Anda di halaman 1dari 9

D. Manfaat dan kemajuan otonomi daerah selama ini 1. Keberhasilan Proses Transisi 2.

Tanda-tanda Pemerataan Pembangunan Sebelumaya telah disebutkan bahwa salah satu masalah utama otonomi daerah adalah kian tajamnya kesenjangan antara daerah-daerah itu sendiri. Namun sesungguhnya dalam waktu bersamaan juga mulai muncul tanda-tanda bahwa berbagai daerah yang di masa lampau lcbih incrupakan penonton kini mulai aktif, bahkan mulai tampil sebagai pemain utama. Sejumlah data menunjukkan bahwa kawasan luar Jawa mulai melaju dalam derap pembangunannya. Peraga VII-24 menunjukkan bahwa penjualan semen secara nasional kini lebih banyak tertuju ke berbagai kawasan luar Jawa. Data ini mengandung implikasi penting. Mcngingat semen adalah bahan baku utama konstruksi, maka dan kian dinamis pula pembangunannya semakin banyak semen mengalih ke suatu dacrah atau kawasan, berarti kian tinggi kegiatan konstruksi di sana.

di sumatrera, misalnya, pada tahun 1999, sekitar 53,31 jalan-jalan desa di sang sudah beraspal. Angka ini lebih rendall ketimbang data di tabor, 1996 yang sudah mencapai 53,83 persen. Namur di tahun 2002 persentasenya meningkat menjadi 58,58 persen. Peningkatan pCrScrItase jalan beraspal di pelosok pedesaan pada periode 1999-2002 juga terjadi di Kalimantan (dari 30,6 menjadi 32,4 persen), Sulawesi (dari 54,31 menjadi 59,58 persen), dan sedikit di Maluku, Papua C1,111 NUsa Tenggara (dari 41,21 menjadi 41,33 persen). Adapun di Jawa dan Bali, pada periode yang sama justru terjadi penurunan persentase jalan beraspal di pedesaan, yakni dari 74,85 menjadi 72,55 persen. Penurunan infrastruktur listrik (perscntase rumah tangga pelanggan PLN) juga terjadi di Jawa dan Bali selama periode 1999-2002 (78,98 menjadi 77,73) persen. Nasib serupa di-alarm olch Maluku, Papua clan Nusa Tenggara, dari 37,08 menjadi 36,63 persen. Adapun dacrah-dacrah lainnya (mcliputi mayoritas daerah) di Sumatera, Kalimantan, clan Sulawesi mengalami kenaikan persentase rumah tangga pelanggan PLN schingga kondisi infrastruktur listrik di daerah-daerah ini mengalami perbaikan. Peningkatan paling signifikan terjadi di Sumatera (48,93 ke 53,41 persen), disusul Kalimantan (52,08 ke 56,57 persen), lalu Sulawesi (49,98 menjadi 51,71 pci-scii). Tcrnyata daerah-clacrah pula yang paling banyak mengalami perbaikan infrastruktur komunikasi seluler (GSM), mcskipun awalnya',sektor

telckomunikasi ini mulai berkembang di Jawa (lihat Peraga VII-25). Setclah para

operator GSM mengembangkan sayap dengan membangun mcnara pemancar di berbagai pelosok wilayah, daerah-daerah di luar Jawa segera menyalip daerahdaerah di Jawa. Tingkat penetrasi GSM tertinggi ternyata ada di Kalimantan dengan 61 persen, disusul Sumatera dengan tingkat penetrasi 50 persen, barn disusul oleh Jawa dan Bali 45 person. Kelangkaan penduduk menjaclikan kawasan Maluku, Papua dan Nusa Tenggara mencatat tingkat penetrasi GSM paling renclah, yakni hanya 35 persen.

Kalau saja instrustruktur pelabuhan di berbagai dacrah dapat segera diperbaiki schingga tiap dacrah tidak harus jauh-jauh mengirinikan dahulu produknya ke Jakarta, maka bisa dipastikan kin("rja ckspor clan impor dacrahdacrah juga akan Icbih terpacu. Data ekspor (lihat "label VII-30) clan impor (1abcI \111-31) sclania ini mcnunjukkan masih dominannya Jakarta scbagai pusat kegiatan perdagangan internasional cli Indonesia. Angka ekspor dan impor yang sedemikian tit di Jakarta sebenarnya tidak mcnLinjukkan kepemilikan (schingga pecan dacrah tidak tampak) karena memang kegiatan ekspor clan impor masih terpusat di Jakarta. Namun kalau diingat apa saja produk andalan ckspor Indonesia, maka kita bisa mcnduga bahwa ketimpangan data ekspor dan impor itu scinata:nata karena lokasi pelaksanaan ckspor dan impornya saja. Selain minyak,

Indonesia masih sangat nenganclakananch produk yang hampir sernuanya merupakan produk atau output dacrah, mulai iari kclapa sawit, kayu dan produk kayuhasikarena hal itu akan sangat ierugikan para l-hasil pertambangan dan sebagainya.

3. Tanda-tanda Pemerataan Kepem;likan Dana dan Investasi Potensi pembangunan daerah juga ditdpang oleh lebih meratanya kepemilikan dan peredaran uang di seluruh Indonesia, meskipun tingkat perubahannya belum sebanyak yang seharusnya. Peraga. VII-26 menunjukkan di tahun 1997, 86,6 persen dari seluruh simpanan (deposito) milik masyarakat di Indonesia ada di Pulau Jawa. Namun sebarannya di Jawa pun sangat tidak merata karena sebagian besar terpusat di Jakarta (67,3 persen), lalu sisanya bagi ke semua provinsi lain di Pulau Jawa. Sumatera hanya mencatat 7,3 persen, dan yang paling menyedilikanscluruh Indonesia Tinier hanya memiliki 6,2 persen. Lalu di tahun 2007, pemusatan dcposito masyarakat di perbankan di Pulau Jawa turun menjadi. 75,3 persen, namun Jakarta masih menguasai hampir separuh deposito masyarakat di Indonesia. Jumlah deposito masyarakat di Sumatra dan Kawasan Timur Indonesia memang naik hampir dua kali lipat, clan persentasenya dibandingkan dengan angka nasional masih sangat kecil. Namun data yang lebih barn dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa pemerataan itu sudah meningkat lagi selama tahun 2008 (lihat Tabel VII-32). Dari total Rp 1.551.634.566.00C dana simpanan masyarakat di perbankan Indonesia di bulan September 2008, penguasaar DKI Jakarta turun lagi menjadi 46,9 persen, sedangkan penguasaar semua provinsi di Pulau Jawa juga kembali turun menjadi 73,6 persen. Dcngan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam jangka plijang tcrjadi peningkatan kccendcrungan penierataan simpanan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Proporsi simpanan masyarakat di perbankan di Pulau Jaw,; terns menurun, scnicntara proporsi di luar Jawa torus meningkat. Jika kccenderungan ini torus berlanjul, maka dalam beberapa tahun ke dcpan kita akan menyaksikan perbandingan kcpcinilikan wing masyarakat antardaerah yang lebih seimbang.

4. Peningkatan Pelayanan Masyarakat Di bagian pcmbahasan sebelumnya dalam bab ini telah dinyatakan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang belum turut menikmati manfaat otonomi daerah. Pcrnyataan itu bertolak dari perbandingan antara apa yang sudah diperoleh dan apa yang diharapkan dapat diperoleh. Namu kalau perbandingannya adalah antara apa yang diperoleh setelah, otonomi daerah dan apa yang diperoleh sebelum otonomi daerah, maka pernyataan yang muncul adalah bahwasanya telah terjadi peningkatan pelayanan (oleh aparat daerah) kepada masyarakat. Peraga VII-23 memperlihatkan bahwa selama periode 2005-2006 telah tcrjadi peningkatan kepuasan para warga masyarakat pada umumnya akan pelayanan pemerintah daerah. Demikian pula dengan hasil penelitian tentang respons masyarakat tentang kualitas kantor bupati (Peraga VII-29). Meskipun masih banyak hal yang harus dibenahi, suclah mulai ada tanda bahwa pihak daerah mulai berusaha meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat, yang merupakan inti tujuan dari keseluruhan proses besar otonomi daerah itu sendiri.

Bagaimana dengan respons dunia usaha? Sampai sekian jauh belurn terjadi perubahan sikap clan arah maurun kebijakan investasi perusahaan besar. Sebagian besar investasi asing la , ngsung (PNIA) maupun investasi dalam negeri (PMDN) sampai sekarang masih terfokus di Pulau Jawa. Tabel VII-34 menunjukkan sampai tahun 2007 sekjtar tiga perempat dari investasi para pengusaha dalam negeri masih tercurah di Jawa. Demikian pula dengan investasi asing (lihat Tabel VII-35) yang lebih dari 80 persennya masih terpusat ' di Jawa. Persepsi buruk ketidakmampuan clan korupsi daerah masih cukup kuat di kalangan pengusaha nasional sehingga terlihat perubahan signifikan dalam arah dan peta investasi di Indonesia selama ini. Names jika ditilik secara lebih saksarna, hal ini tidak semata-mata disebabkan oleh kelemahan dacrah, mclainkan juga terkait faktor lain. Pertama, kecenderungan itu sendiri terkait dengan apa yang terjadi dalam skala nasional, yakni penurunan investasi rill sementara kegiatan investasi justru kian banyak terfokus pada investasi di sektor non-tradeables yang ada di kota-kota besar. Kedua, masih cukup banyak pengusaha yang terbiasa dan terlena dengan

sistem sentralistis di masa lalu, era otonomi daerah merupalcan ancaman. Di masa lalu segala urusan diselesaikan di Jakarta. Uang pelicin dibayar lewat satu pintu clan segalanya akan bores. Ini pola khas Orde Baru. Jika

Pemahaman yang Iebih mendalam alas perubahan lingkungan eksternal dunia usaha ini akan menjadi bekal yang sangat berharga untuk tetap bertahan. Dunia usaha harus pula memahami latar belakang dari timbuinya beragam ekses yang tidak menyenangkan. Dunia usaha dipaksa untuk membangun pola komunikasi yang efektif dengan pemerintahan dan masyarakat setempat. Tak

sedikit pejabat daerah yang berubah perilaku setelah menyadar bahwa tindakan mereka sclania ini justru merugikan daerahnya sendiri. Pemerintah daerahsebagaimana pemerintah pusat, dunia usaha, dan masyarakat pada umumnyasama-sama sedang melakoni proses pembelajaran dari perubahan yang terjad di lingkungann) a masing-masing. Sudah barang tentu ada biaya yang harus dibayar di dalan proses pembelajaran ini. Salah satu biayanya ialah memburuknya iklim investasi. Namun terlalu naif untuk mengatakan bahwa otonomi daerahlah yang menjadi biang keladi dal memburuknya iklim investasi. Teramat banyak indikator yang menunjukkan bahwa penyurnbang terbesar dari kemersotan investasi di Indonesia pascakrisis adalah pemerintah pusat. Tidak seclikit kebijaka pemerintah yang justru mengganggu dunia usaha. Salah satu contohnya ialah peningkata bea masuk untuk, produk yang dihasilkan oleh industri hulu yang mematikan industri hilir. Contoh lain ialah merajalelanya penyclundupan sehingga mematikan industri lokal. Pungutan yang dikutip oleh instansi-instansi di pusat masih terus berlangsung dan sangat boleh jauh lebih besar daripada yang dipungut daerah. Dalam hal lamanya pengurusan berbagai macam izin, instansi-instansi di pusat jug cenderUng lebih panjang ketimbang di daerah. Dengan demikian, pembenahan mendasar di pusat akan memberikan kontribusi yang jauh lebih berarti bagi perbaikan iklim usaha da investasi di Tanah Air. Ini tak berarti bahwa pelaksanaan otonomi daerah telah sesuai denga harapan. Masih banyak yang harus diper'baiki untuk mewujudkan otonomi yang hakiki. Yan terjadi sekarang hanya sebatas pengalihan kekuasaan dari elite di pusat ke elite di daerah. Yang harus terus diperjuangkan ialah otonomi yang hakiki, yakni otonomi, yang

membebaskan masyarakat dari keterkungkungan dan beban yang kian sarat. Kita berharap pemilihan umum raga (legislatif dan presiden) tahun 2009 bisa menghasi kan lembaga politik yang lebih kredibel dan dipercaya oleh rakyat. Presiden yang dihasilkan,lewat pemilihan langsung dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga dipil langsung oleh rakyat diharapkan bisa menggelindingkan inisiatif untuk melakukan pembaruan yang bertumpu pada

aspirasi rakyat. Dengan begitu otonomi di masa mendatang diharapkan mampu menciptakan iklim investasi yang lebih sehat, sehingga bisa rnendongkra daya saing nasional.

Anda mungkin juga menyukai