Anda di halaman 1dari 105

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia. Sebagian besar wilayah Indonesia berupa perairan dengan luas wilayah laut mencapai 5,8 juta km2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Potensi perairan tersebut dapat menghasilkan 6,7 juta ton ikan per tahun dan belum seluruhnya dapat dimanfaatkan secara optimal. Bahkan untuk sumber perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar 59% dari total produksi perikanan dimana sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk segar (43,1%), beku (30,4%), pengalengan (13,7%) dan dalam bentuk olahan lain (12,8%). Hal ini membuktikan bahwa pengembangan produksi perikanan ke arah industri memiliki peluang yang cukup menjanjikan. Dalam pembangunan perekonomian Indonesia, sub sektor perikanan masih menduduki posisi yang cukup penting dan menjadi prioritas yang diharapkan dapat meningkatkan sumber devisa, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, mendorong pertumbuhan agroindustri sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui pemanfaatan

sumberdaya yang tersedia dan peningkatan daya saing produksi perikanan. Peranan sub sektor perikanan dalam perekonomian tersebut terlihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama periode 2000-2003, sub sektor perikanan meningkat sebesar 26,04 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan peningkatan PDB total yang sebesar 12,14 persen. Oleh sebab itu, perikanan merupakan sub sektor yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam pembangunan di Indonesia.

Ikan sebagai komoditi utama sub sektor perikanan dan banyak dikonsumsi masyarakat merupakan salah satu bahan pangan yang kaya protein. Ikan mudah didapat dengan harga yang relatif murah sehingga dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Kandungan protein yang tinggi pada ikan dan kadar lemak yang rendah sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia. Beberapa jenis ikan juga mengandung omega 3 yang berfungsi untuk pertumbuhan otak manusia. Manusia sangat memerlukan protein ikan karena selain mudah dicerna, pola asam amino protein ikan pun hampir sama dengan pola asam amino yang terdapat dalam tubuh manusia. Karena manfaat yang tinggi tersebut banyak orang mengkonsumsi ikan baik berupa daging ikan segar maupun makanan-makanan yang merupakan hasil olahan dari ikan. Bahkan di Jepang dan Taiwan ikan merupakan makanan utama dalam lauk sehari-hari. Namun demikian, ikan merupakan komoditi yang cepat mengalami pembusukan (perishable food). Pembusukan disebabkan oleh enzim, baik dari ikan itu sendiri maupun mikroba dan proses ketengikan (rancidity). Kadar air ikan segar yang tinggi mempercepat proses perkembangbiakan mikroorganisme pembusuk yang terdapat di dalamnya. Daya tahan ikan segar yang tidak lama, menjadi kendala dalam usaha perluasan pemasaran produksi perikanan. Bahkan sering menimbulkan kerugian besar pada saat produksi ikan melimpah. Oleh karena itulah sejak dahulu masyarakat telah berusaha melakukan berbagai cara pengawetan ikan dan proses

pengolahan pascapanen guna meminimalkan kendala tersebut sehingga produksi perikanan dapat dimanfaatkan lebih lama. Proses pengawetan dan pengolahan ikan merupakan bagian penting dari mata rantai industri perikanan. Tanpa adanya proses tersebut, usaha peningkatan produksi perikanan akan menjadi sia-sia karena tidak bisa dimanfaatkan dengan baik. Pada dasarnya usaha pengawetan ini adalah untuk mengurangi kadar air yang tinggi di tubuh ikan. Terdapat bermacam-macam usaha pengawetan ikan dari usaha tradisional sampai usaha modern. Produk perikanan yang diolah secara tradisional sebesar 88 persen dari total produksi perikanan di Indonesia. Usaha pengolahan hasil perikanan secara tradisional didominasi oleh nelayan tradisional yang masih terbatas pengetahuan dan ketrampilannya, modal, sarana dan prasarananya, higienis dan sanitasinya serta masih memegang teguh sifat tradisionalnya. Usaha pengawetan ikan dilakukan melalui penggaraman,

pengeringan, pemindangan, pengasapan, peragian, dan pendinginan ikan. Hasil dari usaha-usaha pengawetan tersebut sangat tergantung pada proses pengawetannya. Untuk mendapatkan mutu terbaik dari proses pengawetan ikan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan bahan dan alat yang digunakan, termasuk ikan yang benar-benar masih segar dan garam yang bersih. Usaha pengawetan ikan tidak hanya sebatas pada pengolahan menjadi produk yang masih berbentuk ikan tetapi juga pengolahan menjadi bentuk lain (setelah dicampur dengan bahan-bahan tertentu) seperti abon ikan, kerupuk ikan, otak-otak ikan dan kaki naga.

Ikan hasil pengawetan dan pengolahan umumnya sangat disukai oleh masyarakat karena produk akhirnya mempunyai ciri-ciri khusus yakni perubahan sifat-sifat daging seperti bau (odour), rasa (flavour), bentuk (appearance) dan tekstur. Usaha pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu bagian dari agroindustri yang diharapkan berdaya saing kuat dan mampu bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama. Namun dalam menghadapi era perdagangan bebas mengharuskan perusahaan-

perusahaan perikanan meningkatkan produktifitas dan kualitas produk yang dihasilkan agar dapat eksis dalam persaingan. Setiap perusahaan melaksanakan kegiatannya dalam lingkungan usaha yang mengalami perubahan terus-menerus. Secara garis besar lingkungan usaha dapat dibagi atau dikenali sebagai lingkungan pasar (market environment) dan lingkungan bukan pasar (non-market environment). Lingkungan pasar dicirikan oleh struktur pasar dan pola persaingan antara para pelaku pasar, sedangkan lingkungan bukan pasar yaitu semua faktor

legal/pemerintah, politik, sosial, demografi dan lain-lain dicirikan oleh isuisu yang berkembang, interest perusahaan terhadap isu-isu tersebut, institusi yang terkait dengan setiap isu dan informasi yang tersedia untuk penanganan isu. Unsur-unsur tersebut merupakan sumber informasi dalam

merencanakan, mengendalikan dan menentukan kebijakan perusahaan baik dalam memilih dan memulai suatu usaha baru maupun

mengembangkan usaha yang telah ada. Karena sifat yang saling

mempengaruhi antara perusahaan dengan lingkungan maka pemahaman terhadap perubahan lingkungan dunia usaha serta kecenderungannya sangat membantu manajemen perusahaan dalam menetapkan strategi yang sesuai dengan posisi produk serta penguasaan informasi pasar (strategi pemasaran) sehingga tingkat output yang dihasilkan dapat lebih maksimal. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan suatu analisis lingkungan dunia usaha dalam usaha pengawetan dan pengolahan hasil perikanan.

B. Tujuan Penulisan 1. Menganalisis lingkungan dunia usaha dalam melaksanakan bisnis pengolahan hasil perikanan khususnya usaha pengasapan ikan, fillet ikan, abon ikan, kerupuk ikan, otak-otak ikan dan kaki naga. 2. Mengambil suatu kebijakan dan keputusan startegis dalam memilih dan melaksanakan jenis usaha yang terbaik berdasarkan hasil analisis lingkungan bisnis tersebut.

C. Manfaat Penulisan Penulisan makalah ini bermanfaat sebagai bahan pelengkap mata kuliah Lingkungan dunia Usaha dan sebagai bahan informasi bagi penulisan lain yang berhubungan dengan materi tersebut.

II TINJAUAN PUSTAKA

A. Ikan dan Usaha Pengolahannya Sejak dahulu manusia telah memanfaatkan ikan sebagai salah satu bahan pangan yang banyak mengandung protein. Protein ikan sangat diperlukan oleh manusia karena selain lebih mudah dicerna juga mengandung asam amino dengan pola yang hampir sama dengan pola asam amino yang terdapat didalam tubuh manusia. Tabel 1. Komposisi Ikan Segar per 100 gram Bahan Komponen Kandungan air Protein Lemak Mineral dan Vitamin Karbohidrat Bahan Organik Sumber: Suzuki, 19811 Kadar (%) 66,00 68,00 15,00 24,00 0,10 22,00 2,52 4,50 1,00 3,00 0,80 2,00

Bagi tubuh manusia, protein daging ikan mempunyai beberapa fungsi yaitu diantaranya: 1) Menjadi sumber energi yang sangat dibutuhkan dalam menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari. 2) Membantu pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh. 3) Mempertinggi daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dan juga memperlancar proses-proses fisiologis didalam tubuh. Kekurangan protein daging ikan dapat berakibat timbulnya penyakit kuarsiorkor, busung lapar, terhambatnya pertumbuhan mata, kuit dan
1

Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Protein : Procesing Technology. Applied Science London.

Publisher

Ltd.,

tulang serta menurunnya tingkat kecerdasan (terutama pada anak-anak) bahkan dapat menimbulkan kematian. Kebutuhan setiap manusia akan protein hewani sangat bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin dan aktivitas yang dilakukan. Jika diasumsikan sumber protein hewani hanya berasal dari ikan, jumlah daging dan protein ikan yang harus dikonsumsi dapat dilihat pada tabel berikut ini.2 Tabel 2. Kebutuhan Manusia akan Protein dan Daging Ikan. Tingkat Kebutuhan Kalangan Usia Daging ikan Protein (grm/org/hari) (grm/org/hari) 1. Anak-anak 25 40 125 200 2. Laki-laki Dewasa 50 60 250 325 50 55 250 275 3. Wanita Dewasa 60 75 300 375 4. Wanita Hamil 75 80 375 400 5. Wanita Menyusui Sumber: Majalah Pertanian No. 1 Tahun 1987-1979. Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh apabila lebih memanfaatkan ikan sebagai sumber makanan daripada produk hewani lainnya. Keuntungan itu ialah: 1) Perairan Indonesia sangat luas dan banyak mengandung ikan, tetapi potensinya belum dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan akan protein hewani melalui pemanfaatan sumberdaya perikanan masih sangat memungkinkan. 2) Kandungan protein pada daging ikan cukup tinggi (20%) dan tersusun oleh sejumlah asam amino yang berpola mendekati pola kebutuhan asam amino di dalam tubuh manusia. Dengan demikian, ikan
2

Afrianto, E dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan ikan. Kanisius. Yogyakarta.

mempunyai nilai bilogis yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, daging ikan mempunyai nilai biologis sebesar 90%. Adapun yang dimaksud dengan nilai biologis adalah perbandingan antara jumlah protein yang dapat diserap dengan jumlah protein yang dikeluarkan oleh tubuh. Artinya apabila berat daging ikan yang dimakan adalah 100 gram, jumlah protein yang akan diserap oleh tubuh lebih kurang 90% dan hanya 10% yang terbuang. 3) Daging ikan relatif lunak karena hanya mengandung sedikit tenunan pengikat (tendon) sehingga lebih mudah dicerna oleh tubuh. 4) Meskipun daging ikan mengandung lemak cukup tinggi (lihat Tabel 1), akan tetapi karena 25% dari jumlah tersebut merupakan asam-asam lemak tak jenuh yang sangat dibutuhkan manusia dan kadar kolesterol sangat rendah, daging ikan tidak berbahaya bagi manusia, juga bagi orang-orang yang kelebihan kolesterol. 5) Daging ikan mengandung sejumlah mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia, seperti: K, Cl, P, S, Mg, Ca, Fe, Mn, Zn, Ar, Cu dan Iodium. Selain itu, ikan juga mengandung vitamin A dan D dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tubuh manusia, sehingga sangat menunjang kesehatan mata, kulit dan proses pembentukan tulang, terutama pada anak balita. 6) Ikan dapat dengan cepat dan mudah disajikan dalam berbagai bentuk olahan. 7) Harga ikan relatif murah bila dibandingkan dengan sumber protein hewani yang lain. Dengan demikian, biaya yang diperlukan untuk

mencukupi kebutuhan akan protein hewani melalui peningkatan produksi perikanan relatif murah. 8) Daging ikan dapat diterima oleh segenap lapisan masyarakat maupun berbagai tingkat perekonomian. Di samping keuntungan-keuntungan di atas, ternyata ikan juga memiliki beberapa kelemahan, seperti: 1) Tubuh ikan mempunyai kadar air yang tinggi (lihat Tabel 1), dan pH tubuh mendekati netral sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri pembusuk maupun mikroorganisme lain. Dengan demikian, ikan merupakan komoditi yang cepat membusuk, bahkan lebih cepat dibandingkan dengan sumber protein hewani lain. 2) Daging ikan mengandung sedikit sekali tenunan pengikat (tendon), sehingga sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hasil

pencernaan ini menyebabkan daging menjadi sangat lunak sehingga merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme. 3) Daging ikan banyak mengandung asam lemak tak jenuh yang sifatnya sangat mudah mengalami proses oksidasi. Oleh karena itu, sering timbul bau tengik pada tubuh ikan, terutama pada hasil olahan maupun awetan yang disimpan tanpa menggunakan antioksidan. Proses pembusukan pada ikan dapat disebabkan terutama oleh aktivitas enzim yang terdapat di dalam tubuh ikan sendiri, aktivitas mikroorganisme atau proses oksidasi pada lemak tubuh oleh oksigen dari udara. Biasanya pada tubuh ikan yang telah mengalami proses pembusukan terjadi perubahan, seperti timbulnya bau busuk, daging

menjadi kaku, sorot mata pudar, serta adanya lendir pada insang maupun tubuh bagian luar. Kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh ikan telah dirasakan sangat menghambat usaha pemasaran hasil perikanan dan tidak jarang menimbulkan kerugian, terutama pada saat produksi ikan melimpah. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan daya simpan dan daya awet produk perikanan pada pasca panen melalui proses pengolahan dan pengawetan. Proses pengolahan dan pengawetan ikan merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai industri perikanan. Tanpa adanya kedua proses tersebut, peningkatan produksi ikan yang telah dicapai selama ini akan sia-sia, karena tidak semua produk perikanan dapat dimanfaatkan oleh konsumen dalam keadaan baik. Pengolahan dan pengawetan bertujuan mempertahankan mutu dan kesegaran ikan selama mungkin dengan cara menghambat atau menghentikan sama sekali penyebab kemunduran mutu (pembusukan) maupun penyebab kerusakan ikan (misalnya aktivitas enzim, mikroorganisme, atau oksidasi oksigen) agar ikan tetap baik hingga sampai ke tangan konsumen. Adapun tujuan utama proses pengawetan dan pengolahan ikan adalah: a) Mencegah proses pembusukan pada ikan, terutama pada saat produksi melimpah. b) Meningkatkan jangkauan pemasaran ikan. c) Melaksanakan diversifikasi pengolahan produk-produk perikanan.

d) Meningkatkan pendapatan nelayan atau petani ikan, sehingga mereka terangsang untuk melipatgandakan produksi. Ikan hasil pengolahan dan pengawetan umumnya sangat disukai oleh masyarakat karena produk akhirnya mempunyai ciri-ciri khusus yakni perubahan sifat-sifat daging seperti bau (odour), rasa (flavour), bentuk (appearance) dan tekstur. Proses pengolahan dan pengawetan ikan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Menggunakan Suhu Rendah Bakteri pembusuk hidup di lingkungan bersuhu 0 30oC. Bila suhu

diturunkan dengan cepat hingga 0oC atau lebih rendah lagi, aktivitas bakteri pembusuk akan terhambat atau terhenti sama sekali. Sedangkan aktivitas enzim penyebab autolisis telah lebih dahulu terhenti. Suhu rendah dapat digunakan untuk mengawetkan ikan segar atau ikan yang telah mengalami proses pengawetan, seperti ikan asin dan ikan asap. 2) Menggunakan Suhu Tinggi Ternyata aktivitas bakteri pembusuk, jamur maupun enzim dapat dihentikan dengan menggunakan suhu tinggi (80-90 oC). Contoh pengolahan ikan yang menggunakan suhu tinggi adalah ikan asap atau ikan kaleng. 3) Mengurangi Kadar Air Hampir sebagian besar tubuh ikan mengandung banyak air sehingga merupakan media yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri

pembusuk maupun mikroorganisme lain. Dengan mengurangi kadar air di dalam tubuh ikan, aktivitas bakteri akan terhambat sehingga proses pembusukan dapat dicegah. Pengurangan kadar air dari dalam tubuh ikan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: a) Menggunakan Udara Panas Cara ini umumnya memanfaatkan angin/udara yang telah dipanasi oleh cahaya matahari (proses penjemuran). Dapat juga digunakan aliran udara yang telah dipanasi oleh api (misalnya oven) atau melalui alat pengering khusus. b) Menggunakan Proses Osmosa Pengurangan kadar air dengan proses osmosa dilakukan dengan pertimbangan bahwa konsentrasi (tekanan osmotik) air di dalam dan di luar tubuh ikan berbeda (misalnya pada proses penggaraman). Dalam hal ini, konsentrasi garam yang lebih tinggi akan menarik keluar air di dalam tubuh ikan. Proses ini baru akan berakhir setelah konsentrasi kedua cairan tersebut sama. c) Menggunakan Tekanan Cara lain untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan adalah dengan menggunakan tekanan mekanis, seperti pada pembuatan kecap ikan, penggaraman, maupun pembuatan tepung ikan. d) Menggunakan Panas Kadar air di dalam tubuh ikan juga dapat dikurangi dengan memanfaatkan panas, seperti pada proses pengasapan dan perebusan.

4) Menggunakan Zat Antiseptik Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan tentang obat-obatan, maka penggunaan zat kimia (baik sebagai antiseptik, antimyotik maupun antibiotik) dalam pengolahan dan pengawetan ikan juga semakin luas. Zat kimia yang paling umum digunakan sebagai antiseptik adalah asam asetat (cuka), Natrium benzoat, Natrium nitrat, dan Natrium nitrit. 5) Menggunakan Ruang Hampa Udara Proses pengolahan dan pengawetan dengan menggunakan ruang hampa udara pada prinsipnya bertujuan menghindari terjadinya oksidasi lemak yang sering menimbulkan efek bau tengik. Satu hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan ruang hampa adalah timbulnya jenis bakteri anaerob seperti Clostridium botulinium dengan racun yang sangat berbahaya.

B. Lingkungan Usaha Lingkungan usaha tidak bisa diabaikan dengan begitu saja. Lingkungan usaha dapat menjadi pendorong maupun penghambat jalannya perusahaan. Lingkungan yang dapat mempengaruhi jalannya usaha/perusahaan adalah lingkungan mikro dan lingkungan makro.3 1. Lingkungan Mikro (Lingkungan Pasar) Lingkungan mikro adalah lingkungan yang berkaitan dengan operasional perusahaan, seperti pemasok, karyawan, pemegang saham,
3

Suryana, 2003, Kewirausahaan : Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta.

majikan, manajer, direksi, distributor, pelanggan/konsumen dan lain-lain. Jika hal ini sejalan dengan pergeseran strategi pemasaran, yaitu dari laba perusahaan (shareholder) ke manfaat bagi stakeholder, maka lingkungan internal baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai kepentingan pada perusahaan akan sangat berpengaruh. Yang termasuk perorangan, kelompok perorangan, kelompok yang berkepentingan terhadap

perusahaan dan berharap kepuasan dari perusahaan (stakeholder satisfaction) di antaranya : a. Pemasok (supplier) Pemasok berkepentingan dalam menyediakan bahan baku kepada perusahaan. Agar perusahaan dapat memuaskan pembeli/pelanggan, maka perusahaan tersebut harus memproduksi barang dan jasa yang bermutu tinggi. Hal ini bisa dicapai apabila bahan baku dari pemasok berkualitas, tepat waktu, dan cukup jumlahnya. b. Pembeli atau Pelanggan Pembeli atau pelanggan merupakan lingkungan yang sangat

berpengaruh karena dapat memberi informasi bagi perusahaan. Konsumen yang kecewa karena tidak memperoleh manfaat dari perusahaan, misalnya akibat mutu, harga, dan waktu yang tidak memadai akan cenderung untuk pindah dan berlangganan kepada perusahaan lain. c. Karyawan Karyawan adalah orang pertama yang terlibat dalam perusahaan. Karyawan akan berusaha bekerja dengan baik apabila memperoleh

manfaat dari perusahaan. Semangat kerja yang tinggi, pelayanan yang baik, dan produktivitas yang tinggi akan terjadi apabila mereka mendapat gaji yang cukup, masa depan yang terjamin dan kenaikan jenjang kepangkatan yang teratur. Jika tidak terjadi, maka karyawan akan bekerja kurang termotivasi, kurang produktif, kurang kreatif, dan akan merugikan perusahaan. d. Distributor Distributor merupakan lingkungan yang sangat penting dalam perusahaan karena dapat memperlancar penjualan. Distributor yang kurang mendapat manfaat dari perusahaan akan menghambat pengiriman barang sehingga barang akan terlambat datang ke konsumen atau pasar. 2. Lingkungan Makro (Lingkungan Non Pasar) Yang dimaksud dengan lingkungan makro adalah lingkungan di luar perusahaan yang dapat mempengaruhi daya hidup perusahaan secara keseluruhan, yang meliputi : a. Lingkungan Ekonomi Adanya kekuatan ekonomi lokal, regional, nasional, dan global akan berpengaruh terhadap peluang usaha. Hasil penjualan dan biaya perusahaan banyak dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi. Variabelvariabel ekonomi, seperti tingkat inflasi, tingkat bunga, dan fluktuasi mata uang asing baik langsung maupun tidak akan berpengaruh pada perusahaan. Inflasi atau kenaikan harga-harga akan mempersulit para pengusaha dalam memproyeksikan usahanya. Demikian juga,

kenaikan suku bunga dan fluktuasi mata uang asing akan menyulitkan perusahaan dalam mengkalkulasi keuangannya. b. Lingkungan Teknologi Kekuatan teknologi dan kecenderungan perubahannya sangat

berpengaruh pada perusahaan. Perubahan teknologi yang secara drastis dalam abad terakhir ini telah memperluas skala industri secara keseluruhan. Teknologi baru telah menciptakan produk-produk baru dan modifikasi produk lainnya. Demikian juga, bidang usaha jasa telah banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dalam menciptakan barang dan jasa telah mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar secara cepat. Oleh karena itu, kemampuan pesaing untuk menciptakan nilai tambah secara cepat melalui perubahan teknologi harus diperhatikan oleh perusahaan tersebut. c. Lingkungan Sosio-politik Besarnya kekuatan sosial dan politik, serta kecenderungannya perlu diperhatikan untuk menentukan seberapa jauh perubahan tersebut berpengaruh pada tingkah laku masyarakat. Perubahan kekuatan politik berpengaruh terhadap perubahan pemerintahan dan secara tidak langsung berdampak pada perubahan ekonomi. Misalnya, adanya kekacauan politik dan kerusuhan yang terjadi selalu

membawa sentimen pasar. Perubahan investasi pemerintah dalam bidang teknologi juga sangat berpengaruh pada kondisi ekonomi.

Namun, lingkungan ini akan sangat bermanfaat apabila wirausaha pandai memanfaatkan peluang dari lingkungan tersebut. d. Lingkungan Demografi dan gaya Hidup Banyaknya produk dan jasa yang dihasilkan oleh wirausaha seringkali dipengaruhi oleh perubahan demografi dan gaya hidup. Kelompokkelompok masyarakat, gaya hidup, kebiasaan, pendapatan dan struktur masyarakat bisa menjadi peluang. Pada prinsipnya semua lingkungan di atas bisa menciptakan peluang bagi wirausaha. 3. Keberhasilan Usaha Pada dasarnya setiap wirausaha mempunyai peluang untuk maju. Tetapi, kenyataannya peluang usaha tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pada dasarnya wirausaha tidak berusaha menggali peluang yang ada. Untuk menggali peluang usaha, seorang wirausaha harus berpikir secara positif dan kreatif di antaranya : a. harus mempunyai pilihan dan yakin bahwa usaha bisa dilaksanakan b. harus menerima gagasan-gagasan baru di dalam dunia usaha c. harus menalukan diri sendiri d. harus mendengarkan saran-saran orang lain e. harus menyemangati dan mengauli Peluang usaha bukanlah suatu peluang, jika Anda tidak sanggup menemukan tindakan yang mungkin untuk mewujudkannya. Peluang usaha dapat dicari pada semua jenis usaha yang Anda inginkan dan yang menguntungkan. Pembangunan Indonesia terus berjalan dan berkembang dengan pesat. Meningkatnya jumlah kota-kota besar dapat menyebabkan

terjadinya perubahan dan perkembangan dalam bidang usaha. Dengan mempelajari dinamika kehidupan masyarakat yang sudah maju, dapat dicari peluang usaha yang baik dan cocok serta menguntungkan. Usaha yang memberi peluang untuk memajukan dan menguntungkan adalah usaha yang mampu meraih keuntungan dengan cara menciptakan produk-produk yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan

konsumen. Peluang dan kesempatan yang ada dalam usaha, banyak sekali dan akan memberikan suatu keuntungan. Adapun yang menjadi modal utama untuk meraih keberhasilan, di antaranya : a. pola pikir yang mengarah pada sikap dan kemauan untuk sukses b. kepribadian yang kuat untuk sukses c. kecakapan dalam mengelola usaha untuk sukses d. menerapkan menajemen usaha yang baik e. berani memikul segala resiko dalam usaha Secara lebih terperinci, keberhasilan usaha yang dikelola seorang wirausahawan dapat diidentifikasi sebagai berikut : a. keyakinan dalam berusaha b. sikap mental yang positif dalam berusaha c. Keyakinan penuh terhadap diri sendiri d. Tingkah laku yang bertanggung jawab e. Kreatifitas dan inovatif f. Sasaran besar yang menantang dalam berusaha g. Keunggulan dalam berusaha h. Pengembangan diri

i. j.

Pengelolaan waktu yang efektif dan efisien Kemampuan berusaha Keberhasilan seorang wirausaha dalam menjalankan usahanya,

tidak hanya tergantung pada tingkat pendidikan yang mereka miliki. Pada kenyataannya tidak sedikit wirausaha yang berhasil dalam mengelola usaha berasal dari golongan orang-orang yang berpendidikan SD, SLTP dan SLTA. Di bawah ini akan diuraikan cara mengidentifikasi berbagai situasi dan perkembangan usaha yang berkaitan dengan keberhasilan para wirausaha : a. Mengidentifikasi Profil Wirausaha yang Berhasil dalam Usaha Menurut Tedjasutisna (2004), terdapat beberapa karakteristik dalam diri seorang wirausaha, antara lain sebagai berikut: 1) Percaya diri Mengandalkan tingkat percaya dirinya yang tinggi dalam mencapai sukses 2) Pemecahan masalah Cepat mengenali dan memecahkan masalah yang dapat

menghalangi kemampuannya mencapai tujuan sukses 3) Berprestasi tinggi Bekerja keras dan bekerja sama dengan para ahli untuk memperoleh prestasi 4) Pengambil risiko Tidak takut mengambil risiko, tetapi akan menghindari risiko tinggi bilamana dimungkinkan

5) Ikatan emosi Tidak akan memperbolehkan hubungan emosional yang

mengganggu sukses usahanya 6) Pencari status Tidak akan memperbolehkan hubungan emosional yang

mengganggu misi usahanya 7) Tingkat energi tinggi Berdedikasi tinggi dan bersedia bekerja dengan jam kerja yang panjang untuk membangun usahanya b. Mengidentifikasi wirausaha yang berhasil dalam usaha 1) Pengendalian pribadi Mengenali arti penting pribadinya bagi kegiatan usahanya 2) Pemikiran kreatif Akan selalu mencari suatu cara yang lebih baik dalam melakukan sesuatu didalam usaha 3) Pengendalian diri mengendalikan semua yang mereka lakukan 4) Pengusahaan diselesaikannya urusan Menyukai aktivitas yang menunjukkan kemajuan-kemajuan yang berorientasi pada tujuan 5) Pemilik obyektif Mengakui jika terjadi keliru 6) Pemecahan masalah Melihat ke pilihan-pilihan untuk memecahkan setiap masalah

7) Pengarahan diri sendiri Memotivasi diri sendiri dengan suatu hasrat yang tinggi untuk berhasil di dalam usaha 8) Pengelolaan usaha dengan sasaran Cepat memahami tugas rinci yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran usaha Jadi, keberhasilan seorang wirausaha di dalam mengelola usahanya dapat diidentifikasi berdasarkan pada : a. kemauan serta tindakan-tindakan yang nyata b. keberanian untuk berinisiatif c. kecakapan atau keahlian d. keaktifitasan dan percaya diri e. kependidikan dan pengalaman 4. Kegagalan usaha Keberhasilan atau kegagalan wirausaha sangat bergantung pada kemampuan pribadi wirausaha. Zimmerer (1996) dalam Suryana (2003) mengemukan beberapa faktor yang menyebabkan wirausaha gagal dalam menjalankan usaha barunya sebagai berikut. a. Tidak kompeten dalam manajerial. Tidak kompeten atau tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan mengelola usaha merupakan faktor penyebab utama yang membuat perusahaan kurang berhasil. b. Kurang berpengalaman baik dalam kemampuan teknik, kemampuan memvisualisasikan usaha, kemampuan mengkoordinasikan,

keterampilan mengelola sumber daya manusia, maupun kemampuan mengintegrasikan operasi perusahaan. c. Kurang dapat mengendalikan keuangan. Agar suatu usaha berhasil dengan baik, maka faktor yang paling utama dalam keuangan adalah memelihara aliran kas. Mengatur pengeluaran dan penerimaan secara cermat. Kekeliruan dalam memelihara aliran kas akan menghambat operasional perusahaan dan mengakibatkan perusahaan tidak lancar. d. Gagal dalam perencanaan. Perencanaan merupakan titik awal dari suatu kegiatan. Jika kita mengalami sekali kegagalan dalam perencanaan maka akan

mengalami kesulitan dalam pelaksanaan. e. Lokasi yang kurang memadai. Letak lokasi usaha yang strategis merupakan faktor yang menentukan keberhasilan usaha. Lokasi yang tidak strategis dapat mengakibatkan perusahaan sukar beroperasi karena kurang efisien. f. Kurangnya pengawasan peralatan. Pengawasan erat kaitannya dengan efisiensi dan efektivitas. Kurang pengawasan dapat mengakibatkan pengunaan alat tidak efisien dan tidak efektif. g. Sikap yang kurang sungguh-sungguh dalam berusaha Sikap yang setengah-setengah terhadap usaha akan mengakibatkan usaha yang dilakukan menjadi labil dan gagal. Dengan sikap setengah hati, kemungkinan gagal menjadi besar.

h. Ketidak mampuan dalam melakukan peralihan/transisi kewirausahaan. Wirausaha yang kurang siap menghadapi dan melakukan perubahan, tidak akan menjadi wirausaha yang berhasil. Keberhasilan dalam berwirausaha hanya bisa diperoleh dengan berani mengadakan perubahan dan membuat peralihan setiap waktu. Selain faktor yang membuat kegagalan wirausaha, Zimmerer (1996) dalam Suryana (2003) juga mengemukakan beberapa potensi yang membuat seseorang mundur dari usahanya, yaitu : a. Pendapatan yang tidak menentu, baik tahap awal maupun tahap pertumbuhan, berbisnis tidak ada jaminan untuk terus memperoleh pendapatan yang berkesinambungan. Dalam kewirausahaan, sewaktu-waktu bisa rugi dan sewaktu-waktu bisa untung. Kondisi yang tidak menentu dapat membuat seseorang mundur dari kegiatan berwirausaha. b. Kerugian akibat hilangnya modal investasi. Tingkat kegagalan bagi usaha baru sangatlah tinggi. Menurut Yuyun Wirasasmita (1998), tingkat mortalitas/kegagalan usaha kecil di Indonesia mencapai 78 persen. Kegagalan investasi mengakibatkan seseorang mundur dari wirausaha, berharga. c. Perlu kerja keras dan waktu yang lama. Wirausaha biasanya bekerja sendiri mulai dari pembelian, kegagalan kegiatan berwirausaha. Bagi seorang dipandang sebagai pelajaran

sebaiknya

pengolahan, penjualan, dan pembukuan. Waktu yang lama dan

keharusan bekerja keras dalam berwirausaha mengakibatkan orang yang ingin menjadi wirausaha menjadi mundur. Ia kurang terbiasa dalam menghadapi tantangan. Wirausaha yang berhasil pada umumnya menjadikan tantangan sebagai peluang yang harus dihadapi dan ditekuni. d. Kualitas kehidupan yang tetap rendah meskipun usahanya mantap. Kualitas kehidupan yang tidak segera meningkat dalam usaha, akan mengakibatkan seseorang mundur dari kegiatan berwirausaha. Misalnya, pedagang yang kualitas kehidupannya tidak meningkat, ia akan mundur dari usaha dagangnya dan masuk ke usaha lain. Berdasarkan analisis lingkungan usaha, sebenarnya wirausaha tidak perlu mengalami kegagalan dalam usahanya, apabila sejak mulai usahanya dapat menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (SWOT) atau Kekepan. Meskipun risiko kegagalan dalam usaha selalu ada, tetapi para wirausaha mengambil risiko itu dengan jalan menerima tanggung jawab dan tindakannya. Dalam menghadapi era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia, wirausaha harus terus meningkatkan kualitas kinerja di dalam usahanya. Menurut Korakaya dan Kobu dalam Tedjasutisna (2004), mengidentifikasi tiga kelompok

permasalahan yang menyebabkan kegagalan usaha, yaitu: 1) Kelompok pertama berkaitan dengan produk dan pasar, antara lain : a) waktu peluncuran produk yang kurang tepat; b) desain produk yang tidak sesuai dengan keinginan konsumen; c) strategi distribusi produk yang tidak tepat;

d) tidak mampu mendefinisikan usaha yang sedang dijalankan; 2) Kelompok kedua berkaitan dengan masalah finansial yang meliputi : a) terlalu rendah dalam memperhitungkan dana; b) terlalu dini berutang dalam jumlah besar; 3) Kelompok ketiga berkaitan dengan masalah manajemen, yaitu: a) terlalu bersikap nepotisme; b) sumber daya manusia yang rendah; c) tidak menggunakan konsep tim. 5. Menentukan Bidang Usaha Mengambil keputusan untuk memulai usaha dan menjalankan usaha merupakan sesuatu yang mudah, kapan pun dapat segera memulai membuka usaha. Justru yang sulit adalah menentukan usaha apa yang akan digeluti. Oleh karena itu para wirausaha biasanya harus berpikir sendiri tentang ide usaha yang paling cocok untuk mereka sendiri. Ide usaha barang kali dapat muncul dari dua jalur, yaitu inspirasi dan hasil analisis. Dari inspirasi meliputi, antara lain : 1) Ada kebutuhan pasar yang tidak dapat dipenuhi oleh pemasok (supplier) yang sudah ada. 2) Sebuah jalan keluar baru dari masalah yang ada, penemuan baru, dan sebuah proses atau metode baru. Sedangkan, hasil analisis adalah dengan menganalisis minat dan kemampuan (kompetensi) usaha yang Anda miliki. Untuk menentukan bidang usaha yang berpotensi sukses sekaligus sesuai dengan minat, cara terbaik adalah melakukan Evaluasi Pribadi. Dalam hal ini terdapat

banyak variabel atau ciri pribadi yang perlu dipertimbangkan sebelum menetapkan usaha yang akan digeluti. Sedangkan beberapa bidang usaha yang dapat dipilih, antara lain : 1) Bidang usaha pertanian, yang meliputi usaha pertanian, kehutanan, perikanan, dan perkebunan. 2) Bidang usaha pertambangan, meliputi usaha galian pasir, galian tanah, batu, bata, dan lain-lain. 3) Bidang usaha pabrikasi meliputi usaha industri, perakitan, dan sintetis. 4) Bidang usaha konstruksi meliputi usaha konstruksi bangunan, jembatan, pangairan, dan jalan raya. 5) Bidang usaha perdagangan meliputi usaha perdagangan kecil, grosir, agen, dan ekspor-impor. 6) Bidang usaha jasa keuangan, meliputi usaha perbankan, asuransi, dan koperasi. 7) Bidang usaha jasa perorangan, meliputi usaha potong rambut, salon, loundry dan catering. 8) Bidang usaha jasa-jasa umum, meliputi usaha pengangkutan, pergudangan, wartel, dan distribusi. 9) Bidang jasa wisata, meliputi tiga kelompok usaha wisata, yaitu a) Kelompok usaha jasa pariwisata, meliputi : Jasa biro perjalanan wisata, Jasa agen perjalanan wisata, Jasa pramuwisata, Jasa konsultan pariwisata, Jasa informasi pariwisata. b) Pengusahaan objek dan daya tarik wisata, meliputi : Pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam, Pengusahaan objek dan daya

tarik wisata budaya, Pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus. c) Usaha sarana wisata, meliputi : Penyediaan akomodasi,

Penyediaan makanan dan minuman, Penyediaan angkutan wisata, Penyediaan sarana wisata dan sebagainya. 6. Memulai Usaha Ada beberapa cara untuk memulai suatu usaha atau memasuki dunia usaha, yaitu : 1) Membeli bisnis yang sudah ada 2) Membeli aset usaha yang gagal 3) Mendirikan usaha baru a) Sangat mirip dengan apa yang telah ada b) Produk/jasa yang unik atau khusus 4) Membeli hak kelola (francise) 5) Memulai sebuah kerjasama Menurut Suryana (2003), ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memulai suatu usaha atau memasuki dunia usaha, yaitu : 1) Merintis usaha baru (starting), yaitu membentuk dan mendirikan usaha baru dengan menggunakan modal, ide, organisasi, dan manajemen yang dirancang sendiri. Ada tiga bentuk usaha baru yang dapat dirintis: a) Perusahaan milik sendiri (sole proprietorship), yaitu bentuk usaha yang dimiliki dan dikelola sendiri oleh seseorang;

b) Persekutuan (partnership), yaitu suatu kerjasama (asosiasi) dua orang atau lebih yang secara bersama-sama menjalankan usaha bersama. c) Perusahaan berbadan hukum (corporation), yaitu perusahaan yang didirikan atas dasar badan hukum dengan modal sahamsaham. Untuk memulai usaha, seorang calon wirausaha harus memiliki kompetensi usaha yang diperlukan meliputi:  Kemampuan teknik, yaitu kemampuan tentang bagaimana memproduksi barang dan jasa serta cara menyajikannya;  Kemampuan pemasaran, yaitu kemampuan tentang

bagaimana menemukan pasar dan pelanggan serta harga yang tepat;  Kemampuan finansial, yaitu kemampuan tentang bagaimana memperoleh sumber dana dan cara menggunakannya;  Kemampuan hubungan, yaitu kemampuan tentang bagaimana cara mencari, memelihara, mengembangkan relasi, dan kemampuan komunikasi serta negosiasi. 2) Membeli perusahaan orang lain (buying), yaitu membeli perusahaan yang telah didirikan atau dirintis dan diorganisasikan oleh orang lain dengan nama (goodwill) dan organisasi usaha yang sudah ada. Memang wirausaha tidak mudah untuk membeli perusahaan yang sudah ada. Wirausaha yang akan membeli perusahaan selain harus mempertimbangkan berbagai keterampilan, kemampuan, dan

kepentingan pembelian perusahaan tersebut, pembeli juga harus

memperhatikan sumber-sumber potensial perusahaan yang akan dibeli, diantaranya : a) Pedagang perantara penjual perusahaan yang akan dibeli. b) Bank investor yang melayani perusahaan c) Kontak-kontak perusahaan seperti pemasok, distributor, pelanggan dan hal lainnya yang berkaitan erat dengan kepentingan

perusahaan yang akan dibeli. d) Jaringan kerja sama usaha dan sosial perusahaan yang akan dibeli e) Daftar majalah dan jurnal perdagangan yang digunakan oleh perusahaan yang akan dibeli. 3) Kerja sama manajemen (franchising), yaitu suatu kerja sama antara entrepreneur (franchisee) dengan perusahaan besar yang

memberikan lisensi (franchisor/parent company) dalam mengadakan persetujuan jual beli hak monopoli untuk menyelenggarakan usaha (waralaba). Dalam franchising, perusahaan yang diberi hak monopoli untuk menyelenggarakan perusahaan seolah-olah merupakan bagian dari perusahaan pemberi lisensi yang dilengkapi dengan nama produk, merek dagang, dan prosedur penyelenggaraan secara standar. Perusahaan induk (franchisor) mengizinkan franchisee untuk menggunakan nama, tempat/daerah, bimbingan, latihan karyawan, periklanan, dan perbekalan material yang berlanjut. Kerja sama ini biasanya dengan dukungan awal, meliputi salah satu atau

keseluruhan dari aspek-aspek sebagai berikut : a) pemilihan tempat.

b) rencana bangunan. c) pembelian peralatan. d) pola arus kerja. e) pemilihan karyawan. f) Periklanan. g) Grafik h) Bantuan pada acara pembukaan. Selain dukungan awal, bantuan lain yang berlanjut dapat pula, meliputi faktor-faktor sebagai berikut : 1) pencatatan dan akuntansi. 2) Konsultasi. 3) Pemeriksaan dan standar. 4) Promosi. 5) pengendalian kualitas. 6) Riset. 7) nasihat hukum. 8) material lainnya. Dalam kerjasama franchising, perusahaan induk memberikan bantuan manajemen secara berkesinambungan. Keseluruhan citra (goodwill), pembuatan, dan teknik pemasaran diberikan kepada

perusahaan franchisee. Tidak sedikit bentuk franchising yang dilakukan antar negara. Contohnya : McDonalds, Kentucky Fried Chicken (KFC), Pizza Hut dll. Di Indonesia bentuk kerjasama yang mirip franchising berbeda adalah sistem bapak angkat atau kemitraan. Dalam sistem bapak

angkat atau kemitraan ini, kebanyakan hanya diberikan bantuan modal, pemasaran, dan bimbingan usaha.

C. Analisis Lingkungan Pemasaran Pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang, pemasar perlu melakukan analisis terhadap perubahan lingkungan. Lingkungan menyajikan ketidakpastian, karena sifatnya yang selalu berubah dimana pemasaran itu dilakukan. Setiap bisnis berusaha memelihara kelangsungan hidup perusahaan, mencapai pertumbuhan, meningkatkan kesejahteraan dan sebagainya, maka perusahaan harus melakukan penyesuaian diri dengan kondisi lingkungannya. Analisis terhadap aspek lingkungan sangat penting untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkannya pada perusahaan,

mengabaikan pengaruhnya berarti kehancuran. 1. Kemampuan Internal Setiap perusahaan perlu menilai kekuatan dan kelemahannya dibandingkan para pesaingnya. Penilaian tersebut dapat didasarkan pada faktor-faktor, seperti teknologi, kekuatan sumberdaya pemasaran finansial, dan basis

kemampuan

pemanufakturan,

pelanggan yang dimiliki. 2. Pasar Setiap perusahaan perlu memperhatikan dan mempertimbangkan faktor-faktor, seperti ukuran pasar, tingkat pertumbuhan, tahap perkembangan, tren dalam sistem distribusi, pola perilaku pembeli,

tren permintaan, segmen pasar yang ada saat ini atau yang dapat dikembangkan dan peluang-peluang yang belum terpenuhi. 3. Demografi Demografi merupakan studi statistik tentang kependudukan beserta karakteristik distribusinya. Faktor demografi sangat penting bagi pemasaran, karena orang-orang (mempunyai uang dan mempunyai kemauan untuk membelanjakannya) dinyatakan sebagai pasar. Perubahan demografi memerlukan penyesuaian perencanaan strategi pemasaran yang akan dibuat. 4. Kondisi Ekonomi Kondisi perekonomian merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi sistem pemasaran perusahaan. Kondisi

perekonomian berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, seperti:  Faktor pertumbuhan ekonomi  Peredaran uang  Tekanan inflasi Dalam analisis ekonomi, perusahaan dapat memperkirakan pengaruh setiap peluang pemasaran terhadap kemungkinan mendapatkan laba. Instrumen analisis ekonomi yang tersedia dapat membantu marketer untuk menyelesaikan analisis break even point, penilaian resiko/laba, analisis faktor ekonomi pesaing dan sebagainya. 5. Faktor Sosial Budaya Faktor sosial budaya yang berpengaruh terhadap kegiatan pemasaran adalah cara hidup, nilai-nilai sosial, keyakinan dan kesenangan.

6. Politik dan Hukum Meningkatnya jumlah perusahaan sangat dipengaruhi oleh kerangka politik dan hukum yang berlaku didalam masyarakat. Peraturanperaturan mempengaruhi kegiatan pemasaran, baik yang berasal dari pemerintah maupun asosiai bisnis itu sendiri. Lingkungan politik dan hukum yang mempengaruhi kegiatan pemasaran ini antara lain: Kebijakan fiskal dan moneter, hubungan pemerintah dengan industri, peraturan khusus bagi industri serta kondisi hukum dan politik yang kondusif. 7. Teknologi Adanya penemuan-penemuan baru dan perkembangan teknologi mempengaruhi cara hidup dan pola konsumsi pelanggan. Kegiatan pemasaran harus memperhatikan perubahan dan perkembangan teknologi untuk mengikuti kebutuhan konsumen. 8. Lingkungan Fisik Kondisi alam dan geografis yang mempengaruhi kegiatan pemasaran untuk menjangkau pasarnya. Bagi perusahaan penerbangan

misalnya, kondisi berkabut tebal dapat menyebabkan penerbangan terhambat. 9. Lingkungan Mikro Lingkungan mikro adalah faktor-faktor lingkungan yang secara langsung memberikan pengaruh yang lebih besar dan kuat terhadap perusahaan, seperti pemasok, perantara pemasaran, pelanggan, pesaing dan publik.

a) Pemasok Pemasok merupakan lembaga independen yang menjadi sumber pasokan bagi perusahaan untuk memproduksi barang dan jasa. Dalam sistem penyampaian nilai pelanggan, pemasok mempunyai pengaruh yang menyangkut ketersediaan bahan, harga,

pengangkutan, pemogokan dapat meningkatkan biaya dan mengurangi kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengendalikan semua aspek tersebut agar terhindar dari pengaruh negatif yang ditimbulkannya. Kerjasama yang saling menguntungkan antara perusahaan dan pemasok memberikan jaminan hidup bagi masing-masing pihak. b) Perantara Pemasaran Perusahaan cenderung melakukan kegiatan pemasaran sendiri secara langsung melayani konsumen akhir, menghadapi pemasok dalam pembelian bahan, menghadapi pembeli dalam penjualan produknya. independen Perantara yang pemasaran merupakan lembaga dalam

berfungsi

membantu

perusahaan

mendistribusikan, menjual dan bahkan mempromosikan produk kepada konsumen akhir. Umumnya para perantara mempunyai pengalaman yang lebih baik di bidang pemasaran. Beberapa jenis perantara yang terlibat dalam pemasaran antara lain pedagang besar (grosir), distributor, pengecer (retailer) dan dealer.

c) Pelanggan Pelanggan adalah seseorang yang secara kontinu dan berulang kali datang ke tempat yang sama untuk memuaskan keinginannya dengan cara membeli produk. Keberadaan pelanggan baik dalam aspek psikologis khusus maupun sebagai aspek upaya perilakunya, pembedaan memerlukan pemasaran

perlkuan

perusahaan. Pelanggan dapat dibedakan menjadi:  Pelanggan konsumen, yaitu para individu dan rumah tangga yang melakukan pembelian produk untuk kepentingan sendiri.  Pelanggan bisnis, yaitu pembeli yang mewakili lembaga atau unit usaha dalam pembelian barang kepentingan proses produksinya.  Pelanggan penjual, yaitu para pembeli barang dan jasa yang menjual kembali untuk mendapatkan laba.  Pelanggan pemerintah, yaitu para pembeli yang mewakili lembaga-lembaga pemerintahan yang membeli barang dan jasa untuk pelayanan publik dan kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat.  Pelanggan internasional, yaitu pembeli-pembeli di luar negeri yang mencakup pelanggan konsumen, pelanggan bisnis, penjual dan pelanggan pemerintah. Perilaku konsumen perlu dipantau dan dianalisis karena hal ini sangat bermanfaat bagi pengembangan produk, desain produk, penetapan harga, pemilihan saluran distribusi dan penentuan dan jasa untuk

strategi promosi. Analisis perilaku konsumen dapat dilakukan dengan penelitian (riset pasar), baik melalui observasi maupun metode survei. d) Pesaing Persaingan yang terjadi antara beberapa perusahaan dapat berasal dari perusahaan lain dalam satu industri yang disebut pesaing langsung atau dari perusahaan lain yang menghasilkan produk substitusi yang disebut pesaing tidak langsung.

Perusahaan perlu memahami strategi pesaing, kekuatan dan kelemahan pesaing, serta kapasitas produksi pesaing. Sekalipun tidak ada satu pun strategi bersaing yang tepat untuk semua perusahaan, namun menguasai strategi dapat memiliki

keunggulan kompetitif di pasar sasaran. e) Publik Publik adalah kelompok yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Kelompok ini dapat mempengaruhi perusahaan dalam mencapai tujuan, seperti:  Masyarakat umum dan masyarakat sekitar perusahaan.  Masyarakat interen, seperti karyawan, manajer dan komisaris.  Para pemegang saham dan lembaga-lembaga keuangan.  Media massa baik cetak maupun elektronik.  Lembaga swadaya masyarakat, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Untuk memudahkan cara memahami lingkungan bisnis, dapat digunakan analisis kelemahan-kekuatan berikut ini: Tabel 3. Analisis Kekuatan dan Kelemahan4 ANALISIS EKSTERNAL 1 Analisis Pelanggan a. Identifikasi Segmen b. Motivasi masing-masing segmen c. Kebutuhan yang belum terpenuhi Analisis Pesaing a. Performance b. Tujuan c. Strategi d. Budaya e. Kekuatan/kelemahan Analisis Pasar a. Daya tarik pasar b. Dinamika Pasar c. Ukuran Pasar d. Pertumbuhan e. Profitabilitas f. Struktur Biaya g. Distribusi h. Tren pasar i. Key Success Factors Analisis Lingkungan a. Teknologi b. Pemerintahan c. Ekonomi d. Budaya e. Demografis ANALISIS INTERNAL Marketing Performance a. Reputasi perusahaan b. Pengembangan produk baru c. Portofolio produk d. Volume penjualan e. ROA f. Kepuasan pelanggan g. Ketahanan pelanggan 5 Penilaian 4 3 2 1

Ali Hasan, 2008. Marketing : Cetakan Pertama. Hal. 37-44. MedPress. Yogyakarta.

h. i. j. k. 2

Kualitas produk Kualitas pelayanan Efektivitas penetapan harga Efektivitas distribusi

Kinerja Keuangan a. Biaya/ketersediaan modal b. Arus kas c. Stabilitas keuangan Manufaktur a. Fasilitas b. Skala Ekonomi c. Dedikasi tenaga kerja d. Kemampuan produksi tepat waktu e. Ketrampilan teknis (skill) Organisasi a. Kepemimpinan b. Dedikasi SDM c. Orientasi Kewirausahaan d. Fleksibilitas atau responsif Penentu Pilihan Strategis a. Problem strategis b. Sumber finansial c. Kapabilitas

Keterangan: 1 = Kekuatan Utama, 2 = Kekuatan Kecil, 3 = Netral , 4 = Kelemahan Utama, 5 = Kelemahan Kecil

D. Matriks Profil Kompetitif Matriks Profil Kompetitif utama (Competitive perusahaan Profile serta Matrix-CPM) kekuatan dan

mengidentifikasi

pesaing

kelemahan perusahaan dalam hubungannya dengan posisi strategis dari perusahaan contoh. Bobot dan total nilai tertimbang untuk CPM dan EFE (External Factor Evaluation) memiliki arti yang sama. Tetapi faktor

penentu keberhasilan (critical success factor-CSF) dalam CPM mencakup isu eksternal dan internal, dengan demikian peringkat mengacu pada kekuatan dan kelemahan, dimana 4 = kekuatan utama, 3 = kekuatan

minor, 2 = kelemahan minor dan 1 = kelemahan utama. Ada beberapa perbedaan penting antara EFE dan CPM. Pertama-tama, faktor penentu keberhasilan dalam CPM lebih luas serta tidak memasukkan data yang spesifik dan faktual, bahkan berfokus pada isu internal. Faktor penentu keberhasilan dalam CPM juga tidak dikelompokkan dalam peluang dan ancaman seperti dalam EFE. Dalam CPM, peringkat dan total nilai tertimbang untuk perusahaan pesaing dapat dibandingkan dengan perusahaan contoh. Analisis komparatif ini memberikan informasi strategis internal yang penting. Tabel 4. Contoh Matriks Profil Kompetitif5 Faktor Penentu Keberhasilan Iklan Kualitas Produk Kekompetitifan Harga Manajemen Posisi Keuangan Loyalitas Pelanggan Ekspansi Global Pangsa Pasar Total Bobot 0,20 0,10 0,10 0,10 0,15 0,10 0,20 0,05 1,00 Perusahaan A Rating Nilai 1 4 3 4 4 4 4 1 0,20 0,40 0,30 0,40 0,60 0,40 0,80 0,05 3,15 Perusahaan B Rating Nilai 4 4 3 3 3 4 2 4 0,80 0,40 0,30 0,30 0,45 0,40 0,40 0,20 3,25 Perusahaan C Rating Nilai 3 3 4 3 3 2 2 3 0,60 0,30 0,40 0,30 0,45 0,20 0,40 0,15 2,80

Catatan: (1) Nilai peringkat adalah sebagai berikut: 1 = kelemahan utama, 2 = kelemahan minor, 3 = kekuatan minor, 4 = kekuatan utama. (2) Seperti diindikasikan dengan total nilai tertimbang 2,8, pesaing ke-3 adalah yang terlemah.

Selain faktor penentu keberhasilan yang dituliskan dalam contoh CPM, faktor yang sering dimasukkan dalam analisis ini mencakup keragaman lini produk, efektivitas distribusi penjualan, keuntungan dari

David, Fred R. 2006. Manajemen Strategis : Konsep Edisi 10. Buku 1. Hal. 144-148. Salemba Empat. Jakarta.

kepemilikan paten, lokasi fasilitas, kapasitas dan efisiensi produksi, pengalaman, hubungan serikat pekerja, keunggulan teknologi dan keahlian e-commerce.

III PEMBAHASAN A. Profil Usaha 1) Usaha Abon Ikan Ikan sebagai komoditi utama di sub sektor perikanan merupakan salah satu bahan pangan yang kaya protein. Manusia sangat memerlukan protein ikan karena selain mudah dicerna, pola asam amino protein ikan pun hampir sama dengan pola asam amino yang terdapat dalam tubuh manusia (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Di samping itu, kadar lemak ikan yang rendah sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia. Namun demikian, ikan merupakan komoditi yang cepat mengalami pembusukan (perishable food). Pembusukan disebabkan oleh enzim, baik dari ikan itu sendiri maupun mikroba dan proses ketengikan (rancidity). Kadar air ikan segar yang tinggi mempercepat proses perkembangbiakan

mikroorganisme pembusuk yang terdapat di dalamnya. Daya tahan ikan segar yang tidak lama, menjadi kendala dalam usaha perluasan pemasaran hasil perikanan. Bahkan sering menimbulkan kerugian besar pada saat produksi ikan melimpah. Oleh karena itu, sejak lama masyarakat berusaha melakukan berbagai macam proses pengolahan pascapanen ikan guna

meminimalkan kendala tersebut. Pada dasarnya proses pengolahan pascapanen ikan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam daging ikan. Penurunan kadar air ini bisa menghambat perkembangbiakan mikroorganisme dalam daging ikan sehingga produk olahan ikan akan memiliki daya tahan lebih lama dibandingkan daging ikan segarnya.

Terdapat bermacam-macam cara pengolahan pascapanen ikan, mulai dari cara tradisional sampai modern. Salah diantara produk olahan ikan adalah abon ikan. Tabel 5. Pola Pembiayaan Usaha Abon Ikan
No. 1. 2. Unsur Analisis Jenis Usaha Jumlah dana yang dibutuhkan Uraian Abon Ikan Biaya Investasi : Rp 26.100.000 Biaya Modal Kerja : Rp 117.233.813 Total Biaya : Rp 143.333.813 Kredit dari Bank : Rp 70.000.000 Dana Sendiri : Rp 73.333.813 2 Tahun 15 % Angsuran pokok dan bunga kredit dibayarkan tiap bulan 5 tahun 1.200 kg produk per bulan Semi-mekanis Abon ikan Dijual langsung, pesanan, melalui pengecer dan pedagang besar/perantara 1,46 Rp 66.497.189 33,35 % 3 tahun (3,01) Rp .404.600.248 per tahun 5.780 kg produk per tahun Layak dilaksanakan

3. 4. 5. 6. 7.

Sumber Dana Jangka Waktu Kredit Suku Bunga Periode Pembayaran Kredit Pola Usaha a. Periode Proyek b. Skala Usaha c. Tingkat Teknologi d. Produk yang dihasilkan e. Pemasaran Produk

8.

9.

1,09 Rp.12.332.245 18,58 %

Kriteria Kelayakan Usaha Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) BEP Rata-rata a. Nilai Penjualan b. Jumlah Produksi Penilaian Analisis Sensitivitas (1) Dari sisi pendapatan a. Pendapatan turun 2 % Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) Penilaian b. Pendapatan turun 3 % Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) Penilaian (2) Dari sisi kenaikan biaya operasional a. Biaya operasional naik 2 % Net B/C NPV IRR

1,06 Rp.8.100.716 17,37 % 4 tahun 8 bulan (4,65 tahun) Layak dilaksanakan 0,84 Rp ( 22.310.035) 8,21 % > 5 tahun Tidak layak dilaksanakan

PBP (Usaha) Penilaian b. Biaya operasional naik 3 % Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) Penilaian (3) Dari sisi pendapatan dan biaya operasional a. Pendapatan turun 1 % dan biaya operasional naik 1 % Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) Penilaian b. Pendapatan turun 1,5 % dan biaya operasional naik 1,5% Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) Penilaian

4 tahun 6 bulan (4,48 tahun) Layak dilaksanakan

0,89 Rp ( 15.962.741) 10.19 % > 5 tahun Tidak Layak dilaksanakan

1,07 Rp 10.216.481 17,98% 4 tahun 7 bulan (4,56 tahun) Layak dilaksanakan

0,84 Rp ( 22.397.818) 8,18 % > 5 tahun Tidak layak dilaksanakan

Abon merupakan produk olahan yang sudah cukup dikenal luas oleh masyarakat. Dewan Standarisasi Nasional (1995) mendefinisikan abon sebagai suatu jenis makanan kering berbentuk khas yang terbuat dari daging yang direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng dan dipres. Pembuatan abon menjadi alternatif pengolahan ikan dalam rangka penganekaragaman produk perikanan dan mengantisipasi melimpahnya tangkapan ikan di masa panen. Abon ikan merupakan jenis makanan olahan ikan yang diberi bumbu, diolah dengan cara perebusan dan penggorengan. Produk yang dihasilkan mempunyai bentuk lembut, rasa enak, bau khas, dan mempunyai daya awet yang relatif lama.6 Sementara menurut Karyono dan Wachid (1982), abon ikan adalah produk olahan hasil perikanan yang dibuat dari daging ikan, melalui kombinasi dari

http://www.ristek.go.id

proses

penggilingan,

penggorengan,

pengeringan

dengan

cara

menggoreng, serta penambahan bahan pembantu dan bahan penyedap terhadap daging ikan. Seperti halnya produk abon yang terbuat dari daging ternak, abon ikan cocok pula dikonsumsi sebagai pelengkap makan roti ataupun sebagai lauk-pauk. Proses pembuatan abon ikan relatif mudah sehingga bisa langsung dikerjakan oleh anggota keluarga sendiri. Peralatan yang dibutuhkan pun relatif sederhana sehingga untuk memulai usaha ini relatif tidak memerlukan biaya investasi yang besar. Oleh sebab itu, usaha pengolahan abon ikan ini bisa dilakukan dalam skala usaha kecil. Hal ini membuat usaha ini sangat berpotensi untuk dikembangkan di banyak wilayah di Indonesia yang memiliki sumberdaya perikanan laut yang melimpah. Upaya untuk mengembangkan usaha pengolahan abon ikan ini sejalan dengan upaya menumbuh-kembangkan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Namun demikian, dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa perbankan masih kekurangan informasi mengenai kelayakan usaha dan pola pembiayaan yang cocok bagi usaha ini, maka menjadi kebutuhan mendesak untuk menyediakan informasi dalam bentuk pola pembiayaan (lending model) usaha kecil untuk usaha pengolahan abon ikan. Sejumlah wilayah di Indonesia yang telah mengembangkan agroindustri abon ikan adalah Jawa Barat (Sukabumi, Indramayu dan Ciamis), DKI Jakarta, Jawa Tengah (Semarang dan Cilacap), Bali (Jembrana), Kalimantan Tengah

(Buntok dan Barito Selatan), dan Jambi (Tanjung Jabung Timur).7 Pada umunya, pola pengolahan abon ikan tersebut didominasi oleh pengolahan tradisional dan bersifat industri rumah tangga (sekitar 68 %).8 Dalam makalah ini, diasumsikan bahwa usaha abon ikan sudah mendapatkan pinjaman kredit dari perbankan berupa Kredit Modal Kerja (KMK). KMK ini menggunakan pola rekening koran. Kredit dengan memanfaatkan fasilitas rekening koran memberi keleluasaan kepada pengusaha dalam pengaturan cashflow usahanya. Untuk mendapatkan kredit, nasabah harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh bank. DIantara prasyarat tersebut adalah: calon nasabah berusia dewasa (dibuktikan dengan melampirkan KTP), memiliki izin usaha, memiliki karakter yang baik, dan adanya agunan. Izin usaha yang disyaratkan harus dimiliki oleh calon nasabah antara lain : Tanda Daftar Industri (TDI), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Usaha Pengolahan (IUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), izin SB/MD dari Dinas Kesehatan, dan Izin Bebas Gangguan Lingkungan (HO). Sementara itu, agunan pokok yang disyaratkan adalah usahanya, sedangkan agunan tambahan bisa berupa tanah, bangunan, dan barang bergerak dengan bukti kepemilikan yang sah. Pada awal pengajuan kredit, nasabah juga harus menanggung biaya administrasi, yaitu: biaya pengikatan jaminan, biaya notaris, proviso dan asuransi resiko. Biaya di atas ditanggung oleh calon debitur dan harus dibayar tunai sebelum kredit yang diajukan ditandatangani.
7 8

http://www.brkp.dkp.go.id (29 November 2011) http://www.brkp.dkp.go.id (5 September 2011)

2) Usaha Otak-otak ikan Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang sangat baik dan potensial untuk memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat. Beberapa jenis ikan mengandung omega 3 yang berfungsi untuk pertumbuhan otak manusia. Sedangkan protein yang dihasilkan dari ikan merupakan salah satu elemen penting bagi kesehatan tubuh manusia. Pemanfaatan daging ikan sebagai sumber protein bagi manusia sangat digalakkan. Selain dalam bentuk daging ikan yang langsung dapat dikonsumsi, daging ikan juga dapat diolah menjadi paste daging ikan (fish Jelly Produck) atau dalam bahasa jepang disebut kamaboko (Suzuki 1981). Paste daging ikan selanjutnya dapat diolah menjadi berbagai makanan olahan lanjutan seperti bakso ikan, surimi, nugget, otak-otak dan kaki naga. Tabel 6. Pola Pembiayaan Usaha Otak-otak Ikan
No. 1. 2. Unsur Analisis Jenis Usaha Jumlah dana yang dibutuhkan Uraian Otak-otak Ikan dan Kaki Naga

3. 4. 5. 6. 7. 8.

Sumber Dana Plafon Kredit Jangka Waktu Kredit Suku Bunga Mekanisme Pembayaran Kredit

Biaya Investasi : Rp 100.000.000 Biaya Modal Kerja : Rp 15.000.000 Total Biaya : Rp 115.000.000 Kredit dari Bank : Rp 80.500.000 Dana Sendiri : Rp 34.500.000 Kredit Investasi : Rp 70.000.000 Kredit Modal Kerja : Rp 10.500.000 2 Tahun 15 % Angsuran pokok dan bunga kredit dibayarkan tiap bulan 5 tahun 215.999 pcs otak-otak dan 215.999 pcs kaki naga per bulan Pembelian bahan baku sampai penjualan Semi-mekanis Otak-otak dan kaki naga Dijual langsung, pesanan, melalui pengecer dan pedagang besar/perantara

Pola Usaha a. Periode Proyek b. Skala Usaha c. d. e. f. Siklus Usaha Tingkat Teknologi Produk yang dihasilkan Pemasaran Produk

9.

10.

Kriteria Kelayakan Usaha Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) BEP Rata-rata Total Penjualan Rata-rata Produksi Penilaian Analisis Sensitivitas (1) Dari sisi pendapatan a. Pendapatan turun 1,75 % Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) Penilaian b. Pendapatan turun 3 % Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) Penilaian (2) Dari sisi kenaikan biaya operasional a. Biaya operasional naik 1,75 % Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) Penilaian b. Biaya operasional naik 2 % Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) Penilaian (3) Dari sisi pendapatan dan biaya operasional a. Pendapatan turun 0,9 % dan biaya operasional naik 0,9 % Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) Penilaian b. Pendapatan turun 1,5 % dan biaya operasional naik 1,5% Net B/C NPV IRR PBP (Usaha) Penilaian

1,47 Rp 54.146.184 32,24% 3,34 tahun Rp. 734.186.287 per tahun Rp. 842.394.735 per tahun 5.183.968 pcs/tahun Layak dilaksanakan

1,04 Rp 4.729.022 16,57 % 4,84 tahun Layak dilaksanakan 0,74 Rp (-30.568.950) 4,44% > 5 tahun Tidak layak dilaksanakan

1,06 Rp. 6.852.085 17,27 3,65 tahun Layak dilaksanakan 0,76 Rp. (-27.974.202) 5,37 3,9 tahun Tidak Layak dilaksanakan

1,04 Rp. 4.617.585 16,53 5,6 tahun Layak dilaksanakan

0,75 Rp.( -28.646.294) 5,13 5,9 tahun Tidak layak dilaksanakan

Otak-otak dan kaki naga merupakan hasil olahan yang cukup digemari yang saat ini tengah dikembangkan oleh masyarakat perikanan. Karena otak-otak dan kaki naga merupakan diversifikasi dari kamaboko yang merupakan bahan untuk surimi. Maka otak-otak dan kaki naga dapat mengikuti SNI surimi, berdasarkan SNI No. 01 2693-1992, maka otakotak dan kaki naga adalah diversifikasi dari kamaboko, yang memiliki standar mutu dengan elastisitas berkisar antara 26,73% - 65,66%, kadar abu antara 0,44% 0,69%, kadar protein antara 10,44% - 16,40%, dan

kadar lemak antara 0,09% - 0,55% (Suzuki 1981). Keberagaman produk hasil olahan perikanan menjadikan konsumsi ikan di masyarakat menjadi semakin meningkat. Industri umumnya memproduksi dua macam produk berupa otak-otak dan kaki naga karena kedua produk tersebut menggunakan bahan baku utama yang sama berupa fillet ikan kuniran (Peuneus sp). Setiap hari perusahaan dapat menghasilkan otak-otak minimal 8.000 pieces dan maksimal 50.000 pieces, kaki naga minimal 8.000 pieces dan maksimal 40.000 pieces. Bahan baku fillet lainnya yang dapat dijadikan bahan baku otak-otak dan kaki naga adalah fillet dari ikan mata goyang dan ikan mata besar. Namun yang paling banyak dipakai pengusaha untuk otak-otak dan kaki naga adalah fillet dari ikan kuniran. Usaha otak-otak dan kaki naga di Indonesia masih sedikit, sedangkan permintaan masyarakat terhadap otak-otak dan kaki naga cukup baik. Usaha ini mudah dilakukan karena tidak memerlukan ketrampilan khusus dan modal yang diperlukan tidak begitu

besar, begitu pula dengan proses produksi mulai dari input sampai output mudah dilakukan. Otak-otak dan kaki naga merupakan produk makanan yang menggunakan bahan baku utama daging / fillet ikan yang diolah menjadi pasta gel protein yang disebut kamaboko (Suzuki 1981). Selanjutnya kamaboko dioleh menjadi otak-otak dan kaki naga. Bahan baku yang digunakan adalah fillet ikan segar seperti Ikan kuniran (Peuneus sp) yang memiliki daging berwarna putih dan tidak memiliki banyak duri. Daging ikan yang berwarna putih memiliki kandungan protein yang lebih baik. Kualitas dan kandungan protein ikan dapat berpengaruh terhadap tingkat kekenyalan otak-otak dan kaki naga (Suzuki 1981). Fillet ikan kuniran yang ada dipasaran umumnya memiliki kualitas dibawah kualitas ekspor, karena masih masih terdapat campuran tulang dan duri yang harganya berkisar antara Rp. 4000,-/kg berkisar antara Rp. 22.000,-/kg Rp. 6000,-/kg. Sedangkan kualitas ekspor Rp. 80.000,-/kg. Walaupun ikan kuniran

yang digunakan masih di bawah kualitas ekspor namun penanganan fillet ikan sudah cukup baik dan higienis untuk dijadikan otak-otak dan kaki naga. Usaha pembuatan produk olahan ikan ini tidak memerlukan biaya yang besar. Untuk memulai usaha ini biaya investasi yang dibutuhkan kurang dari Rp. 100.000.000,-. Sedangkan untuk kebutuhan modal kerja diperkirakan sebesar Rp. 15.000.000,-. Umumnya industri rumah tangga yang memproduksi otak-otak dan kaki naga belum dibiayai oleh bank. Namun dengan adanya kebutuhan pengembangan usaha, dapat dipenuhi

dengan pinjaman bank. Pembiayaan dari bank dapat digunakan untuk kebutuhan pembelian mesin dan peralatan serta modal kerja dengan menggunakan skim kredit bank yang sudah ada. Dengan adanya pemberian kredit dari bank diharapkan usaha otak-otak dan kaki naga dapat lebih berkembang.

3) Usaha Kerupuk Ikan Ikan merupakan produk yang banyak dihasilkan oleh alam dan diperoleh dalam jumlah melimpah. Akan tetapi ikan juga merupakan bahan makanan yang cepat mengalami proses pembusukan dikarenakan kadar air yang tinggi. Kadar air yang tinggi adalah kondisi yang memberikan kesempatan bagi perkembangbiakan bakteri secara cepat. Kelemahan-kelemahan yang dimiliki ikan dirasakan menghambat usaha pemasaran hasil perikanan dan tidak jarang menimbulkan kerugian besar, terutama pada saat produksi ikan melimpah. Karena itulah sejak dahulu masyarakat telah berusaha melakukan berbagai cara pengawetan ikan agar dapat dimanfaatkan lebih lama. Proses pengolahan dan pengawetan ikan merupakan bagian penting dari mata rantai industri perikanan. Tanpa adanya proses tersebut, usaha peningkatan produksi perikanan akan menjadi sia-sia karena tidak bisa dimanfaatkan dengan baik. Pada dasarnya usaha pengawetan ini adalah untuk mengurangi kadar air yang tinggi di tubuh ikan. Terdapat bermacam-macam usaha pengawetan ikan dari usaha tradisional sampai usaha modern. Usaha pengawetan ikan dilakukan melalui penggaraman, pengeringan,

pemindangan, perasapan, peragian, dan pendinginan ikan. Hasil dari

usaha-usaha pengawetan tersebut sangat tergantung pada proses pengawetannya. Untuk mendapatkan mutu terbaik dari proses

pengawetan ikan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan bahan dan alat yang digunakan, termasuk ikan yang benar-benar masih segar dan garam yang bersih. Usaha pengawetan ikan tidak hanya sebatas pada pengolahan menjadi produk yang masih berbentuk ikan tetapi juga pengolahan menjadi bentuk lain setelah dicampur dengan bahan-bahan lain. Ikan hasil pengolahan dan pengawetan umumnya sangat disukai oleh masyarakat karena produk akhirnya mempunyai ciri-ciri khusus yakni perubahan sifat-sifat daging seperti bau (odour), rasa (flavour), bentuk (appearance) dan tekstur. Salah satu makanan hasil olahan dari ikan adalah kerupuk ikan. Produk makanan kering dengan bahan baku ikan dicampur dengan tepung tapioka ini sangat digemari masyarakat. Makanan ini sering digunakan sebagai pelengkap ketika bersantap ataupun sebagai makanan ringan. Bahkan untuk jenis makanan khas tertentu selalu dilengkapi dengan kerupuk. Makanan ini menjadi kegemaran masyarakat dikarenakan rasanya yang enak, gurih dan ringan. Selain rasa yang enak tersebut, kerupuk ikan juga memiliki kandungan zat-zat kimia yang diperlukan oleh tubuh manusia. Namun jika dibandingkan dengan kerupuk udang, kandungan vitamin dan mineral pada kerupuk ikan lebih rendah.

Tabel 7. Pola Pembiayaan Usaha Kerupuk Ikan


No. 1. 2. Unsur Analisis Jenis Usaha Jumlah dana yang dibutuhkan Uraian Kerupuk Ikan

3. 4.

Sumber Dana Plafon Kredit

5.

Jangka Waktu Kredit

6. 7. 8.

Suku Bunga

Periode Pembayaran Pembiayaan Kelayakan Usaha a. Periode proyek b. Skala usaha c. Tingkat Teknologi d. Produk yang dihasilkan e. Pemasaran produk Kriteria Kelayakan Usaha

Investasi : Rp.299.339.000 Modal Kerja : Rp.74.873.568 Total : Rp.374.212.568 Lembaga Keuangan dan modal sendiri Pembiayaan Investasi : Rp.103.500.000 Pembiayaan Modal Kerja : Rp.44.400.000 Total Pembiayaan : Rp.147.900.000 Pembiayaan investasi 3 tahun, tanpa masa tenggang (grace period) dan pembiayaan modal kerja 1 tahun 9% Angsuran pembiayaan pokok dan margin dibayarkan setiap bulan 5 tahun 176.700 kg per tahun (Rp.1.060.200.000 per tahun) Semi-mekanis Kerupuk siap goreng Dijual kepada pedagang atau pengumpul a. Total margin yang diperoleh dari pembiayaan investasi dan modal kerja adalah Rp.31.941.000 b. Usaha pengolahan kerupuk ikan mampu menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk membayar kewajiban pembiayaan. c. Dengan demikian, pengolahan kerupuk ikan layak untuk diusahakan.

9.

Proses pembuatan kerupuk ikan sangatlah sederhana dan mudah diusahakan. Industri ini banyak berkembang di wilayah-wilayah perairan dengan produksi ikan tinggi. Di samping dapat diusahakan dengan peralatan modern, usaha ini juga dapat dijalankan dengan peralatan tradisional. Oleh sebab itulah usaha kerupuk ikan banyak dilakukan oleh rumah tangga yang merupakan industri mikro. Dari segi skala

perusahaan, usaha kerupuk ikan dilakukan oleh perusahaan besar-

menengah dan juga perusahaan kecil rumah tangga. Perbedaan utama dari skala usaha tersebut adalah pada teknologi dan pangsa pasarnya. Perusahaan besar-menengah dalam proses produksinya menggunakan peralatan dengan teknologi modern dengan pangsa pasar tersebar baik di daerah lokal maupun daerah lain bahkan ekspor. Berbeda dengan perusahaan skala besarmenengah, usaha pengolahan kerupuk kecil rumah tangga sebagian besar menggunakan peralatan dengan teknologi yang sederhana dan pangsa pasar yang masih terbatas pada pasar lokal. Usaha kerupuk ikan banyak tersebar di wilayah Indonesia

diantaranya adalah Kepulauan Belitung, Jawa Timur dan Kalimantan. Dilihat dari aspek ekonomis, usaha kerupuk ikan merupakan bisnis yang sangat menguntungkan. Peluang pasar dalam negeri maupun ekspor untuk komoditi ini masih sangat terbuka. Hal ini dikarenakan kerupuk ikan merupakan konsumsi sehari-hari masyarakat sehingga permintaan untuk kerupuk ikan relatif stabil bahkan cenderung mengalami kenaikan. Selain mampu meningkatkan pendapatan bagi pengusaha, usaha ini juga mampu membantu meningkatkan pendapatan penduduk sekitar yang akhirnya berpengaruh pada perekonomian daerah. Dilihat dari aspek sosial, usaha kerupuk ikan mempunyai dampak sosial yang positif. Industri kecil rumah tangga ini mampu menyerap tenaga kerja dari lingkungan sekitar. Secara tidak langsung ini merupakan upaya

penciptaan lapangan kerja yang mengurangi jumlah pengangguran di suatu wilayah. Dilihat dari sisi dampak lingkungan, usaha kerupuk ikan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Limbah yang dihasilkan dari

usaha ini hanyalah air sisa pembersihan yang tidak mengandung zat-zat kimia dan langsung meresap ke dalam tanah.

4) Usaha Fillet Ikan Upaya untuk meningkatkan nilai dan mengoptimalkan pemanfaatan produksi hasil tangkapan laut adalah dengan pengembangan produk bernilai tambah, baik olahan tradisional maupun modern. Saat ini produk bernilai tambah yang diproduksi di Indonesia masih dari ikan ekonomis seperti tuna, udang dan lain sebagainya yang memiliki nilai jual meski tanpa dilakukan proses lanjutan. Apabila ingin merubah nilai jual ikan non ekonomis maka salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melalui diversivikasi pengolahan produk perikanan agar lebih bisa diterima oleh masyarakat dan sesuai dengan selera pasar dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, aman, sehat melalui asupan

gizi/vitamin/protein dari produk hasil perikanan dan ketahanan pangan. Pengolahan fillet bisa dikembangkan lebih luas di Indonesia untuk pemanfaatan produksi perikanan dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Hasil tangkapan ikan di Indonesia sangat beraneka ragam. b. Hampir semua jenis ikan dapat dibuat sebagai bahan baku fillet c. Fillet kondisi beku dapat disimpan jangka panjang sebagai bahan baku produk makanan olahan. d. Fillet mempunyai volume lebih kecil dari ikan utuh. e. Fillet dan produk lanjutannya dapat memberikan nilai tambah untuk nelayan serta perbaikan gizi masyarakat.

Tabel 8. Pola Pembiayaan Usaha Fillet Ikan


No. 1. 2. Unsur Analisis Jenis Usaha Jumlah dana yang dibutuhkan Uraian Fillet Ikan

3. 4. 5.

Sumber Dana Plafon Kredit Jangka Waktu Kredit

6. 7. 8.

Suku Bunga Mekanisme Pembayaran Kredit

Investasi : Rp.203.706.000 Modal Kerja : Rp.311.480.000 Total : Rp.515.186.000 Kredit : Rp.360.630.000 Modal Sendiri : Rp.154.555.800 Modal Kerja : Rp.360.630.000 Jangka waktu kredit adalah 1 tahun (kredit modal kerja) tanpa tenggang waktu (grace period) 18 % per tahun menurun
Angsuran pokok dan bunga kredit dibayarkan tiap bulan

Periode Pembayaran Kredit Kelayakan Usaha Periode Proyek Produk yang Dihasilkan Skala Usaha/Luas Areal Siklus Usaha Tingkat Teknologi Pemasaran Hasil Kriteria Kelayakan Usaha NPV IRR Net B/C Ratio Penilaian Analisis Sensitivitas (1) Dari sisi pendapatan a. Pendapatan turun 2 % NPV IRR Net B/C Ratio Penilaian
b. Pendapatan turun 3 % NPV IRR Net B/C Ratio Penilaian (2) Dari sisi kenaikan biaya operasional a. Biaya operasional naik 2 % NPV IRR Net B/C Ratio Penilaian

Angsuran pokok dan bunga dibayarkan setiap bulan mulai tahun ke-1 5 tahun Fillet Ikan 300 m 2 Produksi setiap hari Sederhana Harga rata-rata Rp.9.000,- per kg dijual langsung ke industri pengolah lanjutan Rp. 290.342.081 40,86% 1,56 Layak dilaksanakan

9.

10.

11.

Rp.35.912.088 21,00% 1,7 Layak dilaksanakan Rp. (-91.261.827) 10,05% 0,85 Tidak layak dilaksanakan

Rp.56.478.623 22,69% 1,11 Layak dilaksanakan

b. Biaya operasional naik 3 % NPV IRR Net B/C Ratio Penilaian (3) Dari sisi pendapatan dan biaya operasional a. Pendapatan turun 1 % dan biaya operasional naik 1 % NPV IRR Net B/C Ratio Penilaian b. Pendapatan turun 2 % dan biaya operasional naik 2 % NPV IRR Net B/C Penilaian

Rp.(-60.398.525) 12.80% 0,88 Tidak layak dilaksanakan

Rp.46.199.855 21,85 % 1,09 Layak dilaksanakan

Rp.(-197.860.207) 0,04 0,62 Tidak layak dilaksanakan

Hasil

dari

usaha

tersebut

sangat

tergantung

pada

proses

pengolahannya. Untuk mendapatkan mutu terbaik dari proses pengolahan ikan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan bahan dan alat yang digunakan. Usaha pengolahan ikan tidak hanya sebatas pada pengolahan menjadi produk yang masih berbentuk ikan tetapi juga pengolahan menjadi bentuk lain. Salah satu bentuk pengolahan dapat berupa fillet. Fillet ikan adalah suatu irisan daging ikan tanpa tulang. Ketika mendengar kata fillet maka akan terbayang jenis fillet ikan golongan mahal, seperti fillet Salmon, Kakap Merah (Lutjanus argentimaculatus), Kerapu

(Serranidae) dan sebagainya. Sebenarnya fillet dapat dikategorikan menurut bahan bakunya yaitu fillet yang berasal dari ikan ekonomis seperti Salmon, Kakap Merah (Lutjanus argentimaculatus), Kerapu (Serranidae), dan fillet dari jenis ikan non ekonomis; Kurisi (Nemipterus nematophorus), Swanggi (Priacanthus tayenus), Biji Nangka/kuniran

(Upeneus sulphureus), Pisang-pisang (Caesio chrysozomus), Paperek (Leiognathus sp), dan Gerot-gerot (Pomadasys sp). Jenis yang kedua ini merupakan bentuk mengoptimalkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan melalui pengembangan produk bernilai tambah. Salah satu bentuk usaha dalam mengoptimalkan pemanfaatan ikan adalah dengan

mengembangkan fillet dan produk lanjutannya (gel-based products) (Wahyuni, 2002). Fillet ikan non ekonomis digunakan sebagai bahan baku produk makanan olahan lanjut antara lain seperti bakso, sosis, burger, otak-otak, siomay, nugget, empek-empek, krupuk ikan dan produk lainnya. Pengolahan fillet ikan menguntungkan banyak pihak dan meningkatkan efisiensi secara keseluruhan. Konsumen dapat memperoleh produk yang praktis sehingga waktu yang dibutuhkan untuk memasak menjadi lebih cepat. Bagi produsen, fillet merupakan upaya memperoleh nilai tambah karena hasil dari penjualan fillet lebih tinggi daripada ikan dijual utuh. Limbah hasil produksi fillet berupa kepala ikan, jeroan dan tulang ikan dapat diolah menjadi tepung ikan, makanan unggas, pupuk atau produk lainnya. Jadi jika dilihat secara keseluruhan dalam usaha fillet ikan terjadi peningkatan efisiensi karena tidak ada limbah terbuang.

5) Usaha Pengasapan Ikan Pemanfaatan total produksi perikanan di Indonesia sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk segar (43,1%), beku (30,4%), pengalengan (13,7%) dan dalam bentuk olahan lain (12,8%). Pemanfaatan dalam bentuk olahan ini dapat berupa ikan asin, ikan asap, ikan pindang, produk

fermentasi (petis, terasi, peda dll.). Pengasapan ikan sampai saat ini masih belum mendapatkan perhatian yang cukup dari industri perikanan padahal pengembangan produk ikan asap mempunyai prospek yang cukup bagus di masa mendatang. Mengingat bahwa di beberapa negara maju, tingkat konsumsi produk ikan asap cukup bagus. Oleh karena itu upaya meningkatkan produksi dan kualitas bagi ikan asap di Indonesia mendesak untuk dilakukan. Tabel 9. Pola Pembiayaan Usaha Pengasapan Ikan
No. 1. 2. Unsur Analisis Jenis Usaha Jumlah dana yang dibutuhkan Uraian Pengasapan Ikan Biaya Investasi : Rp 10.000.000 Biaya Modal Kerja : Rp 19.756.645 Total Biaya : Rp 29.756.645 Kredit dari Bank : Rp 12.500.000 Dana Sendiri : Rp 17.256.645 1 Tahun 17,5 % Angsuran pokok dan bunga kredit dibayarkan tiap bulan 5 tahun 8.925 kg produk per bulan Sederhana Ikan Asap Dijual langsung, pesanan, melalui pengecer dan pedagang besar/perantara

3. 4. 5. 6. 7.

Sumber Dana Jangka Waktu Kredit Suku Bunga Periode Pembayaran Kredit Pola Usaha a. Periode Proyek b. Skala Usaha c. Tingkat Teknologi d. Produk yang dihasilkan e. Pemasaran Produk

8.

9.

Kriteria Kelayakan Usaha Net B/C Ratio NPV IRR BEP Rata-rata a. Nilai Penjualan b. Jumlah Produksi Penilaian Analisis Sensitivitas (1) Dari sisi pendapatan a. Pendapatan turun 3,25 % Net B/C NPV IRR Penilaian b. Pendapatan turun 5 % Net B/C NPV IRR

1,80 Rp. 23.690.796 49,13% Rp.17.006.934 per tahun 576 kg produk per tahun Layak dilaksanakan

1,03

Rp. 754.680 18,61% Layak dilaksanakan 0,61 Rp (-11.595.537) 1,23%

Penilaian (2) Dari sisi kenaikan biaya operasional a. Biaya operasional naik 3,75 % Net B/C NPV IRR Penilaian b. Biaya operasional naik 5 % Net B/C NPV IRR Penilaian (3) Dari sisi pendapatan dan biaya operasional a. Pendapatan turun 1,75 % dan biaya operasional naik 1,75% Net B/C NPV IRR Penilaian b. Pendapatan turun 3 % dan biaya operasional naik 3 % Net B/C NPV IRR Penilaian

Tidak layak dilaksanakan

1,01 Rp 179.424 17,76% Layak dilaksanakan 0,74 Rp (-7.657.701) 5,57% Tidak Layak dilaksanakan

1,01 Rp. 368.606 18,04% Layak dilaksanakan 0,45 Rp (-16.290.101) 10,29% Tidak layak dilaksanakan

Di Indonesia, umumnya ikan asap diolah dari bahan baku ikan bandeng yang merupakan salah satu hasil perikanan dengan jumlah produksi yang cukup besar. Ikan bandeng yang memiliki bentuk memanjang agak lonjong dengan panjang tubuh berkisar antara 30 50 cm serta warna sisik silver (perak) memiliki daya tarik sendiri. Ikan tersebut juga dikenal dengan istilah bahasa Inggris milkfish karena warna dagingnya yang putih dan rasa yang gurih. Penyebaran ikan bandeng hampir diseluruh perairan pantai di Indonesia (Kriswantoro dan

Sunyoto,1986). Ikan bandeng memiliki keistimewaan yaitu memiliki toleransi terhadap kadar garam (salinitas) yang luas dengan rentang yang cukup jauh dalam waktu yang relatif singkat (eurythalien). Terutama pada

tambak yang sering terjadi fluktuasi suhu yang relatif tajam masih bisa ditoleransi oleh ikan ini (Soeseno, 1981). Ikan bandeng asap memiliki kharakteristik karena di olah dalam bentuk utuh (whole fish) yang telah mengalami penyiangan terlebih dahulu (insang, isi perut dibuang) dan diproses dengan cara diasapi. Pengolahan ikan asap hanya memanfaatkan asap dalam proses pengolahannya, dengan bantuan pemanasan maka produk akhirnya dapat memiliki daya awet 2-3 hari dan bahkan bisa lebih yang sangat ditentukan oleh panjang pendeknya waktu pengasapan dan cara penyimpanan. Ikan asap merupakan salah satu produk olahan yang digemari oleh masyarakat sekitar dan pemasarannya sebagian besar masih terbatas pada pasaran lokal meskipun ada yang sudah mencapai pasaran luar daerah dan bahkan luar pulau. Mengingat bahwa ketersediaan bahan baku bukanlah merupakan kendala untuk memproduksi ikan asap, maka perlu

diupayakan untuk meningkatkan usaha bagi pebisnis ikan asap di daerah tersebut dengan melakukan sinergi antara pihak pengolah, pemerintah dan pihak perbankan.

B. Pemilihan Usaha Mengambil keputusan untuk memulai usaha dan menjalankan usaha merupakan sesuatu hal yang cukup sulit, karena harus menentukan mengenai kapan, dimana dan jenis usaha yang sesuai dan dipilih untuk dijalankan. Oleh karena itu para wirausaha biasanya harus berpikir sendiri tentang ide usaha yang paling cocok. Ide usaha barang kali dapat muncul dari dua jalur, yaitu inspirasi dan hasil analisis. Inspirasi untuk memulai suatu usaha akan muncul bila ada kebutuhan pasar yang tidak dapat dipenuhi oleh pemasok (supplier) yang sudah ada atau ada sebuah jalan keluar baru dari masalah yang ada, penemuan baru, dan sebuah proses atau metode baru. Selain itu, suatu usaha baru dapat dimulai dengan menganalisis minat dan kemampuan (kompetensi) usaha yang dimiliki melalui suatu Analisis Komparatif dari beberapa jenis usaha. Berdasarkan hasil analisis profil beberapa jenis usaha diatas, maka dapat dibuat suatu Analisis Komparatif untuk menentukan jenis usaha yang akan dijalankan.

Tabel 10. Matriks Profil Komparatif dari 5 (lima) jenis usaha hasil olahan ikan.

Faktor Penentu Pemilihan Usaha

Bobot

Usaha Abon Ikan Rating Nilai

Usaha OtakOtak Ikan Rating Nilai

Usaha Kerupuk Ikan Rating Nilai

Usaha Fillet Ikan Rating Nilai

Usaha Pengasapan Ikan Rating Nilai

Lingkungan Eksternal y Preferensi Konsumen y Peluang Ekspor y Pangsa Pasar Domestik y Pasokan bahan baku y Distributor y Pengaruh suku bunga (ekonomi) Lingkungan Internal y Kapasitas Produksi y Kualitas Produk y Kekompetitifan Harga y Kelayakan Usaha y Teknologi Produksi y Image Produk Total

0,10 0,08 0,11 0,10 0,06 0,05 0,09 0,10 0,11 0,09 0,06 0,05 1,00

3 4 4 3 3 3 3 4 4 4 3 3

0,30 0,32 0,44 0,30 0,18 0,15 0,27 0,40 0,44 0,36 0,18 0,15 3,49

2 1 3 3 3 3 2 3 4 4 3 3

0,20 0,08 0,33 0,30 0,18 0,15 0,18 0,30 0,44 0,36 0,18 0,15 2,85

3 4 4 3 3 3 3 4 3 4 3 3

0,30 0,32 0,44 0,30 0,18 0,15 0,27 0,40 0,33 0,36 0,18 0,15 3,38

2 3 2 3 3 3 3 3 4 4 4 2

0,20 0,24 0,22 0,30 0,18 0,15 0,27 0,30 0,44 0,36 0,24 0,10 3,00

2 1 2 3 3 3 3 2 3 4 4 2

0,20 0,08 0,22 0,30 0,18 0,15 0,27 0,20 0,33 0,36 0,24 0,10 2,63

C. Proposal Bisnis Usaha Abon Ikan 1. Gambaran Singkat Perusahaan Perusahaan yang bernama PT. Abonese Citra Selaras ini berdiri pada tanggal 3 Januari 2012 merupakan usaha industri rumah tangga yang dijalankan oleh seorang direktur/pimpinan perusahaan dan dibantu oleh seorang manajer/tenaga administrasi/umum. Dalam operasionalnya, perusahaan dijalankan oleh 6 (lima) orang tenaga kerja yang aktif dalam kegiatan proses produksi abon ikan. Perusahaan berlokasi di Jln. Sultan Hasanudin Desa Batu Merah (Depan Pelabuhan Perikanan) Kota Ambon Provinsi Maluku. Pemilihan lokasi usaha mempertimbangkan bahwa daerah Maluku khususnya Kota Ambon adalah daerah asal pemilik perusahaan sekaligus sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi produksi perikanan terbesar di Indonesia. Pemilihan lokasi di Kota Ambon ini mempermudah perusahaan dalam memperoleh bahan baku berupa ikan segar dan pemasaran produk mengingat Kota Ambon adalah pusat administrasi dan perdagangan di daerah Maluku.
Pimpinan

Manajer Administrasi/Umum

Tenaga Kerja

Tenaga Kerja

Tenaga Kerja

Tenaga Kerja

Tenaga Kerja

Tenaga Kerja

Gambar 1. Struktur Organisasi Perusahaan

Tahap penting dalam memulai suatu usaha adalah pemilihan lokasi tempat usaha akan didirikan. Pertimbangan penetapan lokasi usaha didasarkan pada faktor kedekatan letak dari sumber bahan baku, akses pasar terhadap produk yang dihasilkan, ketersediaan tenaga kerja, air bersih, sarana transportasi dan telekomunikasi. Lokasi usaha pengolahan produk ikan sebaiknya terdapat di daerah-daerah yang dekat kawasankawasan kerja pelabuhan perikanan, terutama Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Kondisi tersebut akan mempermudah proses penyediaan bahan baku ikan, mengingat sifat ikan yang mudah rusak, serta bisa mengurangi biaya transportasi dalam penyediaan bahan baku. Dalam menjalankan organisasi, perusahaan memiliki visi dan misi agar tercapai keberhasilan usahanya. Visi perusahaan yaitu menciptakan produk abon ikan yang memiliki brand Image sehingga dikenal dan digemari oleh masyarakat baik di dalam maupun luar negeri. Sedangkan misi perusahaan adalah memuaskan kebutuhan konsumen akan produk olahan ikan dengan menghasilkan abon ikan yang berkualitas (halal, bergizi dan higienis) dengan harga terjangkau. Produk yang dihasilkan adalah abon ikan bermerek Abonese dengan variasi rasa yaitu manis, pedas dan asin yang dikemas dalam kemasan plastik transparan. Ukuran kemasan abon ikan bervariasi yaitu, ukuran 100 grm dan 250 gram sesuai kebutuhan konsumen di pasar.

2. Aspek Produksi Aspek produksi ini akan menjelaskan mengenai fasilitas produksi dan peralatan, bahan baku, tenaga kerja, teknologi, proses produksi, jenis dan mutu produksi, produksi optimum, serta kendala produksi. a) Fasilitas Produksi dan Peralatan 1) Fasilitas Produksi Proses produksi abon ikan tidak memerlukan tempat usaha tersendiri yang spesifik. Oleh karena itu, proses produksi bisa dilakukan dalam skala rumah tangga, selama memiliki sejumlah peralatan produksi yang diperlukan. Pada usaha abon ikan ini hanya memiliki luas bangunan seluruhnya 75 m. Bangunan seluas itu, mempunyai fasilitas produksi antara lain ruang produksi, ruang pencucian, serta ruang mesin dan peralatan produksi. 2) Peralatan Produksi Abon ikan dapat diproduksi dengan alat yang sederhana maupun dengan peralatan semi mekanik. Alat-alat sederhana yang bisa digunakan untuk pembuatan abon ikan adalah : y Badeng Alat ini digunakan sebagai wadah dalam proses perebusan daging ikan. y Wajan dan sodet Alat ini digunakan pada proses penggorengan abon ikan dan bawang merah.

Tungku Alat ini digunakan sebagai tempat pembakaran kayu bakar selama proses perebusan daging ikan serta penggorengan abon ikan dan bawang merah.

Pisau Alat ini digunakan untuk menyiangi dan memotong ikan, serta mengupas dan mengiris bawang.

Tampah Alat ini digunakan sebagai tempat mencampur bumbu dengan daging ikan yang telah dicabik-cabik.

Garpu besar Alat ini digunakan untuk mencabik dan menghaluskan abon yang telah digoreng dan direbus.

Baskom plastik besar Alat ini digunakan sebagai wadah selama pencucian ikan.

Baskom plastik kecil Alat ini digunakan sebagai tempat bumbu-bumbu yang akan dicampurkan.

Ember plastik Alat ini digunakan sebagai wadah untuk membawa air untuk merebus daging ikan.

Saringan kelapa Alat ini digunakan untuk menyaring santan kelapa.

Blong (kantong plastik besar). Alat ini digunakan sebagai wadah tempat menyimpan

sementara abon ikan sebelum dikemas dan dipasarkan. y Plastik kemasan (ukuran 100 g dan 250 g) Digunakan untuk mengemas produk abon ikan siap jual. y Timbangan duduk ukuran 2 kg Alat ini digunakan untuk menimbang bahan-bahan pembantu dan abon ikan yang akan dikemas. y Timbangan gantung ukuran 25 kg Alat ini digunakan untuk menimbang ikan yang akan dijadikan bahan baku. y Ayakan (Tray) Alat ini digunakan untuk meniriskan daging ikan yang telah direbus. y Lemari penyimpanan (Etalase). Alat ini digunakan sebagai tempat menyimpan abon ikan yang telah dikemas. Sementara itu, sejumlah peralatan semi-mekanik yang biasa digunakan dalam proses pembuatan abon ikan, antara lain adalah: y Mesin pengepres Mesin ini digunakan untuk membuang air dalam daging ikan yang telah direbus (pengepresan I), serta membuang minyak goreng dari bakal abon ikan yang telah digoreng (pengepresan II).

Mesin parutan Mesin ini digunakan untuk memarut kelapa dan lengkuas.

Sealer (alat pengemas). Alat ini digunakan dalam proses pengemasan produk abon ikan.

b) Bahan Baku Produksi Bahan baku yang cocok digunakan dalam pembuatan abon ikan adalah ikan berdaging tebal juga harus memiliki serat kasar dan tidak mengandung banyak duri. Sejumlah spesies ikan yang memenuhi kriteria tersebut adalah: Marlin/Jangilus (Istiophorus sp), Tuna, Cakalang, Ekor Kuning, Tongkol, Tenggiri, dan Cucut. Spesiesspesies ikan ini umumnya dapat ditangkap sepanjang tahun oleh nelayan dengan alat tangkap pancing di perairan laut dalam. Beberapa spesies ikan air tawar pun bisa digunakan, misalnya: Nila dan Gabus. Sedangkan ciri-ciri fisik yang harus dimiliki daging ikan yang bisa dijadikan bahan baku pembuatan abon ikan adalah dalam kondisi segar, warna dagingnya cerah, dagingnya terasa kenyal, dan tidak berbau busuk. Pada usaha abon ikan ini diasumsikan bahwa bahan baku yang digunakan dalam proses produksi abon ikan adalah Ikan Marlin/Jangilus (Istiophorus sp). yang diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Alasan pemilihan Ikan Marlin sebagai bahan baku dalam produksi abon ikan adalah karena daging jenis ikan ini memiliki serat yang lebih panjang dan warna yang lebih cerah, bila dibanding dengan daging ikan lainnya. Sebaiknya, ikan Marlin yang

digunakan sebagai bahan baku abon ikan memiliki berat di atas 100 kg. Ikan dengan ukuran tersebut akan meminimalkan bagian ikan yang 'terbuang' pada saat proses penyiangan daging ikan. Pada saat survei, harga beli ikan Marlin adalah Rp 18.000 per kg. Dalam hal ini, proses pembelian bahan baku biasanya dilakukan dengan cara melakukan pemesanan terlebih dahulu dari sejumlah TPI, kemudian pemasok akan mengantarkan langsung bahan baku tersebut ke lokasi produksi dengan biaya pengiriman sepenuhnya ditanggung oleh pemasok. Sistem pembayaran bahan baku biasanya dengan sistem 50 persen dibayar pada saat pasokan tiba dan 50 persen lagi setelah produk abon ikan terjual. Sistem pembayaran bahan baku seperti ini bisa dilakukan karena sudah lamanya kerjasama yang dilakukan pihak produsen dengan para pemasoknya. Seperti dalam proses

pembuatan produk olahan makanan lainnya, dalam pembuatan abon ikan pun digunakan bahan-bahan pembantu (bumbu-bumbu). Fungsi bahan-bahan pembantu tersebut adalah sebagai penyedap rasa dan zat pengawet alami bagi produk abon ikan yang dihasilkan. Sejumlah bahan pembantu yang biasa digunakan dalam pembuatan abon adalah rempah-rempah, gula, garam dan penyedap rasa. Jenis rempah-rempah yang digunakan adalah bawang putih, ketumbar, lengkuas, sereh dan daun salam. Gula yang digunakan adalah gula pasir. Gula pasir dapat memberikan rasa lembut sehingga dapat mengurangi terjadinya pengerasan. Sementara garam yang

digunakan sebagai bumbu adalah garam dapur. Di samping sebagai

bumbu, garam dapur pun berfungsi sebagai bahan pengawet karena kemampuannya untuk menarik air keluar dari jaringan. Bawang putih mempunyai aktivitas anti mikroba. Senyawa allicin dalam bawang putih berperan memberikan aroma khas, serta memiliki kemampuan merusak protein kuman penyakit sehingga kuman tersebut mati. Sementara itu, penyedap rasa berfungsi untuk menambah kenikmatan rasa abon ikan yang dihasilkan. Sejumlah literatur atau penelitian sebelumnya telah mendokumentasikan komposisi bahan-bahan dalam pembuatan abon ikan. Salah satu publikasi tersebut disajikan pada Tabel di bawah. Tabel 11. Komposisi Bahan-bahan Pembantu Per 10 kg Bahan Baku Daging Ikan Jenis Bahan Pembantu (Bumbu) Bawang Merah Bawang Putih Ketumbar Lengkuas Daun Salam Serei Gula Pasir Kelapa MSG Garam Dapur Garam Rebus
Sumber : http://www.ristek.go.id

Jumlah 0,5 150 250 0,5 5 2 2 2 16 700 2

Satuan Kg gram gram Kg lembar tangkai Kg butir gram gram Kg

c) Tenaga Kerja Jenis teknologi yang digunakan dalam industri abon ikan umumnya sederhana dan sangat mudah penguasaannya. Oleh karena itu, industri ini tidak menuntut prasyarat tenaga kerja berpendidikan formal, tetapi

lebih mengutamakan keterampilan khusus dalam pengolahan abon ikan. Kebutuhan tenaga kerja dengan spesifikasi tersebut bisa dipenuhi oleh pria atau wanita yang telah mengikuti pelatihan dan/atau magang di unit usaha sejenis. Pada skala usaha abon ikan ini, dengan kapasitas produksi 60 kg produk abon per hari, jumlah tenaga kerja yang digunakan terdiri dari 1 orang pimpinan perusahaan, 6 orang tenaga kerja produksi dan 1 orang tenaga administrasi. Jumlah tenaga kerja produksi sangat tergantung dari skala produksi, sedangkan tenaga adminstrasi jumlahnya relatif tetap. Sistem pengupahan tenaga kerja produksi adalah upah harian sebesar Rp 25.000, per hari. Sementara itu, pimpinan perusahaan dan tenaga

administrasi digaji bulanan, masing-masing sebesar Rp 1.500.000, dan Rp 700.000, per bulan.

d) Teknologi Penentuan pilihan teknologi yang akan diterapkan sangat tergantung kepada skala unit usaha yang akan didirikan. Beberapa patokan umum yang dapat dipakai dalam pemilihan teknologi adalah seberapa jauh derajat mekanisasi yang diinginkan dan manfaat ekonomi yang

diharapkan, keberhasilan pemakaian teknologi di tempat lain, serta kemampuan tenaga kerja dalam pengoperasian teknologi. Usaha industri abon ikan pada umumnya termasuk kategori usaha berskala mikro - kecil dan bersifat padat tenaga kerja. Oleh karena itu, tenaga kerja merupakan faktor produksi utama dalam proses produksi abon ikan. Ini mengingat beberapa tahap produksi abon ikan sangat

mengandalkan tenaga manusia. Dengan demikian, alternatif jenis teknologi yang disarankan untuk digunakan adalah teknologi kombinasi antara peralatan tradisional dan semi-mekanik.

e) Proses Produksi Proses produksi abon ikan relatif sederhana dan mudah dilakukan. Secara umum, proses produksi abon ikan, mulai dari tahap pengadaan bahan baku ikan sampai tahap pengemasan abon ikan, adalah sebagai berikut : 1) Pengadaan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan adalah ikan Marlin yang masih utuh dan segar, untuk selanjutnya dilakukan proses penyiangan. 2) Penyiangan Bahan baku Pada proses penyiangan yaitu pemotongan ikan dan pencucian daging ikan, maka bagian kepala, isi perut dan sirip ikan dibuang. Daging ikan hasil tahap penyiangan sebaiknya direndam dalam air yang dicampur dengan air cuka. Kadar air cuka yang dipakai adalah 2%. Ini dilakukan untuk membuat bau amis hilang. 3) Perebusan Potongan ikan yang telah direndam dalam air cuka kemudian disusun ke dalam badeng dan direbus selama 3060 menit. Proses perebusan akan dihentikan setelah daging ikan menjadi lunak. Selama proses perebusan tersebut juga ditambahkan daun salam dan garam rebus.

4) Pengepresan I Ikan yang telah direbus kemudian dipres dengan mesin pengepres. Sebelum dipres, daging ikan tersebut sebaiknya ditiriskan terlebih dahulu sekitar 5 10 menit. Tahap pengepresan bertujuan untuk

mengurangi kadar air pada daging ikan yang telah direbus. Makin sedikit kadar air yang dikandung dalam daging, maka akan makin baik pula serat-serat daging yang dihasilkan. 5) Pencabikan I Setelah daging ikan dipres, kemudian dilakukan proses pencabikan sampai menjadi serat.-serat. Proses ini bisa dilakukan dengan tangan atau dengan mesin pencabik (giling). 6) Pemberian Bumbu dan Santan Pada tahap ini, serat-serat daging hasil pencabikan ditambahkan bahan-bahan pembantu (bumbu-bumbu). Bumbu-bumbu yang

ditambahkan terdiri dari : bawang putih, ketumbar, lengkuas yang telah diparut dengan mesin parutan, gula pasir, garam dapur dan santan kelapa. 7) Penggorengan Setelah bumbu-bumbu tercampur secara merata dalam serat-serat daging ikan, kemudian dilakukan penggorengan 60 menit. Selama proses penggorengan, secara terus menerus dilakukan pengadukan agar abon ikan yang dihasilkan matang secara merata dan bumbubumbu dapat meresap dengan baik. Tahap penggorengan ini akan

dihentikan setelah serat-serat daging yang digoreng sudah berwarna kuning kecoklatan. 8) Pengepresan II Tahap produksi berikutnya adalah pengepresan kembali serat-serat daging ikan yang telah digoreng. Proses pengepresan tahap kedua ini bertujuan untuk mengurangi kadar minyak pasca proses

penggorengan. 9) Pencabikan II Setelah dipres, kemudian dilakukan pencabikan tahap kedua agar tidak terjadi penggumpalan. Proses pencabikan tahap kedua ini akan dihentikan setelah terbentuk produk akhir berupa abon ikan dengan tekstur yang seragam. 10) Pengemasan Pada tahap akhir produksi dilakukan pengemasan abon ikan. Jika pengemasan tidak langsung dilakukan, maka produk abon ikan akan disimpan terlebih dahulu dalam kantung plastik besar (blong) di gudang penyimpanan, sebelum dilakukan pengemasan. Rata-rata waktu yang dibutuhkan dalam setiap kali produksi abon ikan dengan kapasitas 150 kg bahan baku ikan Marlin, yaitu mulai dari tahap penyiangan ikan sampai ke tahap pengemasan adalah satu hari kerja. Diagram alir proses produksi abon ikan ini dapat dilihat pada gambar di bawah.

Bahan Baku Ikan

Penyiangan bahan Baku

Pengepresan I

Pencabikan I

Penambahan bumbu dan santan

Penggorengan

Pengepresan II

Pencabikan II

Abon Ikan

Penambahan dan pengadukan dengan bawang merah goreng (optional) serta variasi rasa

Pengemasan

Gambar 2. Diagram Alir Proses Produksi Abon ikan

Perebusan Daging Ikan (30

60 menit)

f) Jenis dan Mutu Produksi Jenis produk yang dihasilkan adalah abon ikan yang dijual dalam kemasan 100 gram (60 persen) dan kemasan 250 gram (40 persen). Tabel di bawah menyajikan komposisi kandungan gizi dalam 100 gram abon ikan. Tabel 12. Komposisi Kandungan Gizi dalam 100 gram Abon Ikan No. 1. 2. 3. 4. 5. Zat Air Lemak Karbohidrat Protein Mineral Kandungan (gram) 4,13 24,31 13,41 31,22 15,87

Sumber: Suryati dan Dirwana (2007)

g) Produksi Optimum Kapasitas produksi optimal adalah 5 : 3, yaitu bahan baku dibanding hasil produksi. Sebagai contoh untuk 10 kg bahan baku ikan Marlin, yang dicampur dengan bahan-bahan pembantu, akan diperoleh hasil sekitar 4 kg abon ikan (rendemen 40 persen). h) Kendala Produksi Kendala produksi yang sangat dirasakan oleh pengusaha abon ikan adalah kontinuitas penyediaan bahan baku. Meskipun bahan baku yaitu ikan Marlin dapat didatangkan dari TPI yang lain, tetapi mengingat sifat bahan baku yang mudah busuk dan persyaratan produksi dengan bahan baku yang segar, dapat berpotensi pada penurunan kualitas. Untuk mengatasi hal ini, seyogyanya produsen abon ikan melakukan

pemesanan terlebih dahulu kepada nelayan pemasok langganan di TPI-

TPI di sekitarnya, minimal satu minggu sebelum proses produksi dilakukan.

3. Aspek Pasar dan Pemasaran Pada bagian ini akan dibahas mengenai aspek pasar dan pemasaran dari usaha pengolahan abon ikan. Aspek pasar akan menyangkut analisis permintaan, penawaran, serta tingkat persaingan dan peluang pasar. Sementara itu, pada aspek pemasaran akan dibahas tentang harga, rantai pemasaran, peluang pasar, dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pemasaran abon ikan. a) Aspek Pasar 1) Permintaan Sampai saat ini, belum ada data kuantitatif tentang jumlah konsumsi masyarakat terhadap abon ikan. Meskipun demikian, dapat diprediksi bahwa jumlah konsumsi abon relatif tinggi karena makanan olahan ini banyak digemari oleh masyarakat luas. Ritme kehidupan modern masa kini yang menuntut segala sesuatu yang serba cepat dan waktu yang semakin terbatas, semakin memperkuat alasan prospektifnya permintaan pasar bagi produk-produk makanan olahan siap saji, termasuk abon ikan. Proyeksi jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 239,19 juta jiwa pada tahun 2007 dan memiliki tren yang akan terus meningkat merupakan suatu potensi pasar yang sangat menjanjikan bagi produk abon ikan. Hal ini cukup beralasan mengingat akhir-akhir ini terus terjadi peningkatan rata-rata konsumsi masyarakat terhadap produk olahan ikan dan udang.

Data menyebutkan bahwa pada tahun 2004 rata-rata konsumsi masyarakat terhadap produk olahan ikan dan udang mencapai 14,75 kalori, meningkat menjadi 15,31 kalori pada tahun 2005 (BPS, 2005). Indikasi peningkatan permintaan tersebut sejalan dengan informasi dari berbagai sumber yang menyatakan bahwa potensi permintaan produk abon ikan sebenarnya relatif masih tinggi. Faktor keterbatasan modal kerja membuat produsen tersebut hanya bisa memenuhi permintaan abon ikan untuk wilayah terdekat dengan lokasi usaha. Dengan kata lain, masih banyak permintaan abon ikan di berbagai wilayah di luar wilayah-wilayah tersebut yang belum terpenuhi. Di samping itu, bila kendala keterbatasan modal kerja bisa diatasi, sebenarnya peluang ekspor abon ikan pun masih terbuka lebar. 2) Penawaran Usaha abon ikan telah diusahakan di sejumlah daerah yang banyak menghasilkan ikan, terutama daerah-daerah pantai seperti di Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Tengah, dan Jambi. Namun demikian, data mengenai jumlah produksi abon ikan baik di tingkat nasional maupun daerah belum bisa diperoleh. Sampai saat ini belum ada survei yang mengidentifikasi jumlah usaha abon ikan baik di tingkat lokal maupun nasional. Oleh sebab itu, jumlah penawaran abon ikan hanya bisa didekati melalui jumlah rata-rata produksi abon secara umum. Data BPS tahun 2005 menunjukkan bahwa jumlah rata-rata produksi abon yang dihasilkan industri menengah dan besar, masing-masing adalah 112.060 kg/tahun

dan 2.144,33 kg/tahun. Jumlah rata-rata produksi tersebut tentu masih jauh di bawah potensi pasar abon yang diprediksi akan terus mengalami peningkatan, sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan

perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap produk olahan. 3) Analisis Persaingan dan Peluang Pasar Di tengah banyaknya variasi produk olahan ikan, abon ikan merupakan salah satu produk yang prospektif untuk dikembangkan. Sejauh ini persaingan antar pengusaha abon ikan belum dirasakan menjadi kendala. Hal ini karena keterbatasan produksi abon ikan di Indonesia sehingga peluang pasar abon ikan bisa dikatakan masih sangat besar. Di samping itu, juga dapat menjadi produk substitusi abon daging serta dapat menjadi komoditi ekspor. Oleh karena itu, kondisi ini merupakan suatu peluang bagus, baik bagi para pengusaha untuk lebih mengembangkan usahanya, maupun bagi para calon investor untuk menanamkan modalnya dalam sektor agroindustri pengolahan abon ikan di berbagai wilayah perairan Indonesia. b) Aspek Pemasaran 1) Harga Harga abon ikan ditentukan oleh para produsen. Dalam menentukan harga abon ikan tersebut, produsen sangat mempertimbangkan faktor besarnya biaya produksi, terutama biaya pengadaan bahan baku yaitu ikan Marlin yang mencapai 69 persen dari total biaya produksi langsung. Harga abon ikan di tingkat produsen adalah Rp 70.000 per kg. Harga produsen ini berlaku untuk semua jalur distribusi pemasaran produk.

Sementara itu, harga di tingkat konsumen relatif bervariasi, mulai Rp 70.000 Rp 90.000 per kg. Biasanya semakin jauh lokasi konsumen dari

lokasi perusahaan, maka harga abon ikan di tingkat konsumen akan semakin mahal. 2) Rantai Pemasaran Rantai pemasaran menggambarkan bagaimana suatu produk didistribusikan sehingga bisa sampai kepada konsumennya. Ada paling tidak tiga jalur distribusi produk abon ikan dari produsen ke konsumen, yaitu : y Dibeli langsung konsumen ke lokasi produsen (10%) Konsumen yang biasanya membeli langsung di pabrik antara lain : masyarakat sekitar, konsumen langganan, rombongan tamu sejumlah instansi, dan para wisatawan yang berwisata di pantai sekitar unit usaha. y Dijual oleh produsen kepada toko pengecer lokal (10%) Sejumlah tempat yang bisa menjadi tempat penjualan abon ikan adalah toko pengecer, pasar swalayan, hotel, restoran, terminal, dan tempat-tempat wisata di kota/kabupaten setempat. Pada jalur distribusi ini, produk abon ikan diantar pihak produsen ke sejumlah tempat tersebut dengan biaya transportasi ditanggung oleh produsen.

Dijual oleh produsen ke pedagang besar/perantara di luar kota (80%). Penjualan diawali dengan tahap pemesanan (partai besar) oleh pedagang besar/perantara langganan. Kemudian pihak produsen akan mengantar langsung produk abon ikan ke lokasi pedagang dengan biaya transportasi ditanggung sepenuhnya oleh pihak pedagang besar yang bersangkutan.

Produsen

Konsumen

Pedagang Besar

Toko Pengecer

Gambar 3. Rantai Pemasaran Abon ikan

Sedang untuk cara pembayaran, secara umum ada dua sistem pembayaran. Bagi konsumen yang langsung datang ke lokasi unit usaha, sistem pembayaran dilakukan secara tunai. Sedangkan sistem

pembayaran oleh pengecer lokal dan pedagang besar/perantara dari luar kota dilakukan dengan sistem sebagai berikut : 50 persen dibayar pada saat produk dikirim dan sisanya (50 persen lagi) dibayar pada saat produk sudah terjual. Biasanya, jangka waktu pembayaran paling lama dengan sistem ini adalah 1,5 bulan sejak produk dikirim.

3) Kendala Pemasaran Konsumen abon ikan sering mengeluhkan tentang ketidaktersediaan produk di pasaran. Sejumlah konsumen juga menginginkan abon ikan dengan rasa manis-pedas, tekstur halus dengan aroma tidak terlalu khas ikan, tekstur halus, kemasan dalam toples, dan lain-lain (Wijaya, 2007). Lebih lanjut Wjaya (2007) menyatakan bahwa terkait dengan keinginan konsumen tersebut, produsen juga memproduksi beberapa varisasi rasa dengan kemasan plastik berukuran 100 gram dan 250 gram. Sedangkan dari sisi tekstur abon, terkadang abon ikan yang dihasilkan tersebut bertekstur halus dan terkadang kasar (produk tidak standar). Hal ini tentu berbeda dengan umumnya produk abon dari daging, seperti abon sapi, yang telah mempunyai berbagai variasi rasa, warna dan kemasan sesuai dengan preferensi konsumen. Kondisi ini menjadi salah satu kendala terhambatnya pemasaran produk abon ikan. Dukungan akses teknologi dan akses modal diharapkan dapat menjadi pemacu untuk makin berkembangnya industri olahan abon ikan.

4. Aspek Keuangan a) Pemilihan Pola Usaha Unit usaha yang dianalisis adalah unit usaha abon ikan berskala kecil. Bentuk badan usaha perusahaan adalah perusahaan perseorangan. Perusahaan mengolah bahan baku ikan Marlin sebanyak 3.000 kg/bulan. Apabila proses produksi berjalan optimal, dari sejumlah bahan baku tersebut (dicampur dengan bahan-bahan pembantu), akan diperoleh produk abon ikan sebanyak 1.200 kg /bulan (rendemen 40 persen).

b) Asumsi dan Parameter untuk Analisis Keuangan Pada analisis aspek keuangan digunakan asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan kondisi terkini di lokasi usaha, serta berdasarkan hasil perhitungan pada aspek-aspek sebelumnya. Asumsi-asumsi yang dijadikan dasar perhitungan tersebut terangkum dalam tabel. Tabel 13. Asumsi dan Parameter untuk Analisis Keuangan
No. Asumsi Jumlah/Nilai Satuan

1. 2. 3. 4.

5.

6.

7. 8. 9.

Periode Proyek Jumlah hari kerja per bulan Jumlah bulan kerja per tahun Rata-rata Skala Produksi per hari a. Rendemen pengolahan ikan ke Abon Ikan b. Produksi abon per hari c. Bahan baku ikan per hari Komposisi pemasaran produk a. Dijual di pabrik b. Dijual ke pengecer lokal c. Dijual kepada pedagang besar Komposisi jenis produk menurut kemasan a. Kemasan 100 gram b. Kemasan 250 gram Harga jual produk di tingkat produsen Harga bahan baku Ikan Marlin Discount Factor (suku bunga)

5 20 12 40 60 150 10 10 80 60 40 70.000 18.000 15

tahun hari bulan % kg kg % % % % % Rp/kg Rp/kg %

c) Komponen Biaya Investasi dan Biaya Operasional 1) Biaya Investasi Biaya investasi untuk usaha abon ikan terdiri dari : biaya perizinan, sewa tanah dan bangunan, serta pembelian mesin/peralatan produksi dan peralatan pendukung lainnya. Jenis, nilai pembelian dan penyusutan dari

masing-masing biaya investasi yang dibutuhkan untuk memulai usaha pengolahan abon ikan disajikan pada di bawah. Biaya perizinan adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh surat-surat izin antara lain Surat Izin Usaha Pengolahan (SIUP), P-IRT dari Departemen Kesehatan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), badan hukum KUB, dan Sertifikat Halal. Masa berlaku masingmasing surat izin tersebut bervariasi. Total biaya perizinan yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 2.450.000, . Sewa tanah dan bangunan dilakukan untuk jangka waktu 5 tahun. Pada tahun-tahun tertentu juga dilakukan re-investasi untuk pembelian mesin atau peralatan produksi yang umur ekonomisnya kurang dari 5 tahun. Jumlah biaya investasi keseluruhan pada tahun 0 adalah Rp 26.100.000, . Kebutuhan dana investasi ini dipenuhi dari dana sendiri dan kredit investasi dari lembaga keuangan formal seperti bank. Tabel 14. Biaya Investasi Usaha Abon Ikan
No. 1. 2. 3. 4. 5. Jenis Biaya Nilai (Rp) Penyusutan (Rp) -

Perizinan Sewa tanah dan bangunan Mesin/Peralatan Produksi Peralatan lain Jumlah Sumber Dana Investasi dari a. Kredit b. Dana Sendiri

2.450.000 10.000.000 12,700,000 4 950,000 26,100,000 10,000,000 16,100,000

2,760,000 160,000 2,920,000

Komponen terbesar untuk biaya investasi ini adalah pembelian mesin/peralatan produksi serta sewa tanah dan bangunan yang mencapai

87% dari total biaya investasi. Sisanya adalah biaya investasi untuk pembelian peralatan pendukung dan pengurusan perizinan. 2) Biaya Operasional Biaya operasional terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap. Komponen biaya variabel mencakup biaya bahan baku, bahan pembantu, bahan pendukung, biaya tenaga kerja produksi, biaya makan tenaga kerja produksi dan biaya transportasi. Sementara itu, komponen biaya tetap terdiri dari biaya overhead pabrik (BOP) serta biaya administrasi dan umum. Total biaya operasional untuk satu tahun produksi adalah sebesar Rp 937.870.500, . Biaya bahan baku dan bahan pembantu menyerap 88 % dari total biaya operasional tersebut. Tabel 15. Biaya Operasional Usaha Abon Ikan per Tahun No. A Jenis Biaya
Biay a Variabel Bahan Baku Bahan Pembantu Bahan Pendukung Tenaga kerja produksi Biaya Transportasi Sub total Biay a Tetap Biaya Overhead Pabrik (BOP) Biaya administrasi & umum Sub total Jumlah Biaya Operasional Per Tahun

Nilai (Rp)
648,000,000 172,926,000 32,892,000 44,400,000 6,000,000 904,218,000 33,292,500 360,000 33,652,500 937,870,500

d) Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja Besarnya kebutuhan modal kerja dihitung berdasarkan kebutuhan dana awal untuk satu kali siklus produksi. Usaha pembuatan abon ikan mempunyai siklus produksi (lama waktu yang diperlukan dari pembelian bahan baku sampai pembayaran terlama dari penjualan produk) kurang

lebih selama 1,5 bulan. Sehingga jumlah kredit modal kerja yang dibutuhkan adalah : Kebutuhan modal kerja = (siklus produksi/bulan kerja dalam setahun) x biaya operasional selama 1 tahun = (1/8) x Rp 937.870.500 = Rp 117.233.813, Sumber dana untuk mencukupi kebutuhan modal kerja berasal dari dana pengusaha sendiri dan dari bank. Perincian jumlah dan sumber dana untuk usaha abon ikan disajikan dalam tabel di bawah. Tabel 16. Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja
Rincian Biay a Proyek No. 1. Dana investasi y ang bersumber dari a. Kredit b. Dana sendiri Jumlah dana investasi 2. Dana modal kerja y ang bersumber dari a. Kredit b. Dana sendiri Jumlah dana modal kerja 3. Total dana proy ek y ang bersumber dari a. Kredit b. Dana sendiri Jumlah dana proy ek Total Biaya (Rp) 10.000.000 16.100.000 26.100.000 60.000.000 57.233.813 117.233.813 70,000,000 73,333,813 143,333,813

Jangka waktu kredit dari bank adalah 2 tahun tanpa grace period. Tingkat suku bunga kredit yang digunakan adalah sebesar 15 % per tahun dengan sistem bunga menurun. Dengan demikian, jumlah angsuran pokok dan bunga kredit yang harus dibayar oleh pengusaha abon ikan pada setiap bulannya dapat dihitung. Tabel dibawah ini menunjukkan kumulatif angsuran (angsuran pokok dan bunga) untuk kredit yang harus dibayar setiap tahunnya.

Tabel 17. Angsuran Pokok dan Bunga Kredit Investasi dan Modal Kerja
Tahun ke0 1 2 Kredit 70.000.000 35.000.000 35.000.000 8.093.750 2.843.750 43.093.750 37.843.750 Angsuran Pokok Angsuran Bunga Total Angsuran Saldo Awal 70.000.000 70.000.000 35.000.000 Saldo Akhir 70.000.000 35.000.000 -

e) Proyeksi Produksi dan Pendapatan Kotor Jumlah produksi abon ikan selama satu tahun sebesar 14.440 kg (1.200 kg/bulan) dan harga abon ikan ditingkat produsen adalah Rp 70.000 per kg. Oleh sebab itu, pendapatan dari hasil penjualan abon ikan per tahun adalah sebesar Rp 1.008.000.000, . Tabel dibawah menyajikan rincian penerimaan/pendapatan kotor dalam setahun. Tabel 18. Produksi dan Pendapatan Kotor per Tahun No. 1. 2. 3. 4. 5. Uraian Produksi per hari Produksi per bulan Produksi per tahun Harga jual di tingkat produsen Nilai penjualan per tahun (Pendapatan) Nilai 60 1.200 14.400 70.000 1.008.000.000 Satuan kg/hari kg/bulan kg/tahun Rp/kg Rp/tahun

f) Proyeksi Rugi Laba dan Break Even Point (BEP) Tingkat keuntungan (profitability) dari usaha yang dilaksanakan merupakan bagian sangat penting dalam analisis keuangan dari rencana kegiatan investasi. Keuntungan dihitung berdasarkan selisih antara penerimaan dan pengeluaran tiap tahunnya. Tabel 19 di bawah menunjukkan keuntungan Proyeksi Rugi/Laba dan BEP dari Usaha Abon ikan. Hasil perhitungan Proyeksi Laba/Rugi menunjukkan bahwa pada tahun pertama usaha ini telah untung sebesar Rp 52.748.388, . Laba yang diperoleh ini akan meningkat pada tahun-tahun berikutnya akibat penurunan komponen biaya bunga dan tidak adanya lagi angsuran pokok mulai tahun keempat. Laba rata-rata selama periode proyek adalah Rp 57.768.700, per tahun dengan profit margin rata-rata per tahun sebesar 5,73 %. Dengan mempertimbangkan biaya tetap, biaya variabel dan hasil penjualan abon ikan, BEP rata-rata per tahun selama 5 tahun periode proyek usaha abon ikan ini adalah : Rp 404.600.248, nilai penjualan), 5.780 kg per tahun (BEP produksi). per tahun (BEP

Tabel 19. Proyeksi Rugi/Laba Usaha Abon ikan


No 1 2 3 4 5 6 7 Uraian 1 Pendapatan Biaya Operasional Laba Kotor Bunga Kredit Laba Sebelum Pajak Biaya Penyusutan Laba Kena Pajak Pajak Laba Bersih Profit margin (%) 1.008.000.000 937.870.500 70.129.500 8.093.750 62.035.750 2.920.000 59.115.750 6.367.363 52.748.388 5,23 2 1.008.000.000 937.870.500 70.129.500 2.843.750 67.285.750 2.920.000 64.365.750 7.154.863 57.210.888 5,68 Tahun Ke3 1.008.000.000 937.870.500 70.129.500 70.129.500 2.920.000 67.209.500 7.581.425 59.628.075 5,92 4 1.008.000.000 937.870.500 70.129.500 70.129.500 2.920.000 67.209.500 7.581.425 59.628.075 5,92 5 1.008.000.000 937.870.500 70.129.500 70.129.500 2.920.000 67.209.500 7.581.425 59.628.075 5,92 1.008.000,000 937.870.500 70.129.500 67.942.000 2.920.000 65.022.000 7.253.300 57.768.700 5,73 Rata-rata

1 2

BEP Rata-Rata Nilai penjualan (Rp) Jumlah Penjualan/produksi (kg)

404.600.248 5.780

g) Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek Berdasarkan analisis arus kas, dilakukan perhitungan B/C ratio atau Net B/C, Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Pay Back Period (PBP). Sebuah usaha berdasarkan kriteria investasi di atas dikatakan layak jika B/C ratio atau Net B/C > 1, NPV > 0, dan IRR > discount factor. Tabel 20. Kelayakan Usaha Abon Ikan No. 1. 2. 3. 4. Kriteria Kelayakan Net B/C NPV (Rp) IRR (%) PBP (usaha) Nilai 1,46 66.497.186 33,55 3 tahun

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa usaha abon ikan layak dilaksanakan, bahkan menguntungkan, karena pada tingkat suku bunga (discount factor) 15 % per tahun, Net B/C sebesar 1,46 (>1) dan NPV sebesar Rp 66.954.793, (>0). Dengan nilai IRR 33,55 % (> DF 15% ), artinya : proyek ini layak dilaksanakan meskipun tingkat suku bunga (discount factor) mencapai 33,55 % per tahun. Dari Tabel 20 di atas juga dapat diketahui bahwa jangka waktu yang dibutuhkan untuk

mengembalikan seluruh biaya investasi usaha (PBP usaha) adalah 3 tahun (kurang dari 5 Tahun). Dengan demikian, usaha ini layak dilaksanakan karena jangka waktu pengembalian seluruh investasi lebih pendek dari periode proyek (5 tahun).

h) Analisis Sensitivitas Dalam analisis setiap investasi usaha, termasuk usaha pengolahan abon ikan, tentu terdapat ketidakpastian yang akan mempengaruhi hasil perhitungan. Analisis sensitivitas harus dilakukan guna menguji seberapa sensitif usaha yang akan dilaksanakan terhadap perubahan jumlah dan harga-harga dari input dan output produksi. Dalam analisis sensitivitas ini digunakan 3 skenario, yaitu : y Skenario I Pendapatan usaha mengalami penurunan sedangkan biaya

investasi dan biaya operasional diasumsikan tetap. Penurunan pendapatan bisa diakibatkan oleh penurunan harga abon ikan, jumlah permintaan yang menurun, ataupun jumlah produksi yang menurun. y Skenario II Biaya operasional mengalami kenaikan sedangkan biaya investasi dan penerimaan usaha diasumsikan tetap. Kenaikan biaya operasional bisa terjadi akibat kenaikan harga input produksi, seperti bahan baku dan peralatan produksi. y Skenario III Skenario ini merupakan gabungan dari skenario I dan skenario II, yaitu : diasumsikan penerimaan usaha mengalami penurunan dan biaya operasional mengalami kenaikan, sedangkan biaya investasi tetap.

Pada skenario I, dengan penurunan pendapatan sebesar 2%, didapat nilai Net B/C sebesar 1,06 (>1), NPV sebesar Rp 8.100.716, (>0), nilai IRR 17,37 % (> DF 15 %) , periode pengembalian seluruh investasi selama 4 tahun 8 bulan (kurang dari 5 tahun). Semua indikator kelayakan tersebut menunjukkan bahwa usaha ini masih layak untuk dilaksanakan dan dibiayai oleh bank. Tabel 21. Hasil Analisis Sensitivitas Skenario I No. 1. 2. 3. 4. Kriteria Kelayakan Net B/C NPV (Rp) IRR (%) PBP (usaha) Penerimaan Turun 2% 3% 1,06 0,84 22.310.035 8.100.716 8,21 17,37 > 5 tahun 4 tahun 8 bulan

Namun, pada penurunan pendapatan sebesar 3% proyek ini sudah tidak layak lagi dilaksanakan. Hal tersebut bisa dilihat dari Net B/C yang diperoleh sebesar 0,84 (<1), NPV sebesar Rp 22.310.035, (< 0), IRR sebesar 8,21 % (< DF 15%), jangka waktu pengembalian investasi lebih dari 5 tahun (melebihi umur proyek). Pada skenario II, dengan kenaikan biaya operasional sebesar 2%, didapat nilai-nilai : Net B/C sebesar 1,09 (>1), NPV Rp 12.332.245, (>0), IRR sebesar 18,58%, (> DF 15%), jangka waktu pengembalian seluruh investasi 4 tahun 6 bulan (< 5 tahun). Dengan demikian pada tingkat kenaikan biaya operasional sebesar 2%, usaha ini masih layak untuk dilaksanakan.

Tabel 22. Hasil Analisis Sensitivitas Skenario II No. 1. 2. 3. 4. Kriteria Kelayakan Net B/C NPV (Rp) IRR (%) PBP (usaha) Biaya Operasional Naik 2% 3% 1,09 0,89 12.332.245 15.962.741 18,58 10,19 4 tahun 6 bulan > 5 tahun

Pada skenario II kenaikan biaya 3%, proyek ini tidak layak diusahakan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Net B/C sebesar 0,89 (<1), NPV sebesar Rp 15.962.741, (< 0) dan IRR 10,19 % (< DF 15%) dan jangka waktu pengembalian seluruh investasi melebih 5 tahun (lebih panjang dari umur proyek). Tabel 23. Hasil Analisis Sensitivitas Skenario III No. Kriteria Kelayakan Penerimaan Turun dan Biaya Operasional Naik 1% 1,5% 1,07 0,84 10.216.481 22.397.818 17,98 8,18 4 tahun 7 bulan > 5 tahun

1. 2. 3. 4.

Net B/C NPV (Rp) IRR (%) PBP (usaha)

Pada skenario III, dengan penurunan pendapatan dan kenaikan biaya operasional masing-masing sebesar 1%, didapat nilai Net B/C sebesar 1,07 (>1), NPV sebesar Rp 10.216.481, (>0), nilai IRR 17,98 % (> Discount factor 15 %), periode pengembalian seluruh investasi selama 4 tahun 7 bulan (kurang dari 5 tahun). Semua indikator kelayakan tersebut menunjukkan bahwa usaha ini masih layak untuk dilaksanakan. Namun, pada penurunan pendapatan dan kenaikan biaya

operasional masing-masing sebesar 1,5% proyek ini sudah tidak layak lagi

dilaksanakan. Hal tersebut bisa dilihat dari Net B/C yang diperoleh sebesar 0,84 (<1), NPV sebesar Rp 22.397.818, (< 0), IRR sebesar

8,18 % (< DF 15%) dan jangka waktu pengembalian investasi lebih dari 5 tahun (melebihi umur proyek). Hasil analisis aspek keuangan di atas menunjukkan bahwa usaha abon ikan bisa memberikan pendapatan yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, proyek ini layak dilaksanakan. Namun, usaha ini bersifat sangat sensitif terhadap penurunan pendapatan dan/atau peningkatan biaya operasional.

5. Aspek Sosial Ekonomi Usaha pembuatan abon ikan mempunyai dampak yang positif, baik bagi pengusaha maupun masyarakat setempat. Bagi pengusaha, dampak ekonomis dari usaha ini adalah akan meningkatnya pendapatan mereka. Usaha abon ikan merupakan bisnis yang menguntungkan karena mempunyai peluang pasar yang masih terbuka lebar, terutama bila kendala-kendala pemasaran yang dihadapi pada saat ini bisa diatasi. Di samping itu, beroperasinya usaha abon ikan yang bersifat padat karya akan membantu menyerap tenaga kerja bagi masyarakat setempat sehingga akan membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Lebih jauh, peningkatan produksi abon ikan akan memberi peluang bagi peningkatan pendapatan daerah setempat. Jika dikelola secara optimal (kendala-kendala produksi, pemasaran dan keterbatasan modal kerja sudah teratasi), maka produsen abon ikan pun berpeluang

mengekspor produknya sehingga bisa berkontribusi bagi penambahan cadangan devisa.

6. Aspek Dampak Lingkungan Aspek dampak lingkungan berkaitan dengan analisis potensi limbah yang mungkin dihasilkan dari suatu unit usaha produksi. Unit usaha pengolahan abon ikan tidak menghasilkan limbah berbahaya, baik bagi manusia maupun lingkungan sekitarnya. Limbah yang dihasilkan hanya air kotor sisa pembersihan. Biasanya air ini dibuang melalui saluran air yang dapat langsung meresap ke tanah. Air limbah juga tidak mengandung zatzat kimia yang membahayakan organisme tanah dan tanaman. Alih-alih menghasilkan limbah yang berbahaya, sisa proses produksi abon ikan justru masih bisa dimanfaatkan, misalnya : y Bagian-bagian bahan-baku ikan Marlin yang dibuang pada tahap penyiangan, bisa diolah lebih lanjut menjadi hidangan sop ikan yang banyak diminati masyarakat. y Air sisa rebusan daging ikan pada tahap perebusan bisa diolah lebih lanjut menjadi produk kecap ikan.

IV KESIMPULAN

1.

Usaha

pengolahan

abon

ikan

sangat

berpotensi

untuk

dikembangkan di banyak wilayah di Indonesia yang memiliki sumberdaya perikanan laut yang melimpah. 2. Proses pembuatan abon ikan relatif mudah dan peralatan yang dibutuhkan pun relatif sederhana sehingga untuk memulai usaha ini tidak memerlukan biaya investasi yang besar. 3. Salah satu spesies ikan yang sangat cocok dijadikan sebagai bahan baku produksi abon ikan adalah Ikan Marlin/Jangilus (Istiophorus sp), karena selain dagingnya tebal juga tidak banyak durinya. 4. Usaha pengolahan abon ikan pada umumnya berskala kecil dan bersifat padat tenaga kerja. Oleh sebab itu, jenis teknologi yang cocok digunakan adalah teknologi semi-mekanik. 5. Kendala produksi yang bisa dijumpai adalah terjadinya kelangkaan bahan baku ikan. Oleh sebab itu, lokasi usaha sebaiknya terdapat di daerah-daerah pelabuhan yang dekat dengan akan kawasan-kawasan mempermudah kerja proses

perikanan

sehingga

penyediaan dan transportasi bahan baku ikan. 6. Abon ikan merupakan produk yang prospektif untuk dikembangkan. Hal ini karena relatif masih terbatasnya produksi abon ikan di Indonesia sehingga peluang pasar abon ikan ini masih sangat besar, baik di dalam maupun di luar negeri (ekspor).

7.

Kredit investasi yang digunakan sebesar Rp 10.000.000,

dengan

tingkat suku bunga 15 %, sistem bunga menurun, jangka waktu pengembalian 2 tahun, dan tanpa grace period. 8. Kredit Modal Kerja yang digunakan sebesar Rp 60.000.000, dengan tingkat suku bunga 15 %, sistem bunga menurun, jangka waktu pengembalian 2 tahun, dan tanpa grace period. 9. Berdasarkan analisis kelayakan keuangan, usaha abon ikan layak untuk dilaksanakan. Hal ini karena pada tingkat DF 15 %, Net B/C sebesar 1,46 (> 1), NPV sebesar Rp 66.497.189, (> 0) dan IRR

33,35 % ( > diatas tingkat suku bunga kredit= 15%). Dari analisis PBP usaha, usaha ini mampu mengembalikan seluruh modal investasinya dalam waktu 3 tahun (<5 tahun waktu proyek). 10. Analisis sensitivitas terhadap perubahan pendapatan, dengan asumsi biaya operasional dan biaya investasi tetap, menunjukkan bahwa usaha ini bersifat sensitif terhadap penurunan pendapatan sebesar 2 %. Artinya, jika terjadi penurunan pendapatan lebih besar dari 2% (misal=3%), usaha ini menjadi tidak layak lagi dilaksanakan (merugi). 11. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan biaya operasional, dengan asumsi pendapatan dan biaya investasi tetap, menunjukkan bahwa usaha ini sensitif pada kenaikan biaya operasional sebesar 2%. Artinya, jika kenaikan biaya operasional lebih dari 2% (misal=3%), usaha ini menjadi tidak layak lagi dilaksanakan (merugi).

12. Analisis sensitivitas terhadap penurunan pendapatan usaha dan kenaikan biaya operasional secara bersamaan, menunjukkan bahwa usaha ini sensitif terhadap penurunan pendapatan dan kenaikan biaya operasional masing-masing sebesar 1%. Jika tejadi penurunan pendapatan dan kenaikan biaya operasional masing-masing lebih dari 1% (misal=1,5% atau lebih), usaha ini menjadi tidak layak lagi dilaksanakan (merugi). 13. Hasil analisis aspek keuangan menunjukkan bahwa usaha abon ikan bisa memberikan pendapatan yang cukup tinggi sehingga layak untuk dilaksanakan dan dibiayai oleh bank. Namun, usaha ini bersifat sangat sensitif terhadap penurunan pendapatan dan/atau

peningkatan biaya operasional. 14. Beroperasinya usaha abon ikan yang bersifat padat karya akan membantu menyerap tenaga kerja bagi masyarakat setempat sehingga akan membantu peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan. 15. Unit usaha pengolahan abon ikan tidak menghasilkan limbah berbahaya, baik bagi manusia maupun lingkungan sekitarnya, sehingga dapat dikatakan usaha ini ramah lingkungan (green business).

DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E. Dan Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Karyono dan Wachid. 1982. Petunjuk Praktek Penanganan Pengolahan Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Mukti, Ade T.D. 2001. Analisis Harga Pokok Produksi dan Titik Impas Produk Abon Ikan di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Suakbumi, Jawa Barat. Skripsi pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB (tidak diterbitkan). Bogor. Suryati, Yati dan Iwan Dirwana. 2007. Produksi Hasil Olahan Hurip Mandiri Cisolok (Abon Ikan, Dendeng Ikan dan Kerupuk Ikan) Kabupaten Sukabumi. Koperasi Kelompok Usaha Bersama Hurip Mandiri. Sukabumi. Wijaya, Apip. 2007. Analisis Preferensi Konsumen Terhadap dan

Pengembangan Produk Abon Ikan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Hurip Mandiri (Kasus Konsumen Abon Ikan di Kabupaten Sukabumi). Skripsi pada Program Sarjana Ekstensi

Manajemen Agribisnis,

Fakultas Pertanian, IPB (tidak diterbitkan). Bogor.

Basu Swastha D.H. MBA, Manajemen pemasaran Modern, Liberty, Yogyakarta, 1990 Gitosudanno, Indriyo, Manajemen Pemasaran, BPFE Yogyakarta, 1994 Jauch, lawrence R, Manajemen Strategis Dan Kebijakan Perusahaan, Erlangga, Jakarta, 1993 Mc. Donald, Malcom H.B. Rencana Pemasaran, Arcan, Jakarta, 1995 Phillip Kotler, Marketing Management, Prentice Hall, New Jersey, 2000 Naisbitt, John, Global Paradox, Avon Books, New York, 1995 Stanton, William, J, Prinsip Pemasaran, Erlangga, 1986 Sutojo Siswanto, Kerangka Dasar Manajemen Pemasaran, LPPM, 1981 Sofjian, Assauri, Manajemen Pemasaran Dasar, Konsep dan Strategi Rajawali, Jakarta,1992 O. Winardi, Manajemen Pemasaran, Sinar Baru, Bandung, 1981

STRATEGI PEMASARAN DALAM PERSAINGAN BISNIS ARLINA NURBAITY LUBIS Program Studi Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 2004 Ating Tedjasutisna, 2004, Memahami Kewirausahaan SMK Tingkat 1, Berdasarkan Kurikulum 2004, Bandung, CV. Armico. Bernt Adelstat dan Nurhayat Indra (Ed), 1993, Pengembangan Bisnis

Koperasi, Manual Pelatih, Jakarta, Kerjasama PUSLATKOP & PK Depkop dan PPK Ri dengan ILO CO- OPERATIVE PROJECT. Buchari Alma, 2004, Kewirausahaan, Bandung, Penerbit Alfabeta. Hisrich Robert D., Michael P. Peters, 1998, Entrepreneurship, New York, Irwin Mc Graw-Hill. Meredith, Geoffrey G. et al, 2000, Kewirausahaan : Teori dan Praktek, penerjemah : Andre Asparsayogi, Jakarta, Lembaga Manajemen PPM dan PT Pustaka Binaman Pressindo. ----------------, 1996, Berani Ambil Resiko, Seri Panduan Kewirausahaan TKMT Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja RI Suryana, 2003, Kewirausahaan : Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses, Edisi Revisi, Jakarta, Penerbit Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai