Anda di halaman 1dari 6

Minggu, 10 Januari 2010 - 14:08:07 WIB Zakat pada Zaman Nabi dan Para Sahabat Diposting oleh : Administrator

Kategori: Baz - Dibaca: 1262 kali Pada zaman Nabi Muhammad SAW pada tahap awal hijrah di Madinah, zakat belum dijalankan. Pada tahun pertama di Madinah itu, Nabi dan para sahabatnya beserta segenap kaum muhajirin (orang orang Islam Quraisy yang hijrah dari Mekah ke Madinah disebut muhajirin) masih dihadapkan kepada bagaimana menjalankan usaha penghidupan di tempat baru tersebut. Sebab selain memang tidak semua di antara mereka orang yang berkecukupan, kecuali Usman bin 'Affan, juga karena semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki ditinggal di Mekah. Kalangan anshar (orang orang Yatsrib, Madinah yang menyambut dan membantu Nabi dan para sahabatnya yang hijrah dari Mekah dan Madinah disebut anshar) memang telah menyambut dengan bantuan dan keramah-tamahan yang luar biasa, namun mereka tidak mau hidup membebani orang lain. Itulah sebabnya mereka bekerja keras untuk usaha penghidupan mereka. Mereka beranggapan pula bahwa tangan di atas lebih utama dari tangan di bawah. Keahlian orang-orang Mekah yang muhajirin tersebut ialah berdagang. Suatu ketika Saad bin Al Rabi' Inenawarkan hartanya kepada Abdurahman bin 'Auf, yang muhajirin. Akan tetapi Abdurahman menolaknya. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Dalam waktu tidak lama dengan kecakapannya berdagang ia telah dapat mencapai kekayaan kembali. Bahkan sudah mempunyai kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa dagangan. Selain Abdurahman, orang-orang muhajirin lainnya banyak juga yang melakukan hal serupa. Karena kepandaian orang-orang Mekah memang berdagang, hingga ada orang mengatakan : dcngan perdagangannya itu ia dapat menggubah pasir sahara menjadi emas. Perhatian orang-orang Mekah kepada perdagangan ini di dalam Al-Quran terungkap pada ayat-ayat yang mengandung kata-kata tijarah (QS An Nur, ayat 37). Mereka yang tidak melakukan pekerjaan berdagang ialah Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Talib dan lain-lain. Keluarga keluarga mereka terjun ke pertanian, menggarap tanah orang-orang anshar bersama-sama pemiliknya. Tetapi selain mereka ada juga yang harus menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup. Sungguh pun begitu, mereka tidak mau hidup menjadi beban orang lain. Mereka pun membanting tulang bekerja, dan dalam bekerja itu mereka merasakan ketenangan batin, yang selama di Mekah tidak pernah mereka rasakan. Di samping itu ada lagi segolonan orang-orang Arab yang datang ke Madinah dan menyatakan masuk Islam, dalam keadaan miskin dan serba kekurangan, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak punya tempat tinggal. Bagi mereka ini oleh Nabi Muhammad disediakan di sekeliling masjid, yaitu shuffa (bahagian maslld yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu mereka disebut Ahlush~Shuffa (Penghuni Shuffa). Belanja mereka diberikan dari harta kaum muslimin baik dari kalangan muhajirin maupun anshar yang berkecukupan.

Dalam suasana kaum muslimin yang sudah mulai tenteram menjalankan tugas-tugas agama pada waktu itu kewajiban zakat dijalankan pelaksanaan hukumnya. Di Yatsrib inilah Islam mulai menemukan kekuatannya. Pada masa sahabat Empat yang pertama, Khalifah Abu Bakar, mereka yang terkena kewajiban membayar zakat tetapi enggan melakukannya diperangi dan ditumpas karena dianggap memberontak kepada hukum agama. Hal ini menunjukkan betapa zakat merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar. Pada masa Nabi harta benda yang dizakati yaitu, binatang ternak : kambing, sapi, unta; barang barang yang berharga : emas dan perak : tumbuh tumbuhan : syair (jelai), gandum, anggur kering (kismis) dan kurma. Akan tetapi kemudian berkembang macamnya sejalan dengan sifat perkembangan pada harta atau sifat penerimaan untuk diperkembangkan pada harta tersebut, yang dinamakan "illat" Berdaasarkan "illat" itulah ditetapkan hukum zakat seperti disinggung pada bab terdahulu. Oleh karena itu pada masa Nabi Muhammad SAW tidak diwajibkan zakat pada kuda, karena kuda hanya diperlukan untuk peperangan. Sebaliknya pada masa Khalifah Umar bin Khattab dikenakan zakat atas kuda, karena kuda sudah diperkembangkan melalui peternakan. Demikian juga pada masa Nabi hingga masa thabi'in tak ada zakat pada rumah, karena rumah hanya untuk tempat kediaman. Akan tetapi setelah rumah didirikan untuk disewakan yakni mendatangkan hasil dengan disewakan, maka Imam Ahmad Hambali mengeluarkan zakat dari hasil sewa rumahnya. Begitu seterusnya mulai zaman sahabat harta yang dizakati berkembang sesuai dengan sifat perkembangan harta itu sendiri. http://zakat-baz-bantul.org/berita-111-zakat-pada-zaman-nabi-dan-para-sahabat.htm Hadits yang Ditulis pada Masa Nabi Sedikit? DR. Daud Rasyid, M.A

Selanjutnya, di sini akan dijelaskan tentang jumlah hadits yang ditulis pada masa Nabi saw. Apakah benar jumlahnya kecil, seperti yang diragukan oleh sebagian orang? Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, riwayat para sabahat yang langsung menulis hadits Nabi pada generasi pertama berikut ini bisa dijadikan rujukan. Dalam hal ini, riwayat mereka lebih kuat dan tidak bisa diragukan lagi. Riwayat-riwayat tersebut antara lain sebagai berikut. Shahifah Abdullah bin 'Amr 1. Abdullah bin 'Amr berkata, "Dulu aku menulis setiap yang kudengar dari Rasulullah saw. karena ingin menghafalnya. Namun, kaum Quraisy melarangku dan berkata, 'Kamu menulis

setiap yang kau dengar dari Rasulullah saw.? Padahal, beliau adalah manusia yang berbicara dalam keadaan marah dan senang.' Maka, aku berhenti menulis sampai mengadukan hal ini kepada Rasulullah saw. Beliau lalu bersabda, 'Tulislah, demi diriku yang ada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dariku kecuali kebenaran'." (Sumbernya tidak tertulis di dalam buku Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, MA, [Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 52]). Riwayat ini menjelaskan bahwa Abdullah bin 'Amr pernah menulis hadits-hadits yang ia dengar langsung dari Rasulullah saw. Riwayat berikut ini juga menjelaskan tentang izin Nabi saw. untuk menulis hadits. 2. Abdullah bin 'Amr menceritakan, "Aku minta izin kepada Nabi saw. untuk menulis apa yang aku dengar dari beliau. Beliau mengizinkan dan aku pun menulisnya." Abdullah memberi nama lembarannya itu dengan Ash-Shadiqah. (Sunan Abu Daud, Kitab al-'Ilm, Bab fi Kitab al-Ilm, juz 4, hlm. 60-61, no. hadits 3545; Sunan ad-Daraimi, juz 1, hlm. 125; Al-Hakim, juz 1, hlm. 105106; Musnad Ahmad, Tahqiq Ahmad Syakir, juz 10, hlm. 15). 3. Mujahid menuturkan, "Aku melihat lembaran pada Abdullah bin 'Amr, lalu aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Ia menjawab, "Ini adalah Ash-Shadiqah yang memuat apa yang kudengar langsung dari Rasulullah saw. tanpa perantara." (Sumbernya tidak tertulis di dalam buku Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, MA, [Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 52]). Berbagai riwayat ini mengisyaratkan bahwa Shahifah ash-Shadiqah milik Abdullah bin 'Amr memuat jumlah hadits yang cukup banyak, karena ia menulis setiap yang ia dengan dari Rasulullah saw. Wajar, jika Abdullah bin 'Amr dikenal banyak meriwayatkan hadits. Hal ini diakui sendiri oleh Abu Hurairah r.a., seorang sahabat yang memiliki daya ingat yang kuat dan paling banyak meriwayatkan hadits. Hal ini adalah berkat doa Rasulullah saw. agar dia diberi hafalan yang kuat. Semua ini semakin membuktikan betapa banyak hadits yang ditulis Abdullah bin 'Amr. Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dengan sanadnya bahwa Abu hurairah berkata, "Tidak ada sahabat Nabi saw. yang lebih banyak meriwayatkan hadits daripada saya, kecuali Abdullah bin 'Amr, sebab ia menulis sedang aku tidak menulis." (Shahih Bukhari, Kitab Al-'Ilm, no. hadits 113). Abu Hurairah mengakui bahwa jumlah hadits Abdullah bin 'Amr melampaui jumlah haditsnya karena Abdullah bin 'Amr menulis dan ia tidak. Riwayat ini mengisyaratkan bahwa jumlah hadits yang ditulis pada masa Rasulullah saw. sangat banyak. Tidak seperti asumsi sebagian orang bahwa sunnah pada masa itu kurang diperhatikan. Hal ini ditegaskan Abdullah bin 'Amr, "Aku menghafal seribu hadits dari Nabi saw." (Ali bin Muhammad al-Jazairi, Usud al-Ghabah fi Ma'rifat ash-Shahabah, tahqiq Muhammad Ibrahim al-Banna dkk, Thab'at asy-Sya'b, kairo, tahun 1970, juz 3, hlm. 349). Imam Adz-Dzahabi berkata, "Jumlah sanadnya mencapai 700. Jumlah hadits yang dimuat Bukhari dan Muslim

secara bersamaan sebanyak tujuh buah. Imam Bukhari meriwayatkan sendirian sebanyak delapan sanad dan Muslim sebanyak dua puluh hadits." Imam Ahmad meriwayatkan isi Shahifah ini dalam Musnadnya, seperti yang telah dihitung Dr. Muhammad 'Ajjaj al-Khathib dalam empat juz berturut-turut. Dimulai dari juz 9, hlm. 235 hadits 6.477. Dalam juz 10 dan 11 dimuat secara utuh dan berakhir pada juz 12 halaman 50, hadits 7.103. Hadits-hadits dari Abdullah bin 'Amr juga banyak dimuat dalam kitab-kitab sunnah lainnya. (Musnad Ahmad, Tahqiq Ahmad Syakir, juz 9, hlm. 235, juz 10, 11, dan 12, hlm. 50; lihat juga 'Ajjaj, As-Sunnah, hlm. 350 [catatan kaki]). Shahifah Ali bin Abi Thalib Meski riwayat Ali bin Abi Thalib tersebar di berbagai kitab sunnah, Shahifah (lembaran) beliau sekilas hanya tampak memuat sedikit hadits. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Terbukti Shahifah ini memuat banyak tema, seperti dijelaskan Dr. Rif'at Fauzi yang men-tahqiq (meneliti) dan memberikan ta'liq (anotasi). Di antara tema hadits tersebut adalah kewajiban zakat. Di sini dijelaskan macam-macam kewajiban dan perinciannya. Ini sama dengan keterangan dalam catatan milik Abu Bakar yang ditulis bersumber dari Rasulullah saw. pendapat yang lebih kuat menyebutkan bahwa keterangan dalam catatan Abu Bakar berasal dari Shahifah Ali bin Abi Thalib. (Prof. Dr. Rif'at Fauzi, Shahifah 'Ali bin Abi Thalib, hlm. 46). Dalam Shahifah ini juga terdapat berbagai keterangan tentang diyat (denda untuk pidana badan) dan perkara-perkara yang menyangkut kejahatan terhadap manusia (jirahat). Untuk menguatkan simpulan ini adalah catatan dari Rasulullah saw. yang dikirim kepada penduduk Yaman. Catatan lalu disalin oleh keturunan 'Amr bin Hazm karena ayahnya, 'Amr bin Hazm adalah orang yang menerima kiriman catatan ini. Kitab ini juga menjelaskan berbagai kewajiban kaum Muslimin, sunnah, dan diyat. Shahifah Amr bin Hazm Imam Ibnul Qayyim mengomentari catatan yang dikirim kepada Amr bin Hazm sebagai berikut. "Buku ini sangat agung dan memuat banyak bahasan fikih." (Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma'ad fi Hadyi Khairi al-'Ibad, jilid 1, hlm. 119). Peneliti Ahmad bin Abdurrahman ash-Shuwayan meringkas masalah yang termuat dalam buku ini dalam 21 bahasan, yaitu sebagai berikut. 1. Zakat dan nishab barang tambang. 2. Zakat onta. 3. Zakat sapi. 4. Zakat kambing. 5. Kriteria harta yang harus dizakati. 6. Zakat uang. 7. Dua barang yang tercampur dengan zakat. 8. Zakat bagi Ahli Bait (keluarga Rasulullah saw.). 9. Tidak ada zakat bagi seorang hamba Muslim dan kudanya. 10. Jumlah jizyah. 11. Dosa yang paling besar. 12. Tidak boleh menyentuh Al-Qur'an kecuali orang yang bersuci. 13. Ketentuan diyat (denda pembunuhan). 14. Shalat dalam satu pakaian. 15. Pemberian hadiah. 16. Akad gandum. 17. Waktu-waktu shalat. 18. Membaguskan wudhu. 19. Umrah (haji kecil). 20. Waktu thalaq (perceraian). 21. Waktu memerdekakan budak. (Lihat Ahmad Abd al-Rahman ashShuayyan, Shaha'if al-Shahabah, hlm. 114).

Selanjutnya, di sini kami batasi keterangan mengenai sebagian yang termuat dalam buku tersebut, yakni penjelasan tentang diyat dan perkara-perkara yang menyangkut kejahatan terhadap manusia (jirahat), untuk membuktikan bahwa kedua hal ini juga dimuat dalam lembaran Ali r.a. Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. mengirim catatan kepada penduduk Yaman. Catatan itu menjelaskan hal berikut. "Siapa yang terbukti membunuh seorang mukmin tanpa sengaja, dia harus diqishah, kecuali jika keluarga yang terbunuh rela. Pembunuhan terhadap satu jiwa diwajibkan membayar diyat." (Ibnu Hibban, Kitab az-Zakat, Bab Fardh az-Zakat wa Kam Tajib fih. Lihat Al-Haitsami, Mawarid al-Zham'an, hlm. 202-203; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kitab Az-Zakat, juz 1, hlm. 395-397; Al-Baihaqi, Al-Sunnah al-Kubra, Kitab Az-Zakat, Bab Kayfa Fardh ashShadaqah, juz 4, hlm. 89-90; Ibn 'Abd al-Barr, Al-Tamhid, juz 17, hlm. 339-341). Imam Baihaqi meriwayatkan, ketika Umar bin Abdul Aziz memangku jabatan khilafah, beliau mengutus orang ke Madinah untuk mencari catatan Rasulullah saw. tentang zakat, termasuk catatan milik Umar bin Khatthab. Utusan beliau menemukan catatan yang disampaikan pada Amr bin Hazm tentang zakat. Selain itu, pada keluarga Umar ditemukan catatannya yang juga menjelaskan masalah serupa, yang isinya seperti catatan Nabi saw. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menyalin keduanya. (Al-Baihaqi, Al-Sunnan al-Kubra, juz 4, hlm. 91). Ini adalah bukti bahwa sebagian hadits yang dikumpulkan Umar bin Abdul Aziz dari seluruh penjuru wilayah Islam yang tersebar bersama para sahabat bersumber dari apa yang telah ditulis Rasulullah saw. (Dr. Rif'at Fauzi, Shahifah 'Ali bin Abi Thalib, hlm. 50). Terdapat juga lembaran Jabir bin Abdullah al-Anshari yang sangat terkenal di kalangan ahli hadits. Diceritakan bahwa Mujahid bin Jabar meriwayatkan dari lembaran tersebut. (Ibnu Sa'ad, At-Thabaqat al-Kubra, juz 5, hlm. 44). Sahabat Nabi yang mulia ini juga telah meriwayatkan banyak ilmu (hadits) yang bermanfaat dari Rasulullah saw, seperti diisyaratkan Adz-Dzahabi yang berkata, "Musnadnya mencapai 1.540 hadits; yang dimuat bersama oleh Bukhari dan Muslim berjumlah 59 hadits. Bukhari meriwayatkan sendiri berjumlah 26 hadits, sedangkan Muslim meriwayatkan sendiri 126 hadits." (Adz-Dzahabi, Tazkiratul Huffazh, juz 1, hlm. 43). Di antara hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya yang berasal dari lembaran ini terkait dengan tata cara haji mencapai 30 hadits. (Shahih Muslim, juz 2 hlm. 881-893. Kitab Al-Hajj, Bab Bayan Wujuhul Ihram, Hadits no. 136-150; Rif'at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, op.cit., hlm. 52). Riwayat terpanjang diriwayatkan Ja'far bin Muhammad dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah mengenai haji wada. Dalam kitab Shahih Muslim, hadits ini berisi lebih dari empat halaman tentang cara haji Nabi secara lengkap. Diceritakan, Jabir bin Abdullah menulis hadits di atas papan. Rabi' bin Sa'ad meriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, ia berkata, "Aku melihat Jabir di tempat Ibnu Sabith sedang menulis di atas papan." Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi al-Absi, Al-Mushannaf fi al-Hadits wa al-Atsar, tahqiq: Mukhtar Ahmad al-Nadawi, Dar al-Salafiyah, Bombay, India, cet. pertama, tahun 1401, juz 9, hlm. 49). Sejumlah muridnya menemui Jabir untuk menulis hadits. Abdullah

bin Muhammad bin 'Uqail bin Abi Thalib berkata, "Dulu saya pergi bersama Muhammad bin Ali Abu Ja'far dan Muhammad al-Hanafiah menemui Jabir bin Abdullah. Kami bertanya kepadanya tentang sunnah Rasulullah saw. tentang cara shalat beliau. Kami menulis dan belajar darinya." (Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi al-Thahawi al-Hanafi (235 H), Syarah Ma'ani al-Atsar, tahqiq Muhammad Zuhri al-Najjar, Daru al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, cet. pertama, tahun 1399 H, juz 4, hlm. 319; Al-Qadhi al-Hasan bin 'Abd al-Rahman arRamahurmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wal Wa'i, tahqiq Dr. M. 'Ajjaj al-Khathib, Dar al-Fikr, Dimasyq, cet. pertama, tahun 1391 H/1971M, hlm. 370; Al-Khatib al-Baghdadi, Taqyid al-'Ilmi, op.cit., hlm. 104). Abu Khutsaimah menceritakan, Ibnu Abbas r.a. sangat menyarankan penulisan. Beliau menasihatkan, "Ikatlah ilmu itu dengan cra menulisnya. Siapa yang membeli ilmu dariku dengan satu dirham." (Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb an-Nasa'i (160-234 H), Kitab al-'Ilm, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albani, Al-Mathba'ah al-'Umumiyyah, Dimasyq, hlm. 144). Ibnu Sa'ad menceritakan bahwa Ibnu Abbas mempunyai sejumlah catatan sebanyak muatan unta. (Ibnu Sa'ad, op.cit., juz 5, hlm. 216, Sejarah Hidup Kuraib bin Abi Muslim). Selain Abdullah bin Amr, Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdullah dan para sahabat r.a. lainnya juga memiliki catatan hadits Rasulullah saw. Seluruh nash ini menegaskan kepada kita bahwa jumlah hadits yang ditulis pada masa Nabi saw. sangatlah banyak. Dengan demikian, apa yang disangkakan atau dituduhkan Dr. Harun Nasution bahwa penulisan hadits pada masa Nabi tidak terjadi atau kalaupun terjadi hanya sedikit adalah sebuah anggapan atau tuduhan yang salah. Bersambung ...! Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 51-58). Oleh: Abu Annisa http://alislamu.com/index.php?Itemid=10&id=677&option=com_content&task=view, senin,14.11.2011/13:17pm

Anda mungkin juga menyukai