Anda di halaman 1dari 35

ADA APA DIBALIK RUU PT?

WHAT :

WHY

RUU PT Sebagai Penentu Arah Kebijakan Pengembangan Perguruan Tinggi


08. Jun, 2011 0 Komentar

RUU Perguruan Tinggi (RUU PT) yang saat ini sedang digodok diharapkan bisa menjadi panduan dan penentu arah kebijakan pengembangan di dunia Perguruan Tinggi. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, pada Rapat Kerja Komite III DPD RI, Rabu (7/6) di Ruang Rapat GBHN Gedung Nusantara V MPR/DPR/DPD RI Kompleks Parlemen Senayan. Nantinya UU PT ini diharapkan bisa memenuhi tantangan memastikan siswa lulusan SMA, MA, dan SMK memperoleh akses ke Perguruan Tinggi. Sebab menurutnya dari seluruh anak Indonesia berusia 19-23 tahun, baru seperempat yang bisa menikmati dunia Perguruan Tinggi. Sementara tujuh puluh lima persennya belum.

Mereka itu, ini yang harus kita perjuangkan bersama-sama. Yaitu memastikan anak-anak lulusan ini mendapat akses untuk masuk kesini. ujarnya. Nuh menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi siswa untuk masuk ke Perguruan Tinggi bukan hanya biaya kuliah yang mahal. Mahasiswa miskin umumnya berasal dari lingkungan keluarga dan sekolah yang kurang mempersiapkan transisi bagi mereka untuk berhasil di Perguruan Tinggi. Dari peringkat 25% teratas SMA di Indonesia, hanya 29% dari siswa miskin yang sanggup menyelesaikan pendidikan sarjana. Ini yang harus kita siapkan. Karena ada persoalan budaya, tradisi, psikologi, persoalan sosial, dan seterusnya. tegasnya. Seperti diketahui, Perguruan Tinggi merupakan sumber penting dari penelitian dan pengembangan. Perguruan Tinggi berperan besar dalam pelaksanaan lebih dari 50% pendidikan dasar yang menghasilkan terobosan-terobosan pemikiran yang memungkinkan munculnya industri-industri baru. Perguruan Tinggi juga memiliki misi yang lebih luas dalam menerjemahkan hasil penelitian dan mengembangkan menjadi produk dan perusahaan baru. 15% penelitian terapan dilaksanakan melalui inovasi yang dimulai di kampus yang kemudian diserap menjadi bisnis melalui paten atau hak bisnis dan seterusnya. Namun demikian tidak semua siswa lulusan SMA dan SMK berkeinginan masuk Perguruan Tinggi. Sebagian besar diantara mereka langsung masuk ke dunia kerja. Namun demikian, siswa tersebut tetap perlu dipersiapkan lebih khusus agar lebih matang masuk ke pasar kerja. Oleh karena itu di konsep RUU PT yang akan disampaikan ke DPR, Kemendiknas akan membuka kanal baru berupa community college berupa D1 dan D2. Oleh karena itu diharapkan UU PT nantinya bisa memberikan arahan, rencana pengembangan Perguruan Tinggi dalam jangka panjang sekaligus mengatur pelaksanaan pengembangan Pendidikan Tinggi. Disinilah nantinya, sekarang ini juga kami siapkan tentang pentingnya membuat rancangan konseptual sistem Pendidikan Tinggi, atau yang kami sebut arsitektur sistem Perguruan Tinggi. Dengan arsitektur ini kita harapkan nantinya bisa lebih terarah. tutup Nuh. This post is also available in: English

ARAH PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI NEGERI DI INDONESIA DENGAN ADANYA PERPU PENGGANTI UU-BHP
21 Dec 1. Latar Belakang Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam

pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Bisa berupa mereka (konsumen) yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut. Untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan, yaitu : a) Menciptakan situasi menang-menang (win-win solution) dan bukan situasi kalahmenang diantara fihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut. b) Perlunya ditumbuhkembangkan adanya motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan. c) Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus. d) Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan. Peraturan baru untuk Perguruan Tinggi tentunya akan menentukan kualitas/mutu dari esensi pendidikan itu sendiri dari mulai input-process-output. Tak henti-hentinya masyarakat Indonesia mengharapkan kualitas/mutu pendidikan itu bisa mereka raih dengan mudah dan gampang, namun seringkali harapan tersebut selalu terhambat dengan adanya suatu system yang berbelitbelit yang tidak menguntungkan terhadap seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Pada massa ini hanya orangorang tertentu yang hanya bisa mengenyam pendidikan itu sendiri. Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 maka seluruh regulasi atau kebijakan pendidikan nasional mau tidak mau harus mendasarkan pada keberadaan sila-sila dalam Pancasila serta pembukaan UUD 45 ayat 4, maupun pasal-pasal dalam UUD 45 yang mengatur masalah yang berkaitan dengan pendidikan dan kebudayaan. kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat tidak boleh melemahkan keberadaan Pancasila itu sendiri. 2. Permasalahan Paper ini secara singkat akan mengungkap dan melihat ke masa depan tentang arah pendidikan Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Indonesia. Menyimak uraian di atas perhatian kita akan terfokus bagaimana pendidikan yang ada pada Perguruan Tinggi mampu menghadapi berbagai persoalan yang semakin global. Tantangan yang dirasakan begitu luas dan berat ini perlu mendapat perhatian yang cukup serius. Oleh karena itu diperlukan konsep dan kerangka berfikir (mind-frame) atau suatu pemikiran yang mampu mengakomodir berbagai wacana dan fenomena tentang arah pendidikan Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Indonesia. 3. Pembahasan Akhir maret lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU-BHP), setiap lapisan masyarakat yang peduli akan pendidikan di Indonesia sejenak merasa lega. Tapi ternyata tidak hanya sampai disitu, pemerintah saat ini berusaha untuk membuat Perpu pengganti dari UU-BHP tersebut. Pada intinya prinsip dari Perpu pengganti UU-

BHP tersebut itu sama yang katanya Pemerintah tengah mengkaji peraturan alternatif menggantikan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) pasca dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Peraturan itu bisa berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Pengganti Undang-Undang atau Undang-Undang baru. Peraturan alternatif ini penting untuk segera diterbitkan sebagai payung hukum institusi pendidikan tinggi, termasuk yang berstatus Badan Hukum milik Negara. Karena pasca dibatalkannya UU BHP, timbul polemik pijakan hukum tata kelola perguruan tinggi. Terkait hal ini, Menteri Pendidikan Nasinonal Muhammad Nuh mengatakan Di sini lah muncul polemik apakah PT BHMN yang ada sekarang, batal demi hukum karena cantolannya PP No 61 sudah dihapus oleh BP 17, atau masih hidup. Para pakar hukum beberapa hari membicarakan hal ini, jawabannya beragam. Ada yang bilang sudah mati, masih hidup, itu terus jawabannya. Nah saya sebagai orang yang tidak begitu mengerti hukum, harus ambil posisi. Karena kami tidak ingin terjebak dalam polemik seperti itu. Solusinya kami ingin ada PP baru dan memastikan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak terkendala oleh masalah hukum , kata Muhammad Nuh pada reporter Alam Kusuma. Muhammad Nuh menegaskan, kalau peraturan ini tidak segera diterbitkan, dampaknya akan mengganggu sistem perguruan tinggi. Karena tidak ada payung hukum didalamnya. Karena itu pihaknya menurut Muhammad Nuh ingin melindungi serta memastikan bahwa urusan akademik maupun administrasi dari seluruh perguruan tinggi, aman. Sementara saat ditanya bagaimana kerangka peraturan itu, Muhammad Nuh menjelaskan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memang mengamanatkan dibuatnya Undang-Undang khusus untuk mengatur tata kelola perguruan tinggi dan sekolah. UU BHP, dibuat untuk menjalankan UU Sisdiknas, sehingga setelah UU BHP dibatalkan terjadi kekosongan hukum. Mendiknas menambahkan, selain ke perguruan tinggi, masih banyak implikasi dibatalkannya UU BHP. Mendiknas mencontohkan, saat ini nasib sekolah dan perguruan tinggi yang dikelola yayasan menjadi tidak jelas. Sebab, UU Yayasan melarang sebuah yayasan mengelola badan pendidikan secara langsung. Yayasan harus membentuk badan usaha. Menurut Mendiknas, badan usaha cenderung lebih banyak meraih laba. Hal itu tidak sesuai dengan UU Sisdiknas yang mengharuskan badan pendidikan bersifat nirlaba. Solusinya dengan UU BHP. Tapi karena MK telah membatalkannya, maka Kementeriannya kata Nuh harus segera mencari peraturan alternatif menggantikan UU BHP. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh mengatakan, produk pengganti Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) diharapkan selesai sebelum tahun ajaran baru mendatang. Saat ini kami bersama rektor dari perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan perguruan tinggi swasta sedang membahas produk pengganti UU BHP dan secepatnya akan difinalkan, katanya di Yogyakarta, Jumat (21/5) kemarin. Oleh karena itu, menurut dia usai peringatan Dies Natalis Ke-46 Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), produk pengganti UU BHP diharapkan sebelum tahun ajaran baru mendatang sudah selesai dan dapat disahkan. Ia menambahkan, ada beberapa hal yang menjadi dasar ditetapkannya produk pengganti UU BHP itu. Di antaranya pendidikan harus bersifat nirlaba dengan tidak mengutamakan aspek keuntungan semata. Dengan demikian, menurut dia, bentuk produk pengganti UU BHP itu, apakah itu berupa peraturan pemerintah (PP) atau UU, harus tetap menggunakan prinsip nirlaba untuk mengunci akses agar tidak terjadi komersialisasi dalam pendidikan. Aspek Ekonomi Prinsip lain yang harus dipenuhi adalah mencakup aspek otonomi. Dalam hal ini, kami akan memberikan keleluasaan kepada institusi perguruan tinggi untuk mengelola seluruh sumber daya dan tidak ha-nya sebatas pada bidang akademik, kata Mendiknas. Ia menjelaskan, prinsip lain yang juga harus dipegang adalah institusi perguruan tinggi harus memiliki akuntabilitas sehingga semua langkah-langkah kebijakan pengelolaan tetap dapat

dipertanggungjawabkan kepada publik dan tidak melampaui batas. Prinsip lain yang juga tidak kalah penting adalah adanya akses berkeadilan sehingga perguruan tinggi, terutama negeri, harus memberikan tempat secara khusus bagi mereka yang memiliki keterbatasan secara ekonomi. Jumlahnya memang belum dirumuskan, tetapi sekitar 20-30 persen. Hal itu yang menjadi kebijakan dasar pada UU atau PP yang baru sebagai pengganti UU BHP, katanya. (ant-45) Bukan bentuk BHP yang menjadi tujuan dari Perpu tersebut, tetapi sebuah otonomi dari Perguruan Tinggi (PT). Tak pelak apabila Institut Pertanian Bogor menginginkan agar pemerintah membentuk suatu Perpu yang otonomi pada Perguruan Tinggi. Hal tersebut sebetulnya menjadi tujuan utama dari pemerintah yang diikuti oleh setiap Perguruan Tinggi (PT) Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang ada di Indoneesia ini, salah satunya yakni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Apabila sudah ada Perpu sebagai pengganti UU-BHP, maka PP no 71 tahun 1999 tidak akan berlaku lagi. Perpu yang dikeluarkan presiden itu hanya sekedar mengisi UU-BHP yang dimana didalamnya tersebut terdapat BHMN. Pemerintah juga membuat suatu kerangka BHP versi baru. Sebab yang sebelumnya itu banyak sekali isinya yang menyimpang. Yang disitu terdapat orientasi pada pelayanan kampus dan sumber dana dari pemerintah ada juga jaminan standar. Masyarakat hanya membantu saja, selebihnya itu adalah keleluasaaan dan kreativitas pengelola dari Perguruan Tinggi itu sendiri, kreativitas itu diutamakan dengan adanya suatu pengembangan riset/penelitian. Akan tetapi, apabila ada penyelewengan hal tersebut tentunya harus ditindak secara tegas sesuai hukum yang berlaku!. Apabila sebuah Perguruan Tinggi belum bisa mandiri dalam pengelolaan keuangannya, maka ada standar pengelolaan keuangan dari Negara dan ada juga aturan mengenai pelaporan, ada UU pengeloloaan keuangan Negara dan UU tentang perbendaharaan Negara. Negara itu butuh calon dokter, guru, insinyur dan para ahli lainnya yang bisa membangun bangsa. Negara yang membutuhkan itu bukan hanya semata-mata untuk mencari pekerjaan atau uang saja, jadi semestinya pemerintah tidaklah usah ragu untuk bertanggung jawab terhadap anggaran dari pemerintah itu sendiri, karena Negara ini membutuhkan sekali sumber daya manusia yang berkualitas tinggi untuk membangun ibu pertiwi ini. Keberadaan UUD BHP sebetulnya selain bertentangan dengan UUD 45 sebagaimana bunyi keputusan MK tanggal 31 Maret 2010, juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila terutama sila kedua sampai kelima. Oleh krena itu pembatalan UU BHP oleh MK seharusnya disambut positif oleh semua pihak dan tidak perlu menimbulkan kegaduhan di kalangan birokrasi pemerintah. Pemerintah justru seharusnya menyadari kesalahannya sehingga melakukan refleksi agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pembuatan regulasi baru tidak diperlukan mengingat kita telah memiliki UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur penyelenggaraan pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Jadi tidak ada istilah kevakuman payung hukum di dalam penyelenggaraan pendidikan baik untuk sekolah negeri maupun sekolah swasta. Pembuatan perpu atau UU baru untuk mengatur pendidikan dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan baru yang tidak jauh dari keberadaan UU BHP yang dibatalkan oleh MK. Sebab kemungkinan terjadinya kanibalisasi (mengambil pasal-pasal di dalam UU BHP) untuk dimasukkan ke dalam regulasi baru yang akan dibuat itu peluangnya sangat besar. Bila hal ini terjadi maka perpu atau UU baru hanya akan menimbulkan ketegangan lagi di masyarakat. Kecuali itu perpu tidak cocok dipakai untuk mengganti UU BHP mengingat isu yang akan diatur (bidang pendidikan) merupakan masalah yang sifatnya long term bukan darurat. Tuntutan para pengelola PT BHMN dan PTN agar mereka diberi otonomi luas dalam pengelolaan pendidikan tinggi dapat diakomodasi dalam bentuk PT yang merupakan turunan dari UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Mengingat perguruan tinggi itu

bagian integral dari sistem pendidikan nasional, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 45 pasal 31 ayat 3 yaitu pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang diatur dengan UU. Jadi jelaslah bahwa PT BHMN maupun PTN wajib tunduk pada keberadaan UU sistem pendidikan nasional. Dengan demikian tidak diperlukan Perpu maupun UU baru khusus untuk mengatur PT BHMN mapun PTN. Yang diperlukan adalah PP saja yang merupakan turunan dari UU sisdiknas tahun 2003; seperti halnya PP no 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi yang merupakan turunan dari UU no 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. PP ini kelak direvisi menjadi PP no 60 tahun 1999. Mengingat bentuk PT BHMN sekarang ini terbukti merusak tatanan kehidupan bangsa, maka keberadaan PT BHMN harus dikembalikan menjadi PTN. Bila keberadaan PTN dirasa kurang fleksibel di dalam pengelolaan dana dari masyarakat maka yang perlu diubah bukan bentuk PTNnya melainkan UU keuangan negara agar lebih fleksibel dan akomodatif terhadap pengelolaan dan pengunaan anggaran untuk kebutuhan pelayanan umum. Kegiatan pencerdasan bangsa yang dijalankan oleh perguruan tinggi adalah tugas utama dari keberadaan Negara ini; sedangkan pengelolaan keuangan adalah kegiatan penunjang atau (instrumentalis). Sebagai kegiatan utama keberadaan PTN tidak boleh dikorbankan demi mengabdi pada mekanisme pengelolaan keuangan Negara (instrumentalis). Bila mekanisme keuangan Negara tidak mampu menunjang pelaksanaan kegiatan utama maka mekanisme tersebutlah yang harus diubah bukan justru hal yang utama dikorbankan demi kegiatan penunjang. 4. Kesimpulan Akuntabilitas adalah kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga pendidikan tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi (keterbukaan) dari semua pihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan semua sumberdayanya. Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi yang menghasilkan kesimpulan tentang nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan atau unit kerja yang dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara internal atau eksternal. Apapun peraturan yang akan dibuat oleh pemerintah untuk bisa meningkatkan pendidikan di Indonesia tentunya harus sesuai dengan akuntabilitas dari pemerintah ini yang harus berdasarkan dari hasil evaluasi tentang sejauh mana perkembangan pendidikan yang terjadi di Indonesia ini sehingga benar-benar dapat menciptakan suatu system atau peraturan yang mampu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia ini, karena pemerintah membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk membangun bangsa ini dan sumber daya manusia yang begitu melimpah di Indonesia akan menjadi setumpuk sampah apabila tidak dikelolea secara baik oleh pemerintah. 5. Daftar Pustaka Slamet, Margono, 1999. Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu, IPB Bogor. ISOLA POS, EDISI 49/TH XIX/MEI 2010 http//www.suaramerdeka.com http//www.JPNN.com http//www.KoalisiAnti-UUBHP.com

WHEN :

NOTULENSI FORUM SILAHTURAHMI RUU Topic List < Prev Topic | Next PERGURUAN TINGGI Topic > Reply < Prev Message | Next Message > Notulensi Forum Silaturahmi Tanggal : 29 April 2011 Delegasi: Abian Adyasa Ananggadipa (BM08), Bintari A R Prasenda (BI09), Fadi Adli Sandika (BI09), Fitria Dewi Astari (BI09), Nabhila Chairunissa (BI09) Tema : RUU Perguruan Tinggi Tujuan : 1. Pencerdasan massa kampus mengenai kondisi pendidikan di ITB 2. Penyatuan opini massa kampus 3. Metode yang akan dilaksanakan pada pergerakan 2 Mei 2011 Keputusan: Pergerakan pada tanggal 2 Mei 2011 pukul 16.00 18.00 WIB berlokasi di kubus Notulensi : Di dalam forsil berikut, KM-ITB mengusulkan untuk diadakannya sebuah pergerakan kemahasiswaan dengan sasaran media, masayarakat, pemerintah, dan massa kampus. Pergerakan berupa bentuk protes terhadap pemerintahan terkait kondisi pendidikan di Indonesia dan akan dilakukan oleh BEM se-Indonesia. Berdasarkan RDK yang telah diadakan sebelumnya, mahasiswa ITB merumuskan 5 tuntutan terhadap pemerintah terkait hal berikut, yakni: 1. Posisi mahasiswa di dalam majelis pemangku 2. Alokasi dana pemerintah untuk perguruan tinggi 3. Biaya SNMPTN 2011 sebesar Rp 55.000.000,4. Jalur masuk mahasiswa 5. Batasan otonomi pemerintah di dalam perguruan tinggi KM-ITB kemudian mengambil 2 topik pergerakan berdasarkan 5 tuntutan tersebut sebagai topik yang akan diangkat di dalam pergerakan 2 Mei 2011. Topik tersebut ialah : 1. Posisi mahasiswa di dalam majelis pemangku 2. Alokasi dana pemerintah untuk perguruan tinggi KM-ITB memberikan usulan berupa aksi turun ke jalan terutama di daerah sekitar Cikapayang. Akan tetapi usulan ditolak mengingat waktu persiapan yang minim serta lokasi yang terlalu jauh. Terdapat 2 usulan mengani mekanisme pergerakan : 1. Mengutamakan pencerdasan massa kampus terlebih dahulu akan isu terkait dengan pergerakan dalam bentuk seni seperti pembacaan puisi, musik, maupun mural (oleh perwakilan HMFT) 2. Mengirimkan sesuatu yang unik dan menarik namun tetap terkait isu perguruan tinggi kepada DPR (oleh perwakilan HMFT) Berdasarkan mayoritas suara, aksi turun ke jalan ditolak dan diganti oleh pergerakan dalam bentuk seni. Pergerakan mengambil tanggal 2 M ei 2011 dikarenakan hari tersebut merupakan hari pendidikan nasional dan dianggap sesuai sebagai momentum pergerakan. Akan tetapi pada awalnya usul tersebut menuai protes dari semua perwakilan himpunan.

Pencerdasan massa yang kurang akan isu ini dianggap menjadi kendala dari diadakannya pergerakan 2 Mei 2011 mengingat forsil diadakan pada hari Jumat, 29 April 2011 sedangkan pergarakan akan diadakan tepat 3 hari setelah forsil, menyisakan hari Sabtu dan Minggu sebagai hari yang diharapkan mampu untuk mencerdaskan massa kampus mengenai isu terkait. Terdapat pula usulan mengenai pemindahan hari pergerakan menjadi tanggal 20 Mei 2011 (hari kebangkitan nasional) oleh perwakilan HMME. Pemindahan hari menimbang banyaknya waktu yang dapat dimanfaatkan untuk persiapan terutama pencerdasan massa kampus. Akan tetapi moderator bersikeras untuk mengadakan pergerakan pada tanggal 2 Mei 2011 sebagai motor dari pergerakan berikutnya dan pada tanggal 20 Mei akan diadakan pula pergerakan lanjutan sebagai follow up dari pergerakan 2 Mei nantinya. Lokasi Cikapayang yang diusulkan oleh KM-ITB sebagai lokasi pergerakan kembali ditolak oleh massa himpunan. Cikapayang dinilai terlalu jauh, sehingga dikhawatirkan minimnya jumlah massa kampus yang turut serta dalam pergerakan. Perwakilan dari IMA-G kemudian memberikan usul pemindahan lokasi pergerakan ke kubus sebagai lokasi di luar ITB yang memiliki kemudahan pengaksesan area oleh massa kampus, namun pada saat yang bersamaan diharapkan mampu juga merangkul masayarakat sekitar dan media yang ada. Forsil ditutup dengan keputusan berupa rancangan pergerakan dalam bentuk seni yang akan diadakan pada hari Senin, 2 Mei 2011 dengan lokasi kubus pada pukul 16.00-18.00 WIB.Rancangan akan dibawa ke kongres pada tanggal 30 April 2011. Konten dan teknis pelaksanaan pergerakan menyusul. *Note : Kertas Kajian RUU Perguruan tinggi terlampir -Eksternal-

WHO : RUU Baru tentang PT Menuai Pertanyaan


16 Feb 2011

Pendidikan Pikiran Rakyat

BANDUNG, (PR).Asosiasi Badan Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPTSI) Jawa Barat mempertanyakan munculnya rancangan undang-undang (RUU) baru yang mengatur tentang perguruan tinggi (PT). Pasalnya, RUU yang saat ini sedang digodok oleh Kementerian Pendidikan Nasional ini bernuansa Badan Hukum Pendidikan yang telah dibatalkan beberapa waktu lalu.

Ditemui di ruang kerjanya, Senin (14/2), Ketua ABPTSI Jawa Barat Sali Iskandar menuturkan, pihaknya tidak habis pikir kenapa pemerintah terus membuat undang-undang baru mengenai pengelolaan pendidikan, terutama di PTN. Menurut dia, aturan mengenai pengelolaan pendidikan sebenarnya sudah tertuang jelas dalam PP 66 Tahun 2010. "Maksudnya apa pemerintah terus saja membuat UU baru. Apa tidak cukup, yang satu digugat hingga dibatalkan, bikin lagi yang baru. Sementara aturan yang ada saja belum tuntas dilaksanakan. Kalau sekadar ingin mengotonomikan PTN, di PP 66 saja sudah cukup jelas," ujarnya. Menurut Sali, pihaknya bu-kan tidak setuju adanya RUU ini, tetapi kalau ternyata isinya sama saja dengan UU sebelumnya buat apa dibuat lagi. Akan lebih baik jika UU yang disusun terkait kualitas dan peningkatan kualitas pendidikan. "Apalagi dalam UU ini swasta tidak disebutkan sama sekali. Bahkan namanya saja berubah menjadi perguruan tingg masyarakat (PTM). Kenapa tidak disebutkan saja swasta atau yayasan. Ini aneh," tuturnya, Sali mengatakan, APBN itu milik semua rakyat Indonesia, bukan hanya milik PTN. Namun nyatanya pemerintah hanya memberikan perhatian pada PTN. "Artinya tidak sama antara yang diterima PTN dan PTS," ujarnya. Bahkan jika ditelaah lebih dalam, kata Sali, RUU ini sangat mirip dengan UU BHP. Dalam salah satu pasal terkesan ideal karena disebutkan, pendanaan perguruan tinggi pemerintah merupakan tanggung jawab pemerintah yang bersumber dari APBN (Pasal 33 (1)). Namun, ayat lainnya disebutkan PTN masih diperbolehkan menerima sumbangan dari mahasiswa dan orang tua. (A157)"* Entitas terkaitApalagi | APBN | Artinya | Ditemui | Maksudnya | Pasal | PP | PTN | RUU | Sali | UU | Jawa Barat | RUU Baru | Badan Hukum Pendidikan | Kementerian Pendidikan Nasional | PT Menuai Pertanyaan | Asosiasi Badan Perguruan Tinggi Swasta Indonesia | Ketua ABPTSI Jawa Barat Sali Iskandar | Ringkasan Artikel Ini Pasalnya, RUU yang saat ini sedang digodok oleh Kementerian Pendidikan Nasional ini bernuansa Badan Hukum Pendidikan yang telah dibatalkan beberapa waktu lalu. Apa tidak cukup, yang satu digugat hingga dibatalkan, bikin lagi yang baru. Dalam salah satu pasal terkesan ideal karena disebutkan, pendanaan perguruan tinggi pemerintah merupakan tanggung jawab pemerintah yang bersumber dari APBN (Pasal 33 (1)). Jumlah kata di Artikel : 302 Jumlah kata di Summary : 57 Ratio : 0,189 *Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan dibutuhkan untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke tech at mediatrac net.

7 Perguruan Tinggi BHMN Rumuskan Penyempurnaan RUU PT


beritasore.com 15/03/2011 16:01:44

MEDAN (Berita): Tujuh Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) se Indonesia akan membentuk tim kecil untuk merumuskan berbagai masukan dalam proses penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi. Rencana pembentukan tim kecil tersebut merupakan salah satu hasil rumusan pertemuan tujuh Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) yang digelar 11-12 Maret 2011 di Universitas Sumatera Utara (USU). Rektor USU Prof Syahril Pasaribu, menjelaskan, ketujuh universitas itu, masing-masing, Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Airlangga. Dalam pertemuan tersebut, sebelumnya digelar dua sesi diskusi panel. Panel pertama membicarakan tema Konsep Masukan Terhadap Revisi PP nomor 23 Tahun 2005 dengan pembicara Prof Akmal Taher dari UI, Prof Ainun Naim dari UGM, Prof Tan Kamelo dari USU dan Dr. Nasih Wakil Rektor Unair. Sesi diskusi panel kedua membahas konsep masukan terhadap draft RUU Perguruan Tinggi dengan pembicara Prof Biran Affandi dari UI, Prof Roedhy Poerwanto dari IPB, Prof Harijono dari ITB, Prof Alvi Syahri dari USU dan Prof Astim Aryanto dari UPI. Ia mengatakan, selain akan membentuk tim kecil, pertemuan tersebut juga menghasilkan beberapa rumusan lainnya, diantaranya perlu mengupayakan terwujudnya otonomi perguruan tinggi yang menjamin tercapainya academic, exelence, akuntable dan akses yang luas bagi masyarakat. Kemudian perlu dilakukan komunikasi melalui milis untuk memberikan kesimpulan-kesimpulan dari hasil pertemuan yang telah dilakukan. Perwakilan dari tujuh PT BHMN se Indonesia itu juga membahas kewenangan otonomi perguruan tinggi. Pertemuan yang dikemas dalam tema Merajut Kebersamaan Langkah dan Tindakan dalam Memperkuat Otonomi Perguruan Tinggi, juga membahas aspek manajemen organisasi, akademik, kemahasiswaan, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, serta pengelolaan keuangan PT BHMN yang mengikuti pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU).(aje)

More 7 Perguruan Tinggi BHMN Rumuskan Penyempurnaan RUU PT


Incoming search terms: kompas Akmal Taher YANG MENGUSULKAN RUU PERGURUAN TINGGI 2011

WHERE

HOW :

http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/11/02/22/165533-ruuperguruan-tinggi-rugikan-kampus-swasta

RUU Perguruan Tinggi Rugikan Kampus Swasta


Selasa, 22 Pebruari 2011 17:42 WIB REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Menurut Wakil Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah III, Suyatno, rancangan undang-undang perguruan tinggi tak ubahnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Saya lihat dlm 82 pasal, 10 bab itu klo dilihat dari filosofi pemikiran isinya tidak relevan krn isinya menyatakan kampus harus punya daya saing tapi isinya tidak jauh dari tata kelola, ya mirip-mirip BHP lah, ungkap Suyatno yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), pada Pra Rapat Kerja Nasional Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jakarta, Selasa. (22/2). RUU yang sedang dibahas DPR ini belum mewakili kampus khususnya dalam hal pengembangan pendidikan dan tak meningkatkan daya saing. Apalagi ia menambahkan dalam dari 82 pasal dalam RUU ini, hanya empat pasal yang mengatur Perguruan Tinggi Masyarakat (swasta).

Sehingga duplikasi pasal UU BHP yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi ini menurutnya akan mematikan kampus swasta. " Merugikan kampus swasta termasuk bagi Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang jumlahnya lebih dari 150 di Indonesia, lebih banyak daripada jumlah Perguruan Tinggi Negeri yang hanya 85 buah," paparnya. Kemudian dalam RUU ini terlihat bahwa Pemerintah juga seperti lepas dari tanggung jawab, khususnya dalam hal pembiayaan. Apalagi menurutnya ditemukan kata dapat yang bisa diartikan pemerintah seenaknya. Padahal tugas pembiayaan ini menurutnya sifatnya wajib bagi Pemerintah.RUU ini kembali membuat perguruan swasta terpinggirkan, ucapnya. Kemudian ia menilai bahwa RUU Perguruan Tinggi ini akan membuat biaya kuliah yang lebih mahal. Hal ini karena berdasarkan RUU ini pemerintah akan fokus membiayai PTN setengah Mandiri, sehingga kampus mandiri yang dananya tak cukup akan menarik besar dari mahasiswa. "RUU seharusnya juga mengatur kampus-kampus mandiri mengembangkan ilmu-ilmu langka namun penting seperti pertanian, kelautan, astronomi, perminyakan, hingga sejarah dan filsafat. Kalau tidak diatur, semua perguruan tinggi hanya buka kedokteran dan ekonomi," paparnya.

Home Profil Sejarah Struktur Organisasi Visi Misi Fungsi

Organisasi Tata Usaha > Bagian Kepegawaian > Bagian Keuangan > Bagian Umum Administrasi & Akademik > Akreditasi & Kelembagaan > Bagian Kemahasiswaan Profil PT Data Program Studi Cari Data Dosen Statistik Jumlah Dosen Data Mahasiswa Akreditasi Prog Studi Petunjuk Cek Status Status Borang Daftar & Profil PTS Stastik Program Studi Kegiatan Kopertis Info Beasiswa Status Proses SK Penawaran Info Penting Lain-lain Kegiatan Kopertis Statistik Website Galery PTS Peraturan dan Edaran Program Entri EPSBED Petunjuk EPSBED

Direktori PT

Akreditasi

Info Kopertis

Galery

Download

TBDOS 3 Mei 2011 Tool Update TBDOS

FORUM Daftar Isi


Top of Form

Cari Sesuatu:
Bottom of Form

Profil Buku Tamu Kontak Kami Info Dosen

Seputar RUU Perguruan Tinggi


Ditulis : Wed, 23 Feb 2011 | 7:23 oleh Fitri. Dilihat 1179 kali. Tags: Kemdiknas Bantah Hanya Pro Perguruan Tinggi Negeri, Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah Protes RUU PT, RUU Perguruan Tinggi Rugikan Kampus Swasta, RUU PT Bukan Pengganti UU BHP Kategori: Berita Edukasi, Info Penting | 1 Kementar 0Share

1 ) RUU PT Bukan Pengganti UU BHP http://www.jpnn.com/read/2011/02/23/85028/RUU-PT-Bukan-Pengganti-UU-BHPRabu, 23 Februari 2011 , 00:50:00 JAKARTA Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perguruan Tinggi (PT). Meski demikian, RUU itu tidak dimaksudkan sebagai pengganti UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) Harris Iskandar mengatakan, pihaknya terus melakukan konsultasi publik terkait penyusunan RUU PT. Kami berupaya untuk membuat suatu kebijakan yang otonom, dinamis dan akuntabel, terang Harris di Gedung Kemdiknas, Jakarta, Selasa (22/2). Dalam proses penyusunan RUU tersebut, lanjut Harris, Kemdiknas juga memperhatikan beberapa kekurangan-kekurangan yang ada di dalam UU BHP yang telah dicabut beberapa waktu lalu. Diharapkan RUU Perguruan Tinggi ini akan mampu menjadi payung hukum pendidikan tinggi yang menggantikan UU BHP, tukasnya. Disinggung mengenai adanya anggapan bahwa RUU Perguruan Tinggi sama dengan UU BHP, Harris langsung menyangkalnya. Ditegaskannya, kesamaan antara keduanya tidaklah secara keseluruhan, akan tetapi hanya pada jiwa otonominya saja. dst

2 ) Kemdiknas Bantah Hanya Pro Perguruan Tinggi Negeri http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/11/02/22/165542-kemdiknas-bantah-hanyapro-perguruan-tinggi-negeri Selasa, 22 Februari 2011, 18:10 WIB REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTASekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Harris Iskandar membantah jika RUU Perguruan Tinggi hanya mendukung pendidikan Perguruan Tinggi Pemerintah (negeri) daripada Perguruan Tinggi Masyarakat (swasta). Menurut Haris kurangnya pasal di dalam RUU Perguruan Tinggi ini karena memang belum ada masukkan dari perguruan tinggi swasta `Hal itu betul karena ini masih dalam bentuk rancangan, kami sudah mengadakan roadshow ke beberapa daerah dan kemudian RUU ini juga masih dalam tahap konsultasi publik dimana semua `stakeholder` diundang Komisi X DPR untuk beri masukan, ungkapnya ketika diwawancara wartawan usai penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jakarta, Selasa. (22/2). Ia pun menilai bahwa RUU ini tak sama dengan UU BHP yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena RUU kali ini yang sedang dibuat jauh lebih otonom dan dinamis. ` Keinginan Diknas sudah putus tuntas di UU BHP kemarin, paparnya. Ia sendiri belum mengetahui perbedaan utamanya dengan UU BHP, akan tetapi sistem ini jauh lebih cerdas, efektif, akuntabel dan otonom. Soal komersialisasi yang ada di UU BHP ia meyakinkan takkan ada lagi di RUU Perguruan Tinggi. `Takkan masuk dua kali, takkan seperti keledai, paparnya. dst 3 ) Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah Protes RUU PT http://www.mediaindonesia.com/read/2011/02/23/205468/88/14/Rektor-Perguruan-TinggiMuhammadiyah-Protes-RUU-PT Rabu, 23 Februari 2011 15:50 WIB JAKARTAMICOM: Para rektor perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) se-Indonesia mengkritik Rancangan Undang-Undang tentang Perguruan Tinggi (RUU-PT) yang saat ini sedang dibahas di DPR. RUU tentang PT ini amat merugikan PTM se-Indonesia yang jumlahnya 150 buah dan juga PT swasta lainnya, kata Rektor Uhamka Suyatno, pada pertemuan PTM se-Indonesia di kampus Uhamka, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (23/2). Acara tersebut dibuka Ketua Majelis PTM Chairil Anwar, dihadiri Sekretaris Dirjen Dikti Kemendiknas Harris Iskandar, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Illah Sailah, dan lain lain. Menurut Suyatno, dari 82 pasal yang tertuang di RUU-PT lebih mengedepankan tata kelola dan mengutamakan perguruan tinggi negeri (PTN). Sejumlah poin RUU PT yang dikritik para rektor, misalnya memuat dikotomi antara perguruan tinggi pemerintah (PTP) dan perguruan tinggi masyarakat (PTM). Istilah PTM di RUU itu juga mengaburkan istilah yang telah digunakan perguruan tinggi Muhammadiyah atau PTM sejak lama, cetus Suyatno. (Bay/OL-8) dst 4 ) RUU Perguruan Tinggi Rugikan Kampus Swasta http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/11/02/22/165533-ruu-perguruan-tinggirugikan-kampus-swasta Selasa, 22 Februari 2011, 17:42 WIB REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTAMenurut Wakil Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah III, Suyatno, rancangan undang-undang perguruan tinggi tak ubahnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. `Saya lihat dlm 82 pasal, 10 bab itu klo dilihat dari filosofi pemikiran isinya tidak relevan krn isinya menyatakan kampus harus punya daya saing tapi isinya tidak jauh dari tata kelola, ya mirip-mirip BHP lah, ungkap Suyatno yang juga Rektor

Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), pada Pra Rapat Kerja Nasional Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jakarta, Selasa. (22/2). RUU yang sedang dibahas DPR ini belum mewakili kampus khususnya dalam hal pengembangan pendidikan dan tak meningkatkan daya saing. Apalagi ia menambahkan dalam dari 82 pasal dalam RUU ini, hanya empat pasal yang mengatur Perguruan Tinggi Masyarakat (swasta). Sehingga `duplikasi pasal UU BHP yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi ini menurutnya akan mematikan kampus swasta. Merugikan kampus swasta termasuk bagi Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang jumlahnya lebih dari 150 di Indonesia, lebih banyak daripada jumlah Perguruan Tinggi Negeri yang hanya 85 buah, paparnya. Kemudian dalam RUU ini terlihat bahwa Pemerintah juga seperti lepas dari tanggung jawab, khususnya dalam hal pembiayaan. dst 5 ) Pemerintah Tidak Serius Tingkatkan Daya Saing PT http://www.jpnn.com/read/2011/02/22/85019/Pemerintah-Tidak-Serius-Tingkatkan-Daya-SaingPTSelasa, 22 Februari 2011 , 22:13:00 JAKARTA Ketua Wilayah III Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Suyatno mengatakan Pemerintah tidak serius meningkatkan daya saing perguruan tinggi. Buktinya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perguruan Tinggi (PT) yang saat ini tengah digodok oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi X DPR RI lebih fokus mengatur pengelola keuangan. Ketika kami membahas mengenai RUU tersebut, dari 82 pasal isinya tidak ada yang relevan untuk meningkatkan daya saing PT. Sebagian besar hanya membahas tata kelola keuangan PT saja, ungkap Suyatno di Jakarta, Selasa (22/2). Ironisnya, kata Suyatno, meskipun RUU PT lebih fokus tentang keuangan namun pemerintah dalam hal ini tetap saja lepas tangan dan menyerahkannya kepada kampus. Kalau begitu, ini sih sama saja dengan UU BHP di mana pemerintah lepas tangan soal keuangan dan kampus juga dibiarkan mencari sumber keuangan sendiri,katanya. Suyanto lantas menunjuk pasal dalam RUU PT yang menyebutkan bahwa pemerintah dapat membantu pembiayaan pendidikan. Menurutnya, kata-kata dapat harus diganti dengan kata wajib ataupun harus membantu. Ini cukup aneh. Kemdiknas dinyatakan memiliki kewenangan dalam mengelola PT, tetapi tidak mau ikut campur atau membantu masalah pembiayaan pendidikan. Sama saja pendidikan tinggi tetap mahal, ketusnya. dst 6 ) Draft RUU tentang Perguruan Tinggi http://www.kopertis12.or.id/2011/02/17/draft-ruu-tentang-perguruan-tinggi.html >>> 7 ) Mafia Proposal Berkeliaran di Sekolah Swasta http://www.jpnn.com/read/2011/02/23/85042/Mafia-Proposal-Berkeliaran-di-Sekolah-SwastaRabu, 23 Februari 2011 , 05:35:00 JAKARTA Sebagaian besar sekolah yang dikelola masyarakat atau disebut sekolah swasta, berjalan dengan anggaran yang minim. Kondisi ini, membuat mereka rentan menjadi korban mafia proposal. Mafia ini bisa meloloskan proposal pembangunan sekolah dengan meminta imbalan. Kondisi tersebut diutarakan oleh seksi Pendidikan Yayasan Salafiyah Pekalongan Machmud Masjkur, di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta, Selasa (22/2). Dia merupakan salah satu penggugat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) di Mahkamah Konstitusi (MK). Machmud menjelaskan, masih banyak sekolah yang dikelola swasta hidup dengan anggaran yang super minim.

Menurutnya, aturan dalam Pasal 55 ayat 4 UU Sisdiknas yang berbunyi; Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah pusat dan daerah, belum berjalan dengan baik. Pasal tersebut dinilai cenderung bisa melepaskan tanggung jawab pemerintah kepada sekolah swasta. Maknanya ambigu. Sekolah swasta dapat menerima atau menerima, tutur dia. Dengan anggaran sekolah swasta yang sedikit, Machmud mengatakan peluang untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah adalah dengan pengajuan proposal-proposal. Peluang itu kami manfaatkan, jelas dia. Jenis proposal itu beragam. Mulai dari proposal pengajuan dana untuk perbaikan gedung sekolah. Hingga proposal untuk pengadaan alat-alat pembelajaran, berupa alatalat laboratorium dan perangkat komputer. dst

PENDIDIKAN - PENDIDIKAN Rabu, 23 Februari 2011 , 00:50:00 RUU PT Bukan Pengganti UU BHP JAKARTA - Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perguruan Tinggi (PT). Meski demikian, RUU itu tidak dimaksudkan sebagai pengganti UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) Harris Iskandar mengatakan, pihaknya terus melakukan konsultasi publik terkait penyusunan RUU PT. Kami berupaya untuk membuat suatu kebijakan yang otonom, dinamis dan akuntabel, terang Harris di Gedung Kemdiknas, Jakarta, Selasa (22/2). Dalam proses penyusunan RUU tersebut, lanjut Harris, Kemdiknas juga memperhatikan beberapa kekurangan-kekurangan yang ada di dalam UU BHP yang telah dicabut beberapa waktu lalu. Diharapkan RUU Perguruan Tinggi ini akan mampu menjadi payung hukum pendidikan tinggi yang menggantikan UU BHP, tukasnya. Disinggung mengenai adanya anggapan bahwa RUU Perguruan Tinggi sama dengan UU BHP, Harris langsung menyangkalnya. Ditegaskannya, kesamaan antara keduanya tidaklah secara keseluruhan, akan tetapi hanya pada jiwa otonominya saja. Maka dari itu, prinsip otonomi itulah yang akan kami pertahankan dalam pengelolaan keuangan di perguruan tinggi. Dengan begitu berarti sudah terbukti akuntabel, lanjutnya. Selain itu, ketentuan dalam UU BHP yang memunculkan stigma komersialisasi pendidikan juga tidak akan dicantumkan dalam RUU PT. Kita belajar dari pengalaman sebelumnya, dan kita juga tidak mau menjadi keledai lagi, serunya.(cha/jpnn)

Kemdiknas Bantah Hanya Pro Perguruan Tinggi Negeri


Selasa, 22 Pebruari 2011 18:10 WIB REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Harris Iskandar membantah jika RUU Perguruan Tinggi hanya mendukung pendidikan Perguruan Tinggi Pemerintah (negeri) daripada Perguruan Tinggi Masyarakat (swasta). Menurut Haris kurangnya pasal di dalam RUU Perguruan Tinggi ini karena memang belum ada masukkan dari perguruan tinggi swasta Hal itu betul karena ini masih dalam bentuk rancangan, kami sudah mengadakan roadshow ke beberapa daerah dan kemudian RUU ini juga masih dalam tahap konsultasi publik dimana semua `stakeholder` diundang Komisi X DPR untuk beri masukan, ungkapnya ketika diwawancara wartawan usai penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jakarta, Selasa. (22/2). Ia pun menilai bahwa RUU ini tak sama dengan UU BHP yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena RUU kali ini yang sedang dibuat jauh lebih otonom dan dinamis. Keinginan Diknas sudah putus tuntas di UU BHP kemarin, paparnya. Ia sendiri belum mengetahui perbedaan utamanya dengan UU BHP, akan tetapi sistem ini jauh lebih cerdas, efektif, akuntabel dan otonom. Soal komersialisasi yang ada di UU BHP ia meyakinkan takkan ada lagi di RUU Perguruan Tinggi. Takkan masuk dua kali, takkan seperti keledai, paparnya. Bicara soal otonomi, menurutnya otonomi yang bertanggung jawab khususnya pada keuangan dan akademik. Kemudian kalau untuk keuangan, porsi anggarannya berbeda karena perguruan tinggi negeri itu masuk dalam anggaran pemerintah sedangkan perguruan tinggi swasta masuk dalam anggaran publik. Tapi kita juga membayari tunjangan profesi dosen swasta, ungkapnya.

Menimbang RUU Perguruan Tinggi

Written by Fandi G | 13 May 2011 MENIMBANG RUU PENDIDIKAN TINGGI M.Reza S.Zaki ... pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ... (Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945) Memahami amanat alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas menjadi terang dan tunai bahwa negara mempunyai kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ditinjau dari aspek morfologi kata, imbuhan me-kan yang terdapat pada kata mencerdaskan hanya dapat diartikan kausatif atau menyebabkan terjadinya suatu proses. Tanpa perlu banyak berdebat, mencerdaskan hanya bisa dimaknai sebagai sebuah ikhtiar untuk menjadikan cerdas. Bukan sekedar itu, frasa pemerintah negara Indonesia ... mencerdaskan kehidupan bangsa juga menjelaskan siapakah yang mempunyai kewajiban untuk mencerdaskan. Sebagai konsekuensi penggunaan kalimat aktif dalam frasa tersebut maka subyek merupakan pihak yang melakukan suatu perbuatan. Maka dengan sangat jelas harus dipahami bahwa frasa pemerintah negara Indonesia ... mencerdaskan kehidupan bangsa mengukuhkan negara sebagai pihak yang berkewajiban untuk menjadikan cerdas kehidupan bangsa. Selain dari aspek morfologi kalimat, secara historis original intent mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan bernegara yang tidak dapat disangkal, terlebih dengan adanya konsensus[1] the second framers of constitution untuk tidak merubah pembukaan UUD 1945 dalam momentum perubahan konstitusi. Secara implisit para perumus perubahan hendak menyiratkan bahwa tujuan negara tidak mengalami pergeseran, sehingga secara logis raison detre kelahiran tujuan negara pun tidak mengalami perubahan. Urgensi pendidikan sebagai salah satu tujuan bernegara tertuang dalam pidato Soesanto Tirtoprodjo dalam Sidang Hari Pertama 29 Mei 1945 Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang menyatakan pentingnya pendidikan sebagai bagian dari sokoguru negara Indonesia merdeka, dengan salah satunya menyebut, Pendidikan rohani dan jasmani seluasluasnya dengan menjauhkan sifat-sifat intellectualisme dan materialisme.[2] Secara jelas Tirtoprodjo menyebutkan bahwa pendidikan harus menjauhkan diri dari sifat intelektualisme dan materialisme, maksudnya adalah jangan sampai pendidikan mengalami stagnasi berdasarkan ketaatan atau kesetiaan terhadap latihan daya pikir dan pencarian sesuatu berdasarkan ilmu[3] dan pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra[4]. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan harus terus berkembang dan harus jauh dari komersialisasi. Namun, jauh panggang dari api. Itulah peribahasa yang tepat ketika melihat realitas pendidikan Indonesia saat ini. Pendidikan yang diidealitakan oleh founding fathers sebagai hak-hak dasar seseorang (grondrechts) justru terkebiri oleh komersialisasi. Pendidikan semakin sulit diakses

oleh rakyat semata hanya karena permasalahan pembiayaan, apakah ini buah dari cita-cita mulia dari pendiri negara Indonesia? Seharusnya ketika pendidikan masuk menjadi salah satu materi muatan konstitusi dan mengamanatkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan negara diwajibkan menyelenggarakan pendidikan, sehingga memunculkan konsekuensi bagi negara untuk melaksanakan wajib belajar (leerplicht)[5]. Maka sudah seharusnya pendidikan bukan menjadi barang langka yang sukar untuk dijangkau. Idealita Norma Lebih spesifik dalam konteks pendidikan tinggi, seiring dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-26-36/PUU-VII/2009, sejatinya merupakan bentuk pemurnian pemikiran bahwa sesungguhnya penanggungjawab utama atas keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan adalah Negara.[6] Perubahan frasa Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi, Setiap warga negara ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan,[7] mengharuskan negara harus lebih berperan daripada rakyat dalam bidang pendidikan. Ke-mafhum-an yang terdapat dalam Naskah Akademik (NA) RUU Pendidikan Tinggi (Dikti) mengisyaratkan bahwa sebenarnya para legislator atau setidak-tidaknya Tenaga Ahli DPR telah memahami bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai guardian and sole interpreter of constitution telah mengukuhkan bahwa Negara menjadi penanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Sungguh sayang kepahaman yang dituangkan dalam landasan yuridis NA tidak menjadi value yang mengikat pembentukan norma RUU Dikti. Idealita yang dijabarkan dalam NA seolah tidak mewarnai pasal-pasal dalam RUU Dikti. Sangat indah misal apa yang disebut dalam NA dengan asas keadilan, yaitu perguruan tinggi wajib menyediakan akses kepada calon mahasiswa dan memberikan layanan pendidikan tinggi kepada mahasiswa, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya.[8] Maka, jika dalam NA disebutkan adanya asas keadilan maka seharusnya tidak ada disparitas akses pendidikan tinggi untuk si kaya dan si miskin, karena memang substansi pendidikan adalah untuk mencerdaskan. Membuat yang belum cerdas untuk menjadi cerdas, apa dan siapapun dia selama merupakan warga negara Indonesia, maka dia berhak mendapat pendidikan dan negara wajib memberikan pendidikan kepadanya. Lebih jauh, dalam NA RUU Dikti tersebut juga menyebutkan adanya prinsip transparansi[9] dan akuntabilitas[10] dalam penyelenggaraan pendidikan. Kedua prinsip tersebut merupakan idealita adanya keterbukaan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Disebutkannya pemangku kepentingan dalam rumusan prinsip transparansi dan akuntabilitas sebenarnya mengukuhkan bahwa masyarakat dan mahasiswa sebagai salah satu pemangku kepentingan dapat mengakses laporan penyelenggaraan pendidikan tinggi, baik dalam bidang akademik dan bidang nonakademik, termasuk dalam hal keuangan, selama tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Hal ini yang terkadang masih menjadi pepesan kosong yang belum terealisasi, bahkan di kampus sekaliber Universitas Gadjah Mada. Norma Tak Berasal Usul Lebih lanjut dalam memahami RUU Dikti harus dilihat apakah norma yang terdapat dalam RUU Dikti sudah sesuai dengan idealita yang ingin dicapai dalam NA. Idealita yang termuat dalam NA diinsersikan pada awal RUU Dikti yang dapat dilihat konsideran menimbang yang merupakan sari pati dari landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis dari pembentukan RUU Dikti. Namun, sayangnya begitu memasuki batang tubuh RUU mulai terlihat adanya ketidakjelasan pengaturan, antara lain:

1) Ketidakjelasan Klasifikasi Jenis Perguruan Tinggi Pasal 1 angka 7-11 RUU Dikti memberikan klasifikasi jenis perguruan tinggi yang secara singkat dapat digambarkan dalam bagan berikut:

Aneh tapi nyata, dalam Pasal 41 klasifikasi tersebut membengkak dengan memunculkan klasifikasi baru yang dapat dilihat dari bagan berikut ini:

Berbeda dengan rumusan Pasal 1 angka 7-11, dalam Pasal 41 sama sekali tidak menyebutkan definisi apa yang dimaksud dengan PTN/PTN-K Unit Pelaksana Teknis (PTN-UTP/PTN-KUPT). Bukan hanya itu, ternyata untuk PTN-K juga dimungkinkan untuk menjadi PTN-K Mandiri dan Badan Hukum. Klasifikasi dalam Bagan 1 saja tidak memberikan raison detre yang jelas mengapa digolongkan seperti itu, apalagi dalam klasifikasi Bagan 2 yang semakin rumit. 2) Blank-check Pemberian Otonomi Pasal 44 ayat (1) RUU Dikti memberikan delegasi kewenangan dengan memberikan otonomi kepada PTN dan PTN-K. Anehnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa pemberian otonomi disesuaikan dengan kapasitas Perguruan Tinggi. Tanpa memberikan arahan mengenai standardisasi kapasitas yang jelas, bukankah ayat ini dapat menimbulkan multitafsir dan cenderung menjadi blank-check yang dapat diisi sesuka hati oleh penerimanya. Terlebih hanya diberikan koridor bahwa otonomi diberikan dalam bidang akademik dan non-akademik, tanpa diperjelas apa saja ranah di dalam masing-masing bidang tersebut. 3) Tingginya Porsi Pemerintah Pemerintah dalam RUU Dikti menancapkan pengaruh yang cukup dalam menentukan kebijakan umum Perguruan Tinggi (PT). Disebutkan dalam Pasal 49 bahwa pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, kementerian bidang keuangan, kementerian lain atau LPNK lain, dan gubernur menguasai 4 unsur dari 7 unsur Majelis Pemangku. Mahasiswa dan dosen dimasukkan dalam 1 unsur yang disebut wakil sivitas akademika. Selain itu, dalam Pasal 50 disebutkan anggota Majelis Pemangku diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Walaupun secara detail mekanisme kinerja Majelis Pemangku baru akan diketahui melalui Peraturan Pemerintah, namun jika dilihat dari susunan dalam Majelis Pemangku tersebut dapat dipahami bahwa Majelis Pemangku yang bertugas memutuskan kebijakan umum akan sangat diwarnai oleh perspektif pemerintah.

4) Disparitas Remunerasi Pegawai Dalam Pasal 65 RUU Dikti memunculkan disparitas perlakuan dalam hal remunerasi pegawai. Dalam pasal sebelumnya disebutkan bahwa dalam PT dikenal adanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT), baik itu berstatus dosen maupun tenaga kependidikan. Dalam hal penggajian PNS dibebankan kepada APBN dan PTT dibebankan kepada Anggaran PT sesuai dengan Statuta masing-masing PT. Tetapi berbeda dalam hal remunerasi, PNS mendapatkan remunerasi dari 2 sumber, yaitu APBN dan Anggaran PT. Sedangkan, PTT tidak diberikan remunerasi baik dari APBN maupun dari anggaran perguruan tinggi. Mengapa RUU Dikti secara sengaja memperlakukan disparitas? 5) Jalur Istimewa untuk Perguruan Tinggi Asing Dalam Pasal 73 RUU Dikti disebutkan bahwa PT asing diperbolehkan membuka program studi di Indonesia, tetapi dalam membuka program studi tersebut PT asing hanya diharuskan sudah terakreditasi di negara asal PT tersebut. Bukankah dengan seperti itu negara telah ceroboh membuka peluang PT asing masuk tanpa ada seleksi kualitas yang jelas? Apakah PT asing selalu bisa dipastikan berkualitas dan lebih baik dengan PT di dalam negeri? Tidak ada salahnya apabila negara melakukan standarisasi dan seleksi yang ketat untuk mengetahui kualitas PT asing yang akan membuka program studi di Indonesia. 6) Mahasiswa Diharuskan Menyumbang Pasal 83 RUU Dikti secara jelas menyebutkan bahwa PTN dapat memperoleh sumbangan pendidikan dari mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan/atau donatur. Pasal ini sungguh aneh, karena mahasiswa, khususnya yang baru lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) notabene belum bekerja dapat dimintai sumbangan oleh PTN. Bukan saja mahasiswa, orang tua dari mahasiswa pun juga dapat dimintai sumbangan. Bukankah mayoritas lulusan SMA yang melanjutkan ke PTN dan belum bekerja akan tetap meminta uang dari orang tuanya. Bukankah dengan seperti itu RUU ini menghalalkan pemungutan ganda terhadap orang tua? Tidak selesai disana, Pasal 88 ayat (3) RUU Dikti malah membebankan 1/3 dari biaya operasional kepada mahasiswa. Mahasiswa yang sebelumnya hanya dapat dimintai sumbangan, dengan Pasal 88 ayat (3) mahasiswa menjadi wajib memberikan sumbangan khususnya untuk biaya operasional. Tidak hanya itu, ternyata yang dibebani untuk membiayai selain mahasiswa dan orang tuanya, masyarakat juga diminta untuk turut membiayai PT yang diatur dalam Pasal 97 ayat (2). Apakah pantas ketika kewajiban mencerdaskan adalah kewajiban negara tetapi rakyat yang harus dibebani untuk menyelenggarakan? 7) Perguruan Tinggi Berinvestasi Pasal 86 ayat (2) RUU Dikti menyebutkan bahwa salah satu yang komponen pembiayaan yang bersumber pada kekayaan PTN/PTN-K digunakan untuk biaya investasi. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, investasi adalah penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan.[11] Pertanyaan sederhana yang muncul adalah untuk apa PTN/PTN-K berinvestasi? Apakah sekarang PTN/PTN-K sudah beralih untuk mencari keuntungan? Tetapi bukankah salah satu prinsip pengelolaan PT dalam Pasal 35 RUU Dikti adalah nirlaba. Mengapa RUU Dikti justru memberikan ruang PTN/PTN-K yang dananya berasal dari APBN untuk berjudi sekedar untuk mencari keuntungan melalui investasi? Tidak selesai disana, komponen pembiayaan juga terdapat diksi yang berlebih, yaitu beasiswa dan bantuan biaya pendidikan, tanpa ada penjelasan yang jelas. Tetapi khusus untuk bantuan biaya pendidikan RUU Dikti secara spesifik menyebut bantuan biaya pendidikan diberikan kepada mahasiswa pintar yang miskin. Apakah RUU Dikti secara tegas ingin

menggolongkan si kaya dan si miskin dengan memberikan nomenklatur beasiswa yang berbeda? 8) Perguruan Tinggi (hanya) untuk Orang Cerdas Pasal 88 ayat (1) dan (2) secara tegas mengakomodir mahasiswa miskin minimum 20% dari mahasiswa baru dan PTN/PTN-K wajib memberikan bantuan biaya pendidikan, tetapi syaratnya bukan saja harus miskin, tetapi juga harus pintar. Apakah ini usaha nyata yang disebut sebagai mencerdaskan bangsa? Tetapi bukankah hakekat dari mencerdaskan adalah membuat yang belum cerdas menjadi cerdas? Jika orang miskin yang tidak cerdas tidak diberi kesempatan untuk menjadi cerdas, maka bagaimana si miskin yang tidak cerdas mampu untuk memperbaiki kehidupannya? Last But Not Least Selain melihat dari aspek materi muatan sebagaimana disebutkan di atas, secara ilmu perundangundangan RUU Dikti juga menarik untuk ditelaah. RUU Dikti terlalu banyak melahirkan peraturan pelaksanaan baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), dan Keputusan Menteri (Kepmen). Setidaknya terdapat 8 PP dan 3 Permen yang diamanatkan oleh RUU Dikti dan hanya diberikan tenggat waktu selama 1 tahun setelah RUU diundangkan. Perhitungan jumlah tersebut mengacu pada Prof. Harun Alrasid yang berpendapat bahwa istilah diatur dalam (geregeld in de) tidak identik dengan diatur dengan (geregeld bij de).[12] Di dalam RUU Dikti juga terdapat ketidaktepatan dalam hal bentuk produk hukum, yaitu mengamanatkan beschikking untuk dituangkan dalam bentuk regeling, yaitu Permen yang diamanatkan oleh Pasal 43 RUU Dikti. Selain itu, RUU Dikti mengalami kebimbangan dalam menentukan antara delegasi dan mandat yang seolah disebut dalam RUU Dikti sebagai sebuah entitas yang sejenis. Inkonsistensi tersebut dapat dilihat dalam Pasal 36-40 dan Pasal 50. Harus dipahami bahwa delegasi dan mandat merupakan diksi hukum yang berbeda. Delegasi diterjemahkan sebagai penyerahan kewenangan karena dalam delegasi ada peralihan kewenangan dari pemberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegatoris), karena itu pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu kecuali setelah ada pencabutan berdasarkan asas contrarius actus.[13] Berbeda dengan mandat yang sering kali terjadi dalam hubungan antara atasan dan bawahan, tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat (mandans) bukan pada penerima mandat (mandataris), yang menyebabkan pemberi dan penerima mandat tetap dapat menggunakan wewenang yang dimandatkan.[14] Jadi, tentu tidak bisa dipersamakan antara delegasi dan mandat. Sebagai penutup, tepat kiranya apabila pendidikan harus dimaknai sebagai salah satu cara untuk mewujudkan tujuan bernegara untuk mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai tujuan bernegara maka secara mutatis mutandis mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi domain negara untuk mewujudkannya. Menjadi kewajiban negara untuk mencerdaskan dan menjadi hak warga negara untuk menikmati proses pencerdasan tersebut tanpa ada batasan pembiayaan dan tanpa ada batasan kecerdasan, karena pendidikan adalah hak dasar (grondrecht) setiap warga negara Indonesia.

[1] Kesepakatan dasar PAH I MPR dalam melakukan perubahan UUD, antara lain: a. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;

b. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial; d. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal; dan e. Perubahan dilakukan dengan cara adendum. Kelompok Kerja Forum Rektor Indonesia, 2007, Penyempurnaan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (Hasil Kerja Kelompok Kerja Forum Rektor Indonesia 2006-2007), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 14. [2] R.M. A.B. Kusuma, 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, hlm. 112. [3] Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Intelektualisme, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, diakses 28 April 2011. [4] Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Materialisme, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, diakses 28 April 2011. [5] Muhammad Yamin, 1971, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Siguntang, Jakarta, hlm. 423. [6] Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 7. [7] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-26-36/PUU-VII/2009 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 401. [8] Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Op.cit., hlm. 21. [9] Ibid. [10] Ibid., hlm. 22. [11] Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Investasi, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, diakses 29 April 2011. [12] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 292. [13] Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan, Grasindo, Jakarta, hlm. 88. [14] Ibid., hlm. 88-89

Bandingkan Isi RUU Pendidikan Tinggi Maret 2011 dgn Isi RUU PT Pembahasan Terbaru
Ditulis : Tue, 3 May 2011 | 23:08 oleh Fitri. Dilihat 413 kali. Tags: RUU Pendidikan Tinggi, RUU Pendidikan Tinggi Pembahasan Bulan Mei 2011, Update RUU Pendidinkan Tinggi Kategori: Info Penting | 0 Komentar 1Share

RUU PT hasil pembahasan bulan Maret 2011, total 8 bab 122 pasal http://xa.yimg.com/kq/groups/17536708/1267427505/name/Draft-RUU-Pendidikan-TinggiSiap-Baleg-21-Mar-2011.doc Pasal 2 Pendidikan Tinggi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 19 (1)Strata pada jenis Pendidikan Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) huruf b terdiri atas: a. strata profesi; dan b. strata spesialis. (2) Strata profesi merupakan strata yang dapat ditempuh setelah strata sarjana pada jenis pendidikan akademik. (3) Strata profesi setara dengan strata magister dan strata spesialis setara dengan strata doktor pada jenis pendidikan akademik Pasal 53 Perubahan Perguruan Tinggi terdiri atas a. perubahan nama dan/atau bentuk dari nama dan/atau bentuk Perguruan Tinggi tertent menjadi nama dan/atau bentuk Perguruan Tinggi yang lain (alih kelola namanya) dst RUU PT pembahasan saat ini di komisi X, 12 bab 102 pasal http://www.dpr.go.id/id/ruu/kesejahteraan-rakyat/Komisi10/136/RUU-TENTANGPENDIDIKAN-TINGGI

- Pasal 2 dihilangkan - Isi Pasal 19 RUU PT tak ada lagi, hanya di pasal 10 dijelaskan jenis pendidikan tinggi profesi memiliki strata Profesi dan Spesialis dan jenis pendidikan vokasi memiliki 5 strata yaitu: a. Diploma satu b. Diploma dua c. Diploma tiga d. Sarjana Terapan e. Magister Terapan f. Doktor Terapan Isi Pasal 53 a diobah jadi Pasal 32 a Perubahan Perguruan Tinggi terdiri atas a. Perubahan nama dan /atau perubahan bentuk perguruan tinggi ( tak ada lagi alih kelola) Ada penambahan di pasal 8 bahwa pemerintah mendirikan paling sedikit 1 perguruan tinggi di tiap propinsi, bersama Pemda mendirikan paling sedikit 1 perguruan tinggi setingkat akademi di setiap kabupaten/kota sesuai kemampuan, potensi dan kebutuhan daerah. Ada penambahan penting : pasal 25: (1) PT yang tidak memiliki akreditasi dilarang memberikan ijazah dan gelar (2) PT yang melanggar ketentuan di atas dikenakan sanksi berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan Ada penambahan untuk PT asing di pasal 73 (1) Perguruan Tinggi asing dapat buka prodi di wilayah NKRI dst Penambahan pasal tentang kurikulum pendidikan tinggi terdapat di pasal 18-19, ada penambahan beberapa poin di pasal 24 tentang ijazah dan gelar, penambahan pasal tentang kerjasama dengan Internasional di pasal 74, penambahan standar pendidikan tinggi di pasal 78 dsb Bagi yang berminat silakan baca dan bandingkan apa yang sudah ditiadakan dan apa yang ditambah dan dalam pembahasan.

Kumpulan Artikel Pembatalan UU BHP


dikumpulkan dari berbagai sumber di internet untuk mempercepat penyebaran informasi secara efisien dan menambah percepatan kemajuan Indonesia tercinta ...

BHMN Harus Dibatalkan


Seputar Indonesia, Tuesday, 06 April 2010 JAKARTA(SI) - Putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) berimbas pada perguruan tinggi badan hukum milik negara (BHMN). Hakim konstitusi, Akil Mochtar, menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 9/2009 tentang BHP telah jelas membatalkan penerapan BHMN di tujuh perguruan tinggi. Akil membantah pendapat mantan Mendiknas Bambang Sudibyo yang sebelumnya menyatakan putusan MK tidak berpengaruh pada status BHMN. Akil mengatakan, yang menjadi dasar ada BHMN adalah penjelasan Pasal 53 ayat 1 UU Sisdiknas. Namun, pasal tersebut telah dibatalkan oleh MK. "Penjelasannya kan dibatalkan, lalu cantolan (dasar) BHMN di mana," kata Akil di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta,kemarin. Menurut dia, dengan tidak ada lagi dasar pelaksanaannya, BHMN harus dibatalkan. Karena itu, solusinya adalah harus ada UU baru. Diketahui, penjelasan Pasal 53 ayat 1 UU Sisdiknas berbunyi "Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan antara lain berbentuk badan hukum milik negara (BHMN)". Akil mengatakan, dengan pembatalan penjelasan tersebut, BHMN otomatis tidak berlaku lagi. Perguruan tinggi yang sudah menjadi BHMN kembali lagi ke status semula. Perguruan tinggi berstatus BHMN adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI),Universitas Airlangga (Unair),dan Universitas Sumatera Utara (USU). Akil mengungkapkan,putusan tentang UU BHP menegaskan bahwa UU itu telah meminggirkan peran lembaga pendidikan yang telah ada sebelum Indonesia merdeka. "Misalnya yayasan pendidikan atau seperti yayasan pendidikan di bawah Muhammadiyah. Itu dulu sudah ada sebelum Indonesia merdeka dan mereka melahirkan pejuang, tapi dengan UU BHP mereka tidak diakui karena itu dibatalkan," ujarnya. Dia juga mengungkapkan,UU BHP telah menyeragamkan lembaga pendidikan. Imbasnya,csatu lembaga pendidikan dapat tersisih oleh lembaga pendidikan lainnya. Akil mencontohkan, ketika biaya antara satu universitas dan lainnya disamakan, yang dinilai bagus akan dipilih.Imbasnya,universitas yang dinilai tidak bagus akan kekurangan peminat. Selain itu, Akil mengatakan, meski MK membatalkan UU BHP dan BHMN tidak ada, universitas negeri juga tidak dilarang untuk mencari dana pembangunan internal kampusnya. "Asal dananya yang didapatkan dapat dipertanggung jawabkan,"ujarnya. Seperti diketahui, MK telah membatalkan semua pasal dalam UU BHP. MK juga membatalkan beberapa isi UU Sisdiknas. Pertimbangan MK membatalkan UU BHP salah satunya UU itu ingin menyeragamkan penyelenggara pendidikan dalam bentuk BHP. MK menilai ide penyeragaman melalui UU BHP tidak menemukan alasan yang mendasar. Alasan lain adalah UU itu mewajibkan BHP dikelola dengan dana mandiri dan prinsip nirlaba.Permasalahan akan muncul di daerah di mana akan sangat kesulitan sekolah dalam bentuk BHP mendapatkan sumber dana untuk mandiri. Menurut MK, jika keadaan tidak ada kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP, sasaran paling rentan adalah peserta didik melalui pungutan. Sebelum Akil mengungkapkan pendapat tentang BHMN, mantan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo kemarin bertemu para hakim konstitusi.

Bambang didampingi Rektor Universitas Gadjah Mada Sudjarwadi. Mereka meminta penjelasan kepada para hakim MK tentang putusan uji materi UU Sisdiknas dan UU BHP. Pertemuan berlangsung tertutup. Setelah pertemuan,Bambang Sudibyo yang memberikan keterangan pada wartawan mengatakan bahwa pembatalan UU BHP tidak berpengaruh pada BHMN. "Maka,BHMN seperti UI,ITB,IPB, UGM, UPI, Unair, USU tetap eksis," tandasnya. Dia mengungkapkan, DPR dan pemerintah dapat menindaklanjuti dengan membuat UU yang sesuai putusan MK. Menurutnya, yang tidak diperbolehkan MK adalah menyeragamkan pendidikan melalui BHP karena melanggar UU. "Alasan utama pembatalan adalah memaksakan keseragaman melalui BHP,"ujarnya. Sementara itu,seusai pertemuan, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD tidak berbicara banyak. Dia hanya mengatakan, putusan MK telah mudah dicermati. "Putusan ini tidak akan menjadi pelik," ujarnya singkat kepada wartawan. (kholil)

BADAN HUKUM PENDIDIKAN, Alasan Mengapa Pendidikan menjadi Mahal

OPINI | 02 April 2011 | 17:28 79

1 dari 1 Kompasianer menilai bermanfaat Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu mementingkan pendidikan dan kesehatan bagi rakyatnya. Tidak pernah menggantungkan hidup dan m

atinya kepada bantuan dari pihak asing. Bukan pula bangsa yang bangga akan ketertindasan rakyatnya. Pendidikan sangatlah penting bagi kehidupan dan keberlangsungan kehidupan manusia. Suatu keniscayaan bahwa pendidikan dapat merubah nasib seseorang atas perjalanan hidupnya di dalam suatu masyarakat. Karena pada hakekatnya pendidikan merupakan suatu proses dialektika manusia dalam mengembangkan kemampuan pikiran serta akalnya dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan yang tengah terjadi didalam masyarakat dan lingkungannya sendiri melalui penerapan ilmu pengetahuan yang ilmiah. Pendidikan memiliki suatu kekuatan yang sangat fundamental dalam mendongkrak naik tingkat kesejahteraan manusia. Pendidikan juga lah yang menjadi pembeda antara hewan dan manusia (hewan yang berbudaya dan berpendidikan) Bangsa Indonesia telah berjuta kali mengalami penindasan baik dalam bentuk fisik maupun psikis oleh kolonial dan para tuan tanah besar pada zamannya. Mereka yang selanjutnya disebut rakyat Indonesia terus mengalami penyiksaan, pemaksaan, penganiayaan, perampasan

hak miliknya, serta dijajah kebudayaan dan pendidikannya. Segala bentuk penindasan ini menjadikan mereka sebagai manusia yang tidak pantas disebut manusia. Manusia tak ubah halnya hewan perahan yang dihisap darah dan tenaganya. Sementara yang berkuasa pada saat itu menjadi tuan yang sangat diperagungkan. Sehingga ini berdampak pada terciptanya suatu tatanan masyarakat yang terbagi dalam beberapa kelas berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan politiknya. Rakyat Indonesia yang tingkat ekonominya menengah kebawah, tidak akan mampu mengakses pendidikan yang harus mereka beli dengan biaya sangat tinggi. Maka yang mampu mengakses pendidikan hanyalah kaum hartawan dan tuan-tuan besar belaka. Ini juga diperparah dengan mendiskreditkan kaum perempuan dalam hal mengakses dunia pendidikan. Dalam kultur masyarakat Indonesia masih melekat kuat budaya Patriarki, yang memandang bahwa kaum perempuan tidak diperkenankan untuk mengenyam pendidikan hingga tinggi, karena dapur dan rumah tanggalah yang menjadi lahan bekerja bagi kaum perempuan. Pendidikan menjadi suatu indikator bagaimana suatu bangsa dapat berkembang kearah yang lebih baik. Akan tetapi di negara Indonesia sendiri, pendidikan tidak pernah menjadi prioritas utama yang wajib disoroti perkembangan dan penyelenggaraannya. Bahkan buruknya, pendidikan ini pun dijadikan sebuah alat untuk melanggengkan mkekuasaan manusia atas manusia lainnya. Hal ini dibuktikan dengan tingkat pendidikan bangsa Indonesia sangat tidak mendukung perkembangan bangsanya sendiri. Yang terjadi ialah memasyarakatkan kebodohan itu sendiri. Begitu juga yang terjadi hari ini dengan tetap mempertahankan budaya dan iklim pendidikan yang bersifat pembodohan. Kondisi pendidikan hari ini lebih memprihatinkan lagi. Bukan hanya tidak menjadi prioritas utama dalam membangun bangsa yang sejahtera saja, tetapi sektor pendidikan merupakan sektor yang dianggap paling berpotensial untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pihak investor dengan menjual pelayanan jasa pendidikan. Sehingga para orangtua yang ingin menyekolahkan anak-anaknya harus mengeluarkan dana yang sangat tinggi dari kantong pribadinya. Wajah pendidikan menjadi suatu fenomena kebodohan dan kebobrokan bangsa ini. Dengan disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tanggal 17 Desember 2008 menjadi momok baru yang sangat menyeramkan bagi dunia pendidikan bangsa ini. BHP merupakan bentuk komersialisasi dan privatisasi bidang pendidikan. Pendidikan akan menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Hal ini akan berimplikasi pada meruncingnya kembali perbedaan kelas-kelas sosial-ekonomi didalam susunan kehidupan masyarakat Indonesia. Selama masih ada kelas-kelas sosial-ekonomi didalam tatanan kehidupan, maka selama itu pula penindasan yang diharapkan hilang, akan muncul kembali sebagai ancaman baru yang lebih menakutkan daripada bentuk penindasan atas fisik. UU BHP merupakan penjabaran dari Pasal 53 ayat (1) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyebutkan bahwa semua penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan. Namun UU BHP ini telah berbelok sangat jauh dari tujuan utamanya, karena didalamnya juga dibahas mengenai pengalokasian anggaran yang sangat bertentangan dengan PP No. 48 tahun 2008 tentang dana pendidikan. Sementara dalam Pasal 14 ayat 4 disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah menanggung minimal sepertiga dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan menengah (sederajat SMA). Sedangkan, Pasal 41 ayat 7 yang menyebutkan bahwa peserta didik menanggung maksimal sepertiga dari biaya operasional.

Secara tersirat, UU BHP ini telah memaksa kepada masyarakat untuk membayar biaya operasional pendidikan yang pada hakikatnya menjadi tanggungjawab negara. Negara lah yang seharusnya menyelenggarakan pendidikan untuk rakyat tanpa diskriminatif. Dengan demikian maka sudah jelas bahwa pemerintah hari ini telah mendiskreditkan masyarakat yang mayoritas memiliki penghasilan tidak lebih dari 2 dolar perhari. Pendidikan Dijadikan Ladang Bisnis Para pengamat telah menilai bahwa sektor pendidikan merupakan sektor pelayanan jasa yang sangat berpotensial untuk mendapatkan keuntungan sangat besar. Dengan berlandaskan pemikiran ini, maka pemerintah menelurkan UU BHP melalui amanat UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam General Agreement on Trade Sevice (GATS) telah disepakati untuk memasukan sektor pendidikan tinggi (higher education) dan pendidikan bagi orang dewasa (adult education) kedalam industri jasa bersama 11 bidang jasa lainnya. Masuknya pendidikan sebagai variable industri jasa bukan tanpa sebab. Karena berdasarkan temuan International Education (2000) menyebutkan bahwa dari industri pendidikan bisa menghasilkan keuntungan sebesar 100 miliar dollar US. UNESCO pun melaporkan penemuan yang sama, bahwa pendidikan tinggi adalah sebuah bisnis yang bernilai jutaan dollar US. Sejak pemerintah Indonesia menyepakati untuk menandatangani Letter Of Intent (LOI) bernilai 400 juta US Dollar dengan IMF tahun 2001, dan menerapkan Structural Adjusment Programs (SAPs) ke dua, terjadi berbagai revisi kebijakan di sektor publik. Sektor publik yang selama ini pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara, mulai dilimpahkan kepada pemilik modal swasta dan asing. Salah satu varian dari Kebijakan struktural tersebut adalah Pencabutan subsidi sosial, dengan alasan efisiensi. Pencabutan subsidi sosial khususnya menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok dan mendasar bagi rakyat, berimbas pula kepada sektor pendidikan. Sesungguhnya baik UU Sisdiknas maupun UU BHP merupakan sebuah titipan dari Word Bank yang menjadi syarat akan pinjaman finansial yang telah dijanjikan untuk Negara Indonesia. Adanya unsur pemaksaan kepentingan pihak asing terhadap dunia pendidikan di Indonesia dalam pengesahan UU BHP. Krisis yang dialami oleh Amerika Serikat telah menyeret banyak negara kedalam lembah hitam krisis global. Baik Negara-negara maju maupun Negara dunia ketiga seperti Indonesia pun ikut mencicipi pahitnya krisis dinegaranya. Pemerintah hari ini yang dipimpin oleh SBY-Boediono, ternyata belum mampu membawa dan menjalankan amanat dari rakyat Indonesia, yang telah tertuang dalam kontitusi Negara. Didalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 telah jelas mengamanatkan bahwa salah satu tujuan negara adalah Mencerdaskan kehidupan bangsa. Lantas apa yang telah dilakukan oleh Negara dalam menjalankan amanat dari rakyat melalui konstitusi tersebut. Apakah pemerintah yang hari ini berkuasa telah melakukan segala daya-upaya untuk menciptakan hal itu. Lalu apakah dengan cara menjual pelayanan jasa di sektor pendidikan merupakan salah satu syarat untuk memajukan bangsa ini. Amanat untuk menyelenggarakan pendidikan yang ilmiah dan merata bagi seluruh rakyat ini bukan hanya tertuang didalam UUD 1945 saja, akan tetapi ini juga telah disebutkan di dalam pancasila sila kedua yang berisi Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pancasila merupakan dasar pemikiran atau ideologi bangsa yang kesemua aturan dan kaidah hukum yang berlaku harus mengacu padanya. Secara filosofis, interpretasi sila Kemanusiaan yang adil dan beradab ialah upaya untuk memanusiakan manusia yang tergabung dalam satu Negara (masyarakat) Indonesia yang diperlakukan secara adil dan beradab. Menganggap dan memperlakukan manusia sebagaimana layaknya manusia. Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa upaya untuk memanusiakan

manusia adalah dengan memberikan pendidikan yang akan berguna bagi dirinya dalam mendongkrak naik derajat sosial-ekonominya sendiri, serta dapat digunakan untuk memajukan bangsanya sendiri. Sehingga dalam frame menganggap manusia sebagai manusia dilandaskan pada tingkat keilmiahan pendidikan yang mereka dapatkan, bukan pada tingkat ekonominya. Badan Hukum Pendidikan Konsep BHP atau komersialisasi pendidikan ini telah terfikir sejak zaman rezim orba-nya Soeharto. Hal ini didasari pada konteks seleksi alamiah dimana orang yang berintelektualitas hanya boleh dari kalangan masyarakat yang memiliki kekuatan ekonomi menengah keatas. Sedangkan bagi masyarakat yang hanya memiliki penghasilan kurang dari 2 dolar perhari, tidak akan mampu mengakses pendidikan. Dengan rasionalisasi bahwa mereka masyarakat menengah keatas tidak akan pernah mengenal yang namanya hidup susah dan perih. Sehingga dalam kerangka berfikirnya, tidak pernah terlintas untuk mencoba berjuang secara kolektif untuk membela kepentingan-kepentingan umum. Oleh karenanya, mereka akan semakin mudah untuk diatur. Sementara bagi masyarakat yang notebene terbentur dengan kondisi ekonomi yang lemah serta ketidak mampuan mereka dalam mengakses pendidikan, akan dapat disalurkan menjadi buruh-buruh upahan dipabrik. Soeharto para zaman Orba ingin merubah Negara Indonesia yang pada hakikatnya adalah negara agraris dimana sektor perkebunan dan pertanian yang menjadi sumber pendapatan utama negara, menjadi negara industri seperti negara-negara berkembang lainnya tapi dengan menggantungkan modalnya pada pihak asing sebagai investor. Dengan konsep badan hukum pendidikan, negara tidak akan lagi mengalokasikan dana minimal sebesar 20 persen untuk pendidikan dari APBN dan APBD. Bahkan persoalan kurikulum sekalipun diserahkan kepada investor-investornya. Artinya untuk operasional pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada institusi penyelenggara pendidikan itu sendiri. Bukankah itu suatu tindakan inkonstitusional, karena melepaskan tanggungjawab negara terhadap pendidikan seperti apa yang telah diamanatkan konstitusi negara? Begitu pelik persoalan didunia pendidikan di tanah air Indonesia ini yang datang silih berganti, bahkan menambah dan memperparah kondisi pendidikan saat ini. Belum lagi persoalan realisasi anggaran minimal 20 persen untuk operasional pendidikan dari APBN dan APBD sesuai dengan kontitusi yang belum pernah selesai dijalankan, sudah diperparah lagi oleh UU BHP yang merupakan bentuk dari penjualan jasa pendidikan. Proses memprivatisasi sektor pendidikan ternyata mendapat restu dan dukungan dari pemerintah melalui legitimasi hukum. Suatu keniscayaan bahwa UU BHP yang dirancang oleh lembaga legislatif ini akan menghalangi pemerintah untuk merealisasikan anggaran minimal 20 persen untuk pendidikan. Dunia Pendidikan dengan diberlakukannya UU BHP akan mendiskreditkan orang miskin untuk tidak dapat menggapainya. Maka benarlah dikatakan bahwa Orang miskin dilarang pintar, karena hari ini segala sesuatu harus dibeli dengan uang, begitu pula dengan pendidikan yang terpaksa dijual demi kepentingan sekelompok orang saja yang akan menikmati keuntungannya. Sehingga yang terjadi adalah orang, yang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saja tidak mampu, tidak akan pernah merasakan bangku sekolah. Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan (dengan diterapkannya UU BHP) ini diibaratkan sebagai sebuah pabrik pencetak para manusia yang kelak akan diperjualbelikan di pasaran. Orientasi pendidikan hari ini bukan untuk mengembangkan diri (secara pribadi) dan bangsanya sendiri lagi, akan tetapi pendidikan ini hanya akan mencetak manusia-manusia untuk memuaskan kebutuhan pihak pengusaha dan penguasa untuk dijadikan alat mendapatkan keuntungan serta melanggengkan kekuasaan bagi pihak-pihak itu sendiri. Artinya, penjajahan

manusia atas manusia lainnya masih akan berlangsung kembali. Apa gunanya kita memiliki ribuan sarjana tetapi pada akhirnya menjadi penindas rakyat pula (Y.B Mangunwijaya). Sebelum UU BHP ini disahkan, telah diuji cobakan ke 8 (delapan) Universitas di Indonesia yang salah satunya adalah Universitas Indonesia. Di UI setelah diterapkannya BHMN, iklim perkuliahannya sangat jauh menurun dibandingkan sebelumnya. Bukan hanya biaya pendidikan yang mahal dibebankan kepada mahasiswa saja, mutu dan kualitas pendidikan pun jauh menurun sangat drastis. Sementara janji untuk meningkatkan fasilitas pun tidak pernah terealisasi. Berdasarkan diskusi mahasiswa UI dengan segenap elit dalam membahas UU BHP pada waktu yg lalu mengatakan bahwa biaya kuliah yang harus dibayar mereka sangatlah mahal. Dia menyebutkan bahwa dari hasil pengumpulan dan pengolahan data yang mereka peroleh ternyata biaya operasional kampus yang dibebankan terhadap mahasiswa sebesar 64,8 persen, sedangkan yang bersumber atau yang diberikan oleh pemerintah hanya sebesar 19,78 persen saja. Lantas bagaimana realisasi anggaran minimal 20 persen dari APBN dan APBD yang merupakan tanggungjawab negara atas pendidikan itu. Kemudian sisa biaya untuk operasional kampusnya dari mana sumbernya. Penerapan konsep Badan Hukum Pendidikan yang telah di ujicobakan ini memunculkan dampak negatif, dengan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua/wali peserta didik dan berbagai bisnis pun terbuka lebar bagi para investor untuk memasukan investasi dan intervensinya kedalam institusi-institusi pendidikan, baik melalui kebijakan maupun kurikulumnya. Seperti halnya di UI, didalam kampusnya dapat ditemukan sebuah toko waralaba seperti Alfamart. Dalam mendanai operasionalnya kampus pun membuka jalur masuk perguruan tinggi yang sangat variatif, seperti pembukaan jalur mandiri yang menodong kepada para calon mahasiswa untuk membayar sejumlah biaya diatas biaya normal calon mahasiswa yang masuk melalui jalur SPMB dan PKAB (Reguler). Sedangkan dalam sistem perkuliahannya mereka disamakan, baik fasilitas maupun staf pengajar tidak ada yang berbeda. Mereka hanya dibedakan oleh jumlah biaya perkulihannya saja. Proses penyelenggaraan pendidikan juga harus bersifat demokratis guna menemukan sebuah sistem yang adil dan sejahtera bagi seluruh civitas akademika. Mengawal proses penyelenggaraan pendidikan untuk menghidari penyelewengan kekuasaan atas pendidikan dengan cara melibatkan masyarakat dalam bentuk pengawasan terhadap operasional pendidikan dan ikut dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan oleh instansi-instansi pendidikan. Sementara untuk biaya, bentuk partisipasi masyarakat adalah melalui pembayaran pajak yang dipungut dari masyarakat oleh Negara melalui alat kekuasaannya, bukan lagi dituntut untuk membiayai anaknya dalam mengakses pendidikan dengan biaya yang sangat tinggi lagi. Peran aktif dari seluruh kalangan masyarakat sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan persoalan pendidikan yang sangat kompleks ini, khususnya mahasiswa yang berbenturan langsung dengan dunia pendidikan. Mahasiswa yang selama ini dianggap sebagai masyarakat yang berintelektualitas dimana ia dapat mengakses pendidikan hingga perguruan tinggi. Disini berarti, mahasiswa mempunyai peluang yang cukup besar untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Dan menjadi salah satu tanggungjawab mahasiswa untuk mengabdikan diri kepada masyarakat sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat). Hal ini diharapan agar para mahasiswa nantinya akan mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada ditengah masyarakat sesuai dengan keahlian bidang ilmu yang di geluti. Bukan mahasiswa yang hanya berdiam diri menonton pagelaran aksi, yang merupakan sebuah simbol akan kekecewaan rakyat terhadap

berbagai kebijakan yang selalu merugikan. Bukan pula mahasiswa yang mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat dengan beraneka ragam persoalan yang dihadapinya. Akan tetapi mahasiswa yang selalu mengambil langkah konkret dalam menerjang berbagai persoalan tersebutlah yang saat ini dibutuhkan oleh rakyat diseluruh negeri ini. Maka, Jangan biarkan tetesan keringat dan darah semakin mengucur deras diatas pembaringan si tua

Anda mungkin juga menyukai