Anda di halaman 1dari 45

KUASA MILITER INDONESIA: ANTARA BISNIS, POLITIK DAN KEKERASAN Militer Indonesia telah lama bertanggungjawab atas tindakan

kekerasantermasuk eksekusieksekusi extrayudisial, penyiksaan, dan penangkapan yang sewenang-wenangdi wilayahwilayah konflik seperti Aceh dan Papua, juga beberapa kasus serupa di seantero negeri. Tapi, seperti yang telah diketahui oleh Departemen Kenegaraan AS di dalam laporan tahunan hak asasi manusia minggu lalu (8 Maret), personil-personil militer dari berbagai tingkatannya sebagian besar tidak tersentuh oleh hukum. (INDONESIA: U.S. Aid to Corrupt TNI Risks More Rights Abuses, Lisa Misol, The Jakarta Post, March 14th, 2006 - Corporatewatch) Kekerasan militer di Indonesia merupakan fakta menyejarah yang tak bisa lagi disembunyikan. Kasus Timor-Timur sebelum mereka meraih kemerdekaannya, Aceh pra-rekonsiliasi dan Tsunami, Papua, Tragedi Mei 98, insiden Tanjung Priok, Pasuruan, hingga kasus-kasus kekerasan militer lain yang terjadi di seantero negeri ini, semuanya menyimpan sebuah tanda tanya yang sering kali terselubung di balik pemberitaannya. Ada apa di balik tetesan darah yang tumpah di tanah, kuburan-kuburan massal yang digali kembali, fakta-fakta hitam laporan Hak Asasi Manusia (HAM) yang membuat kita miris dengan rasa ngeri menimbang para pelakunya adalah mereka yang notabene dipercaya sebagai pelindung negara dan bangsa. Dan lebih ironis lagi, kebanyakan tulang-belulang yang tertindih di bawah tanah itu adalah mereka yang berasal dari kaum papa dan tak berpunyapetani miskin, buruh, jurnalis, aktivis, dsb. Laporan-laporan HAM dan pengakuan korban sering terdengar, namun semua itu hanya membuat kita bertanya-tanya, motivasi apa yang menjadi penggerak tindakan-tindakan tersebut. Mengapa pola kekerasan serupa selalu berulang? Dan ketika kasus serupa terjadi, selalu saja ada rahasia yang tak terungkap, ada hiruk-pikuk yang sengaja dikubur riuhnya, suara-suara dibungkam di balik mekanisme hukum dan alasan stabilitas nasional. Siapa sebenarnya pelakupelaku bayangan yang tak pernah diketahui ini, yang terkesan tak kasat mata, apalagi untuk bisa dijerat oleh hukum? Kita bisa saja mengasumsikan sebuah teori konspirasi untuk membeberkan skenario para penggerak beserta motivasinya. Kita bisa saja dengan mudah mereduksinya menjadi logika siapa yang mengambil keuntungan dan siapa yang dirugikan dari setiap kasus. Kita bisa saja mengatakan bahwa semua itu hanya kebetulan tanpa mencari benang merah dari setiap kasus tersebut. Tapi, kemana ini akan mengarah juga menjadi pertanyaan yang akan mendahului kita, apalagi ketika menimbang bahwa semua ini merupakan konsekuensi sistematis dari sebuah sistem yang berasaskan akumulasi keuntungan dan kekuasaan. Data, fakta dan buku-buku telah ditulis; para korban telah sering menyiarkan kesaksian mereka; yang perlu kita lakukan hanyalah membuka kemampuan indrawi kita lebih luas dari yang biasanya kita dituntut. Di bawah ini, kami akan mencoba menjelaskan, mempertanyakan dan mencoba menarik garis yang konsisten dari pokok permasalahan ini. Bukan untuk menawarkan solusi yang mudah, tapi untuk membongkar relasi-relasi yang sering luput dari kesadaran, agar kita tidak selalu mempercayai suatu kebetulan dari segala sesuatu. Militer dan Bisnis Laporan HAM dunia mencatat bahwa yang sering menjadi pemicu terjadinya kekerasan militer adalah keterlibatan langsung mereka dalam bidang ekonomi dan politik. Singkatnya, kekerasan

yang dilakukan militer tidak pernah jauh dari kaitannya dengan bisnis dan politik kekuasaan. Dalam laporan Human Rights Watch bertajuk Too High A Price: The Human Rights Cost of Indonesian Military Economic Activities, fenomena militer sebagai businessmen dilihat terjadi sebagian karena minimnya anggaran negara untuk militer. Faktor ini pun sering dijadikan pembenaran bagi setiap aktivitas ekonomi, legal ataupun ilegal, yang dilakukan oleh militer. Kendati demikian, laporan yang sama juga membongkar mitos minimnya anggaran untuk militer, karena bukti-bukti aktual yang ada justru berkata sebaliknya. Sekarang ini sekurangnya ada sekitar 219 kesatuan militer yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Usaha-usaha yang separuh atau sepenuhnya dimiliki oleh militer mencakup bidangbidang agrobisnis, manufaktur, perbankan, sampai lapangan golf. Belum lagi bisnis sekuritas (keamanan) yang disediakan oleh militer bagi korporasi-korporasi multinasional seperti Freeport dan Exxon dua korporasi yang bertanggung jawab atas banyak kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Sebagai contoh, dari tahun 2001 sampai 2003 Freeport mencatat bahwa mereka telah membayarkan sejumlah 16 juta dolar (sebelumnya sudah membayarkan sebanyak 35 juta dolar) kepada TNI untuk infrastruktur militer dan kompensasi atas 2.300 tentara yang disediakan oleh jasa keamanan tersebut. Sementara usaha-usaha yang disebut sebelumnya, dicatat oleh Far Eastern Economic Review berdasarkan laporan pendapatan tahunan dari beberapa usaha militer terpilih, berjumlah sekitar 60 juta dolar (atau 500 milyar rupiah). Asal Usul Bisnis Militer Awal mula keterlibatan militer dalam aktivitas ekonomi dapat ditelusuri sejak periode 1945-1949 pada masa perjuangan merebut kemerdekaan. Militer yang baru lahir bertanggung jawab atas pendanaannya sendiri dan sepenuhnya bersandar pada bantuan dari rakyat, sementara beberapa unit militer di sebagian daerah melakukan aktivitas penyelundupan untuk menutupi anggaran mereka. Tahun 60-an, di era Demokrasi Terpimpin, terjadi nasionalisasi usaha-usaha yang tadinya dimiliki Belanda, kemudian diambil alih dibawah kendali para pejabat militer senior. Dalam dekade ini, Jendral Soeharto bersama kabinet bayangannya mengendalikan sejumlah aset penting nasional yang mencakup hasil tambang sampai bahan pangan, misalnya lewat Pertamina dan Bulog. Setiap keuntungan dari badan-badan tersebut juga dikendalikan oleh militer. Karena aktivitas ekonomi non-konvensional militer ini, pimpinan militer dan pemerintah dapat dengan mudah membuat kesan bahwa anggaran militer sengaja dikorbankan demi prioritas nasional lainnya. Pertumbuhan tajam aktivitas ekonomi militer disertai kolaborasinya dengan para pengusaha. Bahkan sebagian besar usaha militer dioperasikan oleh perusahaan swasta. Kontribusi nyata militer untuk perkembangan bisnisnya biasanya minim: para mitranyalah yang mengurus masalah perizinan, surat-surat serta kelonggaran dalam kontrak negara. Era Orde Baru di bawah Soeharto memantapkan posisi militer dalam perpolitikan sejak diadopsinya kebijakan dwifungsi ABRI pada tahun 1966: menjamin peran militer di ranah sosialpolitik. Konsekuensinya, pengaruh militer hadir di setiap badan administrasi pemerintahan di seluruh negeri ini sampai ke tingkat desa. Pengaruh politis yang kuat ini memungkinkan militer mendominasi ekonomi secara lebih luas. Asal Usul Peran Militer dalam Politik Dwifungsi, menurut Lesley Mculloch, membuka pintu ketiga bagi peran militer lainnya, yaitu sebagai aktor ekonomi yang kuat. Karena itu mungkin akan lebih tepat, menurutnya, apabila dwifungsi diganti menjadi Trifungsi: militer sebagai pelindung, militer sebagai pejabat politik, militer sebagai pengusaha.

Di era Orde Baru, militer menguasai hampir setiap celah ekonomi, termasuk badan-badan usaha nasional. Semua itu dilakukan dengan berbagai kemudahan akses politis yang dimiliki militer. Geliat militer dalam perpolitikan tidak terjadi secara alami, tetapi merupakan konsekuensi sejarah sejak lahirnya tentara Indonesia. Mentalitas umum tentara Indonesia sebelum maupun setelah kemerdekaan adalah peran langsungnya dalam perpolitikan. Harold Crouch mencatat, dalam masa revolusi tahun 1945 sampai 1949, tentara terlibat di dalam perjuangan kemerdekaan di mana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan. Adapun dua arus gerakan militer di masa itu adalah: yang berpendirian netral dalam urusan politik, dan yang tidak sungkan-sungkan untuk terlibat dalam perpolitikan. Pimpinanpimpinan militer non-politis kebanyakan berasal dari kalangan kaum berpunya Indonesia yang lulus dari akademi kemiliteran di Belanda. Sementara yang kedua, yang menganggap bahwa militer harus secara langsung mempengaruhi jalannya pemerintahan, berasal dari divisi-divisi tentara lokal yang cenderung memiliki pengikut berdasarkan ideologi politik dan daerah divisi tersebut berasal. Banyak dari yang disebut terakhir ini jebolan tentara-tentara bentukan Jepang seperti PETA. Mayor Jendral Nasution, meski berasal dari kalangan militer yang netral, pada tahun 1965 merumuskan sebuah konsep yang dia namai Jalan Tengah. Dalam seminar pertama yang diselenggarakan pada April 1965, tentara mencetuskan suatu doktrin yang menyatakan bahwa angkatan bersenjata memiliki peran rangkap, yaitu sebagai kekuatan militer dan kekuatan sosial-politik. Sebagai kekuatan sosial-politik, kegiatan tentara meliputi bidang-bidang: ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan. Peran rangkap militer ini, walau belum tercetuskan secara resmi, sering dijadikan alasan untuk meraih kendali kekuasaan ke tangan mereka, terutama ketika sistem pemerintahan sedang mengalami kemerosotan. Konflik-konflik yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin, seperti Peristiwa Madiun, membuat tentara menyadari peran ekstrem mereka. Perkawinan antara kalangan militer netral yang lebih terdidik dengan kalangan militer yang haus kekuasaan seperti Soeharto, sekurangnya dalam ruang lingkup yang paling dominan di dalam TNI, berhasil meredam perpecahan lebih jauh di kalangan militer Indonesia yang pada waktu itu terbagi-bagi menjadi divisi-divisi kecil yang memegang ideologi politik tertentu. Setiap konflik yang terjadi membuat militer memiliki alasan untuk memberlakukan situasi darurat, kemudian menuai kendali-kendali politik dan ekonomi setelah konflik berhasil diredam. Bisnis Kekerasan Dunia telah mencatat sejumlah pembantaian dan tindak kekerasan oleh militer Indonesia yang disokong korporasi-korporasi multinasional. Tindak kekerasan oleh militer di area Freeport pertama kali didokumentasikan pada tahun 1972, dan belum berhenti sampai saat ini. Pembantaian yang terjadi di kampung-kampung membuat ribuan warga terpaksa mengungsi. Kasus penyiksaan dan pemerkosaan sering menyertai tindak kekerasan ini. Setiap perlawanan yang dilakukan akan berujung pada pembunuhan dan penculikan. Lebih jauh lagi, di wilayah Papua militer terlibat dalam bisnis prostitusi, penebangan ilegal, penyelundupan senjata dan sejumlah kasus pemerasan. Bukanlah suatu kebetulan bahwa daerah-daerah pendudukan militer, seperti Aceh dan Papua, adalah wilayah yang kaya sumber daya alam. Freeport McMoran telah beroperasi selama beberapa dekade di Papua untuk mengeksploitasi hasil alam di sana: emas. Exxon di Aceh memegang seratus persen hak pengolahan gas alam di sana, yang bila dijumlahkan dengan unitunit satelit lainnya pada tahun 2004 menghasilkan 25,33 milyar dolar sebuah rekor dunia.

Menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan sumber lain yang dapat dipercaya, pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas ribuan pembunuhan, penangkapan dan penghilangan warga sipil Aceh. Contoh kecil baru-baru ini adalah penembakan warga Pasuruan oleh marinir, yang terjadi karena adanya kesepakatan bisnis antara marinir dengan PT. Rajawali, yang mengakibatkan empat korban tewas, termasuk seorang perempuan yang sedang hamil. Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian sangat kecil dari praktik kekerasan yang dilakukan militer. Sejumlah kasus, baik yang tercatat secara resmi maupun tidak, telah menjadi bukti tentang praktik militer Indonesia yang, meski sering dilakukan dengan alasan demi stabilitas, integritas dan persatuan, selalu saja ada kaitannya dengan bisnis, sekecil apapun itu. Kesimpulan Kekerasan, sebagai ciri fundamental dan sifat inheren dari militerisme, tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat bila tidak dikombinasikan dengan ekonomi dan politik. Melalui gambaran umum peran militer dalam ekonomi dan politik yang dibahas di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tindak kekerasan oleh militer hampir tidak pernah terpisah dari kedua aspek tersebut. Pembahasan peran militer dalam politik tidak seharusnya dipisahkan dari geliatnya dalam penguasaan ekonomi. Aktivitas politik militer dilakukan semata-mata untuk memuluskan kendali mereka atas ekonomi. Tidak sedikit pejabat dan politisi pemerintah sekarang ini berasal dari kalangan militer. Abdurrahman Wahid, yang ketika berkuasa sempat memprakarsai sebuah referendum kemerdekaan untuk Aceh, akhirnya lumpuh karena kuatnya lobi-lobi dan dominasi militer di dalam parlemen. Sejarah mencatat bahwa politisi yang baik akan selalu menjaga hubungan baik dengan militer. Permasalahan teritori negara dan disintegrasi merupakan isu yang hampir sepenuhnya berbeda dan terlalu jauh untuk dibahas di sini. Kendati demikian, isu tersebut harus selalu dipertimbangkan jika kita ingin menemukan benang merah antara ideologi politik militer, yang notabene adalah pelindung negara, dan praktiknya yang selalu terhubung dengan aktivitas modal yang tak memiliki batas geografis. Orde Baru, seperti halnya Demokrasi Terpimpin, membuka pintu lebar-lebar bagi kekuasan militer dalam politik dan ekonomi sesuatu yang mencerminkan lemahnya kendali atas elemen ini, dan berakhir dengan membuka jalan bagi dominasi militer. Struktur negara yang hirarkis dan birokratis menyerupai struktur dan sifat militer yang berasaskan hubungan tak berbantah antara atasan dan bawahan. Bentuk-bentuk negara, meski berbeda-bedamulai dari yang komunis, kapitalis (demokrasi representatif), sampai kediktatoranselalu memiliki pola yang sama di manapun bila berhubungan dengan politik dan ekonomi. Kita selalu bisa menemukan kasus serupa di Afrika, Cina, Venezuela, bahkan Amerika Serikat, ketika kekerasan militer terjadi. Perubahan pimpinan pemerintahan tidak banyak merubah sifatnya yang oportunistik. Pada 2004, enam tahun setelah Orde Baru tumbang, parlemen mengambil inisiatif untuk mengakhiri keterlibatan militer dalam dunia bisnis, namun pada praktiknya, semua embel-embel demagogis semacam ini hanyalah basa-basi politik yang tak berujung. Kita semua mengetahui perjuangan tak kenal lelah almarhum Munir untuk menelanjangi praktik kekerasan militer, hingga akhirnya dia pun menjadi korban dari praktik tersebut. Kita semua tahu siapa yang mengendalikan media massa, politisi negara yang merangkap pengusaha, wakil rakyat yang berlatar belakang militer. Elemen-elemen yang selalu berusaha meyakinkan kita tentang suatu

kebetulan dari segala sesuatu, bahwa racun arsenik di gelas Munir jatuh dari langit; bahwa rakyat Aceh mengangkat senjata tanpa alasan; bahwa suku-suku Papua bergerilya di hutan hanya karena mereka memang tidak beradab; bahwa setiap pembantaian dan kekerasan yang terjadi di sekeliling kita hanyalah sebuah intermezzo, layaknya jeda iklan, yang berlalu begitu saja; bahwa praktik ilegal maupun legal yang dilakukan militer tidak ada hubungannya dengan permasalahan ekonomi-politik negara dan demikian pula sebaliknya. Namun demikian, kenyataan berkata sebaliknya: militer dan politik negara tidaklah terpisahkan, sebagaimana ia membutuhkan stabilitas sosial untuk menjamin aktivitas ekonomi para pengusaha, sebagaimana ia selalu membutuhkan darah tumpah di tanah untuk menjamin agar rakyat tak membantah dan senantiasa tunduk kepada pimpinan. Militer dan negara, layaknya sepasang saudara akrab, berbicara dengan memakai logikanya sendiri: moncong senjata dan undang-undang. Sudah saatnya kita berhenti mempercayai suatu kebetulan dari segala sesuatu, dan mulai berbicara dengan memakai logika kita sendiri, sampai setiap kepatuhan dan eksploitasi, yang berdiri atas nama bangsa dan negara, tercabut hingga ke akar-akarnya. _____________________________________________________________________________ DISTOPIA G8 KONFERENSI Tingkat Tinggi G8 ke-33 yang berlangsung di Heiligendamm, Jerman, pada 6-8 Juni 2007, mendapat respon keras dari banyak kelompok di seluruh dunia. Persiapan untuk mobilisasi, blokade dan karnaval sudah dimulai sekitar 6 bulan sebelum KTT berlangsung, bahkan ada kelompok yang sudah melakukan persiapan jauh hari sebelumnya. Di Rostock, sekitar 25 kilometer dari Heiligendamm, berdiri banyak kamp informasi untuk mempersiapkan mobilisasi besar-besaran. Bahkan sejak Agustus tahun lalu, di sekitar Heiligendamm sudah ada beberapa kelompok yang mulai menggelar berbagai aksi protes, dan sejak saat itu sudah diterbitkan berbagai newsletter dalam lebih dari 8 bahasa. Kelompok-kelompok ini antara lain terdiri dari LSM, aktivis anti-globalisasi, anti-perang, mahasiswa dan kelompok anti-otoritarian. Di Belgia, sejak Desember tahun lalu, sudah diselenggarakan aksi selama seminggu berturutturut untuk menggalang kekuatan massa. Di kota Bonn juga berlangsung pengorganisiran untuk mobilisasi anti-G8. Bonn Coalition Against G8 adalah aliansi dari berbagai LSM, organisasi lingkungan, kelompok musisi hip-hop, dll. Mereka terdiri dari DKP (Partai Komunis Jerman), Anti-Nuclear Group Bonn, ATTAC (organisasi massa anti-globaliasi), Bonn for peace (organisasi anti-perang), gerakan mahasiswa dan organisasi lain yang hadir secara perorangan. Di Inggris, persiapan sudah dimulai sekitar awal Januari dengan pertemuan umum di kota Nottingham. Mobilisasi internasional berlanjut di Warsawa, Polandia, pada 10-11 Februari. Pada bulan Mei, di kota-kota Amsterdam, Berlin, Hamburg, Cologne, Goettingen, Managua, Vienna dan Edinburgh juga digelar aksi solidaritas untuk ikut mengorganisir protes anti-G8, dan banyak dari aksi itu dijawab dengan represi oleh aparat yang menyebabkan banyak demonstran terluka dan ditangkap. Mendekati hari pelaksanaan KTT G8, kelompok-kelompok dari berbagai penjuru dunia telah tiba di kota Rostock. Setiap hari berita demonstrasi dan bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa selalu menjadi headline media massa di hampir semua negara Eropa. Di sudut-sudut jalan di Jerman dengan mudah ditemui poster anti-G8 dan poster ajakan untuk melakukan protes ke Heiligendamm, Hamburg dan Berlin. Di sekitar kampus, perkantoran dan pusat pertokoan,

dijumpai banyak grafiti stop G8. Pengamanan super ketat dilakukan pemerintah Jerman menyusul arus masuk demonstran yang sangat besar. Bahkan lokasi KTT G8 di Heiligendamm dipasangi kawat berduri standar NATO, sehingga kawasan wisata mewah itu tampak seperti situasi holocaust pada Perang Dunia I. Tanggal 2 Juni aksi pemanasan digelar di sekitar Rostock, di mana polisi bentrok dengan para pengunjuk rasa. Situasi ini diawali dengan serangan polisi terhadap massa Black Bloc, salah satu kelompok terbesar pada aksi hari itu. Tindakan represif terhadap sekitar 80.000 pengunjuk rasa ini menyebabkan puluhan orang ditangkap. Sampai tanggal 3 Juni tercatat 165 orang ditahan dan sekitar 500 orang terluka akibat lemparan batu, botol dan molotov. Pada 4 Juni, di berbagai titik di kota Rostock seperti Immigration Centre dan Sonnenblumen House di Lichtenhagen digelar aksi lanjutan. Aksi ini difokuskan pada isu kebebasan pergerakan (berorganisasi dan berpendapat di depan umum) serta isu kesetaraan hak bagi semua orang. Berbagai aksi juga terjadi di tempat lain seperti di Houston, Texas. KTT ini mendapat pengawalan sangat ketat, sekitar 16.000 polisi diturunkan ke jalan-jalan untuk mengantisipasi kerusuhan. Cara pengamanan lainnya adalah dengan menyiapkan meriam air di sekitar Rostock untuk mengantisipasi kerusuhan yang lebih besar. Pada hari pertama KTT, 6 Juni 2007, dilakukan aksi blokade oleh berbagai kelompok massa. Jumlah demonstran sekitar 100.000 orang, tersebar di beberapa titik pintu masuk Heiligendamm. Hampir seluruh jalan masuk ke Heiligendamm diduduki para pengunjuk rasa, dan siang harinya beberapa kelompok berhasil mencapai pagar besi yang mengelilingi lokasi pertemuan sebuah areal yang secara mendadak diputuskan sebagai zona anti-demonstrasi. Di sebelah timur Heiligendamm, pengunjuk rasa merangsek pagar betis polisi dan dibalas dengan gas air mata dan meriam air. Malam harinya polisi berusaha membubarkan blokade beberapa pengunjuk rasa, sementara kelompok lain tetap menduduki jalanan, dan ada kelompok yang menduduki jalan di sekitar bandara Rostock-Laage dan bermalam di sana. Di hari kedua, masih ada beberapa blokade yang mampu bertahan. Blokade ini cukup menyulitkan para jurnalis dan delegasi untuk mencapai lokasi pertemuan. Beberapa pengunjuk rasa menghentikan dan menyerang salah satu mobil delegasi yang akan menuju lokasi pertemuan. Pada hari ini, lebih dari 500 pengunjuk rasa ditangkap. Di hari yang sama juga digelar aksi solidaritas di berbagai penjuru dunia, memprotes eksistensi G8 sebagai illegitimate organization yang semena-mena memutuskan kebijakan-kebijakan global. Di Sao Paulo, Brazil, aksi protes berlangsung hingga mengakibatkan kerusakan parah pada properti umum. Pada hari ketiga, blokade berakhir dan ribuan orang melakukan long march, sementara sebagian lainnya melakukan aksi solidaritas di depan penjara kota, menuntut agar pengunjuk rasa yang ditangkap segera dibebaskan. Itulah beberapa rangkaian aksi menentang pelaksanaan KTT sekaligus menolak eksistensi G8. Aksi-aksi itu muncul bukan tanpa sebab ada banyak sekali hal yang menyebabkan massifnya gelombang penolakan terhadap G8. Konferensi G8 selalu mendapat perhatian lebih karena dari sinilah muncul rujukan untuk berbagai kesepakatan global di bidang ekonomi, politik, lingkungan, dll. G8, atau Group of Eight, adalah organisasi informal tingkat internasional yang terdiri dari delapan negara anggota. Sangatlah eksklusif bila kelompok minoritas ini kemudian menentukan kebijakan untuk seluruh masyarakat internasional. Negara-negara ini bahkan memegang 65% kendali atas perekonomian dunia dan berpengaruh besar di bidang-bidang lainnya. Sementara sisanya ditentukan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang juga terkait erat dengan kepentingan negara-negara G8.

Pertemuan kali ini memiliki agenda-agenda seperti perbaikan iklim ekonomi global, isu perubahan iklim dan pembangunan Afrika. KTT diikuti oleh delapan delegasi negara-negara terkaya di dunia, yaitu Kanada (PM Stephen Harper), Perancis (Presiden Nicolas Sarkozy), Jerman (Kanselir Angela Merkel yang sekaligus menjadi Presiden G8 periode 2007), Italia (PM Romano Prodi), Jepang (PM Shinzo Abe), Rusia (Presiden Vladimir Putin), Inggris (PM Tony Blair) dan Amerika Serikat (Presiden George W. Bush). Selain itu juga hadir wakil-wakil dari Brazil, Cina, India, Meksiko dan Afrika Selatan yang akan segera diajak bekerja sama oleh G8. Dari tiga hari pertemuan itu dihasilkan beberapa deklarasi, antara lain: 1. Pertumbuhan dan tanggung jawab G8 dalam ekonomi dunia, yang mencakup: Agenda G8 untuk pertumbuhan dan stabilitas global. Stabilitas yang sistemik dan transparansi pasar finansial. Kebebasan investasi, lingkungan investasi global dan tanggung jawab sosial. Peningkatan inovasi, perlindungan inovasi, jaminan hak kekayaan intelektual. Perubahan iklim, efisiensi energi dan keamanan energi; tantangan dan peluang pertumbuhan ekonomi dunia. Tanggung jawab untuk persoalan bahan mentah; transparansi dan petumbuhan yang mantap. Memerangi korupsi. Heiligendamm process; KTT G8 dan negara-negara berkembang seperti Brazil, China, India, Meksiko dan Afrika Selatan. Deklarasi perdagangan G8. Pernyataan bersama antara presidensi G8 Jerman dengan pemerintah Brazil, China, India, Mexiko dan Afrika Selatan. 2. Pertumbuhan dan tanggung jawab G8 terhadap Afrika, yang mencakup: Penguatan good governance dan kapasitas kelembagaan. Pengembangan investasi dan pertumbuhan ekonomi yang mantap. Peningkatan perdamaian dan keamanan. Peningkatan sistem kesehatan, memerangi HIV, tuberculosis dan malaria. 3. Kebijakan luar negeri dan isu keamanan, yang mencakup: Pernyataan tentang kontra-terorisme; keamanan di era globalisasi. Pernyataan tentang Sudan/Dafrur. Tinjauan kemitraan global. Pernyataan tentang non-proliferasi. Laporan tentang dukungan G8 bagi upaya kontra-terorisme PBB. Laporan kerjasama global G8. Laporan tentang keamanan nuklir dan kelompok kemanan (security group). Secara kelembagaan, G8 menunjukkan pemusatan atau dominasi atas perekonomian dunia. Tidak adanya partisipasi merata dari seluruh negara di dunia dalam penentuan kebijakan internasional menunjukkan bahwa G8 adalah organisasi eksklusif yang sewenang-wenang menentukan kehidupan masyarakat dunia. Korelasinya dengan sistem ekonomi neoliberal ialah bahwa G8 merepresentasikan mereka yang menguasai kapital, alat produksi, bahan produksi, pasar dan mengendalikan tenaga kerja. G8 adalah semacam proyek bagi hasil antar negaranegara kapitalis agar tidak terjadi sengketa di antara mereka sendiri. Dominasi lain yang mencolok dapat dilihat dari segi pertahanan militer, di mana pada tahun 2005 anggaran militer dari kedelapan negara tersebut mencapai 707 milyar dolar, yakni 71% dari total belanja militer di seluruh dunia, dan Amerika adalah yang terbesar dari anggaran militer itu. Dominasi lainnya

adalah nuklir, di mana industri nuklir negara-negara maju menggenggam 69% porsi tenaga atom di seluruh dunia. Amerika, Inggris, Perancis dan Rusia menguasai 98% senjata nuklir dunia. Komitmen mereka untuk mengurangi emisi global adalah omong kosong manakala Amerika tetap menolak Protokol Kyoto yang merupakan upaya untuk mengurangi pemanasan global. Dalam agenda dan deklarasinya di atas, tak ada satu pun poin yang merugikan negara anggota G8. Di balik retorika bantuan dan tanggung jawab itu, ada maksud terselubung untuk terusmenerus mereproduksi kapital dan mengakumulasi laba. Di balik kata tanggung jawab global, ada upaya penciptaan stabilitas global untuk kebebasan investasi seluas-luasnya. Ini berarti, kuatnya stabilitas global akan mampu melancarkan agenda neoliberal negara anggota G8 untuk mendapatkan jaminan keamanan bagi invasi kepentingan ekonomi mereka ke negara-negara berkembang dan miskin (termasuk Indonesia) yang juga dituntut untuk memiliki good governance. Kebebasan investasi yang mereka usung berarti semakin sedikitnya syarat yang perlu mereka penuhi untuk menanamkan modal dan mengeruk keuntungan dari negara-negara sasarannya. Janji G8 untuk menghapuskan hutang multilateral 18 negara termiskin di dunia pada KTT tahun 2005 juga tak pernah dilaksanakan, begitu pula janji peningkatan bantuan yang terjadi justru pengurangan jumlah bantuan. Afrika, yang menjadi salah satu poin utama dalam agenda KTT G8 ke-33 ini, pun tak lepas dari kepentingan ekonomi. Afrika merupakan pasar sekaligus sumber daya baru bagi kemajuan ekonomi negara anggota G8. Pengembangan investasi merupakan salah satu solusi yang diberikan G8 kepada Afrika, dan ini berarti akan segera menjamur korporasi-korporasi internasional yang beroperasi di tanah Afrika. Alam Afrika yang menggiurkan akan menjadi sasaran eksploitasi baru untuk memenuhi kebutuhan produksi yang tak terbatas. Masyarakat Afrika, yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan lebih rendah dibandingkan masyarakat di negara maju, akan segera menjadi pasar buruh murah untuk dipekerjakan di korporasi multinasional milik negara anggota G8. Adalah komitmen palsu bila G8 ingin memperbaiki sistem kesehatan di Afrika namun sekaligus menerapkan perlindungan inovasi dan jaminan hak kekayaan intelektual, yang berarti akan terus meningkatkan ketergantungan Afrika terhadap negara-negara G8, termasuk di bidang kesehatan. Tentang kebijakan luar negeri dan isu keamanan, terutama poin kontra-terorisme, ini berarti bahwa dengan mudahnya negara-negara G8 bisa menuduh sebuah negara atau kelompok yang menjadi lawan politiknya sebagai sarang teroris, seperti yang terjadi pada Irak. Dan propaganda tentang keamanan nuklir menunjukkan kepentingan G8 untuk terus menghantam gelombang perlawanan anti-nuklir yang memperjuangkan kehidupan lingkungan dan umat manusia. Pada akhirnya, banyak sekali masalah turunan yang kita rasakan sehari-hari dari tiga poin keputusan G8 tersebut. Mulai dari upah murah, kerusakan dan bencana alam akibat industrialisasi, hutang negara, kemiskinan, kekerasan, privatisasi jasa dan layanan publik, privatisasi sumber daya alam, privatisasi pendidikan, ketidakseimbangan alam, urbanisasi, dan lain-lain. Jadi, tidak ada alasan untuk mendiamkan G8 dengan kesewenang-wenangannya, tak ada siapapun yang berhak menentukan seluruh hidup kita, tidak juga kelompok minoritas G8 kecuali kita sendiri. (Diadaptasi dari berbagai sumber.) ______________________________________________________________________________ __

Ilusi Personalitas dalam Budaya Massa

beli beli beli Konsumsi konsumsi kami, sehingga kalian dapat berpartisipasi dalam usaha para anak negeri yang berjibaku untuk naik haji!!! Homicide, Barisan Nisan PEMASSIFAN komodifikasi hidup harian telah sampai pada taraf di mana hampir segala hal hanya dijadikan tontonan belaka. Dari mulai selera makan, fesyen, hiburan, imaji kebahagiaan, sampai pada kesempurnaan hidup telah ditentukan oleh semacam kreator budaya yang bersifat satu arah. Tak mengherankan bila sebuah potensi pembebasan yang pada awalnya dihidupi secara langsung kemudian hanya menjadi sekedar representasi atasnya. Dalam industri yang menuntut percepatan proses produksi dan konsumsi untuk akumulasi modal, kapitalisme mengklaim memberikan banyak pilihan bagi para konsumennya. Hubungan dagang yang terjadi diimajikan berjalan secara demokratis. Apa yang diproduksi dan dipasarkan oleh mereka seolah merupakan kebutuhan yang memang hakiki bagi para konsumennya. Padahal tentu saja ketimpangan pola akses terhadap produksi dan konsumsi, juga kepemilikan alat produksi, masih jelas terlihat. Selain itu, pengkomandoan yang mereka lakukan lewat iklan misalnya, telah merubah kebutuhan menjadi sedemikian kompleks bagi para konsumennya. Logika nilai guna atas suatu barang atau jasa telah tergusur menjadi logika mencari nilai lebih dari nilai tukar. Tak hanya dari proses produksi, tapi juga proses konsumsi. Hal lain yang tak bisa disangkal dari komodifikasi hidup adalah harus patuhnya hampir semua hal terhadap komando dari hukum komoditi kapitalisme. Segala sesuatu harus dibuat menguntungkan (bagi kreator produksi dan komoditi), tak peduli apapun efeknya. Segala yang dipasarkan boleh berwarna dan berbeda-beda, tapi mekanisme kekuasaan yang terjaditidak boleh tidakharus serupa sehingga penentuan bentuk, gaya dan makna telah terlebih dahulu ditentukan oleh sang kreator. Demokrasi yang diusung kapitalisme tentu hanyalah sebuah mitos yang direproduksi terus-menerus. Theodor Adorno, seorang tokoh penting dalam diskursus kebudayaan, mengemukakan: setiap orang harus bertingkah lakusesuai dengan kondisi yang sebelumnya direncanakan dan ditentukan baginya, dan memilih kategori produk massa yang dibuat khusus sesuai dengan tipologi mereka. Para konsumer muncul sebagai statistik pada tabel-tabel organisasi riset, dan mereka dikelompok-kelompokkan berdasarkan pendapatan ke dalam daerah merah, hijau, dan biru.[1] Ilusi Personalitas dan Kekuasaan dari Atas Maraknya ungkapan Be Yourself, yang diproduksi (sekaligus direproduksi) oleh berbagai merek dagang, membuat makna dari ungkapan ini menguap dan terjebak pada pengulanganpengulangan serupa tanpa pengendapan. Setiap orang merasa merepresentasikan dirinya sendiri, setiap orang yang memakai ungkapan ini pada kaosnyaatau tasnya, atau pada media apapunmerasa otentik dan unik di antara masyarakat yang semakin berjalan ke arah yang kurang-lebih serupa. Orang-orang dicekoki ilusi bahwa mereka telah menjadi dirinya sendiri hanya dengan mengkonsumsi suatu produk. Orang-orang diiming-imingi kekuasaan dan kebebasan untuk memilih kategori produk, gaya dan gaya hidup lewat mitos konsumen adalah raja. Tapi, yang sebenarnya didapat dari proses konsumsi tak lebih hanyalah kebebasan dalam keterbatasan pilihan. Kekuasaan dalam kenihilan kuasa atas diri sendiri. Bukan hanya karena pilihan yang digulirkan telah dirancang dari atas, tapi terhadap makna-makna pun konsumen hanya menjadikannya sebagai bayangan diri, bukan diri itu sendiri.

Konsumen boleh saja merasa menjadi dirinya sendiri dengan media yang terbubuhi ungkapan Jadilah dirimu sendiri, tapi ia tak pernah mampu untuk barang sedikit mendesain sendiri bentuk tulisannya, misalnya. Konsumen bisa saja merasa MTV gue banget, tapi ia tak mampu merancang apa yang benar-benar dirinyaia hanya mampu menikmati; menikmati representasi atas dirinya sendiri. Tentu saja kapitalisme tak akan membiarkan setiap orang untuk bebas menjadi dirinya sendiri. Setiap orang dibolehkan menjadi dirinya sendiri hanya dalam batas yang telah ditentukan oleh sang kreator. Setelah aspek yang lebih luas dikuasai, kini waktunya bagi kekuasaan kapitalisme untuk menjamah wilayah yang lebih detil: personal. Setiap person, saat ini, adalah target eksploitasi bagi akumulasi modal dan perluasan lahan produksi sedemikian rupa sehingga pola produksi kapitalisme tetap berada di jalurnya dan tidak kolaps. Kemampuan kekuasaan kapitalisme untuk menerobos ruang personal dibarengi dengan penaklukan mereka atas realitas sosial, sehingga semakin banyak seseorang mengidentikkan diri dengan budaya dominan, semakin sedikit ia mengerti kehidupan dan hasratnya sendiri. Ketertundukan personal atas realitas ini membuat masing-masing person tercerabut dari akar kenyataannya, yang juga berarti tercerabut dari realitas sosial sekaligus membawa personalmasyarakat ke dalam dunia pasifitas yang dihidupi dengan logika pasar dan keterpisahan. Dengan demikian, semakin dekat mereka dengan dunia identitas ciptaan mereka, semakin mereka terasing dari kehidupannya yang sesungguhnya. [1] dikutip dari Hipersemiotika, Yasraf Amir Pilliang POSTED BY Administrator ON 07.18.07 @ 8:58 am | 0 Comments

ANARKISME DAN PERLAWANANNYA TERHADAP NEO-LIBERALISME (Oleh: Prima)


A. Tentang Neo Liberalisme Sistem ekonomi neo liberalisme yang tengah becokol di Indonesia dan di berbagai Negara di dunia ternyata memunculkan hal mengerikan yang selalu ditutupi oleh selubung kemajuan palsu di berbagai bidang kehidupan. Neo-liberalisme melewati sejarah yang panjang sebelum sampai pada kemajuannya hari ini. Diawali dari kekalahan liberalisme, di mana kaum liberal menganggap bahwa pada awalnya, kapitalisme dianggap membawa kemajuan pesat bagi kesejahteraan masyarakat. Bagi mereka, masyarakat pra-kapitalis adalah masyarakat feodal yang penduduknya ditindas. Liberalisme dimaknai sebagai sesuatu yang memungkinkan seseorang untuk bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun, termasuk dalam kebebasan untuk hancur, bebas hidup tanpa tempat tinggal, bebas hidup tanpa pekerjaan.[i] Walaupun sebenarnya,liberalismeawal sudah mengusung ekonomi pasar, di mana kebebasan itupun diatur oleh uang. Hal ini juga menggiring pada sebuah pemahaman bahwa segala intervensi dari pemerintah terhadap kehidupan individu adalah tidak relevan. Kemudian, karena pemaknaan tentang liberalisme yang seolah tanpa batasan jelas, semangat kebebasan yang diusung liberalisme menjadi bermakna berbeda, yang berarti : kebebasan akan adanya sejumlah orang yang akan menang dan sejumlah orang yang akan kalah. Kemenangan dan kekalahan ini terjadi karena persaingan. Sementara itu, wacana Negara kesejahteraan yang diusung John Maynard Keynes (seorang

ekonom) juga menjadi wacana yang sedang diperbincangkan pada waktu itu. Semenjak terjadi depresi hebat pasca perang dunia II, Negara-negara industri maju mulai condong pada konsepsi Negara kesejahteraan. Di mana dalam konsepsi tersebut, peranan negara dalam bidang ekonomi tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal, khususnya untuk menggerakkan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja.[ii] Nah inilah yang disebut sebagai momen kekalahan liberalisme, kekalahan individualisme, karena campur tangan Negara yang semakin besar pada individu. Namun kondisi berubah ketika terjadi krisis minyak dunia tahun 1973 dikarenakan perang Israel yang didukung Amerika untuk menginvasi negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah. Terjadilah embargo terhadap Amerika dan kenaikan harga minyak dunia. Hal ini membawa dampak yang sangat besar terhadap Amerika dan sekutu-sekutunya yang mengalami kesulitan ekonomi dikarenakan masih adanya beban pemerintah terhadap penyediaan fasilitas layanan publik (ciri negara kesejahteraan). Momen ini menandai kebangkitan neo liberalisme, yang hakekatnya memakai logika kebebasan liberalisme awal, namun dalam bentuk yang sangat berbeda, barbar. Semangat awal liberalisme akan sebuah intervensi minimum dari pemerintah, juga kemudian menjadi karakteristik dari neo liberalisme, yang menuntut intervensi pemerintah terhadap usaha individu dalam level yang paling minimum. Alasan akan kebebasan dijadikan pembenaran atas proyek neo liberalisme yang ingin mengembalikan kepercayaan pada kekuatan pasar. Pemerintah kemudian tidak lagi mengatur segala urusan yang berhubungan dengan sektor ekonomi. Dalam usaha mengembalikan kepercayaan pada pasar, privatisasi adalah jalan mulus untuk melancarkan kompetisi maksimal antar pengusaha. Dan segala bentuk nasionalisasi aset Negara akan dihapuskan karena menghambat langkah pengusaha. Dalam sistem ekonomi seperti ini, segala kompetisi akan memunculkan komoditas-komoditas yang dikompetisikan. Segala hal yang bisa dijadikan komoditas, akan dijadikan komoditas. Dari sinilah kita menemukan keterkaitan antara sistem ekonomi neo liberalisme dengan privatisasi aset Negara yang menghidupi hajat hidup orang banyak, sepeti air, minyak dllyang juga banyak terjadi di Indonesia. Dan dari sini pulalah, kita harus paham bahwa privatisasi (atau swastanisasi) merupakan sebuah perampasan (pengkomoditasan) atas hak-hak kita. Dalam sistem ekonomi neo liberalisme pula kita akan menemukan badan-badan ekonomi internasional (seperti IMF, WTO, World Bank) yang memegang peran penting dalam penyebaran neo liberalisme di seluruh dunia. Di Negara-negara berkembang, seperti di Indonesia, yang sering memiliki masalah disektor ekonomi (krisis moneter dll), badan-badan ini akan menyodorkan agenda neoliberalisme di balik topeng bantuan ekonomi. Di setiap Negara yang diberi pinjaman oleh badan-badan ini akan disodorkan sebuah prasyarat, yang disebut Konsensus Washington. Agenda pokok paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi : 1. pelaksanan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya 2. pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan 3. pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan 4. pelaksanaan privatisasi BUMN. Karena itulah, tidak heran kalau pasca krisis moneter 1997 di Indonesia, pemerintah mulai menghapus subsidi bagi rakyat, banyak terdapat privatisasi BUMN dan massifnya korporasikorporasi multinational mulai berdatangan ke Indonesia. Semua itu bukanlah sebuah kemajuan

bidang ekonomi, namun semua itu adalah bentuk penghisapan atas sumber daya alam dan manusia di Indonesia demi kepentingan korporasi global. B. Oposan neo liberalisme dan prakteknya Seberapa tahu kamu atas apa yang kamu pecayai?? (Sebuah pembacaan sejarah yang tak tuntas) Berbicara tentang oposan dari sistem ekonomi neo liberalisme dan Negara sebagai satelitnya, kita akan menemukan banyak varian dari gerakan anti neo liberalisme. Salah satu yang paling massif adalah gerakan berbasis marxis-leninis. Gerakan berbasis marxis-leninis lebih merujuk pada praktek Lenin di Rusia 1917 dalam pembentukan pemerintahan diktator proletariat pertama di dunia. Mereka (para marxis leninis), karena mengacu pada praktek tersebut, menilai bahwa segala dampak dari neo-liberalisme seperti privatisasi, invasi modal asing dll harus diatasi dengan pembentukan Negara komunis. Di mana dalam negara tersebut akan diterapkan bentuk kapitalisme negara. Segala aset Negara akan dinasionalisasikan dan diurus oleh Negara. Teori ini pulalah yang memandu praktek mereka selama ini dan membangun pemahaman tersendiri dalam melihat fungsi negara. Namun kita tentu perlu memiliki pemahaman sejarah yang komprehensif sebelum kita mempercayai dan menjadikan satu momen sejarah sebagai referensi praktek. Dalam hal ini, kita akan juga berbicara tentang oposan lain dari neo liberalisme, yaitu gerakan anarkis. Gerakan anarkis memiliki gagasan yang berbeda dari gerakan berbasis marxis-leninis, terutama dalam memandang fungsi negara. Dalam sejarah penciptaan pemerintahan dictator proletariat di Rusia, gerakan anarkis mengambil peran besar. Kalau orang-orang marxisleninis menganggap gerakan anarkis (yang terepresentasi dari pemberntakan Kronstadt) pada waktu itu harus ditumbangakn karena kontra revolusioner, sekarang mari kita kaji apa sebenarnya yang terjadi di Rusia pada waktu itu. Pasca kemenangan kelas pekerja, Oktober 1917, Bolzhevik menemukan momen kepemimpinannya. Segera setelah berkuasa, Bolshevik mulai memberlakukan hegemoni politik yang melawan kesadaran kelas pekerja: membubarkan komite-komite pabrik, sovietsoviet yang independent dan berbasiskan di tataran akar rumput saat mereka menolak dipimpin oleh partai Bolshevik. Pendelegasian kekuasaan terhadap sebuah partai, pengeliminasian komite-komite pabrik, pengalihan gradual kekuasaan soviet kepada apparatus Negara, pembubaran milisi-milisi otonom pekerja, tumbuhnya pendekatan militeristik atas berbagai masalah sebagai sebuah hasil dari ketegangan-ketegangan selama periode perang sipil, pembentukan komisi-komisi birokratis, semuanya adalah manifestasi paling signifikan dalam proses kemerosotan revolusi di Rusia.[i] Dengan alasan bahwa situasi pada waktu itu sangat urgent dan membutuhkan satu kesatuan gerak yang dipimpin oleh partai, biasanya orang-orang marxis leninis akan berkata bahwa tindakan-tindakan itu wajar dilakukan. Namun, melalui Kebijakan Ekonomi Baru yang ditetapkan partai Boslshevik, membawa dampak pada menguatnya birokrasi dan pada melemahnya organ-organ otonom yang merepresentasikan kediktatoran proletariat. Bahkan tentara merah (dari partai Bolshevik) mulai mengawasi kerja-kerja di pabrik, di mana kondisi ini tidak jauh beda dengan kondisi sebelum Revolusi. Akses pangan yang susah juga sempat membawa para pekerja pada kelaparan, karena kebutuhan pokok diurus oleh negara, maka

tidak diperbolehkan ada pertukaran pribadi. Begitupun dengan hasil panen yang dirampas negara, membuat petani tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Karena situasi seperti inilah, para pekerja yang telah bersolidaritas dengan petani berpikir bahwa kediktatoran proletariat bukan lagi milik mereka, tapi adalah milik partai Bolshevik, ketika mereka bekerja harus diawasi oleh Cheka (komisi khusus yang syarat akan tindak kekerasan dalam melawan segala yang dianggap kontra revolusi), dan hasil kerja mereka diambil, soviet-soviet otonom mereka tak lagi berhak menentukan sendiri geraknya dll. Para pekerja dan petani yang hidup di kota kecil Kronstadt (selain itu juga di Petrograd, Moskow, Ukraina, dll) menyatukan kekuatan mereka untuk melakukan pemogokan kerja dan sebagainya, sebagai bentuk protes atas perlakukan rezim pada mereka. Jajaran pemerintahan partai kemudian segera melabeli Pemberontakan Kronstradt tersebut sebagai sebuah gerakan kontra revolusioner. Mulai diberlakukan jam malam, melarang pertemuan-pertemuan petani dan pekerja. Insurgen-insurgen Kronstadt kemudian membuat maklumat yang isinya antara lain: 1. kebebasan berpendapat dan press bagi para pekerja, para anarkis dan partai-partai sosialis kiri 2. kebebasan beserikat bagi serikat-serikat pekerja dan asosiasi petani 3. untuk menyetarakan semua ransum-ransum bagi mereka yang bekerja, dengan pengecualian bagi mereka yang melakukan kerja yang membahayakan kesehatan 4. untuk memberikan control penuh bagi para petani atas tanah mereka sendiri, untuk melakukan apa yang mereka ingin lakukan, dan juga untuk memiliki peternakan, yang mana harus diurus dan diatur oleh mereka sendiri, tanpa mempekerjakan pekerja sewaan 5. dan lain-lain (ada 15 poin keseluruhan dari maklumat ini) Apa yang dilakukan oleh partai Bolshevik dalam mengklaim pemberontakan Kronstadt sebagai kontra revolusi, adalah semata-mata karena pemberontakan Kronstadt mengancam eksistensi kekusaan partai. Sehingga partai membuat tuduhan untuk mengkambing hitamkan Kronstadt, dianggap sebagai pemberontakan yang disetir oleh tentara Putih (Tzar). Padahal jelas bahwa kepentingan tentara Putih dan kepentingan pemberontak-pemberontak Kronstadt sungguh jauh berbeda. Apabila memang pemberontakan Kronstadt disetir oleh Tzar, tentu akan ada tuntutan dalam maklumatnya yang menuntut pembubaran partai Bolshevik sebagai lawan politik Tzar. Namun para insurgen Kronstadt adalah mereka yang hanya ingin mendapatkan kembali hak mereka atas dewan-dewan otonom dan ingin mendapatkan kembali kekuasaan proletariat di tangan para pekerja sendiri, melalui soviet-soviet otonom, sebuah komune swakelola. Berbicara analisis kelas, memang tidak menutup kemungkinan kesadaran kelas pada waktu itu mengalami pergeseran akibat perang berkepanjangan, yang mempengaruhi karakter kelas Kronstadt. Namun kesadaran proletariat tidak bisa disalahkan, ketika partai (dalam hal ini adalah teoritisi-teoritisi revolusi) menyebut sebuah tindakan proletariat sebagai kontrarevolusi, hanya karena bertentangan dengan program revolusi ala Lenin, maka kemudian layak dipertanyakan, apakah proyek revolusi berada ditangan partai Bolshevik atau revolusi itu ada ditangan (dan ditentukan oleh) para proletariat itu sendiri? Ini bukan sekedar moralitas tentang seberapa banyak korban yang dibunuh oleh Bolshevik, walaupun hal itu juga tidak bisa diabaikan. Namun lebih jauh lagi, kondisi objektif yang terjadi adalah bahwa

kelas pekerja pada waktu itu hanya menuntut apa yang memang mereka perjuangkan, mereka tidak menuntut untuk memiliki kenyamanan lebih daripada yang lain, seperti karakteristik borjuis-kecil. Kita juga bisa menilai konsistensi kelas pekerja dalam mempertahankan kediktatoran proletariat dalam dukungan-dukungan yang penuh diberikan oleh pekerja-pekerja di Petrograd kepada insurgen Kronstadt. Pemberontakan Kronstadt hanyalah bentuk respon dari kelas pekerja yang merasa dikhianati, apabila mereka tidak dikhianati dan mereka mendapatkan apa yang memang seharusnya mereka dapatkan, maka takkan ada pemberontakan Kronstadt. Dan apa yang diserukan oleh partai sebagai sebuah titah bagi massa proletariat, telah memberikan perbedaan yang gamblang tentang apa yang disebut kediktatoran proletariat dan partai kelas proletariat. Pemberontakan Kronstadt mencontohkan kepada kita bagaimana hebatnya tirani kekuasaan akan menghancurkan otonomi kelas pekerja. Sesungguhnya, sebuah kediktatoran proletariat adalah sebuah kondisi di mana kelas pekerja memegang otonomi penuh atas soviet-soviet mereka dalam bentuk swa kelola, bukannya sebuah kondisi dimana ada sebuah otoritas tunggal yang menentukan segala kebijakan. Lalu apabila ada pihak yang ingin mereduksi otonomi kelas pekerja menjadi sekedar bentuk kepatuhan pada partai, dalam hal ini Bolshevik, bukankah justru mereka adalah para agen-agen kontra revolusioner?? Pemerintahan Bolshevik di Rusia hanyalah sebuah bentuk lain dari kapitalisme. Dan inilah bentuk kapitalisme negara yang dibanggakan para marxis-leninis. Mungkin mereka akan menjawab bahwa, praktek Lenin dan partai Bolshevik nya tidak lepas dari kritik dan evaluasi. Namun ternyata kritik itu tak pernah melampaui sebuah kritik mendasar atas tirani kekuasaan dalam negara. Dalam prakteknya, para marxis-leninis masih akan berorientasi untuk mengulangi kegagalan pendahulunya, menciptakan sebuah negara Komunis satu partai, menciptakan kapitalisme negara di dalamnya. Sungguh sebuah ironi, Negara Komunis sendiri adalah sebuah frase yang kedua kata penyusunnya saling bertolak belakang, dalam tatanan Komunis sudah tak ada lagi negara. Dan ketika kita bermain-main dengan negara, menjadikan dia sebagai alat menuju masyarakat tanpa kelas, maka justru kelas pekerja yang akan diperalat oleh negara yang tetap akan dikelola oleh segelintir birokrat. Dalam tema perlawanannya terhadap neo liberalisme, terhadap kapitalisme, sungguh para marxis leninis tak pernah berpikir bahwa kapitalisme negara adalah bentuk lain dari kapitalisme, dengan tetap memiliki karakteristik penghisapan dan dominasi. Sehingga segala praktek yang terorientasi pada pembentukannya (kapitalisme negara) adalah praktek yang berlandaskan pada pembacaan sejarah yang tak tuntas. Pembacaan kondisi kontemporer Para insurgen Kronstadt, bisa dibilang memiliki kecenderungan anarkis, karena menolak dominasi kekuasaan dan sentralisme satu partai. Seperti disebutkan di atas bahwa varian lain dari oposisi neo liberalisme adalah gerakan anarkis, dan karakteristik yang membedakannya dengan marxis leninis adalah dalam hal memandang fungsi negara. Kebanyakan anarkis tidak menyepakati pemikiran marxis-leninis, tentang pengambil alihan kekuasaan negara untuk digantikan dengan kekuasaan partai komunis. Hal ini didasari oleh pandangan dasar anarkis dalam memandang sebuah tirani kekuasaan tersentralisir (dalam hal ini negara) yang tentu tidak akan mampu memerdekakan kelas pekerja. Negara adalah alat kelas. Dan kelas yang berkuasa, meskipun merepresentasikan kelas pekerja, memiliki tendensi yang sama untuk mendominasi kekuasaan. Otoritas kelas pekerja hanya akan muncul dalam

bentuk desentralisasi kekuasaan melalui dewan-dewan rakyat yang otonom, yang dijalankan dengan prinsip swa-kelola. Dan untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas, bibit-bibit penciptaannya harus dimulai dari hari ini. Berangkat dari pandangan kaum anarkis ini, maka kita akan menemukan bentuk praktek yang berbeda dalam perlawanannya terhadap neo liberalisme. Bukan terorientasi untuk menciptakan negara komunis, seperti kaum marxis-leninis, namun untuk menciptakan kondisi di mana orang-orang mampu menerapkan kehidupan kolektif dalam kehidupan mereka, untuk menciptakan bibit masyarakat komunis mulai hari ini, dan bukan besok menunggu setelah revolusi. Dalam praktek anarkis selama ini, kebanyakan dari mereka mencoba untuk membangun infrastruktur kolektif yang matang, untuk kemudian mematangkan juga jaringan-jaringan yang lebih luas (nasional dan internasional), agar komunikasi antar sesamanya tidak terputus. Praktek anarkis semacam ini adalah bentuk desentralisasi yang mencoba mendobrak mitos bahwa sebuah organisasi revolusioner takkan mampu melakukan tindakantindakannya yang signifikan dan terorganisir tanpa adanya pimpinan organisasi terpusat. Bicara tentang kesatuan gerak seperti yang para marxis-leninis banyak gunjingkan, jaringan anarkis ini memiliki kesatuan gerak dan justru lebih fleksibel dalam pengaturan rumah tangga masing-masing kolektif dalam jaringan. Kesatuan gerak bukanlah tentang satu instruksi pasti yang harus diikuti oleh organ-organ bawahan sebuah organisasi, tapi kesatuan gerak adalah sebuah pemahaman dan penyikapan yang sadar tentang sesuatu hal oleh kolektif-kolektif dalam jaringan, dan berangkat dari analisis yang berkembang di kolektifkoletif anarkis tersebut (perlu diingat bahwa prinsip-prinsip anarkis adalah fleksibel dan tidak dogmatis). Fleksibilitas disini bukan dimaknai sebagai sesuatu hal yang tanpa kontrol, tak terarah dlsb, namun fleksibel di sini berarti bahwa anarkis juga melihat bahwa ke-khususan di setiap kolektif yang dibentuk di lokalitas tertentu memiliki perbedaan yang tidak bisa digeneralisir secara sederhana. Seperti para marxis-leninis kebanyakan berkata bahwa tentu ada satu keumuman yang harus disepakati oleh semua organ bawahan. Para anarkis memahami itu, namun seringkali bentuk kesepakatan yang muncul bukanlah kesepakatan untuk sekedar berkata ya pada instruksi pimpinan pusat, namun kesepakatan yang lahir di tingkat paling kecil kolektif, yang diinisiasikan oleh orang-orang yang terlibat di kolektif terkecil tersebut (memandang kekhususan-kekhususan sebagai sesuatu yang sangat dipertimbangkan). Anarkis menolak hirarki dalam tatanan masyarakat, karenanya dalam penataan jaringannya, ia pun tak ingin menciptakan hirarki. Ketika dikatakan bahwa birokrasi dalam struktur organisasi terpusat adalah untuk memudahkan kerja-kerja, lantas bagaimana jika justru birokrasi-birokrasi itu menciptakan birokrat-birokrat kecil yang terspesialisasikan pada kerja-kerja ekslusif tertentu? Dalam organisasi anarkis, tidak akan ada sentralisme demokrasi, seperti banyak organ marxis-leninis terapkan. Tentu saja sentralisme demokrasi sendiri adalah juga sebuah frase yang menyandingkan dua hal yang bertolak belakang, dalam demokrasi takkan ada sentralisme, begitu pula sebaliknya. Jaringan-jaringan anarkis menghargai perbedaan antara kolektif-kolektif anarkis di dalamnya, tentu saja pebedaanperbedaan itu bukanlah perbedaan yang prinsipiil. Dalam hal-hal yang sebenarnya tak perlu diatur dan dipersulit, maka tak perlu dibuat aturan rumit tentang hal itu. Misalkan tentang standart iuran kolektif, tentang efisiensi dan efektifitas pertemuan kolektif dll. Penghargaan

terhadap perbedaan ini adalah sebuah relevansi dari pemikiran anarkis yang menolak homogenisasi dalam segala hal, seperti impian para marxis-leninis yang memimpikan manusia-manusia homogen, berpemikiran sama, berpartai sama, berideologi sama, menulis dengan standart yang sama, seni yang diberi batasan seni revolusioner dan tidak revolusioner dll. Dalam membangun basis perlawanan, anarkis tidak berangkat dari analisis kelas kaku ala marxis-leninis. Bahwa sistem neo-liberalisme ini juga menciptakan kompleksitas masyarakat yang tidak bisa dijabarkan hanya melalui analisis kelas yang sederhana. Bicara potensi perlawanan, setiap orang memiliki potensi pelawanan, dan bicara tentang potensi perlawanan yang paling besar, hari ini tidak bisa dinilai hanya dari kontradiksi ekonomi yang paling besar saja. Di mana kontradiksi ekonomi juga telah semakin komplek. Ide menarik yang diajukan oleh Marxis Otonomis (memiliki kecenderungan anarkis) adalah bahwa sistem kapitalisme hari ini telah men-subordinasi seluruh kehidupan pada kerja. Pabrik di mana kelas pekerja bekerja adalah dalam tatanan masyarakat secara keseluruhan, sebuah pabrik sosial. Sehingga kelas pekerja harus dimakani ulang, dengan juga menyertakan mereka yang bukan merupakan pekerja pabrik.[i] Contohnya adalah pada sebagian besar kita yang diharuskan untuk bekerja rutin, kita akan menemui sebagian besar dari hidup kita (selain tidur) didominasi oleh kewajiban untuk bekerja secara langsung pada kapital. Dan juga waktu luang (di luar waktu kerja) digunakan untuk mempersiapkan kita untuk bekerja lagi. Ibu rumah tangga (yang tidak digolongkan sebagai kelas pekerja) juga sebenarnya mencurahkan sebagian besar tenaganya untuk kerja-kerja rumah tangga, yang bukan hanya membentuk dan memproduksi kehidupan domestik, tapi juga melibatkan kerja untuk merawat dan membesarkan anak yang kemudian akan menjadi pekerja, menyediakan jasa pelayanan seksual untuk suami yang juga merupakan sebuah penyegaran untuk kembali bekerja esok.[ii] Dalam perkembangan selanjutnya, bahkan pelajar dan mahasiswa juga dapat dikategorikan ke dalam proletariat semenjak tujuan utama mereka belajar di sekolah adalah demi mempersiapkan calon-calon pekerja masa depan yang berperan penting dalam proses produksi.[iii]. Jadi kelas pekerja yang dianggap sebagai kelas pembawa perubahan bukan lagi didefinisikan sebagai buruh-buruh industri (buruh kerah biru), namun juga mereka yang kehidupannya tereduksi pada kerja dan tersubordinasi pada kapital. Para marxis-leninis berkata bahwa buruh-buruh industri lebih memiliki hubungan erat dengan ekonomi maju, memiliki solidaritas yang besar, memiliki militansi yang tinggi, karena itulah maka buruh (industri) diangkat menjadi soko guru perubahan. Namun bagaimana kita melihat pekerja-pekerja kerah putih, pekerja jasa dll yang sangat militan yang turun ke jalan. Mulai dari karyawan Bank Danamon (28 September 2005), yang sebagian besar berasal dari level kepala cabang dan wakilnya, menggelar menolak PHK yang dilakukan pihak Danamon. (Tempo Interaktif, 28 Sept 2005), atau karyawan PT. Telkom yang yang mengkhawatirkan nasib mereka kalau terjadi jual beli asset PT. Telkom Divre IV Jateng-DIY pada PT. Indosat. (Bernas), atau juga karyawan PT. Pertamina yang menolak PHK sepihak dari PT. Pertamina. (Ecoline Situmorang, SH., Janses E. Sihaloho, SH, 3 April 2006). Begitu pula yang terjadi pada karyawan PT. Garuda Indonesia, At PT GI, as the result of dispute between management and workers, the management finally laid off 233 of their workers. (Indonesian Labour Update, January 2004). Ada juga berita dari karyawan PT. Chevron Texaco Mass laid off also threat employees of PT Chevron Texaco. This oil company had considered reducing 30% of its employees by the end of 2003. (Indonesian Labour Update, January

2004). Masih ada contoh lain seperti protes karyawan PT. Dirgantara Indonesia, the company kept going with its plan to lay off 6.000 of 12.000 workers, and to sell some of the stock to foreign investor. (Indonesian Labour Update, January 2004). Para karyawan PT Dirgantara Indonesia tergabung dalam Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SPFKK) PT DI, juga berangkat ke Jakarta untuk menagih janji pemerintah dalam menyelesaikan seluruh pembayaran hak PHK dan pensiunan mantan karyawan sesuai dengan kesepakatan, serta mendesak pemerintah agar segera mencairkan dana pensiun eks karyawan PT DI tahap pertama sebesar Rp40 miliar. (IMC Jakarta, 25 Desember 2006). Dan masih banyak rentetan aksi yang diinisiasikan oleh buruh-buruh kerah putih. Dan bagaimana dengan solidaritas buruh sendiri hari ini? Apa benar masih besar di mana sekarang terdapat fenomena baru seperti outsoucing tenaga kerja yang bisa mematahkan solidaritas antar buruh?[iv] Di sini kita bisa melihat bagaimana evolusi sistem manajemen dan produksi kapitalis merupakan adaptasi-adaptasi untuk mengimbangi resistensi kelas pekerja. Dan karena kapitalisme juga terus berdialektika, maka analisis-analisis masyarakat dan metode perlawanan terhadap kapitalisme juga tidak bisa memakai analisis dan metode lama. Alienasi kerja, seperti Marx juga pernah berkata mengenainya, bisa terjadi pada mereka yang tak memiliki kuasa penuh atas hidupnya. Hidupnya bergantung pada orang lain. Dalam hal ini tidak hanya para buruh kerah biru saja yang mengalami alienasi atas kerja-kerja mereka, namun juga para buruh kerah putih, petani, mahasiswa, ibu rumah tangga, penganggur, dll. Buruh kerah biru tidak bisa dianggap paling teralienasi oleh kerjanya, karena buruh kerah putih juga mengalami hal yang sama. Seringkali mereka (buruh kerah putih) mengalami tekanan psikologis yang bisa lebih hebat dibandingkan buruh kerah biru. Karena mereka termasuk pekerja yang lebih mengandalkan otak, mereka terbebani dengan, misalnya, deadline laporan, pembuatan proposal, pengarsipan, dll. Hal ini membuat para buruh kerah putih juga beresiko tinggi terhadap stres. Tugas yang semakin menumpuk, membebani pikiran, tidak memiliki waktu untuk sekedar jalan-jalan sore karena menyelesaikan tugasnya membuat mereka tidak lagi bersosialisasi dengan baik dengan lingkungannya, relasi dengan keluarganya terbengkalai dll. Bukannya tidak mungkin, mereka akan menuntut pengurangan jam kerja dibandingkan kenaikan upah. Memang benar bahwa, upah yang mereka dapatkan lebih banyak bila dibandingkan buruh kerah biru, namun hal ini bukan berarti mereka akan nyaman dengan kondisi kerjanya. Pada suatu titik tertentu, bisa saja mereka berpikir bahwa upah yang mereka dapatkan tak setimpal dengan kerja yang mereka lakukan, sebuah kerja yang beresiko tinggi pada hilangnya kebahagiaan diri dan keluarga, kebebasan bergerak, beresiko pada kebosanan yang hebat. Hal ini menandakan bahwa, teori lama yang berkata bahwa buruh kerah birulah yang paling militan sudah usang. Buruh industri dikatakan memiliki kesadaran tinggi dalam beroganisasi, memiliki pandangan yang jauh, disiplin, revolusioner, tidak mementingkan diri sendiri, kolektif, lebih tegas dan konsekuen dalam sikapnya.[v] Teori yang terlalu mengeneralisir ini masih saja menjadi landasan berpikir kaum Marxis-Leninis dalam memandang potensi kaum buruh industri. Namun, hari ini karakteristik itu tidak hanya dimiliki kaum buruh industri saja. Petani, juga memiliki potensi resistensi yang tidak bisa dinomor duakan. Bicara soal keterlibatan dalam proses produksi (yang juga dilakukan oleh buruh), para kaum tani, baik itu tani menengah, kecil, dan buruh tani juga terlibat dalam

proses produksi, komoditi agraria. Kontradiksi petani dengan kapital juga secara langsung dapat diamati, mulai mahalnya pupuk, distribusi tanah yang tak pernah merata, harga jual hasil panen yang murah dll. Solidaritas tinggi bukan sesuatu yang hanya akan terbangun dari mode produksi pabrik, yang mengharuskan buruh untuk dapat menyelesaikan satu item produk harus bekerjasama dengan spesialis-spesialis kerja yang lain. Lagipula, buruh-buruh yang mulai dibedakan dengan perbedaan seragam saja, telah mampu membuat buruh-buruh merasa bahwa mereka berbeda dengan yang lain. Di Indonesia, jumlah petani yang jauh lebih besar daripada jumlah buruh, tentu membawa konsekuensi bagi kita untuk memandang kuantitas ini sebagai satu sumber kekuatan. Kaum miskin kota, gelandangan, penganggur, juga memiliki kontradiksi yang besar secara langsung dengan sistem ekonomi neo-liberal. Mereka adalah orang yang paling merasa tersisih dari sistem ekonomi ini. Mereka mungkin berpikir bahwa buruh-buruh pabrik itu tentu lebih beruntung daripada mereka yang tak bekerja, susah makan dll. Dalam otak mereka akan sangat mungkin untuk berpikir tentang pengambil alihan pabrik-pabrik, dalam rangka merebut akses ekonomi. Bagi anarkis, analisis kelas yang kaku justru akan mempersempit potensi-potensi perlawanan yang bisa tumbuh pada siapa saja, di mana saja. Yang menjadi cita-cita para anarkis adalah untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas, tanpa menjadikan negara sebagai alat untuk menujunya. Hal ini dirintis dengan pengorganisiran berbagai sektor untuk menciptakan kekuatan-kekuatan yang otonom dan revolusioner. Seperti praktek Zapatista yang menginspirasi para anarkis untuk berpikir bahwa portensi perlawanan yang besar mungkin terjadi bahkan pada masyarakat adat sekalipun. Praktek Zapatista membangun kekuatan bersenjatanya, menggalang solidaritas internasional, melakukan kampanyekampanye yang menyerukan perlawanan global untuk melawan kekuatan kapital. Zapatista adalah sebuah referensi praktek bahwa kekuatan otonom yang revolusioner sangat mungkin tercipta dan bertahan sampai hari ini. Tanpa melalui pengambilalihan kekuasaan negara, tanpa menciptakan negara komunis, Zapatista telah mampu mempertahankan eksistensinya meski tumbuh di dalam negara yang masih eksis di mana kekuatan borjuis masih sangat besar. Kebanyakan dari diskusi-diskusi yang ditemui (oleh penulis), para marxis leninis mencurigai bahwa anarkis tidak lagi mempercayai prinsip Materislisme-Dialektika ala Marx, atau tidak lagi sepakat dengan kajian Ekonomi Politik Marxis. Namun sungguh dalam kenyataannya ternyata yang tidak pernah paham soal Materialisme dan Dialektika adalah mereka sendiri yang melabeli diri sebagai para marxis-leninis. Mengenai Dialektika, masyarakat hari ini dan sistem yang mengaturnyapun mengalami dialektika, bukan lagi yang harus digaunggaungkan adalah tentang teori-teori baku yang tak pernah di-dialektika-kan oleh orangorangnya sendiri. Bahkan dengan bangganya mereka melabeli diri sebagai seorang marxisleninis, padahal mereka lebih condong pada praktek Lenin daripada memperdalam pemahaman tentang pemikiran Marx yang tidak sesederhana itu. Dan pilihan gerakan anarkis adalah untuk mendobrak semua dogma-dogma ortodok itu. Untuk membuat sebuah gerakan revolusioner yang memungkinkan orang-orang menjadi lebih bebas dalam menentukan hidup mereka.

Untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas, merupakan sebuah proyek panjang kita semua. Pengorganisiran-pengorganisiran yang dilakukan sangat mungkin melalui keterlibatan kita dalam realisasi tuntutan-tuntutan normatif proletariat, namun itu bukanlah obsesi/tujuan final. Kerjasama sangatlah mungkin dengan berbagai pihak, namun sebuah konsepsi mendasar dari gerakan ini takkan mampu dikompromikan.

C.

Rekomendasi bacaan

1. Anarki: Sebuah Panduan Grafis (Clifford Harper), untuk mengetahui sejarah ide anarkisme, sejarah masyarakat anarkis yang pernah terbentuk dan sejarah gerakan-gerakan anarkis yang pernah ada (Tidak Diterbitakan; bisa didapatkan dengan mengontak: affinitas@riseup.net) 2. Membongkar Mitos Revolusioner Bolshevik: Memahami Pemberontakan Kronstadt (Bag.I) 3. Marxis Otonomis (Pamflet Affinitas; bisa didapatkan dengan mengontak: affinitas@riseup.net) 4. Buletin Menuju Mayday 2007 (bisa didapatkan dengan mengontak: affinitas@riseup.net) 5. Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan, Sean M. Sheehan, penerbit Marjin Kiri 6. Bagaimana Lenin Menggiring pada Munculnya Stalin (bisa didapatkan dengan mengontak: affinitas@riseup.net)

[i] Anonim, Neo-Liberalisme, www.wikipedia.com [ii] ibid [iii] Slamet, Pamudji. Membongkar Mitos Revolusioner Bolshevik: Memahami Pemberontakan Kronstadt (Bag.I) [iv] Anonim, Marxis Otonomis, Kolektif Affinitas [v] ibid [vi] Anonim, Redefinisi Proletariat, m1-2007.blogdrive.com

[vii] Herawati, Rina, Outsourcing: Mengapa Harus Diwaspadai?[1] Anonim, Jalan Revolusi POSTED BY Administrator ON 06.23.07 @ 9:46 am | 0 Comments

PANGAN BUKAN BULOG! PANGAN BUKAN EKONOMI NEO LIBERAL


Ekonomi neo liberal dan korupsi di Indonesia menunjukkan hasilnya yang spektakular dalam nominal-nominal kemiskinan dan kesenjangan ekonomi; dimana kita mendapati 17,75 % penduduk berada dalam garis kemiskinan, 22,25% berada dekat ambang batas kemiskinan (dalam kategori hampir miskin dan hampir tidak miskin) (BPS, 2006). Menurut versi Bank Dunia 52.4% penduduk Indonesia hidup dengan pendapatan kurang dari US$2 per hari (data tahun 2004), yang merupakan standar institusi tersebut untuk mengukur tingkat kemiskinan. Situasi kesenjangan ini dapat dilihat juga dari distribusi pendapatan dimana 10% orang-orang terkaya mengkonsumsi 28% sumberdaya, sementara 10% termiskin mengkonsumsi 3,8% sumberdaya (UNDP, Human Development Report, 2006). Data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2006 menyimpulkan bahwa akses pangan dan energi yang semakin semakin berkurang merupakan penyebab terjadinya kemiskinan (BPS, 2007). Data tersebut juga menunjukkan, lebih dari 60% populasi miskin merupakan populasi pedesaan, yang merupakan populasi yang sebagian besar adalah petani; dimana kita dapat merujuk pada studi di 93 negara yang menunjukkan bahwa dua hal utama, kepemilikan tanah dan kebijakan yang menekan desa, merupakan penyebab kemiskinan populasi petani pedesaan (Coelli dan Rao, 2004). Dalam konteks Indonesia, kita merujuk pada ketimpangan yang parah dalam kepemilikan lahan, dimana di Jawa, 10 persen penduduk memiliki 55,3persen tanah (data 1999). Sementara kecenderungan di luar Jawa menunjukkan pola kepemilikan lahan yang hampir sama. Tentunya neo liberalisme mempunyai andil dalam distribusi kepemilikan lahan, dimana dalam kurun waktu 1995-2001, Bank Dunia, lembaga sentral dalam ekonomi neo liberal, mendorong kecenderungan petani kehilangan tanahnya dengan menyelenggarakan Land Administration Project (LAP), sebuah program yang berujung pada pasar tanah (Laporan Akhir Tahun 2006 Federasi Serikat Petani Indoensia). Selain kebijakan-kebijakan ekonomi neo liberal, di tingkatan kelembagaan nasional, buruknya akses pangan (beras) dan pemginggiran ekonomi petani berskala kecil, berkaitan erat dengan monopoli, korupsi dan manipulasi yang terjadi dalam lembaga pengelola logistik nasional, BULOG:
y

Kebijakan impor beras BULOG yang sarat dengan korupsi dan manipulas. Dugaan yang paling kuat adalah adanya indikasi peran BULOG untuk merancang leigitmasi impor beras dengan kartel para pedagang beras besar (Tim Koalisi Petani Menggugat, 2007). Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR, Suswono, fee dari beras impor itu memang sangat menggiurkan, bisa mencapai Rp 300 per kg. Bayangkan berapa ratus miliar rupiah bisa diraup jika ada impor satu juta ton beras di kuartal pertama tahun 2007 saja. Impor beras yang tidak efektif - selama ini kebijakan impor beras tidak mampu menurunkan harga. Kondisi ini terjadi karena beras impor tidak langsung

didistribusikan kepada masyarakat, tapi masuk Bulog terlebih dahulu (Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, 2007) Dalam suatu sistem yang tidak memberikan akses bagi mayoritas masyarakat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan penting yang menyangkut kepentingan publik, tentunya tidak mudah bagi kita untuk mengambil peran bermakna untuk merubah situasi ini - buruknya akses pangan dan sistem yang terus melanggengkan pemiskinan mayoritas masyarakat. Korupsi oleh birokrat dan administrator yang ada dalam jajaran pemerintahan merupakan sebagian dari harga yang harus kita bayar, karena memang kita membiarkan diri kita diwakilkan dalam pembuatan beragam kebijakan yang menyangkut kepentingan kita sendiri. Korupsi, merupakan permasalahan yang sangat serius yang perlu ditangani, tapi masalah tersebut merupakan sebagian dari masalah yang lebih besar, masalah dimana segelintir pihak (para politisi dan administrator) mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk menentukan hajat hidup mayoritas masyarakat. Di sisi lain, saat ini, serikat-serikat petani di berbagai wilayah di Indonesia terus menerus melakukan pengorganisiran diri untuk meraih kendali atas berbagai kebijakan yang menyangkut kepentingan mereka - dengan mengusahakan melalui jalur formal dan/atau langsung mengimplementasikan (dengan konfrontasi) struktur kepemilikan, penguasaan, pengalokasian, penggunaan, dan pengolahan sumber agraria dan kekayaan alam yang lebih adil dengan advokasi ataupun pengambil alihan lahan dan sumberdaya secara langsung dari segelintir pihak-pihak yang menguasai sebagian besar kepemilikan dan penggunaan sumberdaya. Di sini pentingnya juga peran pubik yang lebih luas untuk menjaga kepentingan-kepentingan kita sendiri, dalam hal ini, yang menyangkut akses pangan, dengan mendukung usaha-usaha resistensi petani dan menolak monopoli distribusi produk-produk pertanian serta kebijakankebijkan ekonomi neo liberal/pasar bebas/kapitalisme global yang menguntungkan wilayahwilayah dominan (negara maju) dan segelintir birokrat di wilayah-wilayah subordinat (negara-negara berkembang). POSTED BY Administrator ON 04.14.07 @ 12:01 pm | 1 Comment

FOOD NOT BOMBS YOGYAKARTA


MANIFESTO FOOD NOT BOMBS +Makanan adalah hak semua orang bukan hak istimewa segelintir orang saja! +Terdapat cukup makanan untuk semua orang dimana-mana! +Kekurangan bahan makanan pokok adalah bohong! +Disaat kita lapar atau membutuhkan tempat berteduh, kita punya hak untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dengan cara meminta, mengamen, atau menempati bangunanbangunan kosong!

+Kapitalisme menjadikan makanan sebagai sumber keuntungan, bukansebagai kebutuhan pokok! APA & MENGAPA FOOD NOT BOMBS ? Di berbagai penjuru dunia saat ini telah terbangun puluhan kelompok-kelompok Food Not Bombs (FNB) yang aktivitasnya adalah membagi-bagikan makanan vegetarian gratis untuk orang-orang miskin dan siapa pun yang tidak mampu membeli makanan. FNB sebagai dapur umum berawal dari gerakan protes anti nuklir Amerika di Cambridge, Massachusetts (pada tahun 1980an) dimana dapur-dapur berfungsi untuk menyediakan konsumsi bagi kelompok-kelompok protes. FNB beserta aktifitasnya sebagai dapur umum terus berlanjut di Amerika Utara dan dengan cepat menyebar, dari Amerika Utara, Eropa, sampai ke negara-negara di benua Asia, seperti di Malaysia,Filipina dan Indonesia (di Bandung, Jakarta, Salatiga, Pati dan Yogyakarta). Merujuk pada namanya, kita tidak perlu melakukan analisa kompleks untuk memahami dasar pemikiran FNB, bahwa yang dibutuhkan manusia adalah kehidupan (FOOD = pangan) bukan kematian (BOMBS = senjata/bom). Kelompok-kelompok FNB yang besar dan yang kecil, terus berevolusi dengan pengembangan beragam programnya dan dengan tetap mengusung semangat awal FNB, mempromosikan kehidupan. Bahwa tidak seorangpun harus terpuruk dengan kelaparan diatas bumi yang kaya sumberdaya. Seharusnya sumberdaya diatas bumi ini tidak dialokasikan untuk ketamakan, ambisi mendominasi dan perebutan kekuasaan oleh segelintir orang. Ketika bumi cukup kaya untuk menghidupi seluruh mahluk yang hidup diatasnya, kita sering mendengar argumen bahwa kekurangan pangan dan sulitnya akses untuk makanan dan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi sebagian besar manusia adalah akibat berlebihnya populasi. Benarkah demikian? Adakah kemungkinan lain yang justru nyata di depan mata namun tidak dihiraukan. Contohnya seperti akses-akses bahan makanan yang dimonopoli, tanah-tanah produktif yang diprivatisasi, tumbuh-tumbuhan yang diklaim menjadi hak milik, sumber-sumber air yang dimonopoli. Hak-hak kita atas kebutuhan mendasar justru diserahkan pada hukum pasar. Pengingkaran hak-hak akan akses yang terbuka pada kebutuhan-kebutuhan pokok merupakan pengingkaran akan kehidupan itu sendiri. Tatanan masyarakat dan sistem social yang ada saat ini telah mentolerir bahkan mempromosikan pengingkaran-pengingkaran tersebut. Di satu sisi adalah semakin terkonsentrasinya kekayaan dan akses bagi segelintir orang, pada sisi lainnya adalah keterpurukan ekonomi dan social bagi mayoritas masyarakat. Saat ini kita merujuk pada liberalisasi ekonomi, suatu rantai dominasi ekonomi dan sosial oleh minoritas terhadap mayoritas - perluasan privatisasi dan perluasan wewenang lembaga-lembaga elitis untuk menentukan kebijakan yang menyangkut kehidupan mayoritas masyarakat.

Pada sisi lainnya, di balik arus utama, rantai dominasi yang mengingkari kehidupan; adalah beragam inisiatif besar dan kecil, untuk mereklamasi kehidupan tersebut. Food Not Bombs merupakan inisiatif dalam jejaring kerja yang ingin mendorong transformasi untuk suatu tatanan yang mempromosikan kehidupan!! KAMPANYE & INISIATIF
y

Akses terhadap pangan :

Wacana yang mengkampanyekan akses terhadap pangan dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya sebagai kebutuhan mendasar manusia, yang harus dijamin oleh suatu tatanan sosial. Kampanye ini mencakup penyampaian informasi dan wacana akses terhadap pangan pada publik: pangan sebagai komoditas dan peran korporasi; kebijakan negara terhadap komoditas pertanian dan petani; komoditas pangan dalam era pasar bebas; kerentanan pangan dan gizi buruk yang marak terjadi; resistensi masyarakat untuk memperjuangkan akses terhadap pangan; kasus-kasus keberhasilan masyarakat untuk memperluas akses terhadap pangan dan hidup mereka.
y

Keamanan pangan & lingkungan:

Kampanye wacana kritis pada teknologi pertanian yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan erosi/kerusakan keanekaragaman hayati dan yang mempunyai potensi untuk merugikan kesehatan manusia; serta bentuk-bentuk ketergantungan pada teknologi pertanian yang merugikan petani, masyarakat luas dan lingkungan (teknologi rekayasa genetika, varietas hibrida, pertanian non organik)
y

Isu-isu spesifik|

Saat ini FNB Yogyakarta bersama organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok lain sedang dalam proses untuk mengkampanyekan penghentian pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang direncanakan di Muria, Jawa Tengah dan Sampang, Madura. Praksis FNB
y y

Pengadaan makan gratis untuk publik- dapur umum berkala yang dilangsungkan setiap bulan Demonstrasi dan realisasi alternatif dalam skala-skala tertentu (studi tur, magang di pertanian organik, perintisan lahan pertanian organik, perintisan relasi produktif dengan petani).

Ingin terlibat dengan FNB ?? FNB Yogyakarta mengandalkan bantuan finansial dan non finansial dari beragam kelompok atau individu yang mendukung misi FNB. Saat ini FNB beroperasi dengan pendanaan dan sumberdaya yang berasal dari anggota FNB, donasi finansial dan non finansial dari individu ataupun organisasi/kelompok dan sumbangan tenaga dan keahlian dari relawan dan relawan

ahli.Jika anda berpikir untuk terlibat dengan kegiatan FNB, kontak kami: Food Not Bombs Yogyakarta E-mail: fnb-jogja@riseup.net POSTED BY Administrator ON @ 11:55 am | 0 Comments

Gerakan Anti Otoritarian dalam kancah perjuangan melawan Neo liberalisme


Gerakan Anti Otoritarian dalam kancah perjuangan melawan Neo liberalisme (Maret 2007) Setiap alat adalah senjata jika kamu memegangnya secara benar.(Ani DiFranco)

Sampai saat ini, khususnya di Indonesia, oposisi gerakan anti otoritarian terhadap neo liberalisme[1] (sistem ekonomi pasar bebas) belum banyak diketahui orang. Tapi kita juga harus melihat dari banyak hal, ide-ide anti otoritarian di Indonesia bisa dibilang relatif baru berkembang, dan literatur yang membahas tentang ide-ide anti otoritarian juga belumlah banyak bila dibanding dengan ide-ide yang berbasiskan tradisi marxis ortodok ataupun yang lain. Di sisi lain, seringkali juga, sebuah sejarah hilang tanpa menyisakan jejak. Seluruh sejarah adalah semacam batu tulis, bisa dihapus bersih dan ditulis lagi sesering yang dibutuhkan. Setiap detil dari apa yang telah ia sumbangkan ke dalam kehidupan manusia dihapus begitu saja, selayaknya secarik kertas syair yang terbakar. Dan selama ini gerakan-gerakan anti otoritarian dalam melawan globalisasi kapital[2] selalu tertutup oleh kalangan kiri ortodoks, seakan-akan selama ini, hanya mereka satu-satunya kelompok yang beroposisi terhadap sistem ekonomi kapitalisme. Dan terus menertawakan dan menganggap bahwa gerakan yang dilandasi ide-ide anti otoritarian adalah utopis. Namun ketika kita menelusuri lebih dalam, banyak ide-ide anti otoritarian (anarkis, marxis otonomis dan beberapa kecenderungan lainnya) menemukan kembali ruh dalam revolusi pasca modern melawan globalisasi kapital, yang menjadi kelanjutan sejarah dari keberhasilan terbesar dan terkuat Anarkisme di Spanyol[3] ataupun gerakan seniman radikal yang membentuk Situasionis Internasional (1957-1972)[4].

MELAWAN NEO LIBERALISME & KEDAULATAN NASIONAL

Relasi-relasi ekonomi neo liberalisme telah menjadi lebih otonom dari kontrol politik, dan konsekuensinya kedaulatan politik telah menurun. Beberapa kalangan merayakan era baru ini sebagai pembebasan ekonomi kapitalis dari pembatasan-pembatasan dan distorsi-distorsi yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada sebelumnya, dimana dalam tradisi Keynesian, Negara sebagai kontrol politik harus ikut campur dalam mengatur mekanisme pasar. Beberapa kalangan lainnya mengeluhkan ini sebagai tertutupnya saluran-saluran institusional lewat mana para pekerja dan warga negara bisa mempengaruhi atau menandingi

logika dingin laba kapitalis.

Tentu saja benar bahwa, dalam proses-proses globalisasi, kedaulatan negara-negara bangsa, meski masih berlaku, telah menurun secara progresif. Faktor-faktor primer produksi dan pertukaranuang, teknologi, orang dan barangbergerak dengan kemudahan yang makin meningkat melintasi perbatasan-perbatasan nasional, karena itu, negara-bangsa makin lama makin tak memiliki kekuasaan untuk mengatur aliran-aliran ini dan memaksakan otoritasnya terhadap perekonomian. Bahkan negara-negara bangsa yang paling dominan sekalipun hendaknya tidak lagi dianggap sebagai otoritas yang tertinggi dan berdaulat, baik itu di luar ataupun di dalam batas-batasnya sendiri. Namun demikian, penurunan dalam kedaulatan negara-negara bangsa tidak berarti bahwa kedaulatan seperti itu memang telah menurun. Transformasi-transformasi kontemporer, kontrol-kontrol politik, fungsi-fungsi negara dan mekanisme-mekanisme pengaturan telah terus mengatur bidang produksi dan pertukaran ekonomi dan sosial. Michael Hardt dan Antonio Negri kemudian membuat hipotesis dasar bahwa kedaulatan telah mengambil suatu bentuk baru, yang tersusun atas serangkaian organisme nasional dan supranasional yang disatukan dalam sebuah logika tunggal. Bentuk kedaulatan global baru inilah yang Michael Hardt dan Antonio Negri sebut Imperium. Namun ada perbedaan politik yang mendasar, gerakan-gerakan yang berbasiskan anti otoritarian dengan tradisi yang dibangun oleh beberapa kalangan, khususnya marxis ortodoks, yaitu dalam hal menganalisa strategi perlawanan terhadap neo liberalisme, untuk kalangan pertama, orang bisa berjuang menuju sebuah alternatif non-nasional untuk mengupayakan terwujudnya hubugan global secara sederajat, kalangan ini bersikap menempatkan diri secara lebih tegas menentang modal itu sendiri, baik modal yang diatur oleh negara maupun yang tidak. Dan untuk kalangan kedua, orang bisa bekerja untuk memperkuat kedaultan negaranegara bangsa sebagai suatu perintang defensif terhadap kontrol modal asing dan modal global, mereka memposisikan neoliberalisme sebagai kategori analitis pokok, dengan memandang musuh ini sebagai aktivitas kapitalis global yang tak terbatas dengan kontrol negara yang lemah. Sikap pertama, sebaliknya, menentang solusi nasional apapun, dan sebagai gantinya, berupaya mewujudkan sebuah globalisasi yang demokratis, semangat internasionalisme. Sikap yang kedua, barangkali memang tepat disebut sebuah sikap anti-globalisasi, sejauh kedaulatankedaulatan nasional, kendatipun jika dihubungkan oleh solidaritas internasional, berfungsi untuk membatasi dan mengatur kekuatan-kekuatan globalisasi kapitalis. Dengan demikian, bagi sikap ini pembebasan nasional tetap merupakan tujuan akhir, seperti halnya bagi perjuanganperjuangan anti-kolonial dan anti-imperialis yang lama. Perbedaan tersebut akan semakin kentara ketika kita melihat bagaimana kedua kalangan itu menjalankan operasinya. Kalangan pertama, yang terdiri dari berbagai gerakan-gerakan baru yang telah melakukan aksi-aksi protes dari Seattle, Praha, Genoa, mengorganisir dalam jaringan-jaringan horisontal, didasarkan pada prisnip-prinsip swa kelola, desentralis, demokrasi konsesus non-hirarkis. Kalangan kedua, biasanya akan dipenuhi partai-partai tradisional dan kampanye-kampanye tersentralisir. Dan lebih jauh lagi, di dalam organisasiorganisasi tradisional yang tersentralisir (struktur atas-bawah seperti negara atau perusahaanperusahaan), jajaran puncaknya cenderung ke arah kedaulatan, sedangkan basisnya menjauh dari kedaulatan.

Berangkat dari analisa tersebut, kalangan marxis ortodoks akan selalu menarik garis batas, menthok pada kepercayaan bahwa dengan merebut kekuasaan negara (dengan cara apapun, baik melalui jalur pemilu ataupun perjuangan bersenjata), kekuasaan neo liberalisme akan mampu dihadang. Ini adalah representasi dari pandangan untuk menguatkan kedaulatan nasional negara-negara bangsa. Bisa saja kalangan yang mendukung kedaulatan nasional negara-negara bangsa menuduh sikap yang mendukung alternatif non-nasional sebagai bermain-main ke dalam tangan neoliberalisme, merongrong kedaulatan negara, membuka jalan bagi globalisasi lebih jauh, mbalelo tidak mau tunduk pada kedisiplinan organisasi atau partai. Namun yang perlu diingat dan garis bawahi, bahwa rezim-rezim nasional serta bentukbentuk kedaulatan lainnya, yang seperti biasanya berwatak korup dan menindas, fakta sejarah telah membuktikan kegagalan-kegagalan dari rejim-rejim itu. Uni Soviet sebagai negara pertama yang mengembangkan sosialisme negara (etatisme), hal tersebut jauh dari demokrasi politik. Dan dizaman Stalin semakin mengukuhkan pandangan bahwa sosialisme negara hanyalah bentuk yang lain dari penindasan. Namun biasanya, para pendukung marxis ortodoks (di Indonesia cukup memiliki pendukung besar yang sampai sekarang belum pernah menyerah untuk mengembalikan puing-puing kemegahan istana Kremlin) akan selalu menjawab bahwa itu hanyalah kesalahan praktek pemimpinnya saja. Jadi untuk kedepannya, pemimpinnya harus benar-benar yang baik dan dikontrol dengan baik pula, jawaban yang sangat simpel. Sebuah jawaban yang lebih mencerminkan logika formal dibanding logika filsafat materialisme dialektik. Ada satu konsep kunci di dalam sejarah negara-negara yang berorientasi kekirian, dan konsep itu adalah pengkhianatan. Dari waktu ke waktu, para pemimpin selalu mengkhianati pergerakan, dan penyebabnya bukanlah karena mereka (para pemimpin tersebut) adalah orangorang yang tidak baik, namun karena negara sebagai sebuah bentuk organisasi memisahkan para pemimpin dari pergerakan dan lebih jauh lagi, membawa mereka menuju sebuah proses rekonsiliasi dengan kapital. Dan yang tidak pernah disadari oleh kalangan Marxis ortodoks adalah, bahwa kapitalisme terus berevolusi demi melanggengkan penghisapannya. Borjuis sudah tidak hanya berbentuk fisik, melainkan berupa mentalitas psikologis yang terus diupayakan dan dikembangkan (ironisnya, bahkan termasuk ke dalam urat nadi para proletariat itu sendiri.) untuk menghancurkan mata rantai gerakan perlawanan proletariat. Pengkhianatan sudah menjadi sebuah prinsip organiasasi dari negara. Bisakah kita menolaknya? Ya, tentu saja kita bisa, dan ini adalah sesuatu yang selalu saja terjadi. Kita dapat menolak pemimpinpemimpin atau perwakilan yang ditunjuk oleh negara untuk pergerakan, kita dapat menolak para delegasi untuk melakukan negosiasi secara tertutup dengan para perwakilan dari negara. Namun ini mengisyaratkan pemahaman bahwa bentuk organisasi kita sangatlah berbeda dengan yang ada pada negara, dan tidak ada kemiripan diantara keduanya. Negara adalah bentuk organisasi yang mewakilkan, dan apa yang kita inginkan adalah organisasi mandiri, sebuah organisasi yang mengizinkan kita untuk dapat mengartikulasikan apa yang kita inginkan, apa yang kita putuskan, apa yang kita pertimbangkan penting dan dihasratkan. Apa yang kita inginkan, dengan kata lain, adalah sebuah bentuk organisasi yang tidak memiliki orientasi untuk mengambil-alih negara. Untuk selanjutnya, mari kita jawab keragu-raguan orang yang berpendapat bahwa gerakan yang dilandasi ide-ide anti otoritarian adalah utopis.

Ada banyak jalan menuju sebuah gunung Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (Ejrcito Zapatista de Liberacin Nacional, EZLN) Momen itu akhirnya datang, pada malam tahun baru 1 Januari 1994, perlawanan terhadap globalisasi neo liberal sudah dilakukan sejumlah petani di Chiapas, Meksiko, (negara bagian paling selatan di Meksiko yang paling kentara kesenjangan kelasnya dan menderita akibat kebijakan neo liberla pemerintah pusat). Mereka menyebut dirinya Ejrcito Zapatista de Liberacin Nacional, EZLN (Tentara Pembebasan Nasional Zapatista), yang mengangkat senjata melawan pemerintah Meksiko yang pro neo liberal. Pemberontakan tersebut pertama kalinya direpresentasikan sebagai bentuk gagasan perlawanan terhadap neo liberal atau ekonomi pasar bebas. Secara waktu, pemberontakan tersebut bertepatan waktunya dengan dimulainya Kesepakatan Perdagangan Bebas Amerika Utara atau NAFTA. Dalam waktu singkat, pejuang Zapatista[5] yang berjumlah kurang lebih 2.000 orang menduduki enam kotapraja (pemerintah kota/daerah setingkat propinsi) di Chiapas,. Sambil mencanangkan perang melawan pemerintah nasional, EZLN juga menyerukan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi masyarakat adat dan kaum tani di kawawasan Chiapas. Retorika sosialis mereka membuat pemerintah Meksiko mengolok-olok Zapatista sebagai gerombolan gerilyawan Marxis Amerika Tengah pada umumnya. Namun tak lama kemudian menjadi jelaslah bahwa pemberontakan Zapatista ini berbeda sama sekali. EZLN mengajukan program dalam sebelas tuntutan, yakni : pekerjaan, tanah, perumahan, makanan, perawatan kesehatan, pendidikan, kemerdekaan, kebebasan, demokrasi, keadilan dan perdamaian.[6] Terlebih lagi kaum Zapatista juga telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang mengenai masa depan masyarakat adat (indigeneous people) dihadapan globalisasi ekonomi dan budaya.[7] Zapatista adalah pemberontakan yang sangat baru, pemberontakan pertama pasca perang dingin, dan pemberontakan yang tak perlu mengaitkan diri dengan Marxisme gaya kuno. Mereka menyerukan agar seluruh rakyat Meksiko menggalang solidaritas untuk penduduk adat Chiapas, sambil menegaskan bahwa mereka tak punya agenda untuk menata ulang masyarakat dalam seturut langgam Marxisme dan tak ingin merebut kekuasaan. Zapatista menuai perhatian dunia karena daya inspirasinya yang mereka sebar sejak awal. Zapatista mengangkat senjata bukan untuk merebut kekuasaan, tapi untuk menciptakan sebuah ruang demokratis dimana pertentangan antar pandangan politik yang berbeda-beda (heterogen) bisa dibicarakan. Mereka ingin menunjukan kepada dunia bahwa cara lain untuk berpolitik itu sungguh ada, yang salah satunya bisa dilihat dari praktek kehidupan anti otoritarian (demokrasi partisipatoris). Bahkan EZLN mengundang pengamat dari seluruh dunia, mengundang berbagai kelompok untuk memantau pemberontakan mereka. Kelahiran mereka adalah buah dari sejarah perlawanan yang sudah muncul ratusan tahun silam. Semenjak perlawanan petani yang dimotori oleh Emiliano Zapata berakhir oleh penghancuran pemerintah Meksiko di tahun 1919. Di tahun 1969, Zapatista Baru dibentuk, basis anggota mereka sebagian besar adalah masyarakat adat, tapi mereka juga mempunyai pendukung dari wilayah perkotaan seperti halnya dukungan jaringan internasional. Cikal bakal revolusioner ELZN dimulai dengan model hirarkis ala gerilyawan Maois pada umunya. Dari

hasil interaksi mereka dengan suku-suku Maya dan kolompok-kelompok etnis (atau masyarakat adat) di Chiapas, kelompok gerilyawan EZLN menghasilkan rumusan agenda revolusioner gaya baru. Agenda ini merombak total ide-ide Maois tentang perang gerilya pedesaan yang awalnya dianut oleh EZLN, struktur komando sentralis mereka mulai dipertanyakan dan dianggap tidak memadai. Pada saat pemberontakan 1994, EZLN telah berubah menjadi gerakan Zapatista. Tanpa pucuk pimpinan, tanpa badan ekskutif, tanpa markas besar. Bentuk seperti itu muncul dari kehidupan masyarakat adat, dan didasari pada gagasan tentang komunitas dan pengambilan keputusan secara komunal : Masyarakat adat tidak menganggap diri mereka sebagai pribadi yang berdiri sendiri-sendiri dalam masyarakat, namun sebagai anggota organik dari suatu komunitas. Mereka berdebat berjam-jam, semalam suntuk, bulan demi bulan, sebelum sampai pada apa yang mereka sebut mufakat. Begitu mencapai mufakat, mereka yang tak setuju tak punya pilihan lain : patuh seperti yang lain atau enyah dari komunitas.[8]

Subcomandante Insurgente Marcos (pada awalnya adalah seorang Marxis, yang bergerak melampaui intepretasi ortodoksi Marxis), juru bicara dari kelompok pemberontak pada tahun 1995 bercerita bagaimana Zapatista sampai pada kesadaran bahwa langkah untuk mencapai hak penentuan nasib sendiri sudah tidak bisa lagi ditempuh lewat jalur kuno oposisi terhadap pemerintah nasional : Pada saat kami bangkit melawan pemerintah nasional, kami temukan bahwa pemerintah nasional itu tidak lagi eksis. Pada kenyataanya kami bangkit melawan modal finansial raksasa, melawan spekulasi dan investasi yang menentukan seluruh keputusan di Meksiko, sebagaimana di Eropa, Asia, Afrika, Oseania, benua Amerikadisegala tempat.[9] Kesadaran ini disertai oleh penyelarasan kembali arah politik mereka, saat Zapatista terus mendorong reforma agraria radikal sembari meluaskan konstituennya dan mencari penyelesaian damai, menghaddapi masalah-masalah jender dan seksual, dan mendorong globalisasi dari bawah dengan bersikeras menerapkan bentuk pemerintahan desentralis. Perkembangan pemberontak Zapatista banyak dipengaruhi oleh dukungan yang mereka terima sepanjang dan sesudah 1994. Dukungan tersebut bukan dukungan militer (walaupun mereka menyerukan kelompok-kelompok adat lainnya unntuk berontak), tapi datang dalam wujud solidaritas dari beragam latar belakang. Mereka terkoneksi dengan internet, beberapa diantaranya juga berangkat ke Chiapas dan membentuk kelompok-kelompok dukungan dan mengadakan kegiatan-kegiatan ad hoc. Pada Agustus 1996 merek menggelar Pertemuan Internasional Demi Kemanusiaan dan Melawan Neo liberalisme. Acara ini dihadiri oleh 3.000 delegasi dari sedikitnya 50 negara dan melahirkan gerakan anti kapitalis global. Pemberontak Zapatista memberikan harapan baru bagi banyak gerakan sosial di masa depan dalam perjuangan anti kapitalisme di Meksiko maupun di tingkat internasional. Dunia lebih baik, lebih indah, lebih adil itu mungkin. Perjuangan terus berlanjut! Salam! Catatan :

1. Sejarah yang terlupakan : Oaxaca Sejalan dengan maraknya pupularitas para politisi kiri di Amerika latin, ada sejarah yang terlupakan karena dikalahkan oleh popularitas para elit partai kiri. Sebuah pemberontakan terjadi di Oaxaca, negara bagian Meksiko. Pemberontakan yang berasal dari akar rumput dan terlepas dari bayang-bayang elit-elit partai. Terlepas dari apakah para pemberontak itu bisa dikategorikan sebagai para Marxis atau bukan, para penduduk Oaxaca telah mematerialkan tatanan masyarakat masa depan dengan menduduki kantor-kantor pemerintahan serta mengubah menjadi pusat-pusat layanan sosial, mengambil alih alat-alat produksi serta mengoperasikannya dibawah kontrol para pekerjanya sendiri. Ingat kediktatoran proletariat non leninis? Sejarah umat manusia adalah sejarah orang-orang besar, saat orang-orang besar melakukan aksinya semua mata memandang, tapi ketika kalangan akar rumput bergerak walaupun mereka sudah mampu menendang para birokrat, elit politik, reformis, nyaris semua orang tak perduli.
y

Dengan caranya sendiri, sebuah kelompok anarkis di Kopenhagen Denmark memberi sumbangsih praktis pada apa yang masih menjadi tujuan jangka panjang Zapatista dan gerakan anti kapitalis pada umunya. Para anarkis di Kopenhagen mempraktekkan hidup anarkis komunis di Kota bebas Christiania (tebagi ke dalam 15 distrik dan telah menjadi tempat tinggal dan tempat kerja sekitar 650 sampai 1000 orang) yang telah berdiri lebih dari 30 tahun sampai sekarang. Dan karena resmi disebut sebagai eksperimen sosial, Christiania telah menjadi daya tarik utama pariwisata untuk para tursi yang ingin tahu prospek gaya hidup anarkis di jantung negara borjuis modern.

Rekomendasi bacaan : 1. Anarkisme, perjalanan sebuah gerakan perlawanan, Sean M. Shehaan


y y y y y

Anarkisme, paham yang tak pernah padam, Dr. Mansour Fakih Empire, A. Negri dan M. Hardt Marxis otonomis Mengubah tanpa mengambil kekuassaan, John Holloway Porto Alegre : Bandung di masa kini?, Michael Hardt

[1] Terinspirasi dari ekonom Inggris, Adam Smith, yang menerbitkan bukunya The Wealth of Nations. Dia dianggap sebagai bapak kapitalisme pasar bebas (liberalisme klasik). Dalam bukunya, dia menganjurkan, bahwa untuk mencapai efesiensi maksimum, semua bentuk campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi sebaiknya ditanggalkan, dan seharusnya tak ada pembatasan atau tarif dalam manufaktur serta perdagangan satu bangsa agar bangsa tersebut

bisa berkembang. Namun logika pasar bebas ini sempat mengalami krisis besar pada periode 1930-an, dan muncullah John Maynard Keynes yang menganjurkan regulasi dan campur tangan pemerintah sebenarnya dibutuhkan untuk mengatasi krisis kapitalisme. Namun, dengan alasan bahwa ide-ide Keynesian dianggap mengurangi keuntungan, ide-ide ekonomi liberal klasik mulai dibangkitkan lagi, dan muncullah terminologi baru neo liberalisme. Berawal dari Universitas Chichago, dengan filsuf ekonomnya, Friederich von Hayek dan muridnya, Milton Friedman, ideologi neo liberalisme disebar ke seluruh dunia. Dan doktrin-doktrin neo liberalisme semakin mantap di era Ronal Reagan dan Margareth Thatcher. [2] Globalisasi, dikarenakan penggunaannya yang didominasi untuk kepentingan-kepentingan kapitalis, sebagai terminology telah mejadi sedemikian rancu. Jika memaknai sesuai denagn kosa kata yang merunut pada kata global dan imbuhan isasi yang membuatnya menjadi kosa kata aktif. Globalisasi dapat dimaknai sebagai suatu fenomena ontologism (keterjadian) yang merujuk pada menjadinya tatanan masyarakat berdasarkan beragam hubungan timbale balik di antara subyek-subyek di berbagai penjuru dunia. Maka dari itu, selain dari globalisasi dalam pemaknaan globalisasi capital, kita juga mendapati beragam penggunaan lain dari terminology globalisasi, di antaranya adalah globalize justice (globalkan keadilan), globalize resistance (globalkan resistensi). [3] Momen-momen selama lima puluh enam tahun agitasi dan organisasi yang teguh memuncak menjadi gerakan revolusioner yang terbesar dan terluas di era moderndi tahun 1936 Federasi Anarkis Iberia (FAI) yang semi rahasia memiliki anggota sebanyak 30.000 aktifis dan badan Anarko-Sindikalis CNT memiliki anggota sebanyak 1.500.000 orang. [4] Mereka membangun sebuah pemahaman yang cukup rumit dan koheren mengenai masyarakat modern yang represif dan juga tujuan serta taktik untuk menekannya demi mencapai sebuah dunia baru dengan kebebasan yang absolut. Ide-ide dan metode mereka berada di jantung pemberontakan Mei 1968 di Perancis dan menginspirasikan kelompok-kelompok radikal dan yang serupanya di lusinan negara di seluruh dunia. Ide-ide situasionis internasional bisa ditemukan dibeberapa pamplet dan buku, yang paling terpenting adalah The Revolution of Everday Life dan The Book of Pleasures yang ditulis oleh Raoul Vaneigem, dan The Society of Spectacle oleh Guy Debord. [5] Zapatista mengambil namanya dari pemberontak anarkis Meksiko Emiliano Zapata, lihat Marshall, Demanding the Impossibel, hal. 511-513. [6] Neil Harvey dan Chris Halverson, The Secret and the Promise : Womens Struggles in Chiapas, dalam David Howarth, Alleta. J. Norval, dan Yannis Stavrakakis, Discourse Theory and Political Analysis : Identities, Hegemonies and Social Change (Manchester ; Manchester University Press, 2000), hal. 151. [7] R. Burbach, Roots of Postmodern Rebellion in Chiapas, dalam New Left Review, No. 205 (1994), hal. 113-124.

[8] Dias Tello, La Rebellion de las Canadas (Mexico City, 1995), dikutip dari David Ronfeld, John Arquilla, Graham E. Fuller dan Melissa Fuller, The Zapatista Social Netwar in Mexico (Sanata Monica, 1998), hal. 33. [9] Dikutip dalam Amory Starr, Naming the Enemy (London, 2000), hal. 104. POSTED BY Administrator ON 04.11.07 @ 8:50 am | 0 Comments

Really-really free market


The Really Really Free Market: Instituting the Gift Economy Theres no such thing as a free lunch under capitalism For anarchists, theres no other kind

Disambiguation: According to the capitalist lexicon, the Free Market is the economic system in which prices are determined by unrestricted competition between privately owned businesses. Any sensible person can recognize immediately that neither human beings nor resources are free in such a system; hence, a Really Really Free Market is a market that operates according to gift economics, in which nothing is for sale and the only rule is share and share alike. In the interest of not taxing the readers patience, a single apostrophe stands in for the two Reallys throughout this text. Once a month two hundred or more people from all walks of life gather at the commons in the center of our town. They bring everything from jewelry to firewood to give away, and take whatever they want. There are booths offering bicycle repair, hairstyling, even tarot readings. People leave with full-size bed frames and old computers; if they dont have a vehicle to transport them, volunteer drivers are available. No money changes hands, no one haggles over the comparative worth of items or services, nobody is ashamed about being in need. Contrary to government ordinances, no fee is paid for the use of this public space, nor is anyone in charge. Sometimes a marching band appears; sometimes a puppetry troupe performs, or people line up to take a swing at a piata. Games and conversations take place around the periphery, and everyone has a plate of warm food and a bag of free groceries. Banners hang from branches and rafters proclaiming FOR THE COMMONS, NOT LANDLORDS OR BUREAUCRACY and NI JEFES, NI FRONTERAS and a king-size blanket is spread with radical reading material, but these arent essential to the eventthis is a social institution, not a demonstration. Thanks to our monthly Free Markets, everyone in our town has a working reference point for anarchist economics. Life is a little easier for those of us with low or no income, and

relationships develop in a space in which social class and financial means are at least temporarily irrelevant.

Why the Free Market Works The Free Market model has several virtues to recommend it for anarchists hoping to build local infrastructures and momentum. First, like Critical Mass or Food Not Bombs, it lends itself to a decentralized approach: so long as the idea is well-distributed, neither hierarchy nor central coordination is necessary to organize a Free Market. This makes the Free Market model helpful for those hoping to cultivate personal responsibility and autonomous initiative in their communities; it also means that, should the Free Market in your town run into trouble with the authorities, they wont be able to shut it down by simply targeting the leaders. As a means of bringing people together, Food Not Bombs seems to have built-in limits: in much of North America, the stigma around eating free food is strong enough that often only dropouts, radicals, and desperately poor people are comfortable doing so in public. The Free Market model, conversely, can be comfortable for almost anyone. In a consumer society in which shopping is the common denominator of all social activity, everyone feels entitled to pick through items at a yard saleand the fact that theyre free just sweetens the deal. Middle class people, of course, need more than anything else to get rid of things: their houses are all so overfilled with unused commodities that the opportunity to do something with them is a godsend. This works out nicely for the rest of us! And thanks to wasteful mass-production, even the poorest of the poor usually have access to a surplus of some kind. Being able to give something to someone who needs it is even more fulfilling than getting things for free: centuries of capitalist conditioning have not succeeded in grinding out our instinctive propensity for mutual aid. Bottom-feeding dropouts such as comprise part of this magazines readership are wellequipped to organize Free Markets. Dumpstering and scavenging frequently yield more than any one household can make use of; regular Free Markets give urban foragers the chance to put all that bounty at the disposal of other communities. Creative access to photocopying and spare time are both valuable for advertising Free Markets. Travelers can bring in fresh energy and take on temporary roles to decrease the pressure on locals who risk accruing too much attention for their efforts. Starting from the minimal resources available to the excluded, impoverished fringe groups can build up counter-structures that eventually provide tremendous abundance, visibility, and social leverage. The Free Market is not just a means of getting stuff without paying. Long-term participation in Free Markets dispels the materialist programming that makes people covet useless items by denying access to them, and demonstrates just how possible and fulfilling the anarchist alternative is. It also presents a point of departure for further struggles: if this is what we can do with the scanty resources were able to get our hands on now, what could we do with the entire wealth of this society?

Pitfalls As with any tactic, the Free Market model can fail when applied incorrectly. The most common mistake is to organize a Market the way you would organize a demonstration: issue a

press release heavy with rhetoric, put up fliers featuring circle-As or words like social justice, tie the event to some ideology or coalition. This is senselessly limiting. The Free Market model works because its content is inherently radical; emphasizing form over content can only distract and alienate. You dont have to hide your personal commitments or affiliationsjust make sure the center of gravity is that everyone is invited to come share things, pure and simple. Another reason some Free Markets fail is that they come across as the territory of one particular demographic or subculture. If almost all the attendees come from a certain background, those who dont will feel like outsiders; there need to be enough people involved from various walks of life that anyone who happens by feels comfortable. When organizing a towns first Free Market, be careful to invite as broad a range of people as possible. Likewise, visitors can be a liability rather than an asset if their numbers approach those of local participants. The past two CrimethInc. convergences have both included Free Markets, each of which was the first such event to take place in the host town. Both were failures: an event that depends on local involvement to succeed cannot be initiated by outsiders. Finally, dont expect to draw thousands if your Markets happen randomly every year or so. Consistency is one of the most important elements of a successful Free Market. A sporadic schedule inevitably means that attendance will be limited to those immediately connected to the networks through which promotion takes place; a regular event can eventually attract quite a lot of people, as word spreads outside the circles from which the idea originated. On the other hand, your Markets should not occur more frequently than you can replenish energy and resources. Each one should be a unique event, with enough effort invested in it to make it something unprecedented. That way people will always show up to see what happens, and will take them seriously enough to contribute energy themselves.

Throw Your Own Free Market! Its easy to organize a Really Really Free Market. Every town should have one; big cities should have one for every district. It is the authors opinion that successful, consistent Free Markets should be established around the United States, following in the footsteps of the proliferation of Food Not Bombs groups over a decade ago, and that this would significantly increase the visibility and scope of anarchist activity in North America. Once you get a regular Free Market off the ground, it should basically run itself. The challenge is to start things off with enough energy that everyone can see the projects potential, while making sure everyone who gets involved feels an equal sense of ownership and investment. The first essential element of a good Free Market is location. Your Free Market should take place on neutral groundthat is, in an area everyone feels an equal claim to or ownership ofso no one will feel more or less comfortable than anyone else. For similar reasons, your location should be a central, visible area. If you can use a space where major public events happen or where a wide range of people are already accustomed to gathering, it will dramatically increase your chances of success. Many of the best spaces must be rented. It doesnt make sense to pay to hold a free event, but it probably wont do to hold your Free Market in somebodys back yard, either. If you do have to pay a permit fee, be clever about raising the funds for it. It compromises the integrity of the event to have to put out a donation jar to cover expenses, and those donations will inevitably fall short; its better to find a location that is free or cheap enough to cover privately, or else

raise funds through independent benefit events. Reservation procedures are also problematic in that they position one person as responsible for the entire event, the exact opposite of the horizontal structure youre trying to promote. The militant solution weve tested is to start out paying permits for a space, then stop once the event has gained enough support to weather a conflict with the powers that be. This will be much more difficult in some contexts than others, of course; shoot for the stars, but appraise your situation realistically. The next step is to advertise. Sure, you should post fliers and send out emails to every listserv you can possibly think of, but thats only the beginning. You can take handbills around and give them out at bus stops, public events, in neighborhoods and apartment complexes; you should also see if local radio stations will run Public Service Announcements for you, or if local papers can run a listing or even a story on your event. If you come into conflict with city officials or anyone else, treat it as another opportunity to solicit media coverage. In our town people have taken the yard signs produced by politicians and real estate agencies and painted over them, then redistributed them throughout town; we also hang banners by major intersections a week in advance. We used to do the latter on town property, until we got in a spat with a petty official over it; now we put the same banners a few feet away, on private property owned by sympathetic locals or in places town employees are too lazy to reach. Dont stop at approaching the official representatives of a grouptalk to the rank and file so your outreach efforts dont depend on authority figures but extend directly to the people you want to invite. Forget about government officialstheyre too tied up in red tape to think about your event as anything but a headachebut do contact the workers at homeless shelters, interfaith councils, and other social support institutions: theyre probably so overwhelmed and under-equipped that theyll be thrilled to direct people to your Free Market for additional resources. Make all your fliers, signs, and announcements bilingual, or else produce them in different languages for different contexts. At every Free Market, put out a sign-up list so people who want to receive news of the next one or coordinate with other organizers can leave their contact information. Next, brainstorm all the possible sources of things to give away. The more you bring to the Free Market yourself, the more excited others will be about the event, and the more they will expect from themselves as participants. Go through your closets, and encourage everyone you know to do the same. Of course you can dumpster bread and vegetablesbut is it possible employees might slip you a little on the side, too? Visit colleges at the end of each semester, corporations that are going out of business, and wealthy neighborhoods where they leave perfectly good items sitting out on the curb. Get all your friends together the night before to cook a nutritious meal and a few hundred delicious cookies. Make sure its not easy to tell who is contributing what, both to avoid any implications of charity and to forestall speculation as to whence certain items came. If a team wants to raid the basement of a racist, sexist fraternity and redistribute their unused VCRs to the people, thats their own business, right? Dont stop at gathering objectsa good Free Market is about people interacting with each other, not just taking and leaving things. Organize games, musical improvisations, and other participatory activities that can incorporate chance passers-by. Set up displays and dioramas for the shy but inquisitive. Solicit participants person by person. As a rule of thumb, one personal invitation is worth a hundred fliers. Invite an accomplished storyteller, a hairstylist, a popular folk musician, a

collective of spoken word artists, a specialist in therapeutic massage, a portrait painter, a bicycle mechanic, an automobile mechanic, and everyone else can you think of or run into. Offer to help provide whatever resources they need. Consider what services others at the Market may need, as well. You could have someone with a truck available to make deliveries, or someone organizing childrens activities in case a lot of overburdened parents show up. In some situations, you should have a team designated in advance to deal with police, media, or other troublemakers. Coordinate with other groups to broaden the scope of your Free Market. A dance troupe is coming to your town for the weekend; can they put in an appearance? How about a barbershop quartet, a team of champion skateboarders, a wholistic health care provider, a symphony orchestra? Youre not just keeping old clothes and stale bagels in circulation, youre introducing an entirely different economic system that can provide as much diversity as capitalism, if not more! Make sure that comes across at every Free Market. Finally, make sure you have a plan for what to do with the leftovers! The local thrift shop or goodwill may be thrilled to get a big shipment in from you, or it may not be what they want at all, in which case youll have to either have a place to store it all for the next Free Market or a means of disposing of it. Clean up the site of your Free Market meticulously; youll benefit from having a reputation for being responsible in this regard. Once your Free Markets have taken off, you can move on to other Really Really Free programs: free movie showings and other entertainment events, free education projects, free housing occupations! The skys the limit once people have a taste of real freedom. The Fight for the Free Market: An Epic Tale Culminating in Triumphant Victory Our story takes place in a small town like many others in the US. This town is known for its pedestrian-friendly layout and liberal population. Theres no college, but a state university is located in the larger town a bicycle ride away, and three medium-size cities are within an hours drive. Some people have lived here their whole lives, but many others have moved here over the past decade or two; property costs have increased accordingly, increasing the pressure on poorer residents. Class conflict appears to be at a low level, however; at first glance, a visitor might assume everyone is as affluent as the customers at the expensive co-op downtown. In fact, there is a disenfranchised classconsisting of the remainder of the areas longtime black population, the Latino laborers who have followed employment opportunities here more recently, poor white workers, and dclasssbut it is invisible, as most of the towns facilities cater to the young and hip or the wealthy and bourgeois. And there are anarchists. Alongside the scene of people involved in cooperative housing and organic farming, a small but vigorous anarchist community has developed over the past decade. Unlike many towns where anarchists have established a presence, theres virtually no punk scene: no bands, no shows, no music-oriented subculture. Theres also very little drinking. In place of these things, anarchists mingle with the rest of the population and hold excellent dinner partiesand organize social programs. As of this writing, this town of less than 20,000 hosts a community bicycle repair and distribution program, a radical literature distribution, a free breakfast program for day laborers, a free grocery distribution program for low-income neighborhoods, and a books to prisoners program, among other projects. Most of these are explicitly anarchist, yet serve hundreds of people of widely varying political identification.

But were getting ahead of ourselves here. Several of those projects grew up in the momentum generated by the local Really Really Free Markets, which are the subject of this story. Late in 2003, several people from this area attended a Really Really Free Market at the protests against the Free Trade Area of the Americas ministerial in Miami. The following summer, activists organized the states first Really Really Free Market in a nearby city; it was a one-time event, coinciding with summit protests elsewhere in the region. The next fall, a few friends paid the permit fee to reserve the town commons for the first local Free Market. It, too, was conceived as a one-time event; but it was such a success that in early 2005 others joined them in organizing a sequel. Even at these first couple Free Markets, the crowds were fairly diverse, owing to fliers having been distributed in multiple languages and neighborhoods. There were also hints of the controversies that were to come: rumors circulated that town officials worried the Market would take business away from local corporations, and it turned out that town regulations forbid a group from reserving the town commons for the same event more than twice a year. Despite this prohibition, it was decided that additional Free Markets should take place, and a new face went to reserve the space in hopes that this would suffice to circumvent the two-use rule. Regulations or no, it was fortuitous that we started rotating organizational roles early on. This proved invaluable both for resisting concentrations of power within our own circles and weathering our later struggles with the town bureaucracy. We had our first real scandal the following autumn, a year after our initial Free Market. By this time, the organization core had drifted to a social circle characterized by more confrontational politics. It was election time, and every major intersection in town was decorated with yard signs proclaiming the virtues of various candidates for office. Many of these yard signs reappeared painted over and stenciled with advertisements of the upcoming Market. The local political milieu erupted in a huff; this took some time to pass and was draining for those who took it upon themselves to smooth things over. The scandal drew more media coverage to the Free Markets, albeit negative, and contributed to their contentious reputation. Meanwhile, the Markets themselves were doing just fine. The hundreds of people who attended them, who came increasingly from low-income backgrounds, apparently werent concerned about the private property of local bigwigs. The watershed juncture arrived spring of 2006. Over the preceding year and a half, organizers had paid hundreds of dollars to reserve the space for the Markets, often out of their own pockets. There had long been debates as to what would happen if we stopped paying the reservation fees. Would the government dare set the police on a multigenerational, multiethnic crowd in the center of town? Some felt that they would not, and that it was absurd to pay town officials for the right to provide a public service to the people they purported to serve. Others felt that, while the fees were undesirable, the Free Markets just didnt have the support necessary to win a conflict with the town government. In the end, the former camp carried the day out of necessity: there was a great deal of interest in the next Free Market, but no one had money to put up for it. The town Parks and Recreation Department was informed of the planned date, but no one ever showed up to pay the permit fee. Contrary to all fears, the Free Market went off without a hitchit was the most successful one to date. Another Free Market was called for the following month. This time, however, another group had already reserved the space for that day. A town official contacted the person who had

most recently signed up to reserve the town commons for a Free Market and informed him of this, but refused to facilitate communication with the group. Free Market supporters tracked down members of this group themselves, and worked everything out with them; in the end, both events took place, and participants in the Free Market assisted the other group in setting up. Town officials later disingenuously referred to this double-booking as one of the problems caused by the refusal to pay the reservation fee, but in fact it was a non-issue at the time. Still fearing that the authorities might try out intimidation tactics at one of the Free Markets to discourage unpermitted use of public space, we invited comrades from other towns who were experienced in public order situations to attend. Had we been thinking more clearly, we would have realized in advance that town officials would not act publicly, but rather target individuals underhandedly. That summer, a person who had signed up for an earlier Free Market received a letter from a local law firm acting on behalf of the Parks and Recreation Department, threatening civil penalties for the unpermitted use of public space. This intimidation had the effect of making people even more hesitant to have their legal names associated with Free Market organizing, but it did not dampen the momentum of the Markets. A handbill circulated at the next one listing the phone numbers of prominent town officials, inviting people to call and express their displeasure at the targeting of individuals associated with the Markets; it subsequently appeared posted all around town. Officials later complained of having received numerous calls, and the individual who had received the threatening letter never heard from the law firm or the government again. Despite this, it seemed clear that some sort of showdown with the town bureaucracy was brewing. Heated discussions took place behind the scenes about the best way to handle this. Public support had to be mobilizedbut how could this occur without centralizing control or representation of the Markets? Should public meetings be held, or would that simply offer a clear target for government repression and reformist infiltration? There were still some who felt that a confrontation with the government was neither feasible nor desirable. Three decisions were made that greatly influenced the ensuing course of events. First, an even more conscious effort was made to rotate roles: the individuals who had received a lot of attention up to that point were put on the bench, as it were, and from then on it was generally agreed that a person should only fill a given role oncewhether that be speaking to the media, publicly defending the Free Markets, or coordinating advertising and preparationbefore passing it along to another. At the same time, all Free Market organizing remained on an informal basis; the idea was that you could do anything you wanted to support the Free Markets, as long as in doing so you werent making decisions for others. This meant that no one could negotiate with the government on behalf of the Free Markets, and the Markets had no decision-making body other than the entire number of people who participated in them. Throughout this process, organizers benefited from the small size of the town and the lines of communication extending through different social circles. Second, the Free Markets would take place once a month, on a regular day. This solved the problem of someone having to call for each one to take place, and with it some of the remaining problems with power distribution. If the date of each Free Market was common knowledge according to a monthly system, there would be no organizers to blame for calling them. Fliers went out listing the next eight months of upcoming Free Markets. Finally, Free Market supporters reached out to their friends in a local puppetry troupe to plan a Free Market that would surpass all that had come before. These puppeteers had maintained a popular series of local shows for over half a decade, and were considering hosting

a puppetry convergence that would draw troupes from around the country. Someone suggested that the convergence be timed to intersect with a Free Market, and it was agreed. The puppeteers, not wishing to take the same risks, reserved the town commons, and a joint Marketcum-puppetry-festival was announced across the state. In a town known for support of the arts, this was a real coup. As the date of the festival approached, a struggle over public space issues broke out elsewhere in town when the co-op mentioned earlier for its affluent customers attempted to ban public expression on its front lawn. Protests were held, posters appeared wheatpasted across public walls, newspapers printed debating viewpoints on the issue, and town officials were drawn into the matter. Venomous columnists even accused politicians who took positions in favor of public use of space of being closet anarchiststhanks in part to the Free Markets, anarchism was becoming a point of reference for everyone. In the end, the landlord backed down, ceding victory to those who championed freedom and community over private property. The week before the festival, in this edgy atmosphere, a town official contacted the puppeteer who had signed up for the space and informed him that if people were going to share food at the event, he would have to pay several hundred dollars for insurance. In two years of Free Markets, each of which had featured a tremendous smorgasbord of free food, there had never been any talk of insurance; in fact, a later examination of the wording of town policy revealed that it did not require insurance for events at which food was given away. At the time, however, this phone call provoked some consternation. The day of the Free Market, food was delivered to the site by visiting supporters from out of town[1]; this was part of the policy of rotating high-visibility tasks, so town officials would not have an easy target for repressive measures. A town official stopped one person bearing a pot of beans, informing her that she was not permitted to serve food; she responded that she didnt intend to serve it, and placed it on the table with the rest of the food. He had to content himself with taking photographs of the food to present later on as evidence against the Free Market. Meanwhile, another town employee, a hulking fellow in intimidating dress, went around asking for suspected Free Market organizers by name; no one answered his queries, of course. Despite these efforts, the event was a smashing success. Dozens of puppetry troupes came and performed, and hundreds of local families showed up with children in tow. The intersection of the puppetry convergence and the Free Market offered the former a marvelous public venue and cemented the reputation of the latter as a valuable community resource. At this event, a town official who supported the Free Markets mentioned that at the meeting of the town government a couple days later there would be a resolution on the table proposing harsher penalties for those who promoted unpermitted events on public property. In retrospect, this was an important turn of events. Had he not passed on this advance warning, everything that followed might have played out differently. Phone trees were activated and a call went out for people to gather at the meeting in opposition to the measure. This was to be the first time Free Market supporters had acknowledged the town government in over half a year, and it had to be a show of force. The night of the meeting, almost thirty Free Market supporters arrived at the town hall. They ranged from leather-jacketed teenagers to grey-haired women with long histories of local volunteer work. On his way into the building, the mayor stopped to ask what brought them there; he disingenuously claimed the proposed penalties were not directed at Free Market organizers, though he admitted they might affect them. The town lawyer publicly corrected him when he

repeated this in the meeting, bluntly stating that the proposal was intended to solve the problems posed by unpermitted use of the town commons. A couple people spoke in favor of the Free Markets; everyone else remained silent but expectant, an unknown quantity for town officials to figure into their calculations. The politicians assured everyone that the Free Markets were not under attack, that there would be no arrests made in relation to them, then took advantage of the opportunity to hold forth at length about how there have to be rules and regulations and so on or else everything will just be anarchy. A reporter subtly poked fun at one town official in corporate newspaper coverage of the meeting, noting that he delivered this threat obliviously to a room full of anarchists. In the end, the mayor announced that an anonymous donor had offered to pay the reservation fee for the Free Market, so long as someone signed up for it. This struck some as a fabrication designed to preserve appearancesa tacit admission that the Free Markets could not be stopped. Hours before the next Free Market, someone whose name had been on a reservation form years earlier received an email from a town official again demanding hundreds of dollars of insurance if food was to be shared. The phone trees were activated again, and several dozen people showed up with cookies, cakes, pies, soups, and other delicious foodstuffs to give away in defiance. This time the government did not send anyone to harass participants; they simply posted signs reading The town has no control over and does not warrant the quality of any food distributed at this event. Free Market organizers brought their own signs, one of which was a full yard high and proclaimed The town government does not sanction the distribution of food at this event; do not sue them or expect them to share food with you. Eat at your own riskBE GOVERNED AT YOUR OWN RISK. The wording of the town policy regarding insurance at events appeared at the base of the sign, to show how their demand for insurance contradicted their own guidelines. At a later Free Market, the same official who had given the heads-up about the meeting expressed approval of this sign, implying that town employees had their hands bound by red tape. The Free Markets continue here to this day, each one a resounding success. Rumor has it that the town government may change the reservation system so a fee is not required for nonprofit events in public spaces; in this way, our project has contributed to the general struggle for free access to space in our community. As of this writing, several other cities in this state have regular Free Markets following the model weve developed. We have long-term plans to continue building an anarchist infrastructure in our town, running parallel with the hierarchical structures imposed by the government and corporations, with the goal of eventually supplanting them. In the meantime, our Free Markets are an excellent way to support the needy and nourish our culture of resistance. In the end, the conflict with the town government gave us opportunities we would never otherwise have had. We were able to bring up questions about the distribution of wealth and power that otherwise go unasked in this society; likewise, we were able to differentiate our approach to social support programs from those of liberals and religious groups. Had the town not raised such a fuss, people might have mistaken the Free Markets as another state-sponsored charity event. Our experience demonstrates the tremendous advantage amorphous, informal networks have when they enter into conflict with formal, hierarchical groups. All of the power the government had to bring to bear against us depended on there being specific representatives for them to target, and to a lesser extent on public disinterest. In maintaining horizontal structures

and public anonymity while mobilizing massive grassroots support, we were able to outmaneuver them in every instance. We also showed that direct action gets the goods. Even from a reformist perspective, our approach was more effective in producing concrete results than any other strategy could have been. Had we simply petitioned government officials or attempted to get a sympathetic politician into office, we would never have gotten anywhere. By presenting our regular use of the town commons as a done deal, we made the authorities an offer they couldnt refuse. Every lowincome family that leaves each Free Market with a bag of groceries benefits from this. Our efforts have borne fruit in other ways, too. Last Mayday, when there were massive marches in support of immigrants rights around the country, many of the ones in our state were organized in conjunction with liberal or communist front groups and bore a correspondingly authoritarian character. Here, thanks to the work we had done on the Free Markets, we were fortunate enough to be involved in the organizing along with immigrants and immigrants rights advocates. Consequently, the march that occurred here was distinctly more radical in form and content: it took place without any permits, occupying the towns main thoroughfare for several hours and culminating in a free dinner, dancing, and movie at the town commons. The connections that developed at this event later enabled people to coordinate solidarity actions during the assault on Oaxaca. We shouldnt underestimate the importance of small, concrete victories such as this one. In an era when radicals are used to losing every struggle they enter, it is important to set realistic goals and achieve them, and thus get used to doing what it takes to win. Perhaps the lessons weve learned here cant be applied in every town across the United States, but there must be countless other towns like our own. Its up to you to discover whether our successes can be repeated where you live.

Overheard in conversations at our Free Markets: [One elderly African-American woman to another:] Oh, you live there? Thats right down the street from me! Why dont you come by tomorrow, and Ill give you the flower pots you need. [High school student, to friends:] See? A marching band! This is the best thing ever! [Ostensibly bourgeois woman holding a zine, to her partner:] Look, honey, this was printed by our friendly neighborhood anarchists! [someone in a denim jacket, to companion:] OK, now how can we get rid of money?

Just a few of the things shared at our Free Markets: -televisions, stereos, and computers -furniture, futons, beds, and exercise machines -CDs, DVDs, videotapes, and cassettes -clothing from lingerie to ski boots -suitcases, bookshelves, and ironing boards

-homemade bird houses -firewood -seeds and vegetable starts -shampoo, conditioner, moisturizer, and other toiletries -childrens toys, baby clothes, and diapers -toilet paper, cleaning supplies, and homemade soap -hot soup, tostadas, salad, popcorn, cornbread, sweet tea, coffee, and other lunch items -banana bread, a myriad of cakes and pies, and vegan chocolate chip cookies by the thousand -massive quantities of groceries -thousands upon thousands of pamphlets, zines, and papers -books and magazines -tarot card reading and fortune telling -acupuncture, reiki, and massage -haircuts -bicycles -a bicycle repair station operated by skilled bicycle mechanics -automobile repair advice from a professional automechanic -screenprinted shirts and patches, including some celebrating our Free Market -screenprinting, poi spinning, and self-defense workshops -cello, theremin, and mouth harp lessons -performances from drummers, folk singers, classical musicians, a marching band, a drum corps, and dozens of puppet troupes -piatas full of vegan candy -games from chess to ultimate frisbee -an official from the free public transit system came to give out bus schedules and coin pouches with the transit system logo on them -the local Peace & Justice coalition brought sheets and paint to make banners for an upcoming protest -After being fired from her job at a corporate banner-making factory (no joke!), one enthusiastic participant hand-quilted a banner proclaiming REALLY REALLY FREE MARKET, which now hangs at every one.

POSTED BY Administrator ON 04.01.07 @ 4:02 am | 0 Comments

Laporan Acara Less Talk, More Spectacle


Bedah Buku dan Pemutaran Video Anarkis (15-18 Maret 2007)

+ Bedah Buku Anarkisme:Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan Karya Sean M. Sheehan, 15 Maret 07 Auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM. - Pembicara: - Pamuji (Apokalips, Bandung) - Robby Kurniawan (Penerjemah Buku, Marjin Kiri, Jakarta) - Gunardi Acara yang diorganisir oleh Affinitas ini dimaksudkan sebagai rangkaian kampanye wacana menuju aksi Mayday anti-otoritarian pada bulan Mei nanti. Peserta yang hadir dalam acara bedah buku ini sekitar tiga puluh orang, meliputi mahasiswa antropologi (yang kebetulan sedang mengadakan pertemuan nasional di UGM), mahasiswa umum dari beberapa universitas di Jogja, seorang dosen asing pada salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja, seniman, dan beberapa aktifis dan aktifis kampus. Salah satu alasan dari kurang massifnya peserta yang hadir dalam acara bedah buku ini adalah karena wacana Anarkisme sendiri masih kurang familiar bagi kebanyakan orang, termasuk kalangan akademisi. Kalaupun sedikit tahu, biasanya hanya sebatas tindakan rusuh atau paling banter sebagai filosofi yang anti terhadap kekuasaan. Alasan-alasan tentang bagaimana gerakan anarkis sendiri beroperasi, teramat jarang untuk dibedah. Selain bedah buku, acara ini dimeriahkan dengan adanya bazaar literatur dan videovideo Anarkisme.

Robby Kurniawan, sebagai pengalih bahasa buku ini, tidak hanya menerangkan tentang pokokpokok dari apa yang ditulis oleh Sean M. Sheehan dalam bukunya, lebih jauh lagi, ia juga menerangkan tentang sejarah dan pertentangan Anarkisme dengan faksi Sosialisme. Ia juga menerangkan tentang relevansi Anarkisme dalam wilayah-wilayah selain ekonomi-politik, seperti wilayah budaya ataupun seni. Sementara Pamuji dari kelompok anti-otoritarian Apokalips, menyajikan Anarkisme kontemporer beserta perlawanan-perlawanannya terhadap kapitalisme global (neo-liberalisme) di beberapa daerah, dengan melampaui prediksi dan pemikiran dari Anarkisme klasik. Selain itu, ia juga membicarakan tentang reinterpretasi terhadap pemikiran Karl Marx yang selama ini sering disamakan/diidentikkan dengan Bolshevikisme. Acara bedah buku ini dimulai sekitar pukul 09.30 dengan beberapa sesi, termasuk sesi tanya jawab yang dimanfaatkan oleh para peserta untuk mendiskusikan Anarkisme dari apa yang ditulis Sean M. Sheehan maupun mendiskusikan tentang gerakan perlawanan kontemporer Anarkisme dan anti-otoritarian. Komunikasi antara pembicara dan peserta diskusi terbangun dengan baik. Hanya saja, kurang terjadi perdebatan yang sengit, yang biasanya terjadi di forum-forum diskusi gerakan perlawanan. Berakhir pada pukul 11.30, diskusi ini tentu meninggalkan kesan kurang puas, karena memang dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mendiskusikan Anarkismedan anti-otoritarian apalagi dari hanya satu sumber buku. Dan terutama untuk mendiskusikan gerakan perlawanan menuju dunia yang berbeda dari dunia yang eksis hari inidengan tidak mereproduksi sisi-sisi kelam dalam wajah yang lain. + Pemutaran Video-Video Anarkis, 15-18 Maret 07 Kinoki (Bukan Bioskop Bukan Coffeeshop). Video-video yang diputar: - Anarchism In America - Kulo Dhiko Sami - The Anarchist - V for Vendetta - Can Dialectics Break Brick? (Girls of Kamare) Berlokasi di Kinoki, sebuah tempat yang dalam salah satu newsletternya diklaim sebagai tempat publik dan gratis, video-video anarkis dipertontonkan bagi siapapun yang berminat. Khusus untuk acara ini, dekorasi Kinoki sedikit diintervensi dengan poster-poster agitasi dan propaganda yang dipublikasikan Affinitas, pun bendera-bendera merah hitam ala anarchocommunito. Hari pertama dibuka oleh Anarchism In America yang menceritakan gerak sejarah Anarkisme di Amerika. Setelahnya, video dokumenter tentang masyarakat Samin dijadikan penutup bagi pemutaran video anarkis di hari pertamanya.

Pemutaran video-video ini dilakukan setiap hari mulai pukul 19.30. Tersedia juga sebuah stand yang menyajikan literatur dan video-video anarkisbaik yang sedang dan akan diputar, maupun video-video lain koleksi Affinitas. Tidak semua dari pengunjung Kinoki yang menonton video yang ditayangkan (selain terdapat ruang menonton, di Kinoki juga terdapat ruang nongkrong dan bar), tapi hampir semua pengunjungnya menyempatkan diri untuk melihat-lihat apa yang disajikan di stand yang sengaja kami buat. Hari-hari berikutnya berjalan hampir sama dengan hari pertama. Kecali hari terakhirMinggu, 18 Maretyang sepi penonton maupun pengunjung karena hujan deras melanda Jogja dari sore hingga tengah malam. Epilog Rangkaian acara yang diorganisir Affinitas ini merupakan kampanye wacana yang sengaja dibawa ke permukaan untuk menuju aksi Mayday anti-otoritarian bersama beberapa kolektif lain dari beberapa kota. Aksi Mayday ini akan mengambil tempat di Jakarta karena beberapa alasan. Selain sebagai kampanye wacana aksi, rangkaian acara ini diagendakan untuk membawa wacana Anarkisme pada banyak wilayah hidup, yang diharapkan mampu menjadi alternatif umum dari ketidakberesan hidup yang dikelola oleh kekuasaan yang mengalienasikan: negara dan kapitalisme. Kami berharap rangkaian acara ini dapat menjadi pemicu untuk diskusi-diskusi lanjutan yang berorientasi pada gerak menuju perayaan hidup secara keseluruhan tanpa menegasikan kekuatan nyata dari kehidupan harian yang membuat hasrat menjadi demikian banal dan membosankan. Kami sangat sadar bahwa ini hanya akan menjadi letupan kecil yang dengan mudahnya akan diredam oleh intensitas ilusi modal dan kekuasaan, tanpa kehadiran dan sambutan dari kawan-kawan sekalian untuk menggemakan perlawanan ke setiap celah yang belum dikuasai secara holistik oleh modal dan kekuasaan. Terimakasih pada kawan-kawan yang membantu kami secara langsung maupun tak langsung, pada saat maupun sebelum dan setelah acara ini: Taring Padi, Kinoki, Dian Budaya, Apokalips, Marjinkiri, dan personal-personal yang masih mau merealisasikan mimpi untuk hidup yang lebih jujur dan adilyang bagi banyak orang disebut utopis. .: affinitas :. e-mail: affinitas@riseup.net POSTED BY Administrator ON 03.26.07 @ 4:27 am | 0 Comments

Hei Dunia!
Selamat datang di blog kami... Blog TanpaHirarki adalah sebuah inisiatif dari lingkar-lingkar kolektif dan individu kota Yogyakarta untuk dapat mengkomunikasikan setiap aktivitas serta ide-ide antiotoritarianisme ke publik yang luas, terutama mereka para pengguna temporer dunia cyber. Adapun di kota ini kami mengorganisir beberapa aktivitas yang di mana kamu dapat berpartisipasi atau mengenal

kami lebih jauh, aktivitas tersebut antara lain: Food Not Bombs, Diskusi reguler, dan Kelas Filsafat Informal (punya ide yang lebih menarik? kontak kami!). Food Not Bombs: Food Not Bombs, sebagai ajang pengambil-alihan ruang-ruang publik dan aksi langsung politis membagi makanan gratis kepada semua orang (secara terbatas), diadakan setiap sebulan sekali di minggu ke empat. Aktifitas ini bertempat di perempatan gramedia Jln. Jendral Sudirman, tepat di seberang kantor Partai Golkar. Donasi berupa uang dan tenaga, serta apa saja yang mungkin berguna bagi aktivitas FNB Yogyakarta, masih sangat di butuhkan! Diskusi anti-neoliberalisme dan kelas filsafat informal Diskusi anti-neolib diadakan setiap bulan pada minggu kedua. Diskusi ini sudah berlangsung selama 3 kesempatan. Untuk kelas filsafat informal, waktu dan tempat masih tidak konsisten, dan bagi siapa saja yang tertarik untuk ikut dan berpartisipasi, jangan sungkan untuk menghubungi kami. Tanpa banyak basa-basi TanpaHirarki juga tidak ingin membuat kalian duduk dan menyelam berlama-lama di dunia cyber, yang kita semua tahu, adalah sebuah realitas maya yang tidak hidup. Perlu diingat, bahwa guna blog ini hanya untuk memberitahu kalian ide maupun aktivitas yang dilakukan dan berhubungan dengan dunia nyata. Komunikasi maya harus digunakan untuk menjembatani komunikasi yang hidup, saling bertatapan, dan organik. Panjang Umur Interaksi Organik Tanpa Mediasi dan Representasi! Sampai jumpa di dunia nyata!

Anda mungkin juga menyukai