyarat terbitan Indonesia Tera, menulis sastra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan, menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas. Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau mencipta foto lain yang beda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekedar membayang dari bawah tulisanmu.
Coba simak saja potongannya di bawah ini : I Kenapa pagi menjelang sebelum usai meniti malammu Kenapa raut mewangi semerbak kamboja di ulu matiku Kenapa cemas kian bergelayut dibalik culas senyummu Kenapa puisi berdenyut di sela bunga-bunga layu Suguhkan padaku seraut kepedihan di lain hatimu Tawarkan padaku segenggam asa pada ranah berbeda Lemparkan padaku kepingan paling nyiyir sudut lukamu Dan cerucuk bahagiamu, simpanlah sendiri dalam saku! [Judul Fragmen Senja] Semua penulis puisi, sekali lagi saya ulang pada fase-fase awal dia menulis menurut hemat saya akan mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh penulis puisi Fragmen Senja ini. Di mana tendensi ingin menyajikan kata-kata yang dianggap puitis memilih kata-kata yang membuai-buai dengan tangkapan kesan romantik yang difahami banyak orang dalam anggapannya. Pada paragraf pertama, penulis seperti ingin menunjukkan pola repetisi penulisan puisi dengan model pengulangan pertanyaan berawalan kata tanya yang sama di awal kalimat. Sayang sekali kedua hal itu malah memperkuat kesan klise yang lebih muncul ke permukaan. Jangan lupa bahwa dalam penulisan puisi salah satu hal penting yang membedakannya dengan karya prosa adalah efektifnya pilihan kata. Kata-kata dipilih sedemikian rupa agar kata-kata yang muncul memberikan dan membangkitkan efek puitik pembaca, seorang kawan penyair pernah menyebutnya sebagai semacam daya tenung yang ditangkap di hati pembaca, tusukan yang segera bisa dirasakan siapapun pembacanya tanpa menimbulkan kesan boros kata. Dalam konteks isinya, si penulis juga seperti ingin membuat pola paradoks dengan mengatakan bahwa mu lirik pada setiap kalimat itu menampilkan sosok penipu dengan banyak mengajukan silang maksud di paragraf pertama repetisi di atas dan menutupnya dengan Lemparkan padaku kepingan paling nyiyir sudut lukamu/ Dan cerucuk bahagiamu, simpanlah sendiri dalam saku!. Kesan paradoks akan muncul dan segera ditangkap dengan baik oleh pembaca manakala sang penyair mampu membuat sebuah kejutan yang tentu saja tak diduga-duga sebelumya akan berakhir seperti itu dalam pembacaan pembaca atas puisi sang penyair. Oleh karennya memang penyair membuat tema semacam ini adalah dengan menutupnya di bagian akhir sajak. Sementara dalam puisi ini, sejak awal sesungguhnya penulis sudah memberi semacam petunjuk dari caranya menunjukan pertanyaan yang sayangnya sudah bisa ditebak oleh pembaca sejak awal. Bahwa rangkaian kata itu hanya akan bernada sama, yakni maksud yang terbalik dari apa yang ditampilkan oleh si mu lirik. Kalau petunjuk itu begitu jelas, lalu bagaimana mungkin kita akan merasakan keterkejutan di akhir kalimat?
Misalnya dengan mengatakan Kenapa pagi menjelang sebelum usai meniti malammu/ Kenapa raut mewangi semerbak kamboja di ulu matiku/ Kenapa cemas kian bergelayut dibalik culas senyummu/ Kenapa puisi berdenyut di sela bunga-bunga layu. Rentetan ungkapan pertanyaan yang jelas sekali kemana arah jawabannya. Paradoks, kontras dan ironi [ketiganya boleh dibilang sama], dihadirkan oleh penyair di dalam sajak untuk mengejutkan pembaca, untuk merenggut perhatian pembaca sajaknya. Demikian kalau kita setuju kepada A Teeuw yang pernah bilang bahwa tugas penyair adalah mengejutkan si pembaca, oleh penyimpangan dari pemakaian bahasa yang sudah terbiasa, sudah familiar, usang dan luntur. Kita bisa melihat contoh puisi lain yang ditulis Joko Pinurbo misalnya yang dalam beberapa sajaknya menunjukkan kesan paradoks yang berhasil. Coba kita simak sajak ini :