Anda di halaman 1dari 13

0

Share37

Selasa, 21 April 2009


Manajemen Komunikasi dan Konflik dalam Rumah Tangga
(kesimpulan) Pada dasarnya manusia selain sebagai individu juga merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya berinteraksi dimana ia akan berkomunikasi, menyampaikan kehendak, perasaan, dan gagasan atau ide yang dimilikinya. Kehidupan manusia ditandai dengan pergaulan di antara manusia dalam keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, tempat kerja, organisasi sosial dan lain sebagainya. Perkawinan ditandai dengan adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri. Ikatan lahir adalah ikatan yang nampak, sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak secara langsung, merupakan ikatan psikologis. Antara suami istri harus saling mencintai saling berbagi perasaan dan berbagi kebahagiaan. Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu yang pada umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai individu yang bersangkutan. Tanpa adanya kesadaran akan kesatuan tujuan yang harus dicapai bersama, maka dapat dibayangkan bahwa rumah tangga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan, yang akhirnya akan dapat menuju keretakan rumah tangga yang dapat berakibat lebih jauh. Tujuan sebenarnya sangat mulia jika dilandasi untuk saling memberi yang terbaik bagi pasangannya. Kesepakatan diatas dapat dijadikan dasar yang kokoh untuk membina kehidupan keluarga yang yang harmonis. Dalam perkawinan dapat ditemukan komunikasi yang lebih intim. Perkawinan adalah merupakan bersatunya seorang pria dan wanita sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga. Pada umumnya masing-masing pihak telah mempunyai pribadi yang telah terbentuk, karena itu untuk menyatukan satu dengan yang lain perlu adanya saling penyesuaian, saling pengorbanan, saling pengertian dan hal tersebut harus disadari benar-benar oleh kedua pihak yaitu oleh suami istri. Dalam kaitannya dengan hal itu maka peranan komunikasi dalam rumah tangga adalah sangat penting. Antara suami istri harus saling berkomunikasi dengan baik untuk dapat mempertemukan satu dengan yang lain, sehingga dengan demikian kesalahpahaman dapat dihindarkan. Hal ini dapat dicapai dengan komunikasi dua arah. Dengan komunikasi yang terbuka antara pasangan suami istri, maka akan terbina saling pengertian, mana-mana yang baik perlu dipertahankan dan dikembangkan, dan mana-mana yang tidak baik perlu dihindarkan. Dengan demikian akan terbentuklah sikap saling terbuka, saling mengisi, saling mengerti dan akan terhindar dari kesalah pahaman. Komunikasi yang terjadi antara suami istri membuat keduanya saling berbagi dalam hal yang rahasia dengan bercerita juga melakukan segala sesuatu secara bersama atau saling mempengaruhi. Kehidupan perkawinan tak jarang dihadapkan oleh beraneka macam konflik karena memiliki hambatan komunikasi, mungkin ada batasan jarak, sarana, dan waktu yang tidak akan mudah disediakan oleh suami-istri. Oleh sebab itu komunikasi yang mereka lakukan haruslah didasarkan pada keterbukaan, kejujuran, kepercayaan dan masih banyak aspek lainnya.

Komunikasi antar pribadi sebenarnya merupakan satu proses sosial dimana orang saling mempengaruhi. Komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seorang dan diterima oleh orang yang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. Suatu komunikasi antar pribadi mengandung ciri-ciri: a) keterbukaan atau openess; b) empati atau emphaty; c) dukungan atau supportiveness; d) rasa positip atau positiveness; dan e) kesamaan atau equality. Dalam komunikasi tidak dapat dihindari adanya perbedaan pendapat dan pertentangan pendapat yang kemudian dapat mengarahkan pada terjadinya konflik. Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan dalam semua hubungan antar pribadi. Patut disayangkan bahwa dalam masyarakat kita sebagian menganggap konflik sebagai hal yang harus dihindari, padahal sebenarnya konflik juga dapat bersifat positif dan membuat hubungan menjadi lebih sehat. Konflik dapat meningkatkan kesadaran tentang adanya masalah dalam hubungan tersebut, dapat juga memberikan kekuatan dan motivasi dalam menghadapi masalah dan bukannya menghindari masalah, dapat membantu membuat keputusan yang lebih baik, dan membantu kita untuk memahami dan lebih mengerti diri kita sendiri, serta dapat memperdalam suatu hubungan. Kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu merupakan pendorong dalam diri individu untuk bertindak mencapai tujuannya. Namun tidak jarang terjadi bahwa dalam rangka mencapai tujuan individu menghadapi berbagai macam rintangan. Dalam menghadapi rintangan atau hambatan itu ada berbagai macam reaksi yang diambil oleh individu yang bersangkutan. Hal itu membuktikan bahwa dalam kehidupan perkawinan pun tidak jarang diwarnai dengan konflik yang merupakan bagian kehidupan dari rumah tangga itu sendiri. Salah satu sifat konflik adalah universal karena tidak ada satu pun rumah tangga di dunia ini yang tidak pernah mengalami konflik. Komunikasi interpersonal dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan. Komunikasi interpersonal yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi, bila isi pesan kita dipahami, tetapi hubungan diantara komunikan menjadi rusak. Setiap kali kita melakukan komunikasi, kita bukan hanya sekedar menyampaikan isi pesan namun kita juga menentukan kadar hubungan interpersonal. Dalam konflik antar pribadi prinsip-prinsip efektivitas antar pribadi menghadapi ujian paling berat. Terdapat beraneka macam gaya penyelesaian konflik yaitu penyelesaian konflik kalahkalah (Lose-lose) dengan menghindar (avoidance) dan mendominasi (forcing), menang-kalah (win-lose) dengan cara menyenangkan kedua pihak (smoothing) dan kompromi (compromising), kemudian menang-menang (win-win) dengan cara mempersatukan (maximization). Namun hal yang paling mendasar untuk menyelesaikan konflik atau paling tidak mengelolanya adalah sikap saling menghormati dan menghargai pasangan, disamping rasa saling mempercayai dan dipercaya pasangan. Faktor sosiodemografis yang di antaranya terdiri dari usia, pekerjaan, latar belakang keluarga, pendidikan dan sebagainya ternyata juga berpengaruh pada penyelesaian konflik dalam rumah tangga. Komunikasi antar pribadi sangatlah diperlukan untuk menjalin keharmonisan di dalam suatu kehidupan berumah tangga yang tidak jarang ditandai oleh adanya konflik. Komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks tertentu dan ada kesempatan

untuk melakukan umpan balik. Komunikasi dikatakan efektif bila pesan seperti yang dimaksudkan oleh pengirim berkaitan erat dengan pesan yang ditangkap dan diterima oleh penerima. Efektivitas komunikasi erat hubungannya dengan tujuannya. Dalam definisi komunikasi antar pribadi, komponen-komponen diidentifikasi berdasarkan: hubungan atau diadik, komunikasi antar pribadi didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung antara dua orang yang mempunyai hubungan yang jelas, dalam definisi berdasarkan pengembangan, komunikasi antar pribadi didefinisikan sebagai suatu perkembangan atau kemajuan dari komunikasi tak-pribadi pada satu ekstrim ke komunikasi pribadi di ekstrim yang lain. Adanya beberapa karakteristik tertentu yang membedakan bentuk hubungan suami-istri dengan bentuk hubungan interpersonal lainnya, menjadikan hubungan interpersonal antara suami-istri sebagai suatu hubungan yang unik. Karakteristik yang membedakan bentuk hubungan suami-istri dengan bentuk hubungan interpersonal lainnya adalah:

Prediksi yang mereka lakukan terhadap reaksi pasangannya berdasar pada data psikologis. Mereka menyadari bahwa pasangannya berbeda dari anggota-anggota kelompoknya. Jumlah data psikologis yang dimiliki oleh suami-istri tentunya lebih banyak dari jumlah data psikologis yang dimiliki oleh teman, sahabat ataupun kekasih. Misalnya seorang istri mengetahui bahwa setiap bangun pagi, yang dilakukan suaminya adalah berdoa di sisi tempat tidur, minum segelas air putih sambil membaca surat kabar. Dalam interaksi suami-istri, mereka mendasarkan komunikasinya pada pengetahuan yang menjelaskan (explanatory knowledge) tentang masing-masing dari mereka, dan bukannya menduga-duga seperti yang terjadi pada hubungan interpersonal lainnya. Bila suatu hari sang suami tidak bangun pagi dan tidak melakukan aktivitas rutinnya, istri dapat menjelaskan alasan perilaku suaminya pada hari itu. Misalnya dengan mengatakan suaminya sedang tidak enak badan. Suami-istri menetapkan aturan-aturan interaksinya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, sehingga sifatnya lebih pribadi.

Faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan interpersonal dalam komunikasi interpersonal adalah: 1. Percaya (Trust) Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi komunikasi antar pribadi, faktor percaya adalah yang paling penting. Apabila di antara suami-istri terdapat rasa saling percaya maka akan terbina saling pengertian sehingga akan terbentuk sikap saling terbuka, saling mengisi, saling mengerti dan terhindar dari kesalahpahaman. Sejak tahap yang pertama dalam hubungan antar pribadi (tahap perkenalan), sampai tahap kedua (tahap peneguhan), percaya menentukan efektivitas komunikasi. Selain pengalaman, ada tiga faktor utama yang dapat menumbuhkan sikap percaya atau mengembangkan komunikasi yang didasarkan pada sikap saling percaya, yaitu: a. Menerima adalah kemampuan berhubungan dengan orang lain tanpa menilai dan tanpa berusaha

mengendalikan. Sikap menerima tidak semudah yang dikatakan. Kita selalu cenderung menilai dan sukar menerima. Akibatnya, hubungan interpersonal kita tidak berlangsung seperti yang kita harapkan. b. Empati dianggap sebagai memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita. c. Kejujuran menyebabkan perilaku kita dapat diduga. Ini mendorong orang lain untuk percaya pada kita. Dalam proses komunikasi antar pribadi pada pasangan suami istri, kejujuran dalam berkomunikasi amatlah penting terlebih, jika pasangan itu terpisah secara fisik antara satu dengan yang lain. Honest Communications mengajarkan bahwa tujuan komunikasi adalah memahami diri sendiri dan orang lain secara akurat dan bahwa pemahaman tersebut hanya terjadi melalui komunikasi sejati (genuine communication). Menurut psikologi humanistik, pemahaman antar pribadi terjadi melalui self disclosure, feedback, dan sensitivity to the disclosures of others. Kesalahpahaman dan ketidakpuasan dalam suatu jalinan antar pribadi diakibatkan oleh ketidakjujuran, tidak adanya keselarasan antara tindakan dan perasaan, serta terhambatnya pengungkapan diri. 2. Sikap Suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam berkomunikasi yang dapat terjadi karena faktor-fakor personal seperti ketakutan, kecemasan, dan lain sebagainya yang menyebabkan komunikasi antar pribadi akan gagal, karena orang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain. 3. Sikap Terbuka (open-mindedness) sikap ini amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif. Dengan komunikasi yang terbuka diharapkan tidak akan ada hal-hal yang tertutup, sehingga apa yang ada pada diri suami juga diketahui oleh istri, demikian sebaliknya. Bersama-sama dengan sikap saling percaya dan sikap suportif, sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian, saling menghargai, dan paling penting-saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal. Walaupun berkomunikasi merupakan salah satu kebiasaan dan kegiatan kita sepanjang kehidupan, namun tidak selamanya dan pasti akan memberikan hasil sebagaimana diharapkan. Seperti pada pasangan suami istri yang terpisah secara fisik adalah munculnya prasangka dan kecurigaan terhadap pasangannya, namun semua itu akan dapat dihindarkan bila diantara pasangan suami istri tersebut terdapat saling keterbukaan. Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi antarpribadi dengan sedikitnya dua cara; (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi antarpribadi. Pertama, komunikasi antarpribadi terbina jika orang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Orang yang merasa negatif terhadap diri sendiri selalu mengkomunikasikan perasaan ini kepada orang lain, yang selanjutnya barangkali akan mengembangkan perasaan negatif yang sama. Sebaliknya, orang yang merasa positif terhadap diri sendiri mengisyaratkan perasaan ini kepada orang lain, yang selanjutnya juga akan merefleksikan perasaan positif ini. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi secara efektif. Dorongan positif ini mendukung citra-pribadi kita dan membuat kita merasa lebih baik. Dalam suatu hubungan antarpribadi yang ditandai oleh kesetaraan, ketidaksepakatan dan konflik

lebih dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada ketimbang sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain. Pemahaman terhadap situasi kondisi dan juga konflik sangat berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi antar pasangan suami-istri. Seperti pada kasus istri yang harus dapat menerima konsukuensi dari pekerjaan suami yang memiliki jam kerja yang tidak tentu dan istri juga harus selalu siap ditinggal suami untuk pergi menjalankan tugas sewaktu-waktu menyebabkan mereka menghadapi berbagai macam konflik seperti terganggunya komunikasi antar kedua pasangan yang disebabkan jarak yang jauh membuat mereka harus tergantung pada media yang tidak jarang menyebabkan komunikasi berjalan kurang lancar. Selain itu faktor-faktor dari dalam diri kedua pasangan seperti keterbukaan dan kepercayaan sangatlah berperan baik dalam menciptakan maupun menyelesaikan konflik itu sendiri. Seperti telah diuraikan pada latar belakang permasalahan bahwa komunikasi antar persona melibatkan faktor keterbukaan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam konteks ini ada beberapa pemikiran teoritik yang mendasarinya. Pemahaman antar pribadi juga bermanfaat untuk menghasilkan hubungan yang lebih baik dalam rumah tangga, oleh karena itu diperlukan adanya suatu kesediaan untuk membuka diri seperti yang dikemukakan dalam Teori self disclosure, konsep ini mempunyai arti bahwa dalam hubungan yang ideal menghendaki anggota-anggota yang terlibat untuk mengenal diri orang lain sepenuhnya dan membiarkan dirinya terbuka untuk dikenal orang lain sepenuhnya. Iklim kesediaan untuk membuka diri ini dapat menimbulkan kesadaran untuk membuka diri bagi orang lain. Jadi kesediaan pada satu pihak cenderung akan mendorong kesediaan untuk membuka diri pada orang lain. Teori ini dilandasi oleh pemikiran psikologis humanis yang menekankan pada unsur kejujuran dalam berkomunikasi. Hal ini dikarenakan tujuan dari komunikasi adalah memahami diri sendiri dan orang lain secara akurat. Dimana pemahaman tersebut hanya terjadi melalui komunikasi yang sejati dan tidak dibuat-buat. Sebuah teori yang disebut Social Penetration Theory atau Teori Penetrasi Sosial. Menurut teori ini, individu menentukan nilai atau besarnya perbandingan antara imbalan (reward) dan biaya (cost) dari suatu interaksi yang sedang berjalan dan juga memprediksi implikasi interaksiinteraksi di masa mendatang pada lapisan pertukaran yang sama atau lebih dalam. Andaikan prediksi seperti itu menguntungkan, maka diasumsikan bahwa pasangan yang berinteraksi itu secara bertahap bergerak ke tingkatan yang lebih intim, yaitu dari aspek-aspek biografis yang tidak mendalam ke aspek emosi dan sikap. Ada empat tahap perkembangan hubungan, yaitu orientasi, menuju pertukaran afektif, pertukaran afektif dan pertukaran stabil. Hubungan suamiistri berdasarkan pendapat tersebut berada pada tahap yang keempat, yaitu tahap pertukaran stabil. Pada tahap ini dimensi keluasan (breadth) subjek yang dibicarakan suami-istri saat melakukan self-disclosure dan kedalaman (depth) informasi yang dibagikan saat itu berada pada tingkat yang tinggi. Namun bila hubungan suami-istri tersebut mulai rusak, terjadilah apa yang dinamakan dengan depenetrasi. Keluasan dan kedalaman seringkali (tidak selalu) berbalik arah dengan sendirinya. Sebagai contoh, suami-istri yang sedang mengalami konflik akan mengurangi topik-topik pembicaraan mereka dan akan mendiskusikan suatu topik secara tidak mendalam. Terdapat tiga tipe perkawinan berdasarkan dimensi ideologi, interdepedensi, dan konflik: 1. Tradisional atau konvensional, terjadi semacam pemisahan peran (role separation) di antara suami-istri di satu pihak, suami berperan sebagai kepala keluarga yang memiliki tugas

menetapkan peraturan rumah tangga, pengambil keputusan dalam rumah tangganya, dan menghidupi keluarga. Di pihak lain istri, berperanan dalam urusan membantu suami, membesarkan anak, dan mengurus rumah tangga. Mereka memiliki pandangan yang konvensional tentang pernikahan dan menempatkan nilai lebih pada kestabilan dan kepastian dalam tugas keluarga daripada terhadap keragaman dan spontanitas. Hal ini menyebabkan di antara mereka memiliki rasa ketergantungan yang sangat kuat terhadap pasangannya, sehingga tidak banyak terjadi konflik dalam kehidupan rumah tangganya. 2. Independen atau mandiri, di mana masing-masing individu memilki pandangan yang cenderung tidak konvensional mengenai perkawinan. Mereka meluangkan waktu bersama dan berbagi banyak hal dengan tetap menghargai otonomi mereka sendiri. Akibat sifat perorangannya, terjadi banyak konflik dalam perkawinan tipe ini. Mereka seringkali bersaing mencapai kekuatan, menggunakan berbagai teknik membujuk dan tidak malu menyangkal pendapat satu sama lain. Pasangan tipe ini juga ekspresif, tanggap terhadap isyarat non verbal, dan biasanya mengerti satu sama lain dengan baik. 3. Separated atau terpisah, ditandai dengan keambivalenan individu terhadap tugas dan hubungan mereka. Walaupun mereka memiliki pandangan yang agak konvensional tentang perkawinan, namun tidak banyak terjadi ketergantungan dan berbagi. Mereka punya opini sendiri dan dapat menjadi pertengkaran tetapi konflik tersebut tidak pernah bertahan lama karena pasangan ini terpisah cepat mundur dari konflik. Pasangan ini tidak begitu ekspresif dan tidak mengerti emosi pasangannya dengan baik. Faktor sosiodemografis yang terdiri dari: Usia, pekerjaan dan tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi upaya mengatasi konflik dalam rumah tangga. Tingkat pendidikan berkaitan dengan pendidikan terakhir yang pernah ditempuh oleh seseorang sehingga dengan pendidikan yang telah diperoleh seseorang akan berusaha menerapkan apa yang telah di dapat ketika sekolah untuk menghidupkan komunikasi yang efektif dalam suatu rumah tangga. Dengan bertambahnya umur dari seseorang, diharapkan keadaan psikologisnya juga akan makin bertambah matang. Perkawinan pada umur yang masih muda akan banyak mengundang masalah yang tidak diharapkan. Seperti contohnya pada seorang istri anggota Polri yang baru berusia 20an dan harus berpisah dengan suaminya karena bertugas diharuskan menghadapi berbagai macam persoalan rumah tangga yang masih sangat baru baginya seperti mengurus anak seorang diri dimana di sisi lain ia sangat mengkhawatirkan keadaan suaminya bahkan terkadang merasa curiga karena komunikasi yang berjalan kurang lancar diantara keduanya. Hal yang terlihat sepele namun sebenarnya dapat menyulut konflik yang berkepanjangan sebenarnya dapat dihindari oleh pasangan suami-istri tersebut. Berbeda dengan istri yang sudah berusia 30-an dimana ia akan lebih matang dalam melihat suatu permasalahan sehingga berpengaruh dalam penyelesaian konflik yang juga akan lebih matang. Berhubung dengan hal tersebut maka dalam perkawinan kemasakan atau kematangan psikologis perlu mendapatkan pertimbangan yang mendalam. Sebuah analisis tentang kondisi-kondisi esensial dari konflik yang membentuk sebuah definisi operasional: Konflik menuntut setidaknya dua pihak yang mampu menjatuhkan sanksi terhadap satu sama lain

Konflik muncul akibat adanya sasaran yang sama-sama dikehendaki tetapi sama-sama tidak bisa dicapai Setiap pihak di dalam sebuah konflik memiliki kemungkinan empat alternatif tindakan, yaitu: (a) Untuk mencapai sasaran yang sama-sama diinginkan. (b) Untuk mengakhiri konflik. (c) Untuk menjatuhkan sanksi terhadap lawan. (d) Untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan Pihak-pihak di dalam konflik mungkin memiliki sistem nilai atau persepsi yang berbedabeda Setiap pihak memiliki sumber daya yang bisa ditingkatkan atau diturunkan melalui implementasi alternatif-alternatif tindakan Konflik berakhir hanya bila setiap pihak merasa bahwa ia telah menang atau kalah atau meyakini bahwa kemungkinan kerugian dengan meneruskan konflik tersebut lebih besar daripada kemungkinan kerugian dengan mengakhiri konflik itu

Faktor-faktor yang dapat menjadi sebab munculnya konflik dalam hubungan suami-istri diungkapkan, antara lain: 1. Melunturnya alasan-alasan untuk membina hubungan. Contohnya suami-istri yang terkadang harus tinggal terpisah karena tugas dalam jangka waktu yang cukup lama merasakan adanya kesepian yang semakin tinggi. Akibatnya salah satu atau kedua belah pihak melirik ke arah lain. Bila daya tarik meluntur, mereka kehilangan alasan terpenting untuk mempertahankan hubungan. 2. Munculnya hubungan dengan pihak ketiga. Adanya kebutuhan yang sangat besar dalam membina rumah tangga untuk mendapatkan kesenangan yang maksimal dan penderitaan yang minimal. Apabila kebutuhannya tidak terpenuhi maka ia atau mereka akan mencari pemuasannya dari pihak lain. 3. Sifat hubungan yang mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan psikologis (perkembangan minat intelektual yang berbeda), perubahan keperilakuan (kesibukan dengan bisnis/pekerjaan), dan perubahan status. Ketiga macam perubahan tersebut dapat menimbulkan masalah dalam hubungan suami-istri yang terkadang harus hidup terpisah. 4. Harapan yang tak terkatakan. Adakalanya konflik menyangkut soal-soal remeh. Kenapa tidak menelpon dan jarang menulis surat? Apa yang sedang dikerjakan pasangannya disana? dan lain sebagainya. Seringkali konflik mengenai hal-hal kecil sebenarnya bersumber dari perasaan marah dan permusuhan yang menyangkut perasaan tidak puas atau tidak bahagia. 5. Pekerjaan. Ketidakbahagiaan dengan pekerjaan seringkali menimbulkan kesulitan hubungan. Seringkali istri anggota Polri berharap agar suaminya tidak harus bertugas jauh darinya namun karena hal itu sudah merupakan konsukwensi awal saat menikah dengan seorang anggota Polri, sang istri pun harus menerimanya dengan tabah karena sebenarnya suami pun mungkin tidak ingin hidup terpisah dengan keluarganya. 6. Komitmen Emosional. Seorang anggota Polri yang harus selalu siap untuk ditempatkan kapan saja dan dimana saja, tidak terkecuali harus bertugas ke daerah konflik yang dapat mencelakainya sewaktu-waktu, menyebabkan istri dapat sangat tertekan emosinya.

Dalam konflik antarpribadi prinsip-prinsip efektivitas antarpribadi menghadapi ujian yang paling berat. Selama konflik antarpribadi kita hampir tidak mungkin menahan diri sejenak, menganalisis situasi dan mengevaluasi prinsip efektivitas yang mungkin paling relevan. Dalam pendekatan manajemen konflik dapat dijelaskan, yaitu: 1. Pendekatan kalah-kalah (lose-lose)

Penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding). Pendekatan dimana tak seorangpun yang menang karena masalah yang dihadapi justru dihindari. Makin lama hal ini berlangsung, akan semakin menyakitkan dan memburuk. Hubungan akan terganggu dan tak ada penyelesaian. Penghindaran berarti bahwa tidak ada kepentingan atau harapan dari salah satu pihak pun yang dianggap penting. Penyelesaiannya lebih diserahkan pada nasib atau kesempatan. Penyelesaian konflik dengan dominasi (Dominating). Metode ini dapat dinilai paling tidak produktif untuk menangani konflik adalah pemaksaan. Bila dihadapkan pada konflik banyak orang berusaha memaksakan keputusan atau cara berpikir mereka dengan menggunakan pemaksaan. Apapun yang dilakukan, pokok masalahnya tetap tidak terselesaikan. Penyelesaian konflik dengan cara kerelaan membantu (Obliging), Kerelaan membantu menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya dinilai rendah. Gaya penyelesaian konflik dengan kompromi (compromising). Penyelesaian ini memisahkan perbedaan yang ada. Tidak mungkin keinginan seseorang dapat terpenuhi semuanya, tetapi kadang-kadang kompromi merupakan jalan terbaik dan pendekatan yang paling sedikit menimbulkan kerugian bagi suatu hubungan. Dan di saat yang sama mendapatkan penyelesaian yang dapat diterima.

2. Pendekatan menang-kalah (win-lose)


3. Pendekatan menang-menang (win-win) Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan (maximization), dimana berusaha memaksimalkan usaha untuk memanajemen konflik. individu yang memilih gaya ini melakukan tukar-menukar informasi, mencari alternatif dan mendorong tumbuhnya creative thinking (berpikir kreatif). Namun penyelesaian konflik menjadi tidak efektif bila pasangan yang berselisih kurang memiliki komitmen atau bila waktu menjadi sangat penting, karena penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan ini membutuhkan waktu yang sangat panjang. Suami-istri membicarakan permasalahan secara menyeluruh. Ini merupakan suatu pendekatan dimana segala harapan dan kebutuhan pasangan diperhitungkan. Gaya penyelesaian konflik ini bila digunakan secara efektif dapat mengawetkan dan melanggengkan hubungan. Seminar online KHARISMA Women and Education bulan Juni 2009 kali ini bersama nara sumber dari Yogyakarta Ibu Siti Urbayatun, S.Psi, M.Psi mengangkat tema tentang Manajemen Konflik dalam keluarga. Beliau merupakan salah satu dosen di fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, konsultan di eramuslim.com dan merupakan Komisaris di Lembaga Psikologi terapan Cahaya Ummat Yogyakarta. kesibukan beliau yang sangat padat tidak mengurungkan niat beliau untuk melanjutkan jenjang pendidikan S3 beliau dalam program

Doktor Psikologi UGM. Semol kali ini dihadiri lebih dari 25 peserta dari berbagai negara yang mengakses Semol melalui fasilitas YM dan Paltalk. Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap keluarga berharap keluarga yang mereka bina menjadi keluaraga yang sakinah, mawadah dan warahmah. tetapi adakalanya permasalahan-permasalahan yang hadir dalam kehidupan berkeluarga membutuhkan sebuah manejemen yang baik agar permasalah yang hadir dapat segera diatasi dan tidak mengganggu hubungan keharmonisan di dalam kehidupan berkeluarga. ternyata manajemen Konflik di dalam kehidupan berumah tangga sudah diaturoleh islam di dalam Al-Quran. Islam adalah agama lengkap yang mengatur segala aspek dimensi kehidupan. Salah satunya adalah keluarga dan problematikanya. Keluarga adalah sebuah realisasi dari amal soleh, penelaahan ruhiyah dan sekaligus realisasi dari beberapa aspek yang lain. Kesuksesan yang sesungguhnya bukan direalisasikan hanya dalam aspek bermasyarakat dan profesi saja, tetapi aspek keluarga juga harus mendapatkan porsi yang sama. Kehidupan berkeluarga dalam Islam disinggung di dalam Al-Quran Surat Ar-Rum: 21 yang berbunyai Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. Dalam kehidupan berkeluaraga pasti terdapat konflik-konflik dan promblematika yang harus dihadapi dan harus diselesaikan dengan cara yang paling tepat. Alangkah baiknya jika permasalah-permasalahan yang ada diselesaikan dengan cara yang benar dan islami. Permasalahan yang terjadi biasanya menyangkut: 1. Permasalahan ekonomi. Hal ini biasanya terkait dengan masalah pendapatan yang didapatkan oleh sang istri jauh lebih besar dari pendapatan sang suami.Adakalanya superioritas suami sedikit terganggu dalam situasi seperti di contohkan di atas. 2. Perbedaan pendapat dan prinsip 3. Permasalahan dengan keluarga besar. Permasalahan terjadi disebebkan karena keluarga besar terlalu mencampuri urusan internal keluarga 4. perkembangan psikologis atau kepribadian masing-masing pasangan Pemecahan dari permasalahan-permasalahan di atas adalah dengan: 1. Jalan komunikasi dan meningkatakan pemahaman masing-masing pasangan. 2. Saling memahami dan mengetahui kondisi psikologis pasangan masing-masing 3. Memperhatikan perasaan pasangan masing-masing atau meningkatkan perasaan empati kita terhadap pasangan. Contoh manajeman konflik di dalam Islam sudah digambarakan di dalam Al-Quran surat AnNisa ayat 34-36 yang menyinggung konflik yang terjadi di dalam keluarga Rasulullah Saw. Ketika istri-istri beliau berkomplot dan protes serta meminta nafkah lebih terhadap apa yang telah Rasul beri. Karena hal tersebut maka turunlah surat Annisa ayat 34-36 tersebut yang mengatur bagaimana penyelesaian konflik di dalam keluarga. QS. An-Nissa 34 : Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberi nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,

karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlahmereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukulah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah maha tinggi, Maha besar. QS. An-Nissa 35: Dan jika kamu khawatir terjadi perseketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada sami-istri itu. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. QS. An-Nissa 36: Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri. Jadi secara garis besarnya konflik keluarga di dalam islam diatur penyelesaiannya sebagai berikut 1. Menasehati jika istri atau pasangan melakukan kesalahan 2. Tinggalkanlah atau pisah ranjang 3. Jika perlu pukulah mereka (dalam tahap ini jika sudah tidak ada jalan yang lain) 4. Memanggil juru damai dari kedua belah pihak. Dalam kehidupan berumah tangga diperlukan rasa saling sayang dan memahami. Dan juga harus diperhatikan juga hal-hal kecil dari pasangan-pasangan kita. Semisal suami harus bisa memahami kondisi istri dan juga sebaliknya. Diperlukan juga adanya waktu refresh bersamasama . Dan yang penting adalah jika ada permasalahan, akan sangat baik jika dibicarakan bersama dan dikomunikasikan. Hal-hal yang dianjurkan untuk dilakukan untuk menjaga keharmonisan keluarga adalah: 1. memberikan perhatian baik simpati ataupun empati yang tulus 2. memberikan masukan yang jujur dan tulus
3. memberikan panggilan yang baik kepada pasangan. Rasulullah Saw memanggil Aisyah

dengan sebuatan Humairah yang berarti yang berpipi merah. 4. menjadi pendengar yang baik
5. membuka pembicaraan dengan hal-hal dan topik-topik yang menarik dan

menggembirakan.
6. menunjukkan kepada pasangan kita bahwa dialah yang terpenting, jadi memberikan

perhatian yang khusus pada pasangan kita.

KONFLIK SOSIAL DAN KEKERASAN PADA KELUARGA DAN SOLUSINYA

Bagaimana sebuah keluarga yang ideal menurut anda? Pertanyaan ini tentulah sangat mudah untuk memahaminya. Keluarga ideal adalah sebuah keluarga yang terpenuhi semua kebutuhannya dan kemudian teratur komunikasinya serta saling menghargai dan memperhatikan satu sama lain. Memang benar bahwa sepasang suami isteri atau ayah dan ibu merupakan insan yang memiliki peranan besar dan utama dalam membina sebuah keluarga. Untuk menjalankan peran ini, tentunya diperlukan banyak hal dari berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan tentang kekeluargaan dan perkawinan, pengetahuan pendidikan, perkembangan anak-anak dan kemantapan intelektual serta emosi kejiwaan. Semua faktor pendukung yang harus dimiliki suami isteri seperti yang sudah disebutkan di atas sudah selayaknya harus dimiliki dan diseimbangkan kadarnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mutlak dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik dan perselisihan keluarga. Konflik keluarga menjadi faktor pendukung penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Masih banyak masyarakat yang kurang memahami bahwa jika terjadi konflik dalam sebuah keluarga, yang sangat rentan menjadi korban tindak kekerasan adalah perempuan dan anak. Tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga, kerap terjadi. Ada banyak konflik yang terjadi dan menimbulkan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Walaupun demikian, sangat disayangkan bahwa sebagian besar kasus kekerasan tidak terselesaikan dengan baik, baik melalui jalur hukum ataupun tindakan secara adat. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa setiap hal yang terjadi di dalam keluarga merupakan sebuah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh umum dan merupakan aib bagi pasangan suami isteri. Padahal, pelibatan pihak ketiga sebagai mediator untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam keluarga akan menjadi hal penting untuk mempertahankan keutuhan keluarga itu sendiri.

Upaya penyelesaian konflik di dalam rumah tangga bisa ditempuh dengan dua cara, dengan jalur litigasi (menggunakan jalur hukum) dan jalur nonlitigasi (musyawarah dan mufakat keluarga namun tetap melibatkan pihak ketiga sebagai mediatornya). Upaya nonlitigasi biasanya menjadi jalan upaya awal yang ditawarkan untuk menyelesaikan perselisihan. Dengan dilakukan musyawarah, diharapkan persoalan bisa diselesaikan dengan baik dan tentunya bisa terus mempertahankan tali silaturrahmi keluarga. Hanya saja, penyelesaian persoalan melalui musyawarah mempunyai kelemahan yaitu tidak adanya jaminan tertulis bahwa korban tindak kekerasan tidak akan mengalami hal yang sama di kemudian hari. Kendati demikian, cara ini selalu dikedepankan sebagai mediasi penyelesaian konflik dan perselisihan keluarga. Sementara itu, upaya litigasi adalah upaya akhir jika perselisihan dan konflik tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Pelibatan aparat penegak hukum akan memberi pemahaman hukum lebih luas kepada korban dan pelaku tindak kekerasan. Dalam mencari upaya penyelesaian konflik dalam keluarga, sebaiknya tidak hanya bertumpu pada satu jalan saja, misalnya dengan membiarkan saja konflik berlangsung hingga berhenti dengan sendirinya. Sebelum melibatkan pihak ketiga, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk berintrospeksi terhadap masalah yang timbul, yaitu 1. Menilai bentuk tingkah laku yang dikatakan bermasalah 2. Memberi pengertian terperinci secara lebih objektif terhadap tingkah laku yang bermasalah itu 3. Memberi gambaran terhadap masalah yang ada. 4. Mencari masukan untuk upaya penyelesaian, 5. Terus berupaya berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian, jika ada perselisihan atau konflik di dalam keluarga, sebaiknya mereka dianjurkan untuk melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan kasus tersebut sesegera mungkin. Selain itu pihak yang berselisih perlu dianjurkan untuk tidak ragu-ragu untuk meminta pendapat pihak ketiga karena memang itu diperlukan untuk memberi banyak alternatif solusi menyelesaikan masalah dan konflik.

Anda mungkin juga menyukai