Anda di halaman 1dari 2

2010/10/18 08:20 WIB - Kategori : Artikel

GEMARIKAN, MIE INSTAN DAN GERAKAN SEHARI TANPA NASI

GEMARIKAN, MIE INSTAN DAN GERAKAN SEHARI TANPA NASI Oleh ; Achmad Subijakto, A.Pi. MP Seminggu yang lalu di bulan Oktober 2010 ini pemerintah melalui Kementerian Pertanian meluncurkan gerakan sehari tanpa nasi. Suatu kegiatan moral yang bertujuan untuk menekan konsumsi beras yang sudah demikian membumbung tinggi. Bisa dibayangkan jika semua orang atau masyarakat Indonesia mengandalkan beras yang terlalu besar, yang terjadi adalah penurunan kualitas gizi yang berimbas pada kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. Sebut saja dengan konsumsi beras 139 kg perkapita pertahun, artinya setiap hari mereka mengkonsumsi beras 380 gram perhari. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya 200 gram perhari atau Jepang yang hanya 164 gram perhari. Jumlah konsumsi beras yang luar biasa dan jika dimasak menjadi nasi, mereka (orang Indonesia) bisa dikatakan benar-benar pemakan nasi yang bisa kenyang hanya dengan nasi. Artinya adalah, jika tidak ada nasi, mereka tidak kenyang dan hanya menjadikan lauk pauk (protein) sebagai pelengkap karena yang mereka utamakan adalah keberadaan nasinya dan bukan lauknya.

Demikian juga halnya dengan masalah mie instan yang sering masuk dalam berita di media bulan ini dan menjadi isu hangat dengan ditariknya peredaran beberapa produk mie instan Indonesia dari Taiwan. Dari 93 milyar bungkus mie instan yang ada di seluruh dunia Indonesia menempati nomor urut ke 2 dalam konsumsi mie instan. Jika dilihat dari kandungan nutrisi yang ada pada mie instan, meski kaya akan karbohidrat, sebenarnya sangat miskin protein. Masalahnya adalah, sebagian masyakat Indonesia ada yang menggunakan mie instan ini sebagai lauk ataupun sayur berkuah yang digunakan sebagai teman nasi dalam kehidupan konsumsi sehari-hari. Sungguh suatu kondisi yang mengenaskan, sudah banyak makan nasi dengan karbohidrat tuinggi, masih juga makan mie instan yang juga mengandung karbohidrat tinggi. Terus kapan makan proteinnya?

Lain halnya jika kita melihat sisi lain sumber bahan makanan yang kaya akan protein yaitu ikan. Sudah hampir sewindu pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perkanan menggagas gerakan makan ikan atau lebih dikenal dengan GEMARIKAN. Satu gerakan moral yang jika dilihat tujuannya akan terlihat betapa gerakan ini mempunyai implikasi ke depan dalam membangun masyarakat Indonesia yang lebih sehat dengan mengkonsumsi ikan dalam jumlah yang lebih banyak demi terjaminnya kualitas nutrisi bagi masyarakat Indonesia.. Hanya saja, mengubah pola konsumsi masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur dengan pemikiran agraris ini sangat sulit sehingga masih memandang ikan sebagai komoditas penunjang dan cukup memenuhinya dalam sedikit saja. Gimana tidak, mereka bisa makan nasi 1 piring dengan hanya sepotong ikan asin. Cuma karena mereka sebagai orang timur yang terbiasa merendah, kenikmatan itu tidak boleh banyak-banyak karena dianggap tidak elok. Jadilah ikan asin hanya sedikit saja yang mereka makan dan nasi tetap yang menjadi andalan dalam konsumsi sehari hari.

Pemerintah sudah menyadari hal ini, hanya saja merubah pola pembangunan yang agraris menjadi negara kepulauan ataupun bahari dengan sumberdaya kelautan dan perikanan yang melimpah sungguhlah sulit. Sejarah menunjukkan sudah sejak zaman Majapahit dan kemudian diteruskan oleh masa kerajaan Mataram, pembangunan lebih diarahkan pada sektor pertanian. Hal ini tentu saja berpengaruh pada pola konsumsi masyarakat yang lebih mengandalkan pemenuhan kebutuhan bahan pokok yaitu beras dan bahan makanan lain yang mengandung karboidrat tinggi. Apalagi sejak zaman orde baru dimana konsep utamanya adalah swasembada beras, maka yang terjadi adalah hampir semua masyarakat Indonesia dengan mudah mendapatkan beras. Akibatnya, orang Madura yang dulu makan jagung sudah beralih ke beras, orang Maluku dan Papua juga sudah meninggalkan sagu. Ini karena distriusi beras benar-benar sudah merata di tanah air karena adanya Bulog yang banyak mendirikan gudang beras dimana-mana.

Bagaimana dengan pola konsumsi ikan? Tentu saja masih jauh dari harapan, pembangunan sektor kelautan dan perikanan juga mash jauh dari impian Hal ini bisa dilihat dari struktur anggaran APBN kita dari tahun ke tahun. Bahkan untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak masuk dalam 10 besar anggaran sampai tahun 2011 nanti. Ini bukan berarti sektor Kelautan dan Perikanan termarjinalkan. Sebab masih banyak agenda pemerintah dalam membangun negeri ini. Meskipun demikian, masih ada program unggulan Minapolitan yang diharapkan mampu merubah pola pikir seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam memandang ikan sebagai komoditas unggulan. Pemerintah dalam hal ini Presiden SBY bahkan sudah menyebut Minapolitan sebagai program aktual yang diharapkan mampu mendongkrak devisa negara dan menyerap banyak tenaga kerja. Jika program ini berhasil, yang pertama adalah adalah terbentuknya kawasan indusrtri perikanan terpadu dan selanjutnya akan mempunyai multi layer effect yang mampu merubah pola pikir dan perilaku masyarakat dalam membangun wawasan negara kepulauan atapun kebaharian. Ini akan berimbas pada peningkatan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup sehingga dapat mengubah pola konsumsi yang hanya mengandalkan pemenuhan kebutuhan makanan pokok untuk beralih pada pemenuhan kebutuhan protein yang lebih baik.

Konsep pembangunan kelautanan perikanan sudah semakin maju. Gerakan gemar makan ikan harus didukung secara nyata dan bersungguh-sunguh untuk memperbaiki kualitas gizi dan selanjutnya hidup manusia Indonesia. Jika setiap orang menyadari arti pentingnya ikan bagi pemenuhan kebutuhan konsumsi, komoditas ikan akan menjadi produk utama yang harus terpenuhi Bahkan mie instan yang beredar akan aman dikonsumsi, bukan karena murahnya harga tetapi karena telah dimodifikasi nutrisinya dengan penambahan protein dari ikan. Tentu bisa, ikan dan tepung ikan yang ada dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kandungan protein mie instan. Pola ini juga akan berpengaruh

pada perilau konsumsi masyarakat yang megandalkan beras untuk konsumsi. Dengan semakin lancarnya distribusi dan rantai dingin sistem pemasaran ikan, produk ikan dan olahan ikan akan semakin mudah didapatkan. Bahkan akan banyak orang yang memilih ikan sebagai sumber protein utama karena harga dan kemudahannya untuk mendapatkannya. Sistem distribusi seperti beras dapat ditiru dalam memudahkan pemerataan keberadaan ikan yang dapat dengan mudah diperoleh masyarakat dimana saja.

Akankan ini bisa terwujud? Tergantung dari kemauan kita semua. Pemerintah dengan kebijakan dan regulasinya, swasta dengan industri yang mendongkrak perekonomian dan masyarakat dengan tenaga kerja, sistem sosial budaya yang kesemuanya itu dapat diakomodir dan diadopsi untuk kepentingan masyarakat Indonesia itu sendiri.

Membangun suatu peradaban tidaklah mudah, merubah perilaku masyarakat juga sulit dan tidaklah murah. Perlu waktu dan biaya cukup besar untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang besar dan mandiri. Suatu saat Indonesia akan dikenal sebagai negara kepulauan, negara bahari dan negara agraris dengan kondisi geogafis sebagai modal utama membangun negara. Nantinya Indonesia tidak hanya swasembada beras, tetapi akan lebih banyak swasembada komiditas perikanan seperti rumput laut, bandeng, lemuru, udang, garam dan komoditas perikanan yang lain. Ini akan dapat terwujud jika pola perilaku masyarakat yang telah berubah dari manusia pemakan nasi menjadi manusia pemakan ikan...karena kita negara bahari!

Sumber : Achmad Subijakto, A.Pi., MP Widyaiswara Kementerian Kelautan dan Perikanan di BPPP Banyuwangi Perum Permata Giri Blok DD 8 Banyuwangi

Anda mungkin juga menyukai