Anda di halaman 1dari 11

TUGAS PAPER DAN PRESENTASI MATA KULIAH EKOFISIOLOGI TANAMAN

CEKAMAN AIR PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI)

Disusun oleh MARTIADI KURNIAWAN

PROGRAM PASCASARJANA AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

CEKAMAN AIR PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI)

Abstract Air sangat berperan penting dalam budidaya tanaman kelapa sawit, 70-90% air menjadi penyusun struktur tanaman. Kebutuhan air berbeda pada setiap tahap pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Pada tahap pembibitan dibutuhkan 0.2-0.3 liter air per bibit selama Pre-Nursery dan 2-3 liter untuk tanaman kelapa sawit di Main Nursery. Kondisi curah hujan mencerminkan tingkat kebutuhan air bagi tanaman di lapangan dan ketersediaannya juga dipengaruhi oleh kondisi tanah. Cekaman air merupakan kondisi air kekurangan air bagi tanaman akibat kurangnya suplai air. Cekaman air berpengaruh terhadap rasio akar-batang yang tinggi, menurunnya laju fotosintesis dan berkurangnya jumlah klorofil, perubahan potensi osmotik yang terjadi akibat meningkatnya kandungan prolin dan glisin-betain. Pengaruh cekaman air terhadap produksi ditandai dengan terjadinya aborsi infloresensi betina (tandan buah) dan menurunnya seks rasio sehingga menyebabkan produksi tandan buah segar (TBS) menurun dan penurunan produksi tersebut terjadi secara bertahap seiring dengan semakin tingginya tingkat defisit air. Penurunan produksi tertinggi mencapai lebih dari 40% terjadi pada kondisi cekaman air (defisit air) antara 400-500 mm/tahun. Kata kunci : Air, tanaman kelapa sawit, cekaman air.

I. PENDAHULUAN

Air mempunyai peran penting terhadap organisme khususnya tanaman. Air berfungsi sebagai penyusun tanaman (70-90% dari total struktur tanaman), pelarut dan media bagi proses biokimia dalam tubuh tanaman, selain itu air berfungsi sebagai media transport dari senyawa, sebagai bahan baku dalam proses fotosintesis, menjaga suhu tanaman dan sebagai penyangga sel, memberikan turgor pada sel yang penting dalam pembentukan dan pembesaran sel tanaman. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) seperti halnya tanaman yang lain juga memerlukan air untuk proses pertumbuhannya, mulai dari fase pembibitan hingga berproduksi. Pada kondisi ketersediaan air yang cukup tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal, namun hal tersebut dapat terganggu jika tanaman berada pada kondisi tercekam atau ketersediaan air tidak mencukupi untuk menjalankan proses metabolismenya. Tanaman kelapa sawit tergolong ke dalam tanaman xerophyte yang dapat beradaptasi dengan kondisi air yang kurang, walaupun demikian tanaman tetap akan mengalami gejala stres air pada saat musim kemarau yang berkepanjangan (Mahamooth et al., 2008).

Oleh karena itu perlu adanya pemahaman mengenai pentingnya menjaga ketersediaan air untuk tanaman kelapa sawit dan mengetahui dampak yang diakibatkan oleh kurangnya ketersediaan air baik terhadap pertumbuhan tanaman maupun terhadap produksi. Dalam paper ini dipaparkan tingkat kebutuhan air tanaman kelapa sawit, kondisi curah hujan yang optimal untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit, dan pengaruh cekaman air terhadap kondisi fisiologis, pertumbuhan dan produksi tanaman.

II. KEBUTUHAN AIR TANAMAN KELAPA SAWIT

Kebutuhan air pada tanaman kelapa sawit pada dasarnya berbeda dalam setiap fase pertumbuhannya. Pada fase awal pembibitan (Pre-Nursery), rata-rata jumlah air yang diperlukan untuk penyiraman rutin setiap hari sekitar 0.2-0.3 liter per bibit, sedangkan untuk Main Nursery diperlukan sekitar 8 mm/hari atau sekitar 2-3 liter per bibit, namun untuk sistem irigasi yang biasanya dipergunakan pada pembibitan pada umumnya tingkat penyiraman air dibuat rata-rata 10 mm/hari (Turner dan Gillbanks, 2003). Suplai air untuk tanaman kelapa sawit dewasa di lapangan berasal dari curah hujan yang diterima dan ketersediaan air di tanah. Menurut Corley (2003), curah hujan merupakan salah satu dari beberapa syarat minimum iklim yang harus dipenuhi agar tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Adapun syarat-syarat tersebut adalah ; 1. Panjang hari yang cukup dan radiasi sinar matahari 16-17 GJ/m2 per hari. 2. Curah hujan antara 2000-2500 mm yang terdistribusi secara merata. 3. Rendahnya defisit tekanan uap, tanpa adanya suhu dan kecepatan angin yang ekstrim. 4. Temperatur rata-rata maksimum 29-33oC dan minimum 22-24oC. Menurut Turner dan Gillbanks (2003), curah hujan tahunan 2000 mm yang terdistribusi merata sepanjang tahun tanpa adanya bulan kering berkepanjangan merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang maksimal. Ketersediaan air untuk tanaman juga dipengaruhi oleh kondisi fisik tanah, dalam hal ini pada kapasitas tanah menahan air (water holding capacity). Untuk jenis tanah berpasir dengan kapasitas penahanan air (WHC) yang rendah, air yang terjerap pada partikel-partikel tanah lebih sedikit dibanding tanah dengan WHC yang lebih tinggi seperti liat. Selain itu ketersediaan bahan organik juga berperan dalam kemampuan tanah menahan air.

Grafik 1. Pengaruh cekaman air tanah terhadap produksi TBS pada 2 jenis kelas tanah

Berdasarkan grafik di atas terlihat jelas bahwa pada kondisi tanah kelas 1 atau dalam kategori baik, air yang tersedia cukup untuk tumbuh dan berproduksi, sementara untuk tanah kelas 4 jumlah air yang tertahan di tanah sedikit sehingga cekaman air tanah lebih cepat terjadi dan membatasi potensi produksi tanaman.

III. PENGARUH FISIOLOGIS AKIBAT CEKAMAN AIR

Cekaman air merupakan kondisi kekurangan air pada tanaman akibat keterbatasan air di lingkungan, menurut Levin (1980) dan Bray (1997) dalam Thoruan-Mathius et al. (2001), cekaman air terjadi akibat kurangnya suplai air pada daerah perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun sebagai akibat dari laju evapotranspirasi lebih tinggi dari laju absorbsi air walaupun keadaan air tanah tersedia cukup. Ketersediaan air untuk tanaman kelapa sawit sepanjang siklus hidupnya bersumber dari curah hujan yang diterima dan ketersediaan air di dalam tanah. Jika membahas curah hujan, maka ketersediaan air untuk tanaman terkait dengan pola sebaran curah hujannya, sebaran curah hujan yang tidak merata dalam hal ini adanya bulan kering secara berturutturut dapat menyebabkan terjadinya defisit air tanah (soil water deficit). Defisit air didefinisikan sebagai jumlah air yang hilang dari tanah pada zona perakaran aktif. Defisit air dihitung berdasarkan keseimbangan air tanah dan tanaman, yang dipengaruhi oleh

ketersediaan air, curah hujan dan evapotranspirasi. Cekaman air (water stress) muncul sebagai akibat dari adanya defisit air seperti yang dikemukakan sebelumnya oleh ThoruanMathius et al. (2001). Kondisi perakaran tanaman kelapa sawit yang tergolong dangkal menyebabkan tanaman ini tidak toleran terhadap cekaman air. Pada kondisi ketersediaan air yang kurang, tanaman kelapa sawit cenderung akan menunjukkan mekanisme adaptasi untuk bertahan pada kondisi tersebut. Mahamooth et al. (2008) dalam papernya menyebutkan beberapa mekanisme pertahanan tanaman kelapa sawit menghadapi kondisi kekeringan, antara lain : 1. Penutupan stomata pada saat kondisi evapotranspirasi maksimum. 2. Menurunnya pembukaan daun baru hingga berkurangnya luas daun. 3. Perubahan pati menjadi gula di dalam batang untuk menjaga proses respirasi dan pembentukan tandan. 4. Pada kondisi stress air yang parah, daun tua akan mengering (mengalami desikasi) untuk mengurangi evapotranspirasi. 5. Pada kondisi yang paling parah akan terjadi patahnya seluruh kanopi tanaman hingga menyebabkan matinya tanaman.

Pada kondisi air yang kurang, rasio akar-batang (root/shoot) cenderung menjadi lebih besar. Pertambahan tinggi cenderung berkurang namun perkembangan akar semakin tinggi seperti yang dikemukakan oleh Sun et al. (2011) bahwa stress air mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap rasio akar-batang dibanding stres yang diakibatkan oleh nutrisi. Menurut Kirkham (1990) dalam Thoruan-Mathius et al. (2001) pengaruh fisiologis cekaman kekeringan pada tanaman adalah terjadinya perubahan potensial air, potensial osmotik dan potensial turgor sel yang dapat mempengaruhi perilaku stomata. Perubahan ini mempengaruhi absorpsi dan translokasi hara mineral, transpirasi, fotosintesis dan translokasi fotosintesis. Akibat lanjut yang ditimbulkan adalah menurunnya laju fotosintesis dan organ fotosintesis mengalami penuaan dini sehingga menyebabkan penurunan akumulasi fotosintat. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Cha-um (2010) bahwa kandungan klorofil di daun akan mengalami penurunan secara drastis ketika tanaman mengalami stress air, Cha-um (2010) menyimpulkan bahwa potensi osmotik pada bibit tanaman kelapa sawit yang mengalami defisit air menurun pada jaringan daun maupun pada jaringan akar, sehingga memacu kerusakan pigmen fotosintesis (klorofil) dan memperkecil kemampuan fotosintesis dan menghambat pertumbuhan tanaman.

Perubahan potensi osmotik yang disebabkan oleh cekaman air terjadi karena adanya respon biokimia tanaman terhadap kandungan prolin. Di beberapa penelitian, kandungan prolin digunakan sebagai indikator pembeda tingkat toleransi tanaman terhadap kekeringan. Thoruan-Mathius et al. (2001) menjelaskan bahwa prolin diduga berfungsi sebagai osmoprotektan demikian pula dengan glisin-betain. Menurut Yang dan Kao (1999) dalam Palupi dan Dedywiryanto (2008), semakin tinggi kandungan prolin semakin tahan tanaman tersebut terhadap kekeringan.

IV. DAMPAK CEKAMAN AIR TERHADAP PRODUKSI TANAMAN

Membandingkan hubungan produksi tanaman dengan ketersediaan air merupakan hal yang tidak mudah, Goh (2000) dalam Corley (2003) menunjukkan kesulitan untuk menghubungkan secara akurat tingkat produksi Tandan Buah Segar (TBS) dengan curah hujan. Tingkat evapotranspirasi optimal untuk tanaman kelapa sawit adalah 5-6 mm dan jika terjadi suplai yang kurang dari nilai tersebut dapat menyebabkan tanaman kelapa sawit akan mengalami cekaman air (water stress), selain itu menurut Lubis (1992) dalam ThoruanMathius et al. (2004) defisit air di atas 250 mm/tahun akan mengakibatkan pertumbuhan dan produksi tanaman dapat terganggu hingga 2-3 tahun ke depan.

Tabel 1. Estimasi Hasil TBS pada tanah yang bagus di semenanjung Malaysia, kaitannya dengan karakteristik musim kering. Region curah hujan Tidak ada musim kering Musim kering sedikit agak sering, pendek Musim kering yang jelas, sangat sering Curah hujan tinggi sepanjang tahun Sumber : Goh (2000) dalam Corley (2003). Puncak produksi TBS (t/ha/tahun) > 38 35-38 28-33 30-35

Menurut Mahamooth et al. (2008), pada kondisi kering yang berkepanjangan sesuai pengalaman di Lampung, terjadi gugurnya tandan buah pada 10 bulan sebelum panen. Tanaman akan menguraikan hasil fotosintat dalam bentuk karbohidrat untuk mengurangi dampak cekaman kekeringan pada 22 hingga 24 bulan sebelum panen (pada fase diferensiasi seks). Sehingga tahap diferensiasi seks merupakan tahap yang sedikit terpengaruh oleh

kekeringan. Akan tetapi berdasarkan pengalaman di Malaysia, kondisi kekeringan yang sedang (moderate) berpengaruh terhadap tahap diferensiasi seks sehingga cenderung lebih banyak infloresens jantan dibanding tandan bunga betina. Menurut Noor dan Ismail (2009), defisit air dapat berpengaruh terhadap produksi melalui diferensiasi seks, menurunkan proporsi infloresensi betina, memacu aborsi infloresensi dan dapat mempengaruhi pematangan buah serta akumulasi kandungan minyak. Banyak penelitian menunjukkan bahwa cekaman air (water stress) pada tanaman kelapa sawit menyebabkan kehilangan produksi TBS. Caliman dan Southworth (1999) dalam Lim et al. (2008) menunjukkan hal tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan di Palembang (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh cekaman air pada produksi TBS di Palembang Bulan (Sebelum panen) 33-36 19-25 8-11 Inisiasi pembungaan Diferensiasi seks Aborsi/Pengguguran Tahap fisiologis Kehilangan hasil/100 mm cekaman air (%) 1-3 3-4 8-10

Sumber : Caliman dan Southworth (1999)

Diagram Pengaruh Cekaman Kekeringan Terhadap Perkembangan Bunga-Buah Kelapa Sawit (Sumber : PPKS)

Terjadinya keguguran tandan sangat berhubungan dengan seberapa besar penurunan produksi TBS yang dihasilkan, pada kondisi kemarau panjang (5-6 bulan berturut-turut) akan terjadi penurunan produksi TBS mencapai 20-30% pada 1-2 tahun setelah terjadinya periode kekeringan tersebut (Harahap dan Latif, 1998 dalam Murtilaksono et al., 2009). Pengaruh kekeringan terhadap produksi juga dipaparkan secara jelas oleh Lubis et al. (1993), menurutnya dampak kekeringan mulai terjadi saat defisit air mencapai lebih dari 200 mm/tahun. Fase pembentukan tandan bunga (infloresensi) merupakan fase awal yang terpengaruh, proses pembentukan bunga betina menjadi terhambat, selanjutnya terjadi aborsi bunga betina. Bunga betina yang telah melewati masa anthesis tidak dapat berkembang dengan baik, kering dan akhirnya gugur. Pada fase pematangan buah umumnya defisit air akan menyebabkan buah yang terbentuk menjadi lebih kecil, ringan dan memberondol lebih cepat sekitar 1-2 bulan lebih awal, kondisi ini menyebabkan kandungan minyak menurun 1718% (Purba, 1988; Ochs and Liacopolus, 1983 dalam Lubis et al., 1993). Tingkat kekeringan digambarkan oleh besaran defisit air yang terjadi dan secara bertahap memberikan pengaruh terhadap penurunan produksi. Tahapan tersebut sebagai berikut ; a. Tahap pertama Kondisi ini terjadi pada saat defisit air kurang dari 200 mm/tahun, pada kondisi ini tanaman belum menunjukkan gejala yang serius. Pada kondisi ini penurunan produksi berkisar 0-10% saja. b. Tahap kedua Terjadi saat defisit air antara 200-300 mm/tahun. Ditandai dengan gejala 3-4 daun baru menyatu dan belum membuka. Penurunan produksi 10-20%. c. Tahap ketiga Terjadi saat defisit air antara 300-400 mm/tahun, 4-5 daun tombak tidak membuka dan 11.5 spiral daun bagian bawah kering. Penurunan produksi 20-30%. d. Tahap keempat Pada saat defisit air mencapai 400-500 mm/tahun, gejalanya 4-5 daun tombak menyatu dan tidak membuka, helai daun kering dan pelepah tua sekitar 1.5-2 spiral mengering. Penurunan produksi mencapai 30-40%. e. Tahap kelima Terjadi jika defisit air lebih dari 500 mm/tahun, gejalanya hampir sama dengan pada tahap keempat, ujung daun retak dan akhirnya patah dan dapat diperparah oleh tiupan angin. Pada tahap ini penurunan produksi bisa lebih dari 40% (Lubis et al., 1993)

V. KESIMPULAN

Tingkat kebutuhan air tanaman kelapa sawit pada setiap fase pertumbuhannya berbeda-beda. Kebutuhan air untuk tanaman kelapa sawit di Pre-Nursery sekitar 0.2-0.3 liter per bibit, sementara pada bibit dewasa di Main Nursery diperlukan 2-3 liter air per bibit untuk penyiraman (8-10 mm/hari). Untuk tanaman kelapa sawit dewasa ketersediaan air bersumber dari total curah hujan yang diterima, dimana kondisi curah hujan yang optimal adalah 2000-2500 mm/tahun. Ketersediaan air untuk tanaman juga ditentukan oleh kondisi tanah sebagai media tumbuhnya. Kondisi tanah berpengaruh terhadap seberapa besar air yang tertahan di dalam tanah dan potensi cekaman air tanah (soil moisture stress) yang mungkin terjadi. Cekaman air (water stress) terjadi sebagai akibat dari kurangnya ketersediaan air di daerah perakaran yang dipengaruhi oleh tingginya laju evapotranspirasi. Cekaman air dapat ditimbulkan oleh defisit air di tanah sebagai akibat dari pola sebaran curah hujan yang tidak merata dan terjadi bulan kering secara berturut-turut. Dampak fisiologis yang terjadi pada tanaman kelapa sawit pada kondisi cekaman air (water stress) antara lain rasio akar-batang yang tinggi, menurunnya laju fotosintesis akibat menurunnya jumlah klorofil, perubahan potensi osmotik yang terjadi akibat meningkatnya kandungan prolin dan glisin-betain yang merupakan osmoprotektan. Pengaruh cekaman air terhadap produksi ditandai dengan terjadinya aborsi infloresensi betina (tandan buah) dan menurunnya seks rasio sehingga menyebabkan produksi tandan buah segar (TBS) menurun dan penurunan produksi tersebut terjadi secara bertahap seiring dengan semakin tingginya tingkat defisit air. Penurunan produksi tertinggi mencapai lebih dari 40% terjadi pada kondisi cekaman air (defisit air) antara 400-500 mm/tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Cha-um, S., Takabe, T., dan Kirdmanee, C. (2010) Osmotic potential, photosynthetic abilities and growth characters of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) seedlings in responses to polyethylene glycol-induced water deficit. African Journal of Biotechnology Vol. 9 (39). pp 6509-6516. Corley, R. H. V. and Tinker, P B. (2003) The Oil Palm Fourth Edition. Blacwell Science Ltd. United Kingdom. p 56-64. Lim, K.H., Goh, K.J., Kee, K.K. dan Henson, I.E. (2008) Climatic requirements of oil palm. Proceedings of Agronomy Crop Trust (ACT) Agronomic Principles and Practices of Oil Palm Cultivation. Sarawak. p 1-29. Lubis, A.U., Endang, S., dan Kabul Pamin. (1993) Effect of long dry season on oil palm yield at some plantations in Indonesia. Proceedings of PORIM International Palm Oil Congress Update and Vision. Kuala Lumpur. p 253-261. Mahamooth, T. N., Gan, H.H., Kee, K.K., dan Goh, K.J. (2008) Water requirements and cycling of oil palm. Proceedings of Agronomy Crop Trust (ACT) Agronomic Principles and Practices of Oil palm Cultivation. Sarawak. p 57-96. Murtilaksono, K., Darmosarkoro, W., Sutarta, E.S., Siregar, H.H., dan Hidayat, Y. (2009) Upaya peningkatan produksi kelapa sawit melalui penerapan teknik konservasi tanah dan air. Jurnal Tanah Tropis Vol. 14 (2). p 135-142. Noor, Mohd Roslan dan Mohd Razi Ismail. 2009. Crop water use efficiency in under rainfed and irrigated oil palm cultivation. Proceedings of Agriculture Biotechnology and Sustanability Conference, PIPOC 2009 International Palm Oil Congress. Kuala Lumpur. p 167-176. Palupi, E.R. dan Dedywiryanto, Y. (2008). Kajian karakter ketahanan terhadap cekaman kekeringan pada beberapa genotype bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Buletin Agronomi 36 (21). p. 24-32. Sun, C.X., Cao, H.X., Shao, H.B., Lei, X.T. dan Yong Xiao (2011) Growth and physiological responses to water and nutrient stress in oil palm. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (51). pp 10465-10471. Thoruan-Mathius, N., Liwang, T., Danuwikarsa, M.I., Suryatmana, G., Djajasukanta, Saodah, D., Astika, I.G.P.W. (2004) Respon biokimia beberapa progeny kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap cekaman kekeringan pada kondisi lapang. Menara Perkebunan 72 (2). p 38-56.

Thoruan-Mathius, N., Wijana, G. Guharja, E., Aswidinnoor, H., Yahya, S., dan Subronto. (2001) Respon tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap cekaman kekeringan. Menara Perkebunan 69 (2). p 29-45. Turner, P. D. and Gillbanks, R. A. 2003. Oil palm cultivation and management second edition. The Incorporated Society Of Planters. Kuala Lumpur. p 74-81.

Anda mungkin juga menyukai