Anda di halaman 1dari 6

NKRI Dibangun Oleh Para Pejuang Untuk Kesejahteraan Bersama

MEMBACA tulisan Bapak Jaya Suprana dengan judul Istana DPR dan Rumah Rakyat dalam Harian Kompas tanggal 29 Januari 2011, di halaman 6, saya sebagai seorang warga NKRI terkesimak betapa jomplangnya keadilan kesejahteraan di negeri ini. Beliau menyoroti betapa pincangnya dalam kehidupan berbangsa dan benegara antara rakyat miskin dan DPR yang mewakilinya. Sebagai budayawan senior kelihatannya sengaja memainkan angka agar para wakil rakyat di Senayan tersentuh nuraninya atas kesenjangan yang semakin membumi dan melangit antara jutaan rakyat miskin di seluruh negeri dan kemewahan sarana wakilnya di Senayan. Saking kesalnya, Pak Jaya Suprana menunjukkan bahwa anggaran pembangunan gedung DPR sebesar Rp.1,3 triliun bila dijadikan rumah sederhana layak huni dapat menampung sebanyak 86,6 miliar keluarga miskin. Angka jumlah rumah yang seharusnya 86,6 ribu itu dipelesetkan menjadi 86,6 miliar agar mudah menyentuh nurani para wakil rakyat di Senayan. Betapa tidak, jumlah penduduknya saja masih di bawah 240 juta, maka angka 86 miliar itu timbul karena rasa kesal melihat jutaan sesama warga negara yang sedang dirundung kekesalan dan keresahan. Kekesalan dan keresahan dalam masyarakat sudah sering terungkap dengan berbagai cara. Ada yang sangat fatal dengan membunuh anaknya dan bunuh diri, ada yang melampiaskannya dengan tawuran dan bentrokan, ada yang berdemonstrasi dan merusak apa saja yang diang-gap mengecewakan mereka, ada yang berdebat dengan laku dan ucapan yang kasar di media elektronika, ada banyak yang mengeluarkan uneg-unegnya melalui tulisan di media cetak seperti Pak Jaya Suprana tersebut, dan masaih ada yang dengan cara lain yang dilatarbelakangi kekesalan dan kekecewaan. Masyarakat menjadi kesal karena 65 tahun sudah merdeka dan 13 tahun sudah bereformasi, namun perkembangan sosial, ekonomi, hukum, dan politik yang ditunggu-tunggu bisa memperbaiki taraf hidupnya tidak kunjung datang. Dengan pintu demokrasi yang terbuka lebar, harapan masyarakat hanya satu yaitu segera tercapainya tujuan kemerdekaan: Kesejahteraan Umum, Kecerdasan Kehidupan Bangsa, dan Pengelolaan Sumberdaya Alam untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat. Dengan tidak kunjung datangnya tujuan kemerdekaan itu juga menjadikan masyarakat resah akan nasip anak-cucu mereka di kemudian hari. Kekesalan dan keresahan itu sudah saya rasakan sejak pertengahan Masa Orde Baru, 1980an, dengan melihat adanya penyimpangan jalan menuju ke tujuan kemerdekaan tersebut. Pada waktu itu mulai terlihat para muda usia kerja jualan asongan permen, rokok, koran dll. di perempatan jalan di kota-kota. Itu pertanda mereka tidak dapat menemukan tempat kerja yang lebih baik. Masa Orde Baru terus berlangsung sampai dasawarsa 1990-an, dan disambung dengan Masa Reformasi sampai awal dasawarsa 2010-an sekarang ini, pemandangan di berbagai perempatan jalan itu semakin memprihatinkan. Apa yang kita lihat sekarang di berbagai persimpangan jalan, bukan hanya para muda pedagang asongan, tetapi juga para muda usia kerja yang mengamen, membalak, menjual

jasa mengelap kaca mobil untuk sekedar dapat imbalan seratus sampai duaratus rupiah saja. Padahal mereka itu memiliki potensi untuk bekerja yang lebih baik dan produktif. Para peminta tua dan cacat dari Masa Perjuangan dan Masa Orde Lama sudah ada di tempat-tempat seperti tersebut. Namun semakin mendekati masa sekarang jumlahnya semakin melimpah, dan yang meminta-minta (mengemis) dilakukan pula oleh orang-orang yang sehat secara fisik, bahkan oleh anak-anak usia sekolah. Anak-anak usia sekolah yang jumlahnya mencapai puluhan ribu, yang seharusnya duduk di bangku sekolah, mereka berkeliaran di jalan-jalan, di persimpangan jalan, dan sudah merambah pula ke tempat-tempat yang ramai pengunjung. Apa jadinya kalau mereka itu nanti masuk ke usia kerja dan usia berumahtangga, sungguh akan menjadi beban masyarakat dan beban negara. Lebih-lebih lagi sekarang mulai banyak terlihat anak-anak balita sudah diajari oleh orang tuanya menjadi pengemis. Itu semua adalah potret dari kehidupan masyarakat kelompok bawah yang belum mendapat bagian dari hasil kemerdekaan dan pembangunan. Kalau pandangan diarahkan ke jangkauan yang lebih luas lagi melalui media elektronika dan media cetak, maka dapat dilihat keadaan betapa parahnya behidupan berbangsa dan bernegara di NKRI ini. Keadaan negara seakan sudah tak mampu bergerak untuk melawan para koruptor dan mafia hukum serta mafia pajak. Padahal tugas utama negara antara lain melindungi seluruh warga negara, mensejahterakan masyarakat, menegakkan hukum dan memberantas kemungka-ran. Lembaga penegak hukum seakan mempertahankan diri dari pembersihan koruptor dan mafia, dan KPK menjadi tersendat-sendat dalam pelaksanaan tugasnya. Hukum dikalahkan oleh uang, kepentingan politik dikedepankan, kekuasaanlah yang menjadi targetnya. Masyarakat sudah semakin mengerti dan kritis terhadap kelakuan sebagian dari pejabat tinggi baik di legislatif, eksekutif maupun di yudikatif, yang katanya memperjuangkan kepentingan rakyat. Rakyat sudah semakin muak, semakin cape, mereka sebagian besar merasa tak perlu partai, yang mereka perlukan adalah PSKP2 (Pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan). Hiruk-pikuk di bidang hukum dan politik yang dapat dinilai sebagai demokrasi kebablasan, justru menjadikan tujuan reformasi semakin jauh dari harapan, dan akibatnya rakyatlah yang menjadi korban. Para petinggi publik yang seharusnya saling mendukung tugas dan fungsinya masing-masing, malah saling mencerca dan saling mencari kesalahan pihak lain. Pimpinan negara yang seharusnya didukung dan dihormati untuk bisa memimpin mengentaskan keterpurukan masyarakat, malah sering menerima cercaan, cemoohan, dan sindiran yang menyakitkan hati manusia yang normal. Kehidupan berbangsa dan bernegara semacam itu hanya akan menimbulkan kegaduhan polotik yang tidak menguntungkan baik bagi masyarakat luas maupun bagi pandangan bangsa lain. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam melimpah dan tanah subur, tetapi sudah 65 tahun meredeka warganya masih banyak yang miskin dan kelaparan. Ini pasti ada sesuatu yang tidak beres, antara lain pelanggaran Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945. Kekayaan alam yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tetapi hasil pelaksanaannya hanya dinikmati oleh segelintir manusia saja. Kesenjangan semakin menjadi, urbanisasi penduduk menjadikan kota bertebaran kantong kemiskinan, tenaga terampil eksodus dari

desa membuat lumbung pangan berubah jadi lumbung kemiskinan, tenaga kerja pun menjadi melimpah, dan kesulitan hidup semakin parah. Gerakan KB tidak jalan, pertumbuhan penduduk 1,49 %, sedang pertumbuhan produksi pangan hanya 0,5 %, maka tidak heran kalau masyarakat miskin semakin bertambah. Bila keadaan ini dibiyarkan tanpa kendali, maka dari tahun ke tahun kita akan selalu menghadapi masalah PSKP2, dan Indonesia akan selalu mengimpor bahan pangan secara terusmenerus. Data kependudukan pada awal tahun 2010, menurut BPS, menunjukkan jumlah penduduk sudah sebanyak 233,24 juta jiwa. Penduduk sebanyak itu, 116 juta orang angkatan kerja, dan yang 8,59 juta orang sedang menganggur. Masyarakat yang miskin pun masih menunjukkan angka di atas 10 %. Pengangguran dan kemiskinan ibarat dua sisi mata uang, nilainya saling berkaitan. Semakin sedikit tenaga yang menganggur, semakin sedikit pula yang miskin. Oleh sebab itu, maka cara mengatasinya pun harus seraca bersamaan. Kemiskinan akan dapat dihapus dengan cara menciptakan peluang bagi angkatan kerja sebanyak 116 juta orang itu untuk dapat bekerja dengan pendapatan yang bisa mencukupi kebutuhan dasar pokok mereka, yaitu PSKP2. Hal inilah yang seharusnya dipikirkan secara bersama bagaimana mencari jalan keuarnya, bukan angka jumlahnya yang dipertentangkan. Jumlah kemiskinan yang menjadikan selisih paham, apakah itu 18 %, 30 %, atau 50 % hemat saya tidak perlu dipertentangkan; mereka yang miskin tidak perlu angka-angka itu, mereka perlu sarana untuk dapat mentas sendiri dari kemiskinan. Demikian pula mereka yang sedang menganggur, angka-angka pengangguran yang dipertentangkan apakah 8 %, 10 %, atau 12 % itu tidak penting bagi mereka, yang mereka perlukan adalah pekerjaan dengan penghasilan yang layak untuk menghidupi keluarga mereka. Sebagian besar masyarakat yang miskin, tuna-wisma, dan tuna-karya akan bersedia di mana saja asalkan bisa beketja dengan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan pokok PSKP2, dan tidak terjadi kesenjangan yang sangat mencolok antara kelompom masyarakat yang satu dengan kelompok yang lain, terutama antara yang di kota dengan yang di desa. Sebagian besar masyarakat memahami bahwa agenda reformasi masih banyak yang belum tercapai, tetapi mereka juga sadar bahwa cara pencapaiannya tidak dapat dilakukan dengan sinisme, premanisme, hujatan dan kekerasan. Hal itu juga tidak dapat diatasi dengan cara diskusi, seminar, rapat-rapat, satgas-satgas, angket, unjukrasa dan lain sebagainya. Upaya pengentasan kemiskinsn sudah dilakukan oleh Pemerintah dengan pemberikan bantuan melalui program sebanyak 12 macam. Program itu adalah bantuan langsung tunai (BLT), beras untuk rakyat miskin (Raskin), bantuan untuk sekolah/pendidikan (BOS), bantuan kesehatan gratis, pembangunan perumahan rakyat, pemberian kredit mikro, bantuan untuk petani dan peningkatan produksi pangan, bantuan untuk nelayan dan program untuk sektor perikanan, peningkatan kesejahteraan PNS/TNI/POLRI, peningkatan kesejahteraan buruh, bantuan untuk penyandang cacat (JANSOS) dan pelayanan publik cepat dan murah untuk rakyat. Program bantuan pemerintah itu memerlukan anggaran yang sangat besar; pada tahun 2009 saja Pemerintah telah menyediakan anggaran sebnyak Rp.65,5 triliun. Bahwa upaya itu sampai sekarang belum mencapai sasaran memang benar, dan itulah yang menjadi PR kita untuk mencari pemecahannya.

Pengangguran dan kemiskinan yang jumlahnya masih cukup besar tersebut menimbulkan ketimpangan sosial yang semakin tajam manakala sebagian warganegara sudah lama mengenyam kesejahteraan sebagai hasil dari kemerdekaan. Setiap hari berseliweran berita baik melalui media cetak maupun media elektronika, adanya bembunuhan seorang anak oleh ibu kandungnya sendiri kerena kesulitan ekonomi, adanya seorang pelajar kelas lima SD gantung diri karena malu orang tuanya sudah enam bulan tidak mampu membayar uang sekolah, adanya sepasang suami & istri mejual anaknya karena sudah beberapa bulan menjadi pengangguran, dan masih sangat banyak berita mengenaskan yang penyebabnya adalah kemiskinan, kelaparan, kesulitan hidup dan lain sebagainya. Mereka yang berada di ambang batas kemiskinan pun menghadapi kesulitan ekonomi yang tidak ringan. Bagaimana mereka bisa mencukupi kebutuhan dasar PSKP2, kalau imbalan kerja keras mereka yang diperoleh hanya berkisar antar Rp.400 ribu dan Rp.900 ribu per bulan. Di tengah sebagian besar masyarakat Indonesia terhimpit kesulitan ekonomi seperti itu, ada saja di kota besar seperti Jakarta yang menyelenggarakan hiburan dengan harga tiket yang hanya bisa dibeli oleh masyarkat kelas elite. Perasaan mereka sangat pedih, hati mereka bagaikan tersayat-sayat, kalau melihat dan mendengar ada sesama warga NKRI yang mampu membayar tiket hibu-ran untuk sekitar tiga jam saja sebesar Rp.2 juta, kelas VVIP, Rp.1,5 juta, kelas VIP, Rp.1 juta, kelas 1, dan Rp.500 ribu untuk kelas 2 (Pertunjukan Drama Musik Diana, di Convetion Centre, tanggal 7-8 Juli 2010). Ketimpangan sosial tersebut dirasakan oleh masyrakat luas sebagai suatu ketidakadilan dalam kehidupan sesama bangsa. Dalam jangka waktu yang lama, ketimpangan itu bisa menjadi api dalam sekam, seperti yang terjadi di Pilipina pada tahun 1980-an, di Indonesia pada tahun 1998, di Mesir pada tahun 2011 ini, dan juga di beberapa negara Timur Tengah yang lain pada akhir-akhir ini. Ketidakadilan yang terjadi di muka bumi ini sudah menjadi perbincangan di fora PBB sejak tahun 2000-an, dan untuk mengatasinya dibuatlah Millennium Development Goals. Sasaran pembangunan yang terutama ditujukan ke negara-negara Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia, antara lain adalah: mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pendidikan dasar umum, meningkatkan peranan wanita, mengurangi kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyakit HIV/AIDS/malaria, melestarikan lingkungan & menghapus pemukiman kumuh, dan meningkatkan pembangunan & kesetaraan. Beberapa tujuan pembangunan millennium dapat dicapai oleh Indonesia, tetapi kemiskinan, kelaparan, pengangguran dan kesehatan tidak mengalami perubahan yang berarti. Menghadapi berbagai masalah yang dialami NKRI dewasa ini, hanya akan bisa diatasi oleh anak-anak bangsa secara bersama dengan kejujuran, keikhlasan, dan tanpa pamrih. Masalah yang kita hadapi bersama adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan kejahatan, kependudukan dan perekonomian. Untuk mengatasi ketiga sektor masalah itu jelas memerkan dana. Kalau saja semua pihak sepakat dan dilaksanakan secara bersama menyelenggarakan PBKR (Proyek Besar Kesejahteraan Rakyat), Insya Allah, dalam waktu satu dasawarsa semua masalah akan dapat teratasi. Kebocoran uang negara dari pajak yang menurut kabar burung sudah mencapai sekitar Rp.300 triliun, dan itu dapat dihimpun kembali oleh Pemerintah, maka PBKR itu segera dapat diselenggarakan. Beberapa langkah pembangunan yang sekiranya dapat diselenggarakan secara serentak antara lain: Pertama: Reformasi lahan (land reform) untuk membatasi kepemilikan tanah dan pembudidayaan lahan nganggur;

Kedua: Penyiapan lahan di luar kota sampai ke pelosok untuk pembangunan rumah Tipe 50/150m2 bagi rakyat miskin (sebagai inventaris); serta lahan untuk pertanian dan kegiatan ekonomi yang lain (juga sebagai inventaris); Ketiga: Pembangunan prasarana angkutan yang memadai antara kota dengan pemukiman, dan pusat-pusat pertumbuhan sampai ke pelosok, berupa jalan, jembatan, rel keretaapi, terminal dan pelabuhan; Keempat: Sampai ke pelosok diperbanyak pembangunan pusat-pusat pertanian, peternakan, perikanan, perindustrian, pertumbuhan ekonomi, dan pariwisata; Kelima: Pengembangan industri-industri semen, kimia, pengolahan hasil pertanian dan perikanan, pengolahan sampah, kendaraan bus, gerbong KA, kapal laut, dan pesawat terbang; tetapi membatasi penggunaan kendaraan pribadi (mobil dan motor); Keenam: Penempatan kembali (relocation) pemukiman kumuh, masyarakat miskin dan tunawisma; serta penyediaan sarana yang memadai untuk kesehatan, pendidikan, Balai Latihan Kerja (BLK), olahraga, dan rekreasi; Ketujuh: Pengembangan ekonomi rakyat melalui KUD (Kopersi Unit Desa) dan KUK (Koperasi Unit Kecamatan), membina pasar tradisional, dan membatasi ritel sebangsa mart hanya sampai kota kabupaten; membatasi/melarang ekspor bahan mentah hasil hutan dan hasil tambang, dan mengembangkan sebanyak mungkin pengolahan hasil hutan dan hasil tambang di dalam negeri. Dengan penyelenggaraan PBKR, dapat diharapkan dalam sekitar sepuluh tahun semua ketimpangan akan dapat terhapus. Perubahan mencolok akan terjadi, antara lain masyarakat miskin baik yang di kota maupun di desa akan terentaskan, kurang gisi dan kelaparan akan hilang, dan yang bunuh diri atau membunuh anak-anaknya tidak terlihat lagi. Dalam penyelenggaraan pembangunan itu semua orang akan sibuk, tidak ada lagi anggota masyarakat yang menganggur, bahkan seluruh TKI di manca-negara bisa dikaryakan di dalam negeri, dan yang bekerja di manca-negara hanya mereka yang mempunyai keterampilan. Gairah ekonomi akan meningkat pesat, impor bahan makan terhenti, dan ekspor bahan hasil olahan semakin berlipat. Dalam kesibukan itu, masyarakat tak sempat lagi berpikiran jahat, bertikai atau bentrok antar kelompok. Mereka akan berpikiran jernih dalam berdemokrasi, menolak permainan uang, dan mampu secara bersama menciptakan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan biaya yang murah, sehingga tak ada peluang bagi perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. Setelah sepuluh tahun penyelenggaraan PBKR, InsyaAllah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Panjang Punjung Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Kerta Raharja, Kalis Ing Rubeda Tebih Pakaryaning Dursila. Itulah yang dicita-citakan oleh para pejuang dan oleh para pendiri NKRI sejak beberapa abad yang lalu. Dengan tersumbatnya bocoran uang pajak dan uang negara yang lain, Insya Allah, seluruh pembiayaan PBKR selama sepuluh tahun dan seterusnya yang besarnya mencapai ratusan triliun dapat tertutup, dan bahkan seluruh hutang negara dari luar negeri dapat segera dilunasi. Pada waktu itu nanti kesejahteraan dan kebahagiaan sejati bagi seluruh warga negara dapat diperoleh. Bukan hanya mantan masyarakat miskin dan mantan penganggur saja yang menemukan

kesejahteraan dan kebahagiaan, tetapi juga mantan koruptor dan mantan penjahat akan memperoleh hal yang sama dunia akhirat sampai turun-temurun. Semoga Allah SWT mengampuni kesalahan dan dosa kita, membukakan hati nurani kita untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran, serta mengabulkan doa kita agar bangsa dan negara Indonesia menjadi negara yang Baldatun Toyyibatun Warabbun Ghafur. Bandung, 15 Pebruari 2011 Dr.H.Rab Sukamto Kartomihardjo Pensiunan PNS, mantan APU bidang geologi Jl.Ir.H.Juanda 450 Bandung 40135 Telp. (022) 2504702 / 081220076650

http://www.nonblok.com/kolom/item/573-homeland-built-by-fighters-for-shared-prosperitynkridibangun-oleh-para-pejuang-untuk-kesejahteraan-bersama

Anda mungkin juga menyukai