Anda di halaman 1dari 23

APA DIAGNOSIS PADA PASIEN INI?

Pasien ini didiagnosis sebagai serangan asma akut ringan pada asma intermiten. Diagnosis asma akut ringan didasarkan pada frekuensi nafas 24 x/menit dan frekuensi nadi 100 x/menit, sedangkan asma intermiten didasarkan kepada frekuensi serangan yang kurang dari 1x/minggu. Ada beberapa item untuk menilai derajat serangan asma, tetapi pada pasien ini hanya dijumpai frekuensi nafas dan frekuensi nadi, oleh karena itu dengan data tersebut kami menegakkan diagnosis serangan asma akut ringan. Begitupun dengan diagnosis asma intermiten ditegakkan berdasarkan frekuensi serangan asma yang kurang dari 1x/minggu. Klasifikasi Serangan Asma Akut

Klasifikasi GINA 2006

PELEGA (RELIEVER) 2

AGONIS SELEKTIF RESEPTOR 2 2 agonis merupakan salah satu obat utama dalam pengobatan asma bronkial. Bentuk aerosol nya adalah obat pilihan utama untuk mengatasi serangan akut. Bentuk ini jga efektif untuk profilaksis seangan akibat hawa dingin atau olahraga, tetapi pasien perlu dilatih untuk menggunakan aerosol dengan teknik yang benar, karena hal ini sangat menentukan keberhasilan terapi. Farmakodinamik Obat golongan 2 agonis termask metaproterenol ( orsiprenalin ), salbutamol ( albuterol ), terbutalin, fenoterol, formeterol, prokaterol, salmeterol, pirbuterol, bitolterol, isoetarin, dan ritodrin. Pada dosis kecil, kerja obat obat ini pada reseptor 2 jauh lebih kuat daripada kerjanya pada reseptor 1. Tetapi bila dosisnya ditinggikan, selektivitas ini hilang. Misalnya pada pasien asma, salbutamol kira kira sama kuat dengan isoproterenol sebagai bronkodilator ( bila diberikan sebagai aerosol ), tetapi jauh lebih lemah dari isoproterenol sebagai stimulan jantung. Tetapi bila dosis salbtamol ditinggikan 10 kali lipat, diperoleh efek stimulan jantung yang menyamai efek isoproterenol. Melalui aktivitas reseptor 2, obat obat ini menimbulkan relaksasi otot polos bronkus, uterus, dan pembuluh darah otot rangka. Aktivitas reseptor 1 yang menghasilkan stimulasi jantung, oleh dosis yang sama, jauh lebih lemah. Obat obat ini, yang hanya menimbulkan sedikit perubahan tekanan darah, dikembangkan terutama untuk pengobatan asma bronkial. Selektivitas obat obat ini terhadap reseptor 2 tidak sama untuk setiap obat, misalnya metaproterenol kurang selektif dibandingkan dengan salbutamol. Famakokinetik Golongan 2 agonis selain efektif pada pemberian oral, juga di absorbsi dengan baik dan cepat pada pemberian sebagai aerosol. Obat obat ini bukan katekolamin maka resisten terhadap COMT, kecuali isoetarin yang merupakan katekolamin. Terbutalin merpakan satu satunya 2 agonis yang mempunyai sediaan parenteral untuk pengobatan darurat status asmatikus. Efek Samping Efek samping berupa tremor, rasa gugup, khawatir, takikardia, palpitasi, nyeri kepala, mual, muntah, terutama pada pemberian oral. Efek samping sistemik ini jarang terjadi pada pemberian secara inhalasi. Penggunaan 2 agonis sebagai bronkodilator harus hati hati pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, hipertiroid atau diabetes. Sediaan oral menimbulkan lebih banyak efek samping kardiovaskular dan sentral, karena itu tidak dianjurkan digunakan pada pengobatan asma kecuali untuk pasien yang tidak mau / mampu menggunakan aerosol. SALBUTAMOL Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman dan paling efektif. Tidak salah jika obat ini banyak digunakan untuk pengobatan asma. Selain untuk membuka saluran pernafasan yang menyempit, obat ini juga efektif untuk mencegah timbulnya exercise-induced broncospasm (penyempitan saluran pernafasan akibat olahraga). Saat ini, salbutamol telah banyak 3

beredar di pasaran dengan berbagai merk dagang, antara lain: Asmacare, Bronchosal, Buventol Easyhaler, Glisend, Ventolin, Venasma, Volmax, dll. Sediaan


Dosis

IDT 100 mcg/semprot Nebules/solutio 2,5 mg/2 mL, 5 mg/mL Tablet 2 mg, 4 mg Sirup 1 mg, 2 mg/5mL

Inhalasi : dosis dewasa 200 mcg, 3 4 kali/hari, dosis anak100mcg, 3 4 kali/hari, Oral : dosis dewasa 1 2 mg, 3 4 kali/hari, dosis anak 0,05 mg/kg/bb/kali, 3 4/hari

TERBUTALIN Sediaan Dosis IDT : dewasa 0,25 0,5 mg, 3-4x/hr, dosis anak (<12ttahun) 0,25 mg 3-4kali/hari Oral : deawa 1,5 2,5 mg 3 4kali/hari, dosis anak 0,05 mg/kg/BB/x 3-4x/hr Injksi : 250-500 micrograms sampai 4 kali sehari. Anak 2-15 tahun 10 microgram/kg, maksimal 300 micrograms. Dari berbagai bentuk sediaan yang ada, pemberian dalam bentuk inhalasi aerosol cenderung lebih disukai karena selain efeknya yang cepat, efek samping yang ditimbulkan lebih kecil jika dibandingkan sediaan oral seperti tablet. Bentuk sediaan ini cukup efektif untuk mengatasi serangan asma ringan sampai sedang, dan pada dosis yang dianjurkan, efeknya mampu bertahan selama 3-5 jam. Beberapa keuntungan penggunaan dalam bentuk inhalasi aerosol, antara lain: IDT 0,25 mg/semprot Turbuheler 0,25 mg; 0,5mg/hirup Raspule/solutio 5 mg / 2 mL Talt 2,5 mg Sirup 1,5; 2,5mg/5mL Suntikan subkutan atau injeksi intravena lambat.

Efek obat akan lebih cepat terasa karena obat yang disemprotkan/dihisap langsung masuk ke saluran nafas. Karena langsung masuk ke saluran nafas, dosis obat yang dibutuhkan lebih kecil jika dibandingkan dengan sediaan oral. Efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan sediaan oral karena dosis yang digunakan juga lebih kecil. Namun demikian, penggunaan inhalasi aerosol ini juga memiliki kelemahan yaitu ada

kemungkinan obat tertinggal di mulut dan gigi sehingga dosis obat yang masuk ke saluran nafas

menjadi lebih sedikit dari dosis yang seharusnya. Untuk memperbaiki penyampaian obat ke saluran nafas, maka bisa digunakan alat yang disebut spacer(penghubung ujung alat dengan mulut). METILSANTIN Tiga metilsantin penting adalah teofilin, teobromin, dan kafein. Sumber utamanya terdapat di minuman (teh, coklat, kopi). Kepentingan teofilin sebagai agen terapeutik pada pengobatan asma yang paling efektif sebagai agen adrenoseptor inhalasi pada asma akut serta sebagai agen antiinflamasi inhalasi pada asma kronik sudah mulai berkurang, tetapi harga yang sangat murah merupakan keuntungan dari segi ekonomis pada pasien yang kurang mampu. Preparat teofilin yang sering digunakan untuk tujuan terapeutik adalah aminofilin, (kompleks teofilin-atilenediamin). Mekanisme Kerja Pada konsentrasi tinggi, secara in vitro obat ini menghambat beberapa enzim kelompok fosfodiesterase (PDE). Karena PDE menghidrolisis nukleotida siklik, penghambatan ini menghasilkan konsentrasi cAMP intrasel yang lebih tinggi dan cGMP di beberapa jaringan. cAMP berperan pada banyak fungsi sel seperti stimulasi fungsi jantung, relaksasi otot polos, dan menurunkan sel imun dan inflamasi. Dari berbagai bentuk PDE yang telah teridentifikasi, PDE4 yang paling dipengaruhi kerjanya oleh metilsantin di otot polos saluran nafas dan sel inflamasi. Penghambatan PDE4 di sel inflamasi mengurangi pelepasan sitokin dan kemokin sehingga menurunkan aktivasi dan migrasi sel imun. Farmakodinamik Metilsantin memiliki efek pada SSP, ginjal, jantung, dan otot rangka sebagaimana pada otot polos. Dari ketiga agen, teofilin paling selektif bekerjan pada otot polos, sedangkan kafein berefek pada SSP. Susunan Saraf Pusat : Pada dosis rendah dan sedang, metilsantin khususnya kafein menyebabkan perangsangan SSP. Pemberian kafein 85-250 mg (1-3 cangkir kopi) menyebabkan perasaan tidak begitu mengantuk, tidak begitu lelah, dan daya pikirnya lebih jernih dan cepat tetapi kemampuan dalam pekerjaan yang butuh koordinasi otot halus berkurang (pada individu yang sensitive). Efek samping teofilin 250 mg atau lebih pada pengobatan asma bronchial mirip dengan gejala perangsangan kafein terhadap SSP. Bila dosis ditinggikan, akan menyebabkan gugup, gelisah, insomnia, tremor, hiperestesi, kejang fokal atau kejang umum. Kejang akibat teofilin ternyata lebih kuat dibandingkan kafein. Kejang sering terjadi bila kadar teofilin darah 50% lebih tinggi daripada kadar terapi (10-20 g/ml), gejala kejang ini kadang-kadang refrakter terhadap obat antikonvulsi. Metilsantin merangsang pusat nafas terutama terlihat pada keadaan patologis tertentu misalnya pernafasan Cheyne Stokes, dll. Efek kardiovaskular Metilsantin memiliki efek kronotropik positif dan inotropik positif. Pada konsentrasi rendah, efek ini dihasilkan oleh inhibisi reseptor adenosine presinaps di saraf simpatis sehingga meningkatkan pelapasankatekolamin di ujung saraf. Konsentrasi yang lebih tinggi (> 10mol/L, 2 mg/L) berkaitan

dengan inhibisi PDE dan peningkatan cAMP sehingga terjadi influx kalsium. Pada konsentrasi yang sangat tinggi (>100mol/L), pengambilan kasium oleh reticulum sarkplasmik diganggu. Efek klinik metilsantin pada fungsi KV bervariasi antar individu. Kebiasaan Konsumsi kopi dan metilsatin lain bisa menyebabkan sedikit takikardi, peningkatan curah jantung dan resistensi perifer, sedikit kenaikan tekanan darah. Pada imdividu sensitive, konsumsi beberapa gelas kopi dapat menyebabkan aritmia. Pada dosis besar, agen ini merelaksasikan otot polos pembuluh darah kecuali pada pembuluh darah serebral.

Efek Saluran Cerna : Metilsantin Merangsang Sekresi Asam Lambung Dan Enzim pencernaan. Efek Ginjal: Teofilin merupakan diuretic lemah. Efek pada otot polos; Efek terpenting santin adalah relaksasi otot polos bronkus (bronkodilator), terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi secara eksperimental akibat histamine atau secara klinis pada pasien asma bronchial.

Efek pada otot rangka: Dalam kadar terapi, kafein dan teofilin ternyata dapat memperbaiki kontraktilitas dan mengurangi kelelahan otot diafragma pada orang normal maupun pasien COPD.

Farmakokinetik Metilsantin cepat diabsorpsi setelah pemberian oral, rectal atau parenteral. Sediaan bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorpso secara cepat dan lengkap. Absorpsi juga berlangsung lengkap untuk beberapa jenis sediaan lepas lambat. Absorpsi teofilin dalam bentuk garam yang mudah larut, misalnya teofilin Na gilisinat atau teofilin kolin tidak lebih baik. Sediaan teofilin parenteral atau rectal ternyata tetap menimbulkan keluhan nyeri saluran cerna, mual dan muntah. Rupanya gejala ini berhubungan dengan kadar teofilin dalam plasma. Keluhan saluran cerna yang disebabkan oleh iritasi setempat dapat dihindarkan dengan pemberian obat bersama makanan tetapi akan terjadi penurunan absorpsi teofilin. Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin oral dapat menghasilkan kadar puncak plasma dalam waktu 2 jam sedangkan kafein dalam waktu 1 jam. Saat ini tersedia teofilin lepas lambat yang dibuat sedemikan rupa agar dosis teofilin dapat diberikan dengan interval 8,12 atau 24 jam. Metilsantin didistribusikan ke sluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Vd kafein dan teofilin adalah antara 400 dan 600 ml/kg; pada bayi premature nilai ini lebih tinggi. Dalam kadar terapi, ikatan teofilin dengan protein kira-kira 60% tetapi pada bayi baru lahir dan pada pasien sirosis hati ikatan protein ini lebih rendah (40%). Eliminasi metilsantin terutama melalui metabolism dalam hati. Sebagian besar diekskresi bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin. Kurang dari 20% teofilin dan 5% kafein akan ditemukan di urin dalam bentuk utuh. Waktu paruh plasma kafein antara 3-7 jam, nilai ini akan menjadi 2 kali lipat pada wanita hamil tua atau pengguna pil kontrasepsi jangka panjang. Sedangkan waktu paruh plasma teofilin pada orang dewasa 8-9 jam dan pada anak muda kira-kira 3,5 jam. Pada pasien sirosis hati atau edema paru akut, kecepatan eliminasi sangat bervariasi dan berlangsung lebih lambat. Indikasi Asma bronchial: 6

Senyawa teofilin merupakan salah satu obat yang diperlukan pada serangan asma yang berlangsung lama (status asmatikus). Dalam mengatasi status asmatikus diperlukan berbagai tindakan termasuk penggunaan oksigen, aspirasi mucus bronkus, pemberian obat simpatomimetik, bronkodilator, ekspektoran dan sedative. Selain itu teofilin digunakan sebagai profilaksis terhadap serangan asma. Pada pasien asma, diperlukan kadar terapi teofilin sedikitnya 5-8 g/ml, sedangkan efek toksik mulai terlihat pada kadar 15g/ml dan lebih sering di atas 20 g/ml. karena itu pada pengobatan asma diusahakan kadar teofilin dipertahankan kira-kira 10g/ml. Untuk mengatasi episode spasme bronkus hebat dan status asmatikus, perlu diberikan aminofilin IV dengan dosis muat (loading dose) 6mg/kgBB yang ekuivalen dengan teofilin 5mg/kgBB. Obat ini diberikan secara infuse selama 20-40 menit. Bila belum tercapai efek terapi dan tidak terdapat tanda intoksikasi, maka dapat ditambahkan dosis 3mg/kgBB dengan infuse perlahan-lahan. Selanjutnya efek yang optimal dapat dipertahankan dengan pemberian infuse aminofilin 0,5mg/kgBB/jam untuk dewasa normal dan bukan perokok. Anak < 12 tahun dan orang dewasa perokok memerlukan dosis lebih tinggi yaitu 0,8-0,9mg/kgBB/jam. Tanpa mengetahui kadar obat dalam plasma, pemberian infuse tidak boleh melebihi 6 jam. Dosis awal teofilin oral bagi orang dewasa adalah 400mg/hari, yang dapat ditambahkan 25% dengan interval 3 hari sehingga dicapai dosis maksimum kira-kira 13mg/kgBB/hari pada orang dewasa dan 24mg/kgBB/hari pada anak umur 1-9 tahun. Sebagai petunjuk penyesuaian dosis harus diperhatikan gejala intoksikasi yaitu mual, muntah, sakit kepala; respon klinik dan kadar teofilin dalam plasma. Kombinasi dengan agonis B2-adrenergik misalnya metaproterenol atau terbutalin ternyata meningkatkan efek bronkodilatasi teofilin sehingga dapat digunakan dosis dengan risiko efek samping yang lebih kecil. Keracunan teofilin biasanya terjadi pada pemberian obat berulang secara oral maupun parenteral. Aminofilin IV harus disuntikan perlahan-lahan selama 20-40 menit untuk menghindari gejala keracunan akut (kadar di plasma > 20 g/ml) misalnya sakit kepala, mual, muntah, hipotensi dan nyeri prekrodial, takikardi, gelisah hebat, agitasi dan muntah. Kejang lokal atau umum dapat pula terjadi, kadang-kadang tanpa didahului gejala keracunan. COPD Apnea pada bayi prematur Sediaan: oral (kapsul/kapsul lunak 130mg, tab 150mg, tab salut selaput lepas lambat 125mg, 250mg, 300mg, sirup50mg/5ml, 130mg/15ml, 150mg/15ml. Kombinasi tetap dengan efedrin (untuk asma bronchial). IV: garam teofilin (amp 10ml, 24mg/ml).

KORTIKOSTEROID 7

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku1. Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek. Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450. Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki kerja mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid. Penggunaan Klinis Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis, systemic lupus erythematosus, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya ondansetron)2. Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi. Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya diberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom chusing, atau aldosteronisme. Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom chusing. Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral pada jam 11 malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal, konsentrasi kortisol biasanya kurang dari 5 g/dl, sedangkan pada sindrom chusing kadarnya biasanya lebih besar daripada 10 g/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya pada keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain. 8

Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu dengan pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden sindrom gawat nafas pada bayi yang dilahirkan secara prematur. Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses penyakitnya2. Penggunaan kortikosteroid dalam menangani asma bronchial dan penyakit saluran napas. Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada serangan akut pasien asma bronchial maupun kronik untuk mengatasi serangan secara cepat reaksi radang yang ternyata selalu terjadi pada saat serangan asma. Glukokortikoid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Tetapi sebagai anti inlamasi obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosanoid, mengahambat peningkatan basofil, eosinofil, dan lekosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular, sehingga saat ini kortikosteroid adalah obat paling efekti untuk asma bronchial. Pengobatan sistemik berisiko tinggi untuk timbulnya efek samping serius, penemuan glukokortikoid inhalasi merupakan kemajuan besar dalam terapi asma karena obat langsung sampai ke target organ sehingga sangat efektif sedangkan risiko efek samping sistemik sangat rendah. Saat ini ada 5 preparat yang berbentuk inhalasi yaitu beklometason dipropionat, triamnisolon asetonid, flunisolid, budesonid, flutikason propionate. Pasien yang dianggap perlu ditangani dengan terapi inhalasi kortikosteroid adalah pasien asma yang memerlukan 2 adrenergik agonis 4 kali atau lebih dalam satu minggu. Pada status asmatikus atau asma kronis yang berat, glukokortikoid dosis besar harus segera diberikan, metal prednisolon Na suksinat 60-100 mg setiap 6 jam dapat diberikan secara IV. Bila gejala mereda, dapat diikuti pemberiaan prednisone oral 40-60 mg/hari. Dosis diturunkan bertahap sampai hari ke 10 terapi dapat dihentikan. Eksaserbasi akut asma dapat diatasi dengan prednisone 30 mg, 2 kali sehari selama 5 hari kemudian bila masih perlu terapi dapat diperpanjang 1 minggu dengan dosis yang lebih rendah. Bila pemberian obat anti asma lain memberikan respons yang baik, kortikosteroid dapat dihentikan dengan cara yang benar. Farmakodinamik kortikosteroid Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi 9

oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur respons glukokortikoid utama. Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi3. Efek Samping Kortikosteroid Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan menimbulkan gambaran klinik sindrom cushing iatrogenik. Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi. Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma, limfoma, dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen anti inflamasi. Iatrogenic Cushings syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid atau steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat, bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis adrenal pituitari. Keparahan dari iatrogenic Cushings syndrome terkait dengan dosis steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi. Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke dalam sel melewati membran s?l dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan uptake glukosa3. Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies yaitu golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus dan kelinci. Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan menyebabkan limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi limfosit-T daripada limfosit-B. Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi limfosit belum diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer. Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang normal menyebabkan limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-6 jam setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah 24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.

10

Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada membran makrofag. Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar suprafarmakologik. Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang menggunakan 3570 mg prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil. Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi. Di samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi. Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi dan akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid pada makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada penggunaan kortikosteroid setiap hari2. Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil terhadap pengaruh antiinflamasi kortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan kortikosteroid selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid mungkin juga mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit mempengaruhi stabilitas membran lisosom pada kadar farmakologik. Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik komplemen. Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN. Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini telah dibuktikan secara invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb. Intravena atau secara invivo dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena. Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga berpengaruh terhadap sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan mempermudah terjadinya infeksi oleh karena terjadi gangguan mekanisme pertahanan kulit. Beberapa efek samping lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus, osteoporosis, gangguan psikologik dan hipertensi. Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami miopati, yang sifatnya 11

belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada beberapa penderita4. Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada penderita ini. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-anak. Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif. Penanganan Efek Samping Kortikosteroid Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahanlahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin. Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan5. AGEN ANTIMUSKARINIK/ANTIKOLINERGIK Mekanisme Kerja Antagonis muskarinik berkompetitif menghambat efek asetilkolin di reseptor muskarinik (reseptor M3).Di saluran nafas, Ach dilepaskan dari ujung saraf nervus vagus dan antagonis muskarinik memblok kontraksi otot polos saluran nafas dan peningkatan sekresi mucus yang terjadi sebagai respon aktivitas vagal. Indikasi Agen antimuskarinik adalah bronkodilator efektif. Atropine IV menyebabkan bronkodilatasi pada dosis yang lebih rendah daripada dosis yang meningkatkan frekuensi ke sirkulasi dan tidak bisa menembus SSP. Walaupun agen antimuskarinik sedikit kurang efektif dibandingkan agen agonis dalam mengembalikan akut berat. bronkospasme asma, penambahan ipratropium (metered-dose inhalers) meningkatkan bronkodilatasi yang dihasilkan oleh nebulisasi albuterol (COMBIVENT) pada asma jantung. Ipratropium bromide (ATROVENT) dapat diberikan dalam dosis tinggi secara inhalasi karena sedikit sekali yang diabsorpsi

12

Efek bronkodilatasi tidak seefektif -2 agonis kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek efek maksimum. Sediaan: Aerosol: 17 (freon-free), 18 mcg/puff in 200 metered-dose inhaler; 0.02% (500 mcg/vial) for nebulization Nasal spray: 21, 42 mcg/spray

OBAT APAKAH YANG AKAN SAUDARA BERIKAN PADA PENDERITA TERSEBUT? JELASKAN DOSIS DAN CARA PEMBERIANNYA! Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia tahun 2004, pengobatan terbaik untuk serangan asma sedang adalah nebulisasi agonis beta-2 kerja singkat. Dan obat alternatif yang dapat diberikan adalah agonis beta-2 subkutan, aminofilin IV dan adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan. Berikut beberapa pertimbangan penggunaan obat di atas: Obat serangan asma Salbutamol/Albuterol Inhalasi Terbutalin Prokaterol Fenoterol Aminofilin IV Adrenalin SK Efficacy +++ +++ + + ++ ++ Safety +++ +++ +++ +++ + + Suitability ++ +++ +++ Cost ++ +

+++ (lebih murah)

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka obat yang diberikan pada pasien ini adalah nebulisasi salbutamol/albuterol dengan dosis 0,5 mg setiap kali pemberian. Obat diberikan setiap 20 menit dalam satu jam. Setelah itu dilakukan penilaian respon obat untuk menentukan tindakan selanjutnya.

13

PENGONTROL (CONTROLLERS) Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol : Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik Sodium kromoglikat Nedokromil sodium Metilsantin Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi Agonis beta-2 kerja lama, oral Leukotrien modifiers Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1) Lain-lain

Rute pemberian medikasi Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah : lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas efek sistemik minimal atau dihindarkan

14

beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.

Macam-macam cara pemberian obat inhalasi

Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI) IDT dengan alat Bantu (spacer) Breath-actuated MDI Dry powder inhaler (DPI) Turbuhaler Nebuliser

GLUKOKORTIKOSTEROID INHALASI Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup (bukti A). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang direkomendasikan. Glukokortikoid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Tetapi sebagai antiinflamasi obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosanoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil, dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vaskular. Penemuan glukokortikoid inhalasi merupakan kemajuan besar dalam terapi asma karena obat langsung sampai ke target organ sehingga sangat efektif sedangkan resiko efek samping sistemik sangat rendah. a) Efek pada paru-paru Steroid tidak memiliki efek langsung pada otot polos saluran nafas. Tetapi, glukokortikoid inhalasi menurunkan jumlah dan aktivitas sel-sel yan terlibat dalam inflamasi saluran nafas-makrofag, eosinofil, dan limfosit T. Inhalasi steroid yang berkepanjangan mengurangi hiperesponsivisitas otot polos saluran nafas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan bronkokonstriksi, seperti alergen, iritan, udara dingin, dan aktivitas fisik. Steroid anti-inflamasi mengurangi inflamasi dengan menghilangkan edema mukosa, menurunkan permeabilitas kapiler, dan menghambat penglepasan leukotrien. Reaktivitas bronkial sangat kurang. b) Farmakokinetik Obat-obat inhalasi Perkembangan steroid inhalasi telah sangat mengurangi kebutuhan akan pengobatan kortikosteroid sistemik. Steroid sistemik Pasien dengan eksaserbasi asma berat (status asmatikus) mungkin memerlukan pemberian metilprednisolon intravena atau prednison oral. Dosis besar harus segera 15

diberikan : metil prednisolon-Na-suksinat 60-100 mg setiap 6 jam dapat diberikan secara intravena. Bila gejala mereda, dapat diikuti pemberian prednison oral 40-60 mg/hari. Dosis siturunkan bertahap sampai hari ke-sepuluh, terapi dapat dihentikan. Terapi nonsteroid dapat diberikan setelah keadaan mereda. Spacers Suatu ruang dengan volume besar yang dilekatkan pada metered dose inhaler dan digunakan untuk mengurangi timbunan obat dalam mulut. Ruangan ini berguna untuk mengurangi kecepatan gerakan aerosol yang disemprotkan sebelum masuk ke dalam mulut, dan memungkinkan partikel obat yang besar terkumpul didalam alatnya. Lebih kecil dan lebih rendah kecepatan gerakan partikel obat lebih kecil kemungkinan untuk terkumpul didalam mulut dan lebih memungkinkan obat mencapai jaringan saluran napas yang menjadi tujuannya. Spacers memperbaiki penghantaran glukokortikoid inhalasi dan sebenarnya dianjurkan untuk digunakan oleh semua pasien. berkumur setelah menghirup obat ini dan juga mengurangi absorbsi sistemik dan kemungkinan timbul kandidiasis orofaring. c) Efek samping Glukokortikoid oral atau parenteral mempunyai berbagai efek samping yang serius. Namun glukokortikoid inhalasi terutama jika digunakan bersama spacers memiliki sedikit efek samping sistemik. Kandidiasis oropharingeal kadang-kadang disebut thrush, mungkin menjadi masalah bagi pasien yang menghirup glukokortikoid, terutama pada pasien dengan penekanan imun. Spacers mengurangi masalah penekanan adrenal dengan mengurangi jumlah glukokortikoid yang terkumpul dalam oropharing.

Beberapa glukokortikosteroid berbeda potensi dan bioavailibiti setelah inhalasi, pada tabel 11 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa glukokortikosteroid berdasarkan perbedaan tersebut. 16

Kurva dosis-respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal paru, hiperesponsif jalan napas), tetapi bahkan meningkatkan risiko efek samping. Sehingga, apabila dengan steroid inhalasi tidak dapat mencapai asma terkontrol (walau dosis sudah sesuai dengan derajat berat asma) maka dianjurkan untuk menambahkan obat pengontrol lainnya daripada meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut (bukti A). Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah inhalasi. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan dengan biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga masing-masing obat steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan efek sistemik. Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan triamsinolon. Risiko efek sistemik juga bergantung sistem penghantaran. Penggunaan spacer dapat menurunkan bioavailabiliti sistemik dan mengurangi efek samping sistemik untuk semua glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data yang menunjukkan terjadi tuberkulosis paru pada penderita asma malnutrisi dengan steroid inhalasi, atau terjadi gangguan metabolisme kalsium dan densiti tulang. GLUKOKORTIKOSTEROID SISTEMIK Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol (walau telah menggunakan paduan pengoabatn sesuai berat asma), maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu terjadi juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral :

Gunakan

prednison,

prednisolon,

atau

metilprednisolon

karena

mempunyai

efek

mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal Bentuk oral, bukan parenteral Penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari

17

Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot. Perhatian dan supervisi ketat dianjurkan pada pemberian steroid oral pada penderita asma dengan penyakit lain seperti tuberkulosis paru, infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan tukak lambung. Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela, maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan. AGONIS BETA-2 KERJA LAMA Golongan 2 agonis meliputi : metaproterenol (orsiprenalin), salbutamol (albuterol), terbutalin, fenoterol, formoterol (yang mempunyai waktu kerja lama, > 12 jam), prokaterol, salmeterol, pirbuterol, bitolterol, isoetarin, dan ritodrin. Pada dosis kecil, kerja obat-obat ini pada reseptor 2 jauh lebih kuat daripada kerjanya pada reseptor 1. Tetapi bila dosisnya di tinggikan, selektivitasnya ini akan hilang, misalnya pada pasien asma salbutamol kira-kira sama kuat dengan isoproterenol sebagai bronkodilator (bila diberikan sebagai aerosol), tetapi jauh lebih lemah dari isoproterenol sebagai stimulasi jantung. Tetapi bila dosis salbutamol di tinggikan 10 kali lipat, diperoleh efek stimulasi jantung yang menyamai efek isoproterenol. Melalui aktivitas reseptor 2, obat-obat ini menimbulkan relaksasi otot polos bronkus, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil, relaksasi uterus, dan pembuluh darah otot rangka. Aktivasi reseptor 1 yang menghasilkan stimulasi jantung, oleh dosis yang sama, jauh lebih lemah. Obat-obta ini hanya akan menimbulkan sedikit perubahan tekanan darah, dikembangkan terutama untuk pengobatan asma bronkial. Selektivitas obat-obat ini terhadap reseptor 2 tidak sama untuk setiap obat, misalnya metaproterenol, kurang selektif dibandingkan dengan salbutamol. Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.

Perannya dalam terapi sebagai pengontrol bersama dengan glukokortikosteroid inhalasi dibuktikan oleh berbagai penelitian, inhalasi agonis beta-2 kerja lama sebaiknya diberikan ketika dosis standar glukokortikosteroid inhalasi gagal mengontrol dan, sebelum meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi tersebut (bukti A). Karena pengobatan jangka lama dengan agonis beta18

2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi (bukti A). Penambahan agonis beta-2 kerja lama inhalasi pada pengobatan harian dengan glukokortikosteroid inhalasi, memperbaiki gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis beta-2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma (bukti A). Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan agonis beta-2 kerja lama inhalasi (salmeterol atau formoterol) pada asma yang tidak terkontrol dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi, akan memperbaiki faal paru dan gejala serta mengontrol asma lebih baik daripada meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi 2 kali lipat (bukti A). Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa memberikan glukokortikosteroid kombinasi dengan agonis beta-2 kerja lama dalam satu kemasan inhalasi adalah sama efektifnya dengan memberikan keduanya dalam kemasan inhalasi yang terpisah (bukti B); hanya kombinasi dalam satu kemasan (fixed combination) inhaler lebih nyaman untuk penderita, dosis yang diberikan masing-masing lebih kecil, meningkatkan kepatuhan, dan harganya lebih murah daripada diberikan dosis yang ditentukan masing-masing lebih kecil dalam 2 kemasan obat yang terpisah. Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang beredar di Indonesia adalah salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam terapi sama saja dengan bentuk inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih banyak. Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka. OBAT-OBAT DENGAN MASA KERJA PANJANG SALMETEROL Salmetereol ialah suatu analog kimiawi albuterol tetapi berbeda dengan memiliki cincin samping lipofilik yang panjang yang meningkatkan afinitas obat untuk adrenoreseptor . Salmeterol memiliki masa kerja panjang, memungkinkan bronkodilatasi paling sedikit 12 jam. Salmeterol memiliki awitan kerja yang lambat dan tidak dapat dipakai untuk serangan asma yang akut.obat ini hanya diresepkan untuk pemberian dengan interval teratur dan tidak untuk menghilangkan gejala. Seperti yang lainnya dari kelompok obat-obatan ini, salmeterol bukanlah suatu substitusi untuk terapi anti-inflamasi. Farmakokinetik Obat golongan 2 agonis, selain efektif pada pemberian oral, juga diabsorpsi dengan baik dan cepat pada pemberian sebagai aerosol. Obat-obat ini bukan katekolamin, maka resistensi terhadap COMT, kecuali isoetarin yang merupakan katekolamin. Terbutalin merupakan satu-satunya 2 agonis yang mempunyai sediaan parenteral untuk pengobatan darurat status asmatikus. Formoterol dan salmeterol mempunyai masa kerja yang panjang (12 jam) sehingga disebut long-acting 2 agonist (LABA). Efek samping Efek samping yang dapat timbul berupa : tremor, rasa gugup, khawatir, takikardia, palpitasi, nyeri kepala, mual dan muntah terutama pada pemberian oral. Efek samping sistemik ini jarang terjadi pada pemberian inhalasi. Infus ritodrin, terbutalin, fenoterol, atau 2-agonis lainnya untuk menunda 19

kelahiran prematur menimbulkan efek samping berupa takikardia, hiperglikemia, hipokalemia, edema paru (bila hidrasi berlebihan), dan lain-lain pada sang ibu, sedangkan bayinya akan mengalami hipoglikemia. SODIUM KROMOGLIKAT Sodium kromoglikat merupakan obat antiinflamasi nonsteroid yang merupakan sel mast stabilizer, cara kerjanya dengan menghambat antigen triggered degranulasi sel mast dan pengeluaran mediator kimia seperti histamin. Serta menekan antibody dependent cytotoxicity dari neutrofil dan eosinofil serta menghambat degranulasi basofil dan eosinofil. Obat ini menghambat respon terhadap allergen seperti obat EIB, namun tidak menyebabkan bronkodilatasi dan menghambat bronkospasme serta mengurangi efek hiperreaktivitas bronkus. Agen ini efektif hanya jika diberikan dalam bentuk sediaan inhalasi berupa solusio nebulizer. Pemakaian sodium kromoglikat jangka panjang (12 minggu atau lebih) akan mengurangi respon jalan napas yang berlebihan pada penderita asma bronchial, sedangkan pemakaian jangka pendek (6 minggu atau kurang) akan menghambat peningkatan reaktivitas bronkus selama musim serbuk bunga. Kegunaan sodium kromoglikat secara klinik adalah : (1) meningkatkan fungsi paru dengan cara mengurangi variasi diurnal, sehingga serangan sesak pada dini hari berkurang; (2) mengurangi penggunaan obat obatan bronkodilator; (3) mengurangi serangan asma pada penderita dengan exercise-induced asthma. Efek sodium kromoglikat akan lebih baik pada penderita dengan usia yang lebih muda, onset serangan pertama pada usia dibawah 4 tahun, telah menderita asma lebih dari 5 tahun dan menderita asma campuran. Pada dasarnya obat ini tidak menyebabkan toksisitas, batuk dan mengi dilaporkan setelah penggunaan obat ini dalam bentuk inhaler dan bau yang kurang enak, dan sering menyebabkan iritasi topikal. Obat ini diindikasikan sebagai profilaksis dari asma persisten sedang pada anak dan pada dewasa tanpa memperhatikan etiologinya. Efektivitas obat ini hampir sama dengan teofilin atau antagonis leukotrien untuk mengobati asma persisten . obat ini tidak efektif seperti kostikosteroid inhalasi untuk mengontrol asma persisten. Tidak ada diantara keduanya yang efektif seperti inhalasi beta 2 agonis untuk mencegah EIB, namun dapat digunakan untuk konyugasi pada pasien yang ridak respon sempurna terhadap beta 2 agonis inhalasi. Kontraindikasi dari obat ini adalah pada pasien yang mempunyai hipersensitivitas pada obat ini. Dosis awal adalah 3 kali 10 mg sehari, rumatan adalah 2 kali sehari. Dosis untuk anak 4 kali 5 mg/hari. Bentuk sediaan yang ada dipasaran yaitu oral inhaler, solusio nasal mengandung 40mg/ml dalam sediaan 13 ataupun 26 ml, oftalmik solusio terdapat 4% kromolin dalam 10ml. Sebagian besar pasien diberikan 1 2 minggu, namun dapat diberikan lebih lama untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Pasien harus diawali dengan pemberian sebanyak 4 kali sehari dan dapat diturunjan frejuensinya menjadi 3 kali sehari. Hasil obat ini baru terlihat setelah 4 6 minggu penggunaan, tetapi pada beberapa orang efeknya 1 2 minggu. Cara penggunaan pada inhalasi aerosol, yaitu dengan mengocok terlebih dahulu obatnya, kemudian saat melakukan inspirasi dalam, masukkan mouthpiece diantara kedua bibir hingga 20

maksimal kemudian tekan katup canisternya sebanyak satu kali. Jika diberikan bersamaan dengan bronkodilator aerosol spray seperti albuterol, maka bronkodilator digunakan terlebih dahulu dan 5 menit sesudahnya baru menggunakan kromolin. Sebagian keci kromolin melewati sawar plasenta, namun pada penelitian kepada hewan tidak ada efek pada fetusnya. Belum ada interaksi obat yang dilaporkan pada penggunaan kromolin dengan obat lainnya. NEDOKROMIL Sodium nedokromil tidak baik diserap didalam saluran gastrointestinal, hanya 10% dosis inhalasi diabsorbsi oleh paru paru. Absorbsinya pula kurang baik setelah pemakaian topical untuk mata. Sodium nodokromil diekskresikan dalam bentuk utuh di urin dan feses. Waktu paruhnya antara 1 3.3 jam. Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar dibanding sodium kromoglikat. Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan pelepasan mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan begitu asma timbul. Kontraindikasi dari obat ini adalah pada pasien yang mempunyai hipersensitivitas pada obat ini. Efek samping yang ditimbulkan yaitu bau yang kurang enak, batuk (7%), faringitis, rhinitis, infeksi saluran napas atas, bronkospasme serta nyeri kepala (6%) setelah penggunaan nodokromil. Sebagian besar pasien diberikan 1 2 minggu, namun dapat diberikan lebih lama untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Pasien harus diawali dengan pemberian sebanyak 4 kali sehari dan dapat diturunjan frejuensinya menjadi 2 kali sehari LEUKOTRIENE MODIFIERS Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan glukokortikosteroid inhalasi (bukti B). Diketahui sebagai terapi tambahan tersebut, leukotriene modifiers tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama (bukti B). Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Penderita dengan aspirin induced asthma menunjukkan respons yang baik dengan pengobatan leukotriene modifiers. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil). Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton. KESIMPULAN 21

Untuk penatalaksanaan serangan asma akut ringan pada pasien ini diberikan nebulisasi salbutamol dengan dosis 0,5 mg setiap kali pemberian. Obat diberikan setiap 20 menit dalam satu jam. Setelah itu dilakukan penilaian respon obat untuk menentukan tindakan selanjutnya. Untuk pengontrol pada pasien ini diberikan steroid inhalasi yaitu budesonide 200 mcg/kali yang diberikan 2x/hari. Adapun pertimbangan pemberiannya adalah sebagai berikut: Obat a. Glukokortikoid inhalasi persisten sedang) Ex : budesonid b. Glukortikosteroid sistemik c. Agonis Ex: B2 (asma agonis ++ ++ ++ + persisten berat) kerja panjang Salmeterol, ++ ++ + ++ formoterol d. Metilsantin Ex: Teofilin ++ ++ + +++ (asma ringanEfficacy +++ Safety +++ Suitability + Cost ++

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta.
2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.

3. Goodman & Gilman. (2006) The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11 th ed. McGrawHill, New York. 4. Werner, R. (2005). A massage therapists guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott Williams & Wilkins, Pennsylvania, USA.

5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta.


22

6. Dipiro.

7. Global Initiative for Asthma, National Heart, Lung and Blood Institute 2003. 8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia(2004). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma
di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 9. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. 2007. Jakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai