Anda di halaman 1dari 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomy

Menurut Boies et all (1997) secara antomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga tengah dan luar berkembang dari alat brankial. Telinga dalam seluruhnya berasal dari plakoda otika. Dengan demikian suatu bagian dapat mengalami kelainan kongenital sementara sementara bagian lain berkembang normal. A. Telinga Luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Liang telinga berbentuk huruf S dengan tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2-3cm. Membran timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membran timpani pada umumnya bulat. Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas membran timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang meluas melalui batas atas membran timpani (Soepardi EA and Iskandar N, 1990)

B. Telinga Tengah Telinga tengah berbentuk kubus dengan Batas luar membran timpani, Batas depan tuba eustachius, Batas bawah vena jugularis (bulbus jugularis), dan batas belakang aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis. Batas atas tegmen timpani (meningean/otak), Batas dalam berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promotorium. Tuba eustakius

menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian lateral tuba eustakius adalah yang bertulang sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak dibagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring diatas otot konstriktor superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus

faringealis

dan

saraf

mandibularis.

Tuba

eustakius

berfungsi

untuk

menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani. (Guyton n Hall, 1996) C. Telinga Dalam Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin. Derivat vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran yang terisi endolimfe. Labirin membran dikelilingi oleh cairan perilimfe yang terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin tulang dan membran memiliki bagian vestibular dan koklear. Bagian vestibularis (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian koklearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran kita. Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu setengah putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ corti. Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam dan tiga baris sel rambut luar. Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis.(Seopardi EA and Iskandar N, 1990)
II. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan, tingkap lonjong, sehingga perilimfa pada skala vestibula bergerak.

Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basalis dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia selsel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pengelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius, sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.(Guyton and Hall, 1996)
III. Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran menimbulkan hambatan bagi si penderita untuk berkomunikasi dengan efektif dan secara sosial membuat mereka terisolasi dari pergaulan baik dalam keluarga maupun lingkungan sosial. Pada akhirnya mengakibatkan problem psikososial, menyebabkan depresi, kecemasan dan perasaan tidak mampu. Sisem pendengran sangat kompleks dan sangat bergantung pada kepada berfungsi dengan baiknya dari telinga bagian tengah (koklea), sisten saraf pusat, serta fungsi biokimia dari, metabolisme, sistem peredarah darah dan endokrin. Gangguan dari salah satu sistem ini , akan berdampak pada sistem pendengaran. Dengan kata lain gangguan sistem auditori, prosesnya melalui mekanisme di bawah ini. (Soepardi EA and Iskandar N, 1990)

A. Gangguan Sirkulasi Darah Sebagai contoh arterosklerosis, viskositas darah, mikroangiopati, dan sebagainya. Hal ini sering terjadi pada penderita dengan penyakit

cardiovasculer, hyperlipidemia, dan diabetes melitus. Sebagai mana diketahui, suplai darah ke koklea didapatkan dari arteri auditiva atau arteri labyrinthine, yang tidak mempunyai kolateral serta menyupai darah kepada the hight-frequency inner shell of the cochlea. Pada dasarnya, semua gangguan pada cochlea yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah kesana , baik oleh adanya trombosis, emboli maupun spasme pembuluh darah akan mengakibatkan meurunya oksigenasi pada koklea dan mempunyai efek terhadap fungsi pendengaran. Hal ini menjelaskan bagaimana patofis gangguan fungsi pendengaran yang diakibatkan oleh fakor resiko kardiovasklar seperti hipertensi, profil lipid, diabetes dan lainya. (Kathleen E et all, 2004) Bagaimana mekanisme diabetes melitus dapat menimbulkan gangguan fungsi pendengaran, dapat dijelaskan sebagai berikut.

Sensorineural hearing loss adalah gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh gangguan pada koklea, tepatnya pada saraf auditori. Diabetes menimbulkan komplikasi neuropati serta gangguan microvascular. Sebagai mana kita ketahui bahwa neuropati diabetikum adalah komplikasi utama yang dialami oleh penderita diabetik. Dan hal ini juga berdampak terhadap aliran darah ke telinga bagian dalam penelitian secara retrosfektif oleh Venkata Kakarlapudi, et all dari departement otolaryngology, head and neck, University of Maryland terhadap audiogram dari penderita diabetes, memperlihatkan adanya gangguan pendengaran mulai dari ringan sampai sedang pada frekuensi tinggi. (Baktiansyah A, 2004) Dilaporkan pula bahwa gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi ini dapat berhubungan dengan tingginya viskositas darah, yang

mana menurunkan suplai darah ke koklea serta meningkatkan kerusakan sel-sel sensoris. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa koklea mendapat suplai darah dari arteri yang tidak mempunyai kolateral , arteria labirintin atau ateria auditiva. Karena itu fungsi koklea sangat sensitif terhadap suplai darah. Setiap gangguan suplai darah, dapat diakibatkan oleh trombosis, embolus, berkurangnya aliran darah, atau spasme pembuluh darah, akan berakibat menurunya oksigenasi terhadap koklea. Tentu saja waktu, dalam hal ini lama kejadian, turut berpengaruh. Perubahan pada tekanan oksigen di perilymph merupakan salah satu respon terhadap perubahan tekanan darah sistemik dan kenaikan tekanan karbon dioksida di dalam darah(pCO2). Bukti histologis kerusakan koklea akibat oklusi pembuluh darah labirintin terlihat pada awalnya berupa pendarahan di dalam koklea yang kemudian berlanjut menjadi fibrosis dan ossification dari koklea. (Larsson EJ et all, 2009) B. Gangguan Saraf Kebanyakan diperankan oleh agen ototoksik, namun dapat pula diakibatkan oleh paparan bising diatas ambang batas serta dalam waktu yang lama. Gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh gangguan saraf, dapat melalui mekanisme. (Boeis et all, 1997)

1. Kerusakan Sel Rambut

Gerakan sel rambut dapat ditimbulkan oleh ransangan gelombang suara, yang bilamana berlebihan akan menimbulkan resistensisecara mekanis dan dapat menyebabkan kerusakan sel

rambut secara mekanis. Sel rambut ini mempunyai jumlah yang tak terbatas serta tidak mampu beregenerasi. Sehingga bila pajanan suara tadi sifatnya kontinu dan progresif, maka kerusakan sel ini menyebabkan kehilangan yang permanen sifatnya. Dan secara umum hal ini akan mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan dengar. Sel rambut bagian luar paling sensitif terhadap suara dan bahan-bahan yang bersifat ototoksik, baik obat-obatan maupun bahan kimia lainya, karena itu merekalah yang pertama menjadi korban. Dan dalam hitungan kasar, kerusakan sl serabut ini menyebabkan naiknya nilai ambang dengar sebesar 40dB. (Baktiansyah A, 2004)

2. Kerusakan Sel (Cellular Dammage)

Bahan toksik maupun paparan bising yang berulang dan lama, juga memberikan efek terhadap metabolisme dari organ korti, tepat pada sel rambut bagian dalam. Dilaporkan terjadinya efek extraciliary termasuk modifikasi ultrastucture dari sel, lisosom, serta seperti retikulum, dari dendrit.

mitokondria,

pembengkakan

Pembengkakan dendrit kemungkinan disebabkan oleh akumlasi bahan toksik dari neurotransmiters sebagai akibat aktivitas yang berlebihan dari sel rambut dalam. Kerusakan dari stereociliary yang berlanjut atau tidak akan menentukan permanen atau tidaknya kerusakan. (Mills JH, 2002)
IV. Tingkat Pendengaran

Sesuai standar American Academy of Otolaryngology (AAO), tingkat pendengaran diukur pada frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Pda nada murni. Internatonal Standard Organization (ISO 1990) menetapkan bahwa yang disebut sebagai gangguan pendegaran adalah ambang pendengaran diatas 25 dB dari rata- rata level pendengaran dari 500 hingga 4000 hz.(Baktiansyah A, 2004)
V. Ketulian

1. Definisi Ketulian Ketulian adalah kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian lain, baik dalam derajat frekuensi dan intensitas (Tanujaya, 2006). Menurut Heward &

Orlansky dalam Widuri (2008) tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara yang dapat dipahami, termasuk suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud kehidupan sehari-hari. Orang tuli tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan walaupun sebagian pembicaraan dapat diterima, baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar. Kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengarannya secara nyata yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus, baik tuli maupun kurang mendengar dikatakan sebagai ganggunan pendengaran (hearing impaired). Ketulian berdasarkan saat terjadinya, yaitu tuli pra bahasa (prelingually deaf) dan tuli purna bahasa (postlingually deaf). Tuli pra bahasa atau prelingually deaf adalah ketulian yang terjadi sebelum dikuasainya suatu bahasa, yaitu pada usia dibawah satu tahun enam bulan. Sedangkan tuli purna bahasa atau postlingually deaf adalah ketulian yang terjadi setelah seseorang menguasai suatu bahasa (Uden, 1971). 2. Klasifikasi Ketulian a. Berdasarkan jenis ketulian.: 1) Tuli penghantaran, bila proses kelainannya berada di telinga luar ataupun di telinga tengah, yang pada umumnya dapat dikoreksi baik dengan obat-obatan dan alat dengar maupun secara operasi. 2) Tuli syaraf (sensorineural), bila proses kelainannya di telinga dalam atau di syarafnya, karena pada umumnya ireversibel.

3) Tuli campuran, yaitu campuran antara tuli penghantaran dan tuli penghantaran dan tuli syaraf. 4) Tuli sentral, bila proses kelainnya terdapat di batang otak atau di otaknya sendiri (FK UI, 2004) b. Berdasarkan derajat ketuliannya atau kehidupan sosial. 1) Tuli (sama sekali tidak dapat mendengar). 2) Kekurangan pendengaran, yang dapat dibedakan atas : a) Kekurangan pendengaran ringan Penderita akan mendapat kesukaran didalam komunikasi jarak jauh, sehingga mempunyai handikap di dalam forum

pertemuan. Misalnya : pertemuan sosial ataupun pertemuan ilmiah. Klinis penderita sukar diajak bercakap-cakap pada jarak kurang lebih tiga meter. Pada pemeriksaan audiometri nada murni, pada frekuensi percakapan turun 15 dB sampai 30 dB. b) Kekurangan pendengaran sedang Selain penderita mendapat kesukaran di dalam komunikasi jarak jauh, juga pada jarak dekat. Jadi penderita tidak dapat mengikuti percakapan sehari-hari. Klinis percakapan pada jarak satu meter sudah mendapat kesukaran untuk mengerti arti kata. Pada pemeriksaan audiometri nada murni pada frekuensi percakapan turun sampai 30 dB sampai 60 dB. c) Kekurangan pendengaran berat Biasanya penderita sudah tidak dapat diajak berkomunikasi dengan suara biasa, sehingga untuk dapat menangkap arti katakata, suara perlu dikeraskan (menaikkan amplitudo) yaitu

dengan berteriak atau dengan megafon amplifier. Pada pemeriksaan audiometri nada murni, penurunannya mencapai 60 dB atau lebih (Harry Soepardjo & Soetomo, 1985) c. Berdasarkan waktu terjadinya tuli, dapat dibedakan atas : 1) Kongenital (tuli sejak lahir) Anak lahir tuli oleh karena kegagalan dari perkembangan sistem pendengaran, akibat faktor genetik (keturunan),

kerusakan dari mekanisme pendengaran semasa embrional, kehidupan janin di dalam kandungan atau selama proses kelahiran. Faktor-faktor di atas akan menyebabkan anak tuli sebelum lahir atau tuli waktu lahir, sehingga anak tersebut tidak akan pernah mendengar suara, maka ia akan acuh tak acuh terhadap sekitarnya. Anak lahir tuli, meskipun tidak pernah mendengar, tetapi dapat juga tersenyum bahkan berteriakteriak, hanya saja suara yang dihasilkan tidak ada artinya di dalam komunikasi. Tuli kongenital ini dapat dibedakan atas : a) Herediter (penyakit turunan) Secara garis besar dapat dibagi atas : (i) Aplasia (agenesis)

Anak lahir telah tuli, karena beberapa organ terutama organorgan telinga dalam tidak terbentuk. Disamping tidak terbentuknya organ-organ telinga dalam, biasanya disertai juga tidak terbentuknya organ-organ lain di dalam tubuh anak ini. Sehingga akan merupakan kumpulan gejala yang disebut

dengan sindroma. Seperti sindroma Modini, sindroma Scheibe dan sindroma Alexander (ii). Abiotrofi.

Kelainan ini disebut juga tuli heredodegenerasi atau tuli heredodegenerasi syaraf; kadang-kadang disebut pula tuli keturunan sebelum tua (presenil familial deafness). Disini akan terjadi proses degenerasi yang progresif di dalam koklea pada masa anak-anak ataupun setelah dewasa. Di klinik, sering dijumpai seorang anak atau orang dewasa muda yang kelihatannya sehat, tetapi tuli tanpa diketahui penyebabnya oleh penderita sendiri. Abiotrofi ini hanya dapat terjadi di telinga saja, jadi gejalanya hanya tuli saraf, atau kadang-kadang juga dapat disertai kelainan di organ lain, sehingga merupakan suatu sindroma. Ketulian pada abiotrofi ini kadang-kadang hanya terdapat pada frekuensi tinggi saja, karena yang mengalami degenerasi hanya bagian basal dari koklea, sehingga disebut juga presbiyacusis praecox. Tetapi, dapat juga proses

degenerasinya terjadi di stria vaskularis dan akan menyebabkan ketulian di semua frekuensi, karena sel-sel rambutnya tidak mendapat makanan dan akan mengalami atrofi. (iii). Aberasi kromosom.

Disini terjadi penyimpangan dari kromosom yang dapat menyebabkan ketulian. Penyimpangan kromosom ini dikenal sebagai "TRISOMI". Trisomi adalah adanya ekstra kromosom

yang menyebabkan anomali dan menyebabkan terjadinya ketulian; yang sering ada ialah : trisomi 12 dan 18 atau golongan D dan E. Karena adanya penyimpangan dari kromosom, biasanya kelainannya tidak di telinga saja, te-tapi juga di organ lain bahkan sering terjadi di organ vital, sehingga anak tidak dapat bertahan hidup lama dan meninggal pada usia muda. b) Prenatal (intra uterin) masa kehamilan : Ketulian yang terjadi pada masa kehamilan ini biasanya tipe sensori neural dan jarang dari tipe lain. Dalam hal ini, sesungguhnya pertumbuhan alat pendengaran normal, akan tetapi oleh karena suatu sebab maka pertumbuhannya akan menyimpang atau rusak sebelum berkembang. Maka ketulian yang terjadi sangat tergantung pada kehamilan minggu keberapa kehidupan janin itu, sehingga seberapa jauh perkembangan sistem pendengaran menjadi rusak atau

diganggu sehingga tidak terbentuk dengan sempurna, dan berat ringannya sangat tergantung dari penyebab gangguan

pertumbuhan sistem pendengarannya. Kerusakan ini biasanya irreversibel; karena itu hendaknya kita berhati-hati bila menghadapi wanita hamil. c) Perinatal (waktu lahir) Pada waktu kelahiran anak tidak luput dari kemungkinan menjadi tuli, misalnya :

(i)

Trauma waktu lahir, baik oleh karena alat-alat yang digunakan oleh penolong persalinan maupun persalinan yang sukar atau persalinan yang lama.

(ii)

Anoksia oleh karena tali pusat melingkar kepala, ataupun terjadinya obstruksi dari jalan nafas yang dapat

menyebabkan kerusakan dari koklea. 2) Tuli yang didapat (acquired hearing loss) Seseorang yang dilahirkan normal tidak luput dari penyakit yang dapat menyebabkan ketulian; bahkan semua orang akan menjadi tuli atau kekurangan pendengaran bila telah menjadi tua. Ketulian harus dibedakan antara tuli sama sekali dan kekurangan pendengaran, karena kekurangan pendengaran masih ada sisa pendengaran walaupun sangat kecil. Pada kekurangan pendengaran, dengan suatu cara akan ditolong dapat mendengar, baik itu dengan alat atau pun dengan menambah intensitas suara, orang tersebut masih dapat mendengar meskipun tidak seratus persen benar. Ketulian sama sekali hanya terdapat pada tipe sensorineural saja, sedang pada tipe penghantaran orang tersebut masih dapat mendengar, meskipun dapat digolongkan kekurangan pendengaran derajat sedang. a) Kekurangan pendengaran tipe penghantaran (conductive) Pada umumnya proses kelainnya terdapat di telinga tengah. b) Kekurangan pendengaran tipe sensori neural

Kekurangan pendengaran sensori neural ini disebabkan oleh karena kerusakan dari organon korti atau sarafnya. Sensori neural ini dibagi atas sensori deafness, di mana kelainannya di organon korti pada sel-sel rambut, sehingga disebut kekurangan pendengaran tipe koklear. Sedang yang lain kelainannya terdapat pada sarafnya dari ganglion spinalis sampai nukleus koklearis, karenanya disebut tuli saraf atau kekurangan pendengaran tipe retrokoklear. Pembagian tersebut di atas disebabkan oleh karena tiap tipe mempunyai sifat yang khusus. Sensori hearing loss atau kekurangan pendengaran tipe koklear mempunyai sifat rekruitmen yang berarti bahwa suara yang merangsang makin keras makin tidak dimengerti arti katanya. Pada tuli saraf tipe retrokoklear, bila dirangsang terus menerus akan cepat menjadi lelah. Di dalam klinik dijumpai bila seseorang diajak bicara mula-mula mendengar dengan baik tetapi lama kelamaan pendengarannya akan menurun. Ketulian sensorineural ini biasanya tidak dapat pulih kembali

(ireversibel) dan tidak dapat dikoreksi, sehingga dengan pendengaran tidak dapat mengerti akan kata-kata seratus persen. Karenanya penderita tuli sensori neural harus dilatih untuk membaca suara atau gerakan bibir (speech reading). Sistem yang terakhir dipandang lebih relevan untuk menerangkan lebih mendalam dari sebab-sebab ketulian sehingga dapat dilakukan pencegahan atau rehabilitasi yang memadai. Pada anak lahir tuli atau mendapat tuli sebelum dapat berbicara, akan diberikan pendidikan khusus agar anak tuli tersebut masih dapat

mengembangkan bahasa dan bicaranya. Sedang tuli acquisita yang didapat setelah lahir, dan apabila penyebab-penyebabnya telah diketahui, dapat dengan segera dicegah ataupun diberi pengobatan yang memadai agar ketulian dapat dihindari (Boeis, 1997).

VI. Gangguan Pendengaran Pada Bayi

Di antara gangguan sensoris, gangguan pendengaran merupakan yang paling sering, mempengaruhi kira-kira satu atau dua dari seribu bayi (Brookhouser, 1996). Perbedaan yang penting dalam menentukan penyebab gangguan pendengaran adalah antara gangguan karena penyebab keturunan dan bukan keturunan. Rata-rata 60% dari gangguan pendengaran kongenital dipercaya disebabkan oleh faktor genetik (Morton, 1991), dan konsultasi genetik dapat membantu dalam membedakannya. Perbedaan penting lainnya adalah antara gangguan pendengaran sindromik dan non sindromik. Lalwani dan Castelein (1999) melaporkan bahwa sekitar 70% dari gangguan pendengaran yang diwariskan adalah nonsindromik yan tidak memiliki abnormalitas klinik lain selain ketulian. Pada 75% kasus, ketulian nonsindromik diturunkan secara autosom resesif, sementara autosomal dominan, X linked, dan pewarisan mitokondrial terdapat pada berturut-turut 0-1-%, 2-3% dan 1 %. Gen ini mengkode protein yang disebut koneksin 26 yang merupakan salah satu anggota protein yang memproduksi gap junction. Gap junction ini ditemukan di koklea pada sel mesenkim stria vaskularis dan terlibat dalam transport ion potassium kembali ke endolimfa setelah stimulus auditoris (Kikuchi et.al, 1994). Karena kelainannya adalah mikroskopik, tidak ada anomali struktural, dan CT scanning telinga dalam adalah normal pada individu dengan ketulian karena mutasi koneksin 26. Gen ini berlokasi pada lengan panjang kromosom 30 dan biasanya berhubungan dengan pola pewarisan autosomal resesif. Lebih dari 60 mutasi berbeda pada gen ini telah dijelaskan tapi mutasi tertentu, 35delG, adalah umum dan menghasilkan pergeseran frame selama translasi yang menghasilkan terminasi awal protein yang sedang diproduksi (Zelante et,al, 1997). Mutasi ini mungkin bertanggung jawab untuk sampai 80% gangguan pendengaran sensorineural nonsindromik autosomal resesif (Denoyelle et.al. s, 1997).

Pada penelitian mengenai 107 anak dengan ganggguan pendengaran sensorineural atau campuran dengan etiologi yang tidak jelas, Kenna,et,al, (2001) menemukan bahwa 30% mengalami mutsi koneksin 26. Bagaimanapun juga mereka menekankan bahwa patogenesitas mutasi koneksin 26 adalah lebih kurang pasti bila hanya terjadi mutasi tunggal koneksin 26, sebagaimana pada 12 diantara 30 kasus anak-anak dengan mutasi koneksin 26. Cohn dan Kelley (1999) menunjukkan bahwa gangguan pendengaran sensorineural yang menyertai mutasi koneksin 26 bervariasi dari ringan hingga berat, bahkan walaupun di dalam keluarga yang sama. Lebih dari 200 sindrom yang menunjukkan gangguan pendengaran telah diketahui (Grundfast dan Toriello, 1998). Adanya sindrom gangguan pendengaran tidak secara langsung menunjukkan genetik sebagai penyebabnya, meskipun kebanyakan bentuk sindrom gangguan pendengaran memiliki basis herediter. Sindrom -sindrom ini semata-mata menunjukkan suatu kelompok tampilan yang terjadi bersama dengan etiologi yang sama. Sindrom Waardenburg adalah contoh sindrom gangguan pendengaran sensorineural yang herediter (Waardenburg, 1951). Sindrom alkohol fetal merupakan suatu contoh sindrom gangguan pendengaran nonherediter. Banyak gen untuk sindrom gangguan pendengaran herediter telah diklon dalam tahun-tahun terakhir. Dismorfisme wajah sering dihubungkan dengan SNHL dan sering menjadi alasan perujukan ke otolaringologis. Tampilan ini dapat hampir tidak kentara akibat derajat ekspresifitasnya yang bermacam-macam. Penyebab-penyebab nonherediter gangguan pendengaran mencakup

infeksi TORCH maternal (toxoplasmosis, yang lain yaitu - sifilis, rubella, cytomegalovirus, virus herpes), trauma, dan obat ototoksik yang dikonsumsi oleh ibu. Pada toksoplasmosis kongenital sekitar 20% bayi mengalami gangguan pendengaran sensorineural yang dapat progresif dan biasanya disertai dengan infeksi otak, retina dan koroid (Wilson et.al , 1980). Mengikuti infeksi rubella maternal, lebih dari 50% bayi yang dilahirkan dari kehamilan seperti ini mengalami ketulian yang parah hingga amat parah, juga abnormaitas jantung dan mata (Newton, 1985).

Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh cytomegalo virus bervariasi dalam keparahannya mulai dari ringan hingga amat parah dan diperkirakan terjadi pada 30-60% kasus penyakit yang disebabkan oleh citomegalovirus dan pada sekitar 10% infeksi subklinik CMV (Stagno et. Al., 1983). Peckham et.al. (1987) menemukan bahwa CMV terdapat pada urin anak dengan gangguan pendengaran sensorineural hampir dua kali lebih sering daripada anak dengan pendengaran nomral. Gangguan pendengaran sensorineural akibat infeksi virus herpes simpleks yang ditularkan lewat maternal mungkin melibatkan penyebaran virus ke sistem saraf pusat pendengaran melalui meningoencephalitis (Brookhouser, 1996). Obat-obat tertentu dapat menghasilkan gangguan pendengaran

nonherediter ketika diberikan kepada ibu, mencakup thalidomide (Jorgensen dan Krisdtensen, 1964), streptomisin dan kina. Sindrom alkohol fetal merupakan penyebab sindromik non herediter gangguan pendengaran kongenital (Church dan Gerkin, 1988), sementara trauma tulang temporal selama proses kelahiran dapat menyebabkan gangguan pendengaran nonsindromik, nonherdeiter (Irving dan Ruben, 1998). Istilah gangguan pendengaran kongenital seringkali dibingungkan dengan istilah ganggun pendengaran herediter. Gangguan pendengaran kongenital secara sederhana menunjukkan bahwa gangguan pendengaran ada pada saat lahir dan bisa memiliki atau tidak memiliki dasar herediter. Sebaliknya gangguan pendengaran herediter mungkin tidak kongenital. Salah satu jenis yang paling umum dari gangguan pendengaran kongenital adalah gangguan pendengaran yang autosom dominan, nonsindromik, onset lambat, progresif. (Tomaski and Grundfast, 1999). Seperti yang akan didiskusikan di dalam bagian berikut, ada beberapa kondisi perinatal yang memungkinkan resiko tinggi gangguan pendengaran, mencakup berat lahir kurang dari 1500 gram, ventilasi mekanis yang berlangsung lima hari atau lebih dan hiperbilirubinemia yang membutuhkan transfusi tukar (Joint Comittee on Infant Hearing, 1994). Secara khusus, hiperbilirubinemia

menghasilkan gangguan pendengaran saraf yang dibuktikan oleh tes BERA yang abnormal walaupun tes emisi otoakustiknya normal, yang menunjukkan fungsi koklea yang normal (Kraus et. al. 1984).

Gangguan pendengaran ini dapat membaik dalam beberapa kasus. Rance et.al. (1999) menjelaskan mengenai neuropati pendengaran, dimana anak-anak mengalami gangguan pendengaran sensorineural dengan derajat yang bervariasi dan diskriminasi kata yang jelek walaupun fungsi koklea normal ketika diukur dengan emisi otoakustik. Pada neuropati auditoris respon batang otak pendengaran (auditory brainstem response) absen atau tidak ada. Anak-anak ini biasanya tidak tertolong dengan alat bantu dengar, tapi sangat terbantu dengan implantasi koklea.

VII. IDENTIFIKASI DINI GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI

Anamnesis lengkap pada bayi yang dengan faktor risiko meliputi riwayat kehamilan, hal ini harus mencakup pertanyaan mengenai durasi kehamilan, paparan ibu terhadap zat teratogenik seperti alkohol, tembakau, obat-obatan terlarang, pengobatan seperti aminoglikosida, retinoid, diuretik, atau infeksi. Skrining untuk infeksi TORCH jika dilakukan selama kehamilan harus diverifikasi, gangguan metabolik ibu seperti diabetes juga harus diperhatikan (Kumar A, 1997). Riwayat persalinan berupa berat lahir rendah dan kompliksi persalinan apapun atau kondisi yang membutuhkan usaha resusitasi seperti meconeum staining, trauma persalinan, intubasi atau perawatan intesif neonatal masing-masing dapat dihubungkan dengan resiko yang lebih tinggi dari gangguan pendengaran. Secara khusus, ventilasi mekanis yang berkepanjangan dihubungkan dengan gangguan pendengaran sensorineural (Eavey et,al,. 1995). Bayi yang dirawat di unit rawat intensif neonatal juga seringkali dirawat untuk hiperbilirubinemia. Dan sering diberikan antibiotik aminoglikosida dan diuretik seperti furosemid. Seluruh hal ini dapat memberikan kontribusi untuk berkembangnya gangguan pendengaran sensorineural (Kawashiro et.al., 1994). Gangguan pendengaran sensorineural pada bayi dihubungkan dengan sirkulasi fetal yang menetap (Naulty et. Al., 1984) dan atau hipertensi pulmonal yang menetap pada bayi baru lahir (persistent pulnmonary hipertension of newborn / PPHN). Gangguan pendengaran yang dihubungkan dengan PPHN dapat timbul lambat maupun progresif (Hutchin et.al, 2000). Kebutaan dan ataksia adalah khas untuk sindrom Usher. Baik sindrom Hurler (autosomal resesif) maupun Hunter (X linked) merupakan penyakit

penyimpanan mukopolisakrida yang menghasilkan retardasi mental yang gradual, wajah yang kasar, penggelapan kornea, dan gangguan pendengaran (Gorlin dan Sedano, 1968). Meningitis postnatal merupakan penyebab yang relatif umum dari gangguan pendengaran yang didapat pada anak-anak. Hal ini bertanggung jawab terhadap 25% gangguan pendengaran didapat yang parah hingga amat parah pada anak-anak (Nadol, 1978; Fortnum, 1992). Pada 2-4 % kasus, fibrosis dan osifikasi skala-skala di koklea dapat terjadi. Trauma tulang temporal dan trauma akustik dapat dihubungkan dengan gangguan pendengaran. Riwayat bicara dapat memberikan petunjuk mengenai tingkatan pendengaran pada anak. Batasanbatasan kemepuan bicara yang sesuai umur telah diketahui dan kegagalan untuk menembangkan kemampuan bicara atau kesulitan artikulasi merupakan bendera merah yang mengindikasikan gangguan pendengaran pada anak kecil. Riwayat ketidakstabilan postur apapun atau meningitis yang berulang sering menunjukkan defek pada telinga tengah. Riwayat keluarga memberikan pandangan mengenai bentuk herediter yang memungkinkan dari gangguan pendengaran. Keluarga derajat pertama dengan onset awal gangguan pendengaran atau keluarga manapun dengan gangguan pendengaran yang parah harus diidentifikasi. Analisis pedigree dapat memberikan petunjuk mengeni model pewarisan herediter gangguan pendengaran. Ciri-ciri yang dihubungkan dengan gangguan pendengaran sindromik harus dilihat. Abnormalitas kraniofasial, jantung, endokrin, oftalmologik, renal, dan kelainan lainnya dalam keluarga pasien dapat membantu diagnosis sindroma tertentu. Sebagai contoh, forlocke putih, warna iris yang berbeda, dan pangkal hidung yang lebar adalah khas untuk sindrom Waardenburg (Waardenburg, 1951). Sejarah gangguan ginjal mungkin sindrom Alport (Atkin et.al. , 1988). Telinga luar atau pinna kadang-kadang merupakan petunjuk pertama gangguan pendengaran yang potensial. Celah preaaurikular, telinga seperti mangkok atau telinga yang terpotong atau malformasi lain dari pinna dihubungkan dengan beberapa sindrom gangguan pendengaran. Pada sindroma treacher collins dan Goldengar, anomali telinga luar adalah parah (mikrotia/ atresia), dan ganggaun pendengaran biasanya konduktif. Mikrotia merupakan istilah umum untuk menunjukkan malformasi pinna dan sering dihubungkan dengan atersia atau stenosis kanalis auditoris eksternus.

Proses identifikasi bayi dengan gangguan pendengaran yang dapat dilakukan oleh keluarga adalah dengan cara pengamatan perilaku ( behavioral observation procedure). Pengamatan dilakukan terhadap reaksi jika ada rangsang akustik karena secara normal akibat rangsangan tersebut timbul tanggapan reflekstoris atau berupa orientasi dan kesiapsiagaan (alternating and orientating responses) atau dikenal dengan distracting stimuly. Refleks Moro atau startle reflex diuraikan oleh Mary Sheridan bahwa rangsang bunyi akustik akan

menimbulkan reaksi refleks berupa ekstensi punggung, tungkai dan lengan yang menyentak, diikuti gerakan cepat menekuk tangan di atas dada, biasanya disertai tangisan. Sedangkan refleks auropalpebral dapat ditimbulkan dengan berbagai sinyal rangsangan antara lain nada murni, generator sinyal secara bergelombang sempit atau lebar seperti ketokan kayu, bel pintu, gong, siulan, gesekan kertas. Intensitas sinyal tersebut untuk nada murni berkisar 55-105/112 dB SPL dan frekuensinya 1000-4000 Hz. Untuk bel berkisar 125 dB dengan durasi tidak tentu sekitar 200 milidetik pada intensitas 65 dB SPL. Refleks Aurosal atau cessation dimana bayi yang sedang tidur akan terbangun oleh karena adanya rangsang akustik, terjaga dari istirahatnya dan menangis, intensitas suara yang menimbulkann refleks tercatat 70-75 dB SPL. Reaksi aurosal berarti semua gerakan badan yang meliputi lebih dari satu anggota gerak yang bersamaan dengan gerakan mata. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan berulang sampai 3 kali untuk memastikan kecurigaan ketulian pada bayi. Pemeriksaan refleks vestibuklo-okular bisa dilakukan dengan memutar bayi pada suatu lingkaran sambil memegang lengan bayi. Pada bayi normal saccade telah berkembang begitu baik pada usia 2-3 minggu sehingga nistagmus tejadi pada arah rotasi. Hasil abnormal akan menunjukkan deviasi mata ke arah rotasi yang berlawanan. Tes refleks yang memeriksa baik sistem vestibular maupun propiosepsi mencakup neck righting refleks, dimana memutar kepala ke satu sisi menyebabkan tubuh memtuar pada arah yang sama. Fenomena ini terdapat dari sejak kelahiran hingga usia 4 bulan. Pada usia 6-18 bulan mereka mengembangkan righting refleks dimana kepala berputar sendiri dalam merespon perubahan mendadak posisi kepala seperti ketika bayi diangkat atau dimiringkan. Hoping refleks dihasilkan pada usia 8-10 bulan. Caranya dengan memegang bayi pada dadanya pada posisi tegak lurus, perlahan-lahan memiringkan bayi ke depan,

ke belakang, dan kesamping, dan melihat respon normal yang terjadi yaitu bayi mengambil beberapa langkah ke arah dia dimiringkan. Auditory brainstem response (ABR) merupakan alat yang tidak tergantikan untuk mengukur nilai ambang auditoris dan integritas nervus auditoris pada bayi dan inidividu tidak kooperatif lainnya (Starr et.al, 1977). ABR merupakan respon elektrik saraf yang dibangkitkan selama 10-20 milisecond mengikuti suatu stimulus audiometri. ABR direkam dengan elektroda aktif dan rujukan yang ditempatkan di kulit kepala. Untuk menemukan nilai ambang, intensitas sinyal dapat diturunkan sampai bentuk gelombang tidak dapat diulangi. ABR berguna dalam menentukan nilai ambang spesifik telinga pada anak kurang dari 6 bulan atau pada pasien lebih tua yang mengalami ketidakmampuan perkembangan yang menyebabkannya tidak bisa diperiksa dengan jenis tes yang lain. ABR utamanya kuat dengan stimuli klik tapi bisa juga diukur mengunakan ledakan nada berdurasi pendek untuk informasi frekuensi spesifik. Tes auditory brainstem response juga bisa dilakukan menggunakan stimuli yang dihantarkan oleh tulang, untuk membedakan gangguan pendengaran konduktif dengan sensorineural. Nilai ambang Auditory brainstem response secara langsung berhubungan dengan nilai ambang behavioral (Singinger, 1993). Emisi otoakustik atau OAE adalah suara yang diduga diproduksi oleh selsel rambut luar koklea yang dipantulkan balik melalui membran timpani dan dapat diukur dengan mikrophone pada liang telinga (Kemp, 1978). OAE yang dibangkitkan (evoked OAE) merupakan OAE yang diproduksi sebagai hasil stimuli otoakustik seperti klik dan ledakan nada. Metode ini mengukur integritas koklea tapi diperlemah oleh penyakit telinga tengah. OAE yang dibangkitkan mengukur fungsi koklea dalam merespon stmuli moderat dan karenanya absen pada gangguan pendengaran moderat atau yang lebih parah. Metode ini tidak berguna sebagai pengukur nilai ambang. Bagaimanapun juga, metode ini merupakan tes lokasi lesi yang sangat baik, karena terdapat pada gangguan pendengaran neural seperti neuropati auditoris yang mana ABR abnormal atau absen (Owens t.al., 1993)
VIII. Kesehatan Masyarakat

Menurut Winslow (1920) bahwa kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni mencegahpenyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui usaha- usaha pengorganisasian masyarakat untuk perbaikan sanitasi lingkungan, pembrantasan penyakit- penyakit menular, pendidikan kebersihan perorangan, pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan pengobatan, dan pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatanya. Sedangkan menurut ikatan dokter Amerika (1948) kesehatan adalah ilmu dan seni, memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesehatan masyarakat melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat. Kondisi kesehatan di Indonesia mengalami perkembangan dalam beberapa dekade terakhir. Sebagai contoh angka kematian bayi turun dari 118 kematian per seribu kelahiran di tahun 1970 menjadi 35 di tahun 2003, dan angka harapan hidup meningkat dari 48 tahun menjadi 66 tahun pada periode yang sama. Perkembangan ini masalah memperlihatkan dampak dari ekspansi penyediaan fasilitas kesehatan publik di tahun 1970 dan 1980 serta dampak dari program keluarga berencana. Meski demikian masih terdapat tantangan baru sebagai akibat perubahan sosial dan ekonomi(Soewito, 2009) Membahas masalah kesehatan dengan cara pendekatan sistim, berarti kita harus menelaah masalah kesehatan secara menyeluruh dengan melihat berbagai segi. Dalam hubungan ini perlu diingat bahwa masalah kesehatan sangat komplek oleh karena status kesehatan seseorang merupakan resultante berbagai faktor yaitu: (1) faktor masyarakat, (2) faktor lingkungan, (3) faktor pelayanan kesehatan. ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga setiap sistim pelayanan kesehatan harus memperhatikan ketiga faktor tersebut secara menyeluruh (Rukmianti, 1983). Puskesmas adalah unit organisasi kesehatan yang berada pada garis paling depan, bertugas untuk memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh, trpadu dan

langsung pada masyarakat. Fungsi puskesmas adalah mengembangkan partisipasi masyarakat dalam program kesehatan, membina partisipasi masyarakat dalam program kesehatan, membina partisipasi yang sudah ada, melaksanakan upaya kesehatan baik secara langsung maupun melalui sistem rujukan. Pelayanan kesehatan di puskesmas meliputi 12 pokok program kesehatan yaitu program jalan, kesejahteraan ibu dan anak, higiene dan sanitasi, pemberantasan penyakit menular, kesehatan masyarakat, kesehatan sekolah, peningkatan gizi, pencatatan dan pelaporan, kesehatan gigi, kesehatan jiwa dan laboratorium sederhana. Dalam upaya mencapai hasil yang lebih baik, beberapa kegiatan pokok puskesmas dijalankan secara bersama didalam program posyandu. Posyandu adalah usaha kesehatan yang bersifat menyeluruh dan terpadu yang dapat diterima dan dijangkau oleh seluruh masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat. Dilihat dari pokok-pokok program diatas seharusnya usaha untuk mendeteksi dini adanya ketulian secara individu maupn secara masal dapat dilakukan di posyandu. Banyak orang tua yang datang memeriksakan pendengaran anaknya, kebanyakan mereka sudah mencurigai adanya kelainan pendengaran semenjak anak berumur kurang dari 2 tahun, tetapi karena tidak diperiksa atau cara periksa yang tidak betul sehingga seringkali keliru didiagnosa dengan cacat mental, lemah ingatan atau orang tua bersabar sampai anak bisa berbicara sendiri (Soewito, 2009) Letak geografis indonesia yang sedang berkembang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pelayanan kesehatan. kurang lebih 60-90% dari jumlah seluruh penduduk di negara berkembang tinggal di daerah pedesaan. Dengan demikian permasalahan pokok justru ada pada masyarakat itu sendiri yang disebabkan karena kebanyakan anakanak hidup di daerah pedesaan. Faktor geografis negara sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha pelayanan kesehatan hal ini disebabkan oleh karena pelayanan kesehatan tidak dapat menjangkau seluruh masyarakat, sehingga masyarakat sukar

untuk dapat mencapai tempat pelayanan kesehatan. di negara negara yang sudah maju walaupun ada sebagian masyarakat yang tinggal di pedesaan tetapi mampu mengatasi masalah yang ada dengan transportasi yang lebih baik. Berbeda dengan masyarakat di negara berkembang khususnya indonesia, transportasi merupakan masalah yang sampai saat ini belum seluruhnya dapat dipecahkan. Hal ini menyebabkan penduduk yang tinggal dipedesaan dan jauh dari akses kesehatan akan benar- benar mengalami kesulitan yang mengakibatkan keterlambatan deteksi suatu penyakit yang tentunya juga akan mengakibatkan keterlambatan intervensi, preventif, dan terapi.( Rohde, 2001)
IX. Kerangka Konsep

Bayi baru lahir


Family Factor
Service Provider -Family functioning Geography Service Model -sosio-economic status/education -familly resourches -culture/etnicity

-Coordinated care -Parent support -Hearing Technology

-Access to Intervention -Type of intervention -Information

-Natural Child Experiences

Child Factor
-Age of Diagnosis -Hearing Age -Degree/Type of Loss -Developmental Level -Temperament

Deteksi dini gangguan pendengaran

X. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka diatas maka dapat dibuat hipotesis bahwa akses kesehatan berpengaruh terhadap deteksi ketulian dini.

Anda mungkin juga menyukai