Anda di halaman 1dari 44

PANDUAN

MENYUSUN PERATURAN DAERAH


TENTANG
PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
DAN KEADILAN JENDER
Komnas Perempuan
Desember 2006
& PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
Panduan Menyusun Peraturan Daerah tentang Perlindungan Buruh Migran
Indonesia Berperspektif Hak Asasi Manusia dan Keadilan Jender
Diterbitkan oleh Komnas Perempuan
Tim Penulis:
Lisa Noor Humaidah
Tati Krisnawaty
Tety Kuswandari
Yos Setioso
Disain & Tata Letak:
Agus Wiyono
Diterbitkan atas dukungan dana dari
Ford Foundation
ISBN 978-979-26-7506-1
z
Daftar Tabel
Tabel 1: Persoalan Buruh Migran di Daerah Asal .................................................................. 12
Tabel 2: Bagan Pemilahan Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah
Berdasarkan UU No. 39/2004 ...................................................................................... 14
Tabel 3: Peluang Pembagian Urusan Penempatan dan Perlindungan
di tingkat Daerah .............................................................................................................. 15
Tabel 4: Prinsip Perda dan Indikator Pemenuhan ................................................................. 21
DAFTAR ISI :
Daftar Isi ............................................................................................................................................ 3
Daftar Tabel ........................................................................................................................................... 3
Daftar Singkatan .................................................................................................................................. 4
Pengantar ............................................................................................................................................ 5
I. Pendahuluan .................................................................................................................................... 6
I.1. Latar Belakang Masalah .................................................................................................6
I.2. Tahapan dan Metode Penyusunan Buku Panduan ..............................................7
I.3. Fokus dan Beberapa Pengertian .................................................................................8
II. Mengisi Peluang dan Menjawab Tantangan Otonomi Daerah
untuk Perlindungan Buruh Migran ...................................................................................... 10
II.1. Landasan Konseptual Otonomi Daerah ............................................................... 10
II.2. Peluang Daerah Mengatur Masalah Migrasi Buruh ke Luar Negeri ............ 11
a. Persoalan Buruh Migran di Daerah Asal ........................................................... 11
b. Peraturan Daerah untuk Perlindungan Buruh Migran .............................. 12
c. Tantangan berkaitan dengan Keterbatasan Perda ...................................... 16
III. Langkah dan Panduan Umum Penyusunan Perda Buruh Migran .......................... 18
III.1. Landasan Umum ........................................................................................................ 18
III.2. Prinsip-prinsip Perlindungan Buruh Migran dalam Perda ........................... 19
III.3. Acuan Perda untuk Perlindungan Buruh Migran ............................................ 21
III.4. Kerangka Tehnis Penyusunan Perda .................................................................... 22
Lampiran-lampiran ......................................................................................................................... 26
PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
Daftar Singkatan
BMI : Buruh Migran Indonesia
BMP : Buruh Migran Perempuan
Depnakertrans : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Disnakertrans : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
HAM : Hak Asasi Manusia
Pemkab : Pemerintah Kabupaten
Pemkot : Pemerintah Kota
Perda : Peraturan Daerah
PJTKI : Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia
PPTKIS : Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
Raperda : Rancangan Peraturan Daerah
TKI : Tenaga Kerja Indonesia
e
PENGANTAR
B
erbagai persoalan yang dihadapi oleh buruh migran Indonesia perlu disikapi
dengan melakukan berbagai upaya mekanisme penyelesaian salah satunya dengan
peraturan daerah.
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi kewenangan
yang otonom bagi daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Hal ini dengan tujuan
utama untuk menciptakan kesejahteraan di tingkat daerah serta mengoptimalkan proses
partisipasi dan keterlibatan masyarakat secara luas khususnya keluarga dan mantan buruh
migran.
Buku panduan yang ada di hadapan Anda ini merupakan salah satu upaya Komnas
Perempuan untuk memberi landasan atas penyusunan peraturan daerah yang berperspektif
HAM dan keadilan jender. Hal ini dengan kenyataan bahwa beberapa peraturan daerah
tentang buruh migran yang telah dikaji belum mengintegrasikan prinsip-prinsip HAM dan
keadilan jender mengingat sebagian besar buruh migran Indonesia adalah perempuan.
Buku panduan ini disusun melalui forum bersama dengan pemangku kepentingan yang
terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi perempuan dan buruh migran,
mantan dan keluarga buruh migran. Berbagai pengalaman maupun harapan dari berbagai
pihak terutama di daerah untuk mewujudkan sebuah peraturan dan landasan coba disajikan
dalam buku panduan ini.
Semoga bermanfaat.
Desember 2006
Komnas Perempuan
e PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
I
Pendahuluan
I.1. Latar Belakang Masalah
Adanya sistem yang mampu memberi perlindungan bagi buruh migran Indonesia
merupakan hal yang diharapkan oleh banyak pihak. Harapan ini terutama dirasakan oleh
buruh migran dan anggota keluarganya yang selama ini menghadapi berbagai masalah
baik ketika akan berangkat ke luar negeri, saat bekerja, maupun saat kembali dari tempat
kerjanya. Undang-Undang Republik Indonesia No 29 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 tahun
2004 memberikan satu harapan baru tentang dimungkinkannya daerah-daerah melakukan
perbaikan sistem perlindungan dan penempatan buruh migran dimulai dari asalnya.
Perbaikan tersebut dapat diupayakan melalui Peraturan Daerah (Perda). Perda sangat
berpeluang untuk memberikan perlindungan kepada warganya yang bermigrasi dengan
sejumlah asumsi diantaranya adalah: (1) daerah lebih mengetahui keadaan dan kebutuhan
dasar warga mereka yang menjadi buruh migran termasuk anggota keluarganya, (2) masalah-
masalah dalam persiapan keberangkatan berasal dari daerah asal buruh migran; begitu juga
(3) jika terjadi permasalahan pada buruh migran maka pihak yang langsung ikut menanggung
masalah tersebut adalah keluarga buruh migran bahkan perangkat pemerintahan di daerah
tersebut.
Studi Komnas Perempuan beserta mitra-mitranya
1
terhadap 4 Peraturan Daerah (Karawang,
Cianjur, Sumbawa, dan Jawa Timur), serta 3 Rancangan Peraturan Daerah (Pontianak,
Bone dan Blitar) menunjukkan bahwa semangat pembentukan Perda belum memberikan
porsi pada perlindungan HAM buruh migran, bahkan salah satu diantaranya lebih banyak
mengatur soal retribusi. HAM buruh migran yang dimaksud diantaranya seperti hak atas
informasi yang jelas dan benar, kepastian atas standar upah, hak terbebas dari diskriminasi
melalui penyelesaian masalah dan penanganan korban khususnya bagi kelompok yang
rentan mengalami kekerasan seperti perempuan.
Peluang diterapkannya Peraturan Daerah juga mengingat bahwa perangkat perlindungan
hukum di tingkat nasional masih jauh dari harapan. Dari peraturan tingkat menteri --
yang dikeluarkan sebagai perangkat nasional khusus untuk buruh migran yang pertama
1
Daftar nama mitra-mitra Komnas Perempuan yang terlibat dalam studi ini dapat dilihat dalam lampiran

pada tahun 1970


2
hingga hadirnya Undang-Undang No. 39/2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri hanya menitikberatkan pada
perspektif pengerahan tenaga kerja. Beberapa elemen penting untuk pemenuhan HAM
buruh migran terlewatkan terutama yang paling terasa adalah perhatian untuk perempuan
buruh migran. Hal ini mengingat jumlah buruh migran Indonesia yang bekerja berdasarkan
data Depnakertrans 80% nya adalah perempuan. Banyak kerentanan yang dialami disamping
mereka mengisi wilayah kerja informal yang sering tidak mendapatkan pengakuan.
Untuk itu, sudah saatnya segera memiliki sistem perlindungan buruh migran yang
memadai di tingkat daerah yang mencakup fungsi-fungsi utama dari sistem perlindungan,
yaitu: (1) menyediakan standar; (2) memastikan mekanisme untuk mencapai keadilan
termasuk prinsip tidak ada impunitas bagi pelaku pelanggaran serta kejelasan sangsi; dan
(3) adanya kepastian serta kewibawaan hukum yang berlaku untuk semua, konsisten, dan
transparan.
Buku ini mencoba menyajikan Panduan dan masukan untuk penyusunan peraturan daerah
yang menyediakan berbagai perangkat untuk perlindungan HAM buruh migran. Salah satu
elemen penting dari produk hukum adalah substansi dan materi yang ada di dalamnya. Jika
substansi dan materi yang disediakan jelas dan memberi landasan, maka peluang jaminan
atas terpenuhinya hak-hak mendasar seorang warga menjadi jelas.
I.2. Tahapan dan Metode Penyusunan Buku Panduan
Penyusunan Panduan perda ini melalui beberapa tahapan, yaitu :
a. Analisis terhadap 4 Perda di 3 Kabupaten, 3 Provinsi dan 1 di tingkat Provinsi serta 3
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) di 3 Kabupaten, 2 Provinsi. Analisa dilakukan
untuk menangkap prinsip mendasar dari isi Perda dan Raperda.
b. Analisis yang disusun kemudian dikonfrmasikan dan dikonsultasikan melalui workshop
di Jakarta dengan mengundang pemangku kepentingan terkait yaitu dari unsur instansi
pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, organisasi buruh migran, organisasi
perempuan baik di Jakarta maupun di tingkat daerah asal buruh migran.
c. Dari workshop yang dilakukan tersebut, kemudian diselenggarakan Focus Group
Discussion (FGD) dengan melibatkan para pemangku kepentingan di daerah yang terdiri
dari unsur pemerintah daerah, DPRD, organisasi buruh migran, organisasi pendamping,
mantan dan keluarga buruh migran. FGD dilakukan untuk mendapatkan masukan-
masukan tentang masalah-masalah serta peraturan daerah yang memberikan jaminan
hak-hak asasi buruh migran terpenuhi. FGD diselenggarakan di 6 wilayah yaitu Bone,
Sulawesi Selatan; Pontianak, Kalimantan Barat; Sumbawa, Nusa Tenggara Barat; Lampung;
2
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 tahun 1970 tentang Pengerahan Tenaga Kerja.
e PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
Cirebon, Jawa Barat; dan Ponorogo, Jawa Timur. Pemilihan wilayah berdasarkan asumsi
tentang:
1) letak geografs dan kekhasan wilayah,
2) pengalaman memiliki peraturan daerah untuk buruh migran,
3) potensi daerah sehubungan dengan pengelolaan penempatan dan perlindungan
buruh migran.
d. Setelah FGD dilakukan di beberapa wilayah tersebut, tim Komnas Perempuan menyusun
panduan Perda perlindungan buruh migran berperspektif HAM dan berkeadilan
gender. Draft panduan ini dikonfrmasikan kembali melalui workshop di Jakarta dengan
mengundang berbagai pihak yang terlibat di wilayah serta beberapa pemangku
kepentingan di Jakarta yang terdiri dari instansi pemerintah terkait, organisasi perempuan
dan buruh migran.
Selain metode penggalian data dan informasi melalui FGD dan workshop, penyusunan
buku panduan ini juga menggunakan metode studi pustaka serta pendalaman literatur
berkaitan dengan hak-hak asasi buruh migran dan hak asasi perempuan.
I.3. Fokus dan Beberapa Pengertian
Fokus dari buku panduan Perda ini adalah bagaimana membangun dan menyusun Perda
yang perspektif HAM dan keadilan jender. Adapun yang dimaksud dengan 2 hal tersebut
adalah :
1. Perspektif HAM adalah pemahaman yang mengadopsi prinsip-prinsip perlindungan dan
penghargaan pada hak mendasar manusia. UU No. 39 tahun 1999 pasal 1 menjelaskan
bahwa:
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
Pada pasal 4 berikutnya disebutkan bentuk hak mendasar manusia tersebut, yaitu :
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persa-
maan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun
dan oleh siapapun.
2. Keadilan jender adalah segala bentuk upaya, proses untuk memberikan keadilan bagi laki-
laki dan perempuan. Keadilan diupayakan melalui langkah-langkah untuk meminimalisir
terjadinya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan UU No. 7 tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan menjelaskan bahwa :
diskriminasi terhadap perempuan berarti perbedaan, pengucilan atau pembatasan yang
dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau
=
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun lainnya oleh
kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara
laki-laki dan perempuan
Adapun beberapa pengertian lain yang penting dalam buku Panduan ini adalah sebagai
berikut :
1. Peraturan Daerah dalam buku ini adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan
daerah kabupaten/kota yang seluruh materi muatannya dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
3
2. Buku Panduan ini akan menggunakan istilah buruh migran Indonesia (BMI) dan tenaga
kerja indonesia (TKI) untuk menunjukan setiap warga negara Indonesia yang bekerja di
luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
Peggunaan kata buruh dimaksudkan untuk menekankan pada posisi tawar pihak yang
dalam status tersebut sedangkan TKI lebih umum digunakan oleh pemerintah.
3
lihat UU No. 32/2004 pasal 1 dan UU No. 10/2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan pasal 12
c PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
II
MENGISI PELUANG DAN MENJAWAB
TANTANGAN OTONOMI DAERAH UNTUK
PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN
Kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 29/1999 yang telah direvisi dengan UU No.
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa angin dan optimisme baru
bagi daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Otonomi daerah
juga membawa suasana baru dalam hubungan antara pusat dan daerah. Masyarakat di dae-
rah yang selama ini lebih banyak dalam posisi dimarginalkan maka selanjutnya diberikan
kesempatan untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan terhadap hak-hak, aspirasi
dan kepentingannya. Dengan kebijakan otonomi daerah, anggapan bahwa pemerintah
lebih tahu kebutuhan masyarakatnya akan bergeser kepada masyarakat lebih mengetahui
kebutuhan, aspirasi dan kepentingannya. Melalui kebijakan otonomi daerah diharapkan
dapat ditingkatkan demokratisasi di tengah masyarakat. Dalam rangka mewujudkan aspirasi,
kebutuhan dan kepentingan masyarakat daerah, pertanyaannya kemudian, apakah UU ini
dapat menjadi ruang untuk merealisasikan tindakan kongkrit perlindungan buruh migran
di tempat mereka berasal?
II.1. Landasan Konseptual Otonomi Daerah
Penyelenggaraan Otonomi Daerah menganut dua nilai dasar yaitu nilai kesatuan dan
nilai otonomi. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 45 bahwa negara Indonesia adalah
eenheidstaat, sehingga di dalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah
yang juga bersifat staat. Hal ini berarti besar dan luasnya daerah otonom serta hubungan
kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dibatasi. Desentralisasi
merupakan instrumen untuk mencapai tujuan bernegara dalam kerangka kesatuan bangsa
yang demokratis. Dengan kata lain, berdasarkan UUD 1945 keseimbangan antara kebutuhan
untuk menyelenggarakan desentralisasi dan kebutuhan memperkuat persatuan nasional
harus selalu diperhatikan.
Persebaran urusan pemerintahan di Indonesia mempunyai dua prinsip utama yaitu (1)
selalu terdapat urusan Pemerintahan yang secara absolut dilaksanakan oleh Pemerintah
Pusat (sentralisasi). Hal ini mencakup Politik Luar Negeri, Pertahanan, Yustisi, Moneter dan
Fiskal Nasional, dan agama. Berbagai urusan Pemerintahan tersebut karena menyangkut
kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan maka harus tetap ditangani
oleh Pemerintah. (2) Tidak ada urusan Pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan
kepada Daerah. Bagian-bagian urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah hanya

yang menyangkut kepentingan masyarakat setempat, bersifat lokalitas. Maka, ada bagian-
bagian dari urusan Pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, ada
bagian-bagian yang diselenggarakan oleh Propinsi, dan ada juga yang diselenggarakan
oleh Pemerintah.
Berdasarkan Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah Bab III
pasal 10 s.d pasal 18 tentang pembagian Urusan Pemerintahan bahwa kata kewenangan
yang dahulu dipakai dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 sekarang digunakan
kata urusan. Pembagian urusan ini antara lain: (a) Pusat berwenang membuat norma-norma,
standar, prosedur,monev, supervisi, faslitasi, pengawasan, dan urusan-urusan pemerintahan
dengan eksternalitas nasional; (b) Provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-
urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas kabupaten/kota); dan (c)
Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan
eksternalitas lokal (dalam satu kabupaten/kota).
Urusan pemerintahan yang diserahkan meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
wajib terkait dengan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup,
pekerjaan umum, perhubungan, kependudukan termasuk varian pemberdayaan perempuan
yang ditetapkan berdasarkan standar pelayanan minimal. Urusan pilihan terkait dengan
upaya penciptaan daya saing daerah dalam menangani sektor unggulan sesuai dengan
potensi, karakteristik, kekhasan dari masing-masing daerah dalam upaya peningkatan
perekonomian daerah seperi pertanian, industri, perdagangan, pariwisata, kelautan,
kehutanan, dan sebagainya.
Dari penjelasan di atas, landasan otonomi daerah secara singkat mengarah pada
terwujudnya pemerintahan yang baik. Secara umum, tata pemerintahan yang baik tersebut
meliputi dan dicirikan dengan aspek : partisipasif, berorientasi pada kesepakatan, akuntabel,
transparan, tanggap, adil dan terbuka, efektif dan efsien, serta taat pada aturan hukum.
Tata pemerintahan yang baik diwujudkan salah satunya melalui seperangkat peraturan.
Seperangkat peraturan dan kebijakan tersebut disusun disamping mengatur kehidupan
masyarakat juga sebagai landasan dan memberi jaminan atas dipenuhinya hak-hak mendasar
mereka salah satunya untuk mencari penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan
cara migrasi.
II.2. Peluang Daerah Mengatur Masalah Migrasi Buruh ke Luar Negeri
a. Persoalan Buruh Migran di Daerah Asal
Salah satu hal yang mendorong adanya sebuah peraturan adalah adanya persoalan
yang terjadi. Berdasarkan hasil rangkuman FGD di 6 wilayah asal buruh migran, terpetakan
berbagai persoalan buruh migran yang dirasakan efeknya secara langsung oleh daerah. Hal
tersebut sebagaimana tergambar berikut ini :
& PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
Tabel 1
Persoalan Buruh Migran di Daerah Asal
Di samping persoalan-persoalan yang terjadi, tentu saja ada banyak manfaat migrasi
yang dirasakan terutama oleh wilayah asal buruh migran. Beberapa diantaranya adalah
menggerakkan roda ekonomi daerah asal bahkan untuk banyak sektor serta memberi
solusi atas minimnya kesempatan kerja. Selain hal-hal yang disebutkan, bagi buruh migran
kesempatan kerja ke luar negeri juga merupakan ruang untuk mengadopsi pengalaman
dan pengetahuan baru melalui pengalaman bekerja.
Persoalan-persoalan yang diidentifkasi di atas sebagai titik pijak urgensi sebuah peraturan
disusun. Sebuah peraturan yang dapat dijadikan standar untuk memperbaiki sistem
penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia.
b. Peraturan Daerah untuk Perlindungan Buruh Migran
UU No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menyatakan bahwa masalah pelayanan
ketenagakerjaan berskala kabupaten/kota merupakan salah satu dari urusan wajib yang
Pra penempatan Purna Penempatan
1. Perekrutan
dilakukan oleh calo/sponsor dan langsung di bawa
ke Jakarta sehingga tidak terdata di Kabupaten.
dilakukan oleh Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga
Kerja (PJTKI) yang tidak terdaftar sebagai cabang
calon buruh migran berada lebih lama di tempat
penampungan dari waktu yang telah ditentukan.
2. Sosialisasi atas Informasi dan Hak-hak Asasi buruh
migran
calon buruh migran tidak mendapatkan informasi
tentang hak-haknya sebagai pekerja terutama dari
PJTKI maupun dari disnakertrans
3. Sistem pengelolaan yang disediakan oleh pemerintah
daerah
tidak cukupnya aparat dinas tenaga kerja dan
transmigrasi (disnakertrans) untuk menjangkau
daerah-daerah terpencil asal buruh migran untuk
melakukan sosialisasi hak-hak buruh migran.
minimnya pengawasan atas perusahaan yang
menempatkan dan melakukan kekerasan terhadap
calon buruh migran di penampungan.
tidak adanya perhatian untuk membangun
pendataan yang baik atas warganya yang menjadi
buruh migran.
4. Kondisi Geografis
kondisi geografis yang berbatasan dengan negara
tempat buruh migran bekerja menyebabkan
kesulitan untuk melakukan pendataan.
1. Pemrosesan masalah-masalah yang dialami
oleh mantan buruh migran
kesulitan melakukan proses hukum atas
kekerasan yang dialami oleh perempuan
mantan buruh migran karena wilayah
yurisdiksi yang berbeda.
mahalnya proses yang harus dikeluarkan
oleh pemerintah daerah jika menghadapi
persoalan yang dialami oleh mantan buruh
migran.
pemerintah daerah tidak ada sumber daya
untuk menfasilitasi maupun memproses
persoalan yang terjadi.
2. Masalah-masalah sosial lain
daerah kehilangan tenaga-tenaga kerja
muda potensial terutama untuk wilayah
yang bergantung pada hasil pertanian,
keluarga dan anak-anak terpisah dari orang
tuanya terutama ibu, istri, kakak perempuan
yang bekerja ke luar negeri,
pengelolaan hasil dari bekerja ke luar negeri
yang belum dikelola secara efektif,
z
menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota
4
. Ketentuan ini sejalan dengan
Undang-undang Republik Indonesa No 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU-PPTKLN) yang secara hirarki perundang-undangan
merupakan peraturan tertinggi dalam pengelolaan dan perlindungan buruh migran
5
.
Meskipun merupakan urusan wajib, karena persoalan migrasi buruh ke luar negeri
merupakan persoalan yang melampaui batas-batas atau skala kabupaten/kota, maka urusan
pemerintahan yang concuren dibagi antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Pembagian tersebut berdasarkan pada prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efsensi.
UU No 39 tahun 2004 tentang PPTKLN pun menegaskan bahwa pelimpahan wewenang
antara Pemerintah kepada pemerintah daerah dalam mengatur, membina, melaksanakan
dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri sifatnya
tidak wajib. Pasal 5 menyebutkan bahwa :
(1) Pemerintah betugas mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan
penempatan TKI di luar negeri
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), Pemerintah dapat
melimpahkan sebagian wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4
Undang-Undang Republik Indonesia No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III : Pembagian
Urusan Pemerintahan, pasal 14 ayat 1 butir h
5
Undang-undang Republik Indonesa No 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenga Kerja
Indonesia di Luar Negeri, bab II: Tugas, tanggung Jawab, dan Kewajiban Pemerintah, pasal 5 ayat 2
PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
Tabel 2
Bagan Pemilahan Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah
Berdasarkan UU No. 39/2004
PEMERINTAH PROVINSI KABUPATEN KOTA
Pembinaan, pengendalian dan
pengawasan penempatan TKI ke luar
negeri
Pelaksanaan penempatan TKI oleh
pemerintah
Pembuatan perjanjian/pelaksanaan
kerja-sama bilateral dan multilateral
dengan negara-negara penempatan TKI
Penerbitan SIPPTKIS --surat izin
pelaksana penempatan TKI Swasta--/
SIUP PJTKI dan rekomendasi rekrut
calon TKI serta penerbitan surat izin
pengerahan (SIP)
Verifkasi dokumen TKI, penerbitan Kartu
Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN),
penerbitan rekomendasi paspor TKI yang
bersifat khusus dan crash program
Penyelenggaraan system komputerisasi
terpadu penem-patan TKI di luar negeri
(SISKO TLN) dan pengawasan
penyetoran dana perlindungan (PP 92)
Penentuan standaer perjanjian kerja,
penelitian terhadap substansi perjanjian
kerja serta pengesahan perjanjian kerja
Penyelenggaraan pembekalan akhir
pemberangkatan (PAP) yang
pelaksanaannya dapat dikonsentrasikan
ke Gubernur
Penyelenggaraan program perlindungan,
pembelaan dan advokasi TKI
Penentuan standar tempat penampungan
calon TKI dan Balai Latihan Kerja Luar
Negeri (BLK-LN)
Penerapan standar dan penunjukan
lembaga-lembaga yang terkait dengan
program penemptan TKI (lembaga
asuransi, perbankan dan sarana
kesehatan)
Fasiltiasi kepulangan dan pemulangan
TKI secara nasional.
Monitoring dan evaluasi
penempatan TKI ke luar
negeri yang berasal dari
wilayah provinsi
Fasilitasi pelaksanaan
perjanjian kerja sama
bilateral dan multilateral
penempatan TKI yang
pelaksanaannya di wilayah
provinsi
Penerbitan perijinan
pendirian kantor cabang di
wilayah provinsi dan
rekomendasi perpanjangan
SIPPTKIS/PJTKI
Verifkasi dokumen TKI di
wilayah provinsi
Penyebarluasan system
informasi penempatan TKI
dan pengawasan penyetoran
dana perlindugan TKI di
wilayah provinsi
Sosialisasi terhadap
substansi perjanjian kerja
penempatan TKI ke luar
negeri di lingkup provinsi
Fasilitasi penyelenggaraan
PAP
Pembinaan , pengawasan
penemptan dan
perlindungan TKI yang
berasal dari wilayah provinsi
yang bersangkutan
Penerbitan perijinan tempat
oenampungan di wilayah
provinsi
Fasilitasi kepulangan TKI di
pelabuhan debarkasi di
wilayah provinsi.
Pelaksanaan pendaftaran
dan seleksi calon TKI di
wilayah kabupaten/kota
Pengawasan pelaksanaan
rekrutmen calon TKI di
wilayah kabupatan/kota
Fasilitasi pelaksanaan
perjanjian kerjasama
bilateral dan multilateral
penempatan TKI yang
pelaksanaannya di wilayah
kabupaten/kota
Penerbitan rekomendasi ijin
pendirian kantor cabang
PPTKIS di wilayah
kabupaten/kota
Penerbitan rekomendasi
paspor TKI di wilayahnya
Penyebarluasan system
informasi penempatan TKI
dan pengawasan
penyetoran
Sosialisasi terhadap
substansi perjanjian kerja
penempatan TKI ke luar
negeri
Pembinaan, pengawasan
dan monitoring
penempatan maupun
perlindungan TKI yang
berasal dari kabupaten/kota
yang bersangkutan
Penerbitan rekomendasi
perijinan tempat
penampungan di wilayah
kabupaten/kota
Pelayanan kepulangan TKI
yang berasal dari
Kabupaten/Kota
6
Makalah Dirjen Otonomi Daerah dalam Pengelolaan Migrasi ke Luar Negeri dan Perlindugan Buruh Migran
Indonesia disampaikan pada Semiloka Perda yang diselenggarakan Komnas Perempuan, tanggal 14 Februari
2006, Jakarta
Sebagai sebuah gambaran, berikut adalah bagan yang memilahkan kewenangan
Pemerintah dalam konteks penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar
negeri berdasarkan UU PPTKLN
6
:
e
Dari bagan tersebut di atas, nampak bahwa peluang yang tersedia di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota dalam kerangka otonomi daerah untuk masalah buruh migran berbeda-beda
tetapi juga tidak terlalu luas. Adapun peluang lain jika dibagi berdasarkan beberapa urusan
dalam penempatan dan perlindungan buruh migran tergambar dalam tabel berikut ini :
URUSAN PElUANg DI TINgKAT PROPINSI PElUANg DI TINgKAT KABUPATEN
Rekruitmen Monitoring dan evaluasi penempatan
TKI yang berasal dari wilayah
provinsi
Pelaksanaan pendaftaran dan seleksi
calon TKI di wilayah kabupaten/kota
Pengawasan pelaksanaan rekrutmen
calon buruh migran di wilayah
kabupatan/kota
Kerjasama bilateral/
multilateral
Penempatan TKI
Fasilitasi pelaksanaan perjanjian
kerja sama yang pelaksanaannya di
wilayah provinsi
Fasilitasi pelaksanaan perjanjian
kerjasama yang pelaksanaannya di
wilayah kabupaten/kota
Sektor Swasta Penerbitan perijinan pendirian kantor
cabang di wilayah provinsi dan
rekomendasi perpanjangan Surat Izin
Pelaksana Penempatan TKI (SIPPTKI)
/ Perusahaan Jasa Tenaga Kerja
Indonesia (PJTKI)
Penerbitan rekomendasi ijin pendirian
kantor cabang Pelaksanan penempatan
TKI swasta (PPTKIS) di wilayah
kabupaten/kota
Administrasi/
Dokumen Perjalanan
buruh migran
Verifkasi dokumen TKI di wilayah
provinsi
Penerbitan rekomendasi paspor buruh
migran di wilayahnya
Informasi Penyebarluasan sistem informasi
penempatan TKI dan pengawasan
penyetoran dana perlindugan TKI di
wilayah provinsi
Sosialisasi terhadap substansi
perjanjian kerja penempatan TKI ke
luar negeri di lingkup provinsi
Fasilitasi penyelenggaraan
Penyelenggaraan Akhir
Pemberangkatan (PAP)
Penyebarluasan system informasi
penempatan TKI dan pengawasan
penyetoran
Sosialisasi terhadap substansi
perjanjian kerja penempatan TKI ke
luar negeri
Penempatan dan
Perlindungan
Pembinaan , pengawasan penemptan
dan perlindungan TKI yang berasal
dari wilayah provinsi yang
bersangkutan
Pembinaan, pengawasan dan
monitoring penempatan maupun
perlindungan TKI yang berasal dari
kabupaten/kota yang bersangkutan
Penampungan Penerbitan perijinan tempat
penampungan di wilayah provinsi
Penerbitan rekomendasi perijinan
temapt penampungan di wilayah
kabupaten/kota
Kepulangan TKI Fasilitasi kepulangan TKI di
pelabuhan debarkasi di wilayah
provinsi
Pelayanan kepulangan TKI yang
berasal dari Kabupaten/Kota
Dari gambaran dan penjelasan tersebut, peluang daerah untuk menyusun peraturan
daerah sangat penting untuk digunakan. Di samping untuk memperjelas kebutuhan yang
dapat disediakan oleh pemerintah daerah dalam penempatan dan perlindungan buruh
migran juga dapat mengupayakan keterkaitan dengan urusan lain di daerah yang memiliki
keterkaitan kuat dengan persoalan ketenagakerjaan.
Tabel 3
Peluang Pembagian Urusan Penempatan dan Perlindungan di tingkat Daerah
e PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
Hal ini sebagaimana diatur dan dimandatkan dalam UU No. 10/2004 ttg Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 12 yang menyebutkan bahwa Materi
muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Untuk itulah peraturan daerah menjadi penting dalam kerangka untuk memberi landasan
yang nyata dalam upaya-upaya menyediakan perlindungan bagi buruh migran di daerah
asalnya. Dalam hal ini juga dengan catatan tebal bahwa peraturan daerah yang akan disusun
tersebut, sebelum dijelaskan lebih banyak di bawah, dengan berpegang dan mengandung
asas diantaranya untuk kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
7

c. Tantangan berkaitan dengan Keterbatasan Perda
Di samping peluang daerah dalam menyediakan perangkat perlindungan untuk warganya
yang menjadi buruh migran, terdapat tantangan terutama pada keterbatasan daerah dalam
mengatur perlindungan dan penempatan buruh migran.
Pasal 5 ayat (2) UU No 39/ 2004 tentang PPTKLN sedikit mengatur distribusi wewenang
Pemerintah (pusat) kepada Pemerintah (daerah). Sebagaimana telah digambarkan pada tabel
2 yang ini menunjukkan bahwa dalam konteks pengaturan dan perlindungan buruh migran,
pemerintah telah melakukan inisiatif untuk melibatkan dan mengefektifkan peran daerah.
Namun demikian, jika kebutuhan untuk penyusunan peraturan daerah tersebut telah
diputuskan, terdapat tantangan-tantangan sebagaimana hasil dari FGD yang dilakukan
Komnas Perempuan, yaitu yang berkaitan dengan hal-hal berikut ini :
(1) Wilayah yurisdiksi Perda adalah sebatas luas wilayah administratif daerah dimana Perda
tersebut diterbitkan. Maka jangkauan Perda juga terbatas. Keterbatasan tersebut harus
dimanfaatkan secara optimal dalam kaitan dengan fungsi pengawasan pemerintah
daerah dalam penerapan peraturan yang telah disusun.
(2) Terdapat kekecualian-kekecualian peraturan di tingkat pusat. Sebagai contoh masalah
pembuatan Paspor untuk calon buruh migran ke Timur Tengah masih dipusatkan di
Jakarta, sementara paspor untuk ke negara tujuan lainnya dapat dibuat di daerah. Hal
ini menyebabkan kendala daerah untuk melakukan pengawasan.
(3) Inkonsistensi peraturan pemerintah. Hal ini terjadi seiring seringnya perubahan
kebijakan dimana kebijakan sebelumnya belum dijalankan. Dalam konteks perda
hal ini memakan waktu tersendiri untuk penyesuaian, dan juga sosialisasi untuk
pelaksanaan.
7
Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 10/2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan

(4) Alokasi Dana dari Pemerintah Daerah untuk penyusunan Peraturan Daerah untuk
perlindungan buruh migran tidak menjadi prioritas dalam rencana pembangunan
daerah.
(5) Menerjemahkan prinsip-prinsip perlindungan HAM dan Keadilan Jender dalam
sebuah peraturan daerah. Hal ini juga seiring dengan belum tersedianya panduan untuk
menurunkan peraturan berkaitan dengan HAM dan Kesetaraan/Keadilan Jender ke dalam
peraturan yang lebih rendah, antara lain Perda.
e PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
III
Langkah dan Panduan Umum
Penyusunan Perda Buruh Migran
D
alam penyusunan Perda, terdapat landasan umum dan prinsip-prinsip
perlindungan buruh migran yang penting dimasukkan. Begitupun dalam
penyusunannya, terdapat tahapan-tahapan yang penting untuk dipenuhi untuk
membuat perda tersebut kredibel dan dapat dijadikan acuan untuk menyediakan
elemen perlindungan bagi buruh migran.
III.1. Landasan Umum
Perundang-undangan kita khususnya Pasal 5 UU No. 10 tahun 2004 tentang Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan juga pasal pasal 137 UU No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi landasan penyusunan peraturan daerah yang
harus meliputi :
a. kejelasan tujuan
Perda yang disusun harus memiliki tujuan yang jelas
yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
Perda yang disusun harus dibuat oleh lembaga/pejabat
yang berwenang, akan batal demi hukum jika tidak
disusun oleh pejabat yang berwenang di daerah.
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
Dalam Pembentukan Peraturan Daerah harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.
Berikut pula secara substansi tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan di atasnya
sebagaimana diatur dalam pasal 145 UU No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
d. dapat dilaksanakan;
Pembentukan Perda harus memperhi tungkan
efekti fi tas di dal am masyarakat, bai k secara
Pasal 138 UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa :
(1) Materi muatan Perda mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum
dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum;
dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Perda dapat memuat asas lain
sesuai dengan substansi Perda yang
bersangkutan.
=
flosofs, yuridis maupun sosiologis. Serta tak kalah penting dalam hal ini kesiapan aparat
dan infrastruktur dalam menjalankan peraturan tersebut.
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan
Perda yang dibuat tersebut memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, menjawab kebutuhan serta sebagai landasan untuk
penyelesaian masalah.
f. kejelasan rumusan
Perda harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan
mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya. Rumusan Perda juga harus konsisten dan mengacu pada konstitusi dan
perundangan-perundangan yang telah tersedia.
g. keterbukaan dan akuntabilitas
Proses pembentukan Perda mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka dengan memberi ruang partisipasi masyarakat.
Pelibatan ini wajib mempertimbangkan komposisi pihak-pihak yang terkait dengan
persoalan buruh migran terutama keluarga, mantan dan perempuan buruh migran.
III.2. Prinsip-prinsip Perlindungan Buruh Migran dalam Perda
Dari serangkaian proses yang dilakukan oleh Komnas Perempuan menyepakati bahwa sebuah
peraturan daerah hendaknya menganut dan mengadopsi prinsip-prinsip penegakan HAM dan
keadilan jender. Proses tersebut juga menyepakati bahwa untuk menjalankan dan melaksanakan
seluruh prinsip dalam Perda tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
Apa saja prinsip-prinsip perlindungan buruh migran dalam Perda?
(1) Anti Diskriminasi
Merupakan elemen-elemen penghormatan dan pemenuhan atas seluruh hak
buruh migran berlaku tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, usia, ras, suku,
warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat
poilitk, asal-usul etnis, status perkawinan, kelahiran dan
kewarganegaraannya.
(2) Keadilan Gender dan Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Mendorong upaya memberi kan keadi l an dengan
memperhitungkan dan menghargai perbedaan dalam
peran sosial budaya, kebutuhan, kesempatan, hambatan
dan kerentanan antara perempuan dan laki-laki. Perda juga
diharapkan memberi perhatian khusus tentang kekerasan
terhadap perempuan juga penanganan terhadap para
perempuan korban kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan
adalah setiap perbuatan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat
atau mungkin berakibat kesengsaraan
atau penderitaan perempuan secara
fsik, seksual, atau psikologis, termasuk
ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi
di depan umum maupun kehidupan
pribadi.
(Pasal 1 Dekl arasi Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan, 1992)
&c PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
(3) Anti Perdagangan Manusia
Kerentanan buruh migran atas terjadinya praktek perdagangan manusia sangat besar
terjadi. Untuk itu, Perda diharapkan memberikan jaminan untuk meminimalisir terjadinya
perdagangan manusia pada proses migrasi misalnya dengan menyediakan elemen sanksi
yang dapat dilaksanakan dan menjadi porsi daerah.
(4) Aksesibilitas terhadap Informasi dan Layanan
Perda menjamin kemudahan akses dan layanan untuk para calon buruh migran
untuk mendapatkan informasi maupun penjelasan terutama tentang hak-hak asasi
buruh migran. Kemudahan akses ini terutama berkaitan dengan program-program
pemberdayaan dengan
(5) Imparsialitas dan Kesamaan Kedudukan di Muka Hukum dan
Pemerintahan
Sebagai kelompok miskin dan marginal buruh migran sering
tidak mudah mengakses penegakan keadilan. Untuk itu
setiap buruh migran mempunyai hak atas perlakuan sama di
depan hukum pada semua tingkatan. Perda juga diharapkan
menyediakan kejelasan upaya penegakan hukum salah satunya
dengan penerapan sanksi
8
. Perda juga menjunjung tinggi
prinsip imparsialitas (tidak berpihak) pada salah satu pihak
dengan mengacu pada perundang-undangan di atasnya.
(6) Pertimbangan tentang Kekhasan Daerah
Perda hendaknya mempertimbangkan kekhasan serta kebutuhan yang spesifk atas
adanya sebuah peraturan. Hal ini juga dengan pertimbangan bahwa antara daerah satu
dengan daerah yang lain memiliki karakter yang berbeda dimana akan berbeda dalam
pengelolaan buruh migran, misalnya daerah perbatasan akan memiliki kebutuhan
dan pendekatan berbeda dengan daerah perbatasan
9
. Kemudahan akses ini terutama
berkaitan dengan program-program pemberdayaan buruh migran.
Adapun sebagai gambaran prinsip-prinsip Perda dengan beberapa contoh indikator
pemenuhannya adalah digambarkan melalui tabel 4 berikut ini :
Pembahasan tentang Prinsip
perlindungan buruh migran ini juga
menggarisbawahi bahwa persoalan
migrasi memiliki keterkaitan dengan
persoalan lain di daerah. Untuk
itu, penting mensinergikan dengan
persoalan lain yang dibangun di
daerah, misalnya migrasi sangat
erat kaitannya dengan persoalan
kependudukan dan pengembangan
ekonomi di daerah, dst.
8
sanksi-sanksi dan ketentuan pidana yang memungkinkan diatur pada Perda sebagaimana telah diatur pada
peraturan perundang-undangan di atasnya
9
lebih detil tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pemenuhannya dapat melihat lampiran II (halaman
27) pada buku Panduan ini.
&
III.3. Acuan Perda untuk Perlindungan Buruh Migran
Penyusunan Perda hendaknya dapat mengacu pada instrumen hukum di tingkat nasioanl
maupun instrumen HAM Internasional yang telah diadopsi dalam sistem hukum nasional.
Acuan tersebut diantaranya yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945,
2. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan,
3. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
4. UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya,
5. UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan tentang Hak-hak Sipil dan
Politik.
serta, beberapa Konvensi ILO yang telah disahkan oleh Indonesia, diantaranya yaitu;
1. Konvensi No. 29 tentang Kerja Paksa;
Prinsip Indikator Pemenuhan
(beberapa contoh)
Anti Diskriminasi Adanya pasal yang menegaskan anti diskriminasi,
Adanya pasal yang memberikan keleluasaan pada siapa pun
untuk bermigrasi.
Keadilan Gender dan Anti Kekerasan
terhadap Perempuan
Adanya pasal yang menegaskan anti kekerasan terhadap
perempuan dan menjunjung keadilan gender,
Adanya mekanisme untuk penanganan kasus-kasus kekerasan
terhadap perempuan,
Adanya jaminan hak informasi atas hak reproduksi bagi
perempuan.
Anti Perdagangan Manusia Adanya sistem pendataan yang akurat dan akuntabel dengan
menfungsikan seluruh perangkat pemerintahan daerah dari
provinsi sampai desa.
Aksesibilitas terhadap Informasi dan
Layanan
Adanya proses penempatan yang mudah dan transparan
Adanya kewajiban pemerintah daerah untuk memberikan hak-
hak mendasar buruh migran.
Imparsialitas dan Kesamaan Kedudukan
di Muka Hukum dan Pemerintahan
Adanya mekanisme untuk memproses persoalan hukum yang
dihadapi,
Adanya sanksi yang jelas atas tidak dipatuhinya peraturan
dengan mengacu perundang-undangan di atasnya.
Pertimbangan tentang Kekhasan dan
Kebutuhan Daerah
Adanya materi yang jelas menyebutkan kebutuhan spesifk
dengan kekhasan daerah tersebut,
Adanya poin yang spesifk menyediakan tentang kebutuhan
daerah atas perlindungan buruh migran.
Tabel 4
Prinsip Perda dan Indikator Pemenuhan
&& PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
2. Konvensi No. 98 tentang Berlakunya Dasar-dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan
Berunding Bersama;
3. Konvensi No. 100 tentang Renumerasi Setara;
4. Konvensi No.87 tentang Kebebasan Berasosiasi dan Perlindungan terhadap Hak
Berorganisasi;
5. Konvensi No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa;
6. Konvensi No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan;
7. Konvensi No. 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.
III.4. Kerangka Tehnis Penyusunan Perda
Tahapan yang dilakukan untuk menyusun Peraturan Daerah adalah meliputi :
Sebagai catatan tambahan, Konvensi Internasional tahun 1990 tentang Hak Asasi
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dapat dijadikan acuan walaupun pemerintah
Indonesia baru menandatangani Konvensi ini pada tanggal 24 September 2004.
Ringkasan isi serta elemen-elemen yang tersedia dalam Konvensi tersebut, ada dalam
lampiran III Panduan ini.
PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
MERANCANG PERDA
KONSULTASI DENGAN MASYARAKAT/
PARTISIPASI MASYARAKAT
PERBAIKAN RANCANGAN PERDA
PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN
PENYAMPAIAN PERDA KE PEMERINTAH PUSAT
DAN PEMBATALAN PERDA.
PELIBATAN DAN PARTISIPASI
MASYARAKAT
&z
1.Penyusunan Naskah Akademik
Setelah kebutuhan atas Perda diputuskan melalui pelibatan dan partisipasi masyarakat
maupun hasil dari pemetaan kebutuhan oleh pemerintah maupun DPRD, disusunlah naskah
akademik. Naskah Akademik adalah segala pemikiran yang melatarbelakangi diterbitkannya
sebuah Undang-undang atau Peraturan Daerah. Naskah Akademik merupakan bahan
awal yang memuat gagasan-gagasan tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup dan
materi muatan suatu peraturan perundang-undangan, dan merupakan bahan dasar bagi
penyusunan Rancangan sebuah Peraturan
10
.
Sebagian besar pembuat rancangan peraturan perundangan menganggap bahwa naskah
akademik haruslah merupakan produk ilmiah dari perguruan tinggi. Padahal naskah akademik
tidak selalu merupakan produk perguruaan tinggi. Naskah akademik bisa dibuat oleh siapa
pun sepanjang metodologinya bisa dipertanggungjawabkan. Cukup dengan penelitian
sederhana serta dengan melibatkan kelompok-kelompok sosial yang berkompeten dan
berkaitan dengan tema yang akan menjadi sasaran pengaturan. Kajian peraturan yang ada
ditambah dari pengalaman empirik yang dialami kelompok sosial tertentu sebagai pelaku
dari masalah yang akan diatur dalam Perda, serta pemangku kepentingan lainya, telah cukup
menjadi argumentasi ilmiah sebuah naskah akademik.
Secara umum, naskah akademik dapat disusun sebagai berikut :
A. Bagian Pertama:
Berisi Laporan hasil kajian dan atau penelitian tentang Peraturan Daerah yang dirancang,
yang dituangkan dalam bentuk:
I. Pendahuluan
1. Latar Belakang:
1.1. Pokok pikiran dan analisis fakta-fakta yang merupakan alasan pentingnya
persoalan-persoalan tersebut harus segera diatur melalui Peraturan
Daerah
1.2. Daftar Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan dapat menjadi
dasar serta rujukan bagi penyusunan materi Peraturan daerah
2. Tujuan yang hendak dicapai dan manfaat dibuatnya Peraturan Daerah
3. Metode Pendekatan. Metode yang dipergunakan untuk penyusunan Naskah
Akademik
II. Ruang Lingkup Naskah Akademik
1. Ketentuan Umum
Berisi penjelasan arti dan makna tentang istilah-istilah yang dipergunakan dalam
Naskah Akademik
2. Materi
Berisi konsepsi, pendekatan, prinsip-prinsip yang perlu diatur, serta pemikiran atau
usulan normatif yang disarankan
10
Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, No. G-159.PR.09.10 TAHUN 1994, Tentang Petunjuk
Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan.
& PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
III. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan berisi Rangkuman pokok-pokok isi naskah Akademik, Lingkup materi
yang diatur, dan kaitannya dengan peraturan perundangan lainnya
2. Usulan bentuk pengaturan berkaitan dengan materi muatan
3. Saran berisi rekomendasi apakah keseluruhan materi akan diatur semuanya dan
dituangkan dalam batang tubuh Perda, atau sebagian yang lainnya bisa dan akan
dituangkan dalam Peraturan Pelaksananya, atau dalam Perda yang lain
4. Rekomendasi tentang prioritas dan waktu penyusunan Perda dikaitkan dengan
kebutuhan-kebutuhan, dan disertai alasan-alasannya.
B. Bagian Kedua;
Berisi konsep awal Rancangan Peraturan Daerah
1. Konsiderans dan Dasar Hukum
Berisi:
Pokok-pokok pikiran dan rumusan ringkas analisis fakta-fakta yang merupakan
alasan pentingnya persoalan-persoalan tersebut harus segera diatur melalui
Peraturan Daerah
Daftar Undang-undang dan peraturan lain, dan atau pasal-pasalnya yang menjadi
dasar hukum dan rujukan bagi terbitnya Perda.
2. Ketentuan Umum
Berisi: Istilah-istilah dan pengertian serta maknanya yang dipakai di dalam batang
tubuh Perda
3. Materi
Berisi konsepsi mengenai asas-asas dan materi hukum yang perlu diatur, disertai
naskah rumusan normatif sebagai rancangan pasal-pasal yang disarankan.
4. Sanksi
Berisi pemikiran tentang sanksi-sanksi dan ketentuan pidana yang memungkinkan
bagi pelanggaran Perda
5. Ketentuan Peralihan
Berisi ketentuan-ketentuan tentang penyelesaian masalah yang sudah terjadi sebelum
Perda diputuskan, serta peraturan mana yang akan dipergunakan bila untuk hal yang
sama juga telah diatur oleh peraturan lain yang berlaku.
2. Merancang Perda
Proses pembuatan rancangan perda memerlukan sebuah tim kerja. Tim ini tidak harus
besar, tetapi jumlahnya bervariasi dari pejabat Pemerintah Daerah (Pemda), unsur DPRD,
kalangan akademisi, LSM, tokoh-tokoh masyarakat dan buruh migran (mantan buruh migran
dan anggota keluarganya).
3. Konsultasi dan Partisipasi Publik
Sebagaimana dijelaskan pada Landasan Umum, konsultasi dan partisipasi publik
merupakan jaminan atas asas aksesibilitas masyarakat untuk memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan peraturan
&e
daerah. Pelibatan ini wajib mempertimbangkan komposisi pihak-pihak yang terkait dengan
persoalan buruh migran terutama keluarga buruh migran, mantan dan perempuan buruh
migran.
4. Perbaikan Rancangan Perda
Berdasarkan hasil konsulatasi dengan masyarakat, rancangan Perda kemudian direvisi.
Sebagai bagian dari proses ini, tim kerja perlu menganalisa hasil konsultasi sebagai
argumentasi yang kuat dalam perbaikan rancangan Perda.
5. Pembahasan dan Pengesahan
Pembahasan rancangan Perda di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dilakukan oleh DPRD
bersama gubernur atau bupati/walikota melalui tahapan yang secara rinci diatur dalam tata
tertib DPRD
6. Penyampaian Perda ke Pemerintah Pusat dan Pembatalan Perda
6.1. Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 hari setelah ditetapkan
6.2. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah
6.3. Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60
(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda
6.4. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah harus
memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah
mencabut Perda yang dimaksud
6.5. Apabila propinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan
Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan peraturan perundang-undangan,Kepala
Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung
6.6. Apabila Pemerintah Pusat tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan
Perda, maka Perda dimaksud dinyatakan berlaku
Bahan Bacaan :
1. Mempercepat Perubahan, Sumber Informasi untuk Pengarusutamaan Jender, CIDA, 2000
2. Panduan Pemantauan Kebijakan Daerah dengan Perspektif HAM dan Keadilan Gender,
Komnas Perempuan, 2004
3. Mendorong Inisiatif Lokal Menghapuskan Kekerasan terhadap Perempuan di Era Otonomi
Daerah, Komnas Perempuan, 2005
4. Dirjen Otonomi Daerah, Pengelolaan Migrasi ke Luar Negeri dan Perlindugan Buruh Migran
Indonesia, makalah pada Semiloka Perda Komnas Perempuan, tanggal 14 Februari 2006,
Jakarta
&e PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
LAMPIRAN I
BAGAN KEKHASAN DAERAH
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Kekhasan Daerah Permasalahan Alternatif Perlindungan
1. Daerah Basis/
Kantong Buruh
Migran Indonesia
Kondisi Demografs. Resources
buruh migran berpendidikan sangat
rendah (ijazah SD atau tidak tamat
SD). Secara riil segmen ini yang
paling membutuhkan lapangan
pekerjaan.
Calon buruh migran direkrut oleh
Calo dan dibawa ke luar daerah,
karena didaerah tersebut tidak
ada PPTKIS atau Kantor Cabang-
nya. Selain terjadi eksploitasi, hal
semacam ini rentan terjadinya traf-
fcking.
PPTKIS yang beroperasi di daerah
tidak memiliki penampungan send-
iri, sehingga calon buruh migran
setempat ditampung di daerah lain.
Dengan demikian Pemkab/Pemkot
kesulitan untuk melakukan penga-
wasan.
Daerah basis yang mayoritas buruh
migrannya berorientasi ke Negara-
negara Timur Tengah. Selama ini
Paspor untuk tujuan kerja ke nega-
ra-negara tersebut disentralisasi di
Jakarta/Tangerang. Hal ini rentan
terjadinya pemalsuan dokumen.
Mempertimbangkan persyaratan
Calon berkaitan dengan batasan
Tamat SLTP sebagaimana dike-
hendaki oleh UU 39/2004.
Ijin Kepala Desa dan Kecamatan
bagi setiap orang yang hendak
mencari pekerjaan.
Melalui Peraturan Daerah ditentu-
kan bahwa rekrutmen calon buruh
migran hanya boleh dilakukan
oleh PPTKI (atau Kantor Cabang-
nya) yang telah memperoleh ijin
operasional dari Pemkab/Pemkot
setempat.
Keharusan bagi PPTKIS atau kan-
tor cabangnya yang beroperasi di
daerah untuk memiliki penam-
pungan sendiri yang layak.
Paspor dibuat di daerah (Kantor
Imigrasi terdekat dari tempat
tinggal calon buruh migran.
2. Daerah Per-
batasan
Sebagai Wilayah Transit. Rentan
terjadinya pemalsuan dokumen dan
tindak pidana perdagangan orang.
Sebagai pintu masuk buruh migran
yang dideportasi. Rentan terjadi
eksploitasi, pelecehan seksual,
perdagangan orang serta pene-
lantaran buruh migran deportan
Kesulitan daerah untuk menyedi-
akan dana untuk menangani buruh
migran deportan secara lebih baik
Pengawasan Pemprov atau
Pemkab/Pemkot terhadap PPTKIS
atau kantor cabangnya yang
menampung calon buruh migran
yang dikirim dari daerah lain dan
melakukan transit di daerahnya.
Calon buruh migran yang dita-
mpung harus merupakan calon
yang sudah lengkap segala doku-
men serta persyaratannya, dan
tinggal menunggu keberangka-
tan.
Sanksi pidana bagi PPTKIS atau
kantor cabangnya yang menam-
pung calon buruh migran tanpa
kelengkapan dokumen.
Penyediaan gedung penampungan
dan Crisis Centre (dengan tenaga
medis dan counselor) yang
merupakan fasilitas negara.
Memasukkan anggaran pengelo-
laan dan penanganan buruh
migrant deportan ke dalam APBD.
&
LAMPIRAN II
Aspek Perlindungan (Perspektif HAM dan Keadilan Jender)
PRINSIP KEBIJAKAN ASPEK PERlINDUNgAN PANDUAN NORMATIF SANKSI
A. Prosedur dan Proses Migrasi
1. Kewenangan pem-
berian Ijin Pendirian
dan atau Ijin Opera-
sional PPTKI berada
pada Pemkab/Pem-
kot.
2. Arus informasi
dan prosedur kerja.
Mencegah kemungkinan
terjadinya Traffcking serta
penampungan yang terlalu
lama dan mirip penyekapan.
Mencegah praktek percaloan,
dan melindungi Calon BMI
dari tindak pemerasan.
Kontrol Pemkab/Pemkot ter-
hadap PPTKI yang beroperasi
di wilayahnya, dengan :
Sosialisai Prosedur bek-
erja ke luar negeri harus
sampai ke basis, melalui
kepala desa.
Kewajiban PPTKI dan Pem-
kab/ Pemkot untuk mem-
berikan Informasi lengkap
dan berimbang, meliputi
tempat, jenis pekerjaan,
besaran gaji/upah, serta
resiko-resiko yang mungkin
dihadapi.
Pemberian identitas resmi
dan pendidikan bagi Calo
atau Sponsor sebagai
middle man
Pidana bagi Calo
tanpa identitas
resmi
B. Pra Pemberangkatan
1. Calon BMI yang
mengundurkan
diri berhak untuk
meminta dokumen
identitas dirinya
tanpa dipungut biaya
Memperkecil kemungkinan
penampungan yang terlalu
lama dan melindungi Calon BMI
dari praktek pemerasan
Hak Calon BMI memutuskan
untuk menghentikan atau
melanjutkan proses pen-
daftaran kerja ke luar negeri
2. Pembekalan Calon
BMI
Mempersiapkan Calon BMI
secara lebih baik, termasuk
pembekalan bahasa, kultur
negara tujuan, wawasan, hak
dan kewajiban, seluk beluk atu-
ran hukum, serta kemampuan
melindungi diri dan memperta-
hankan hak-haknya.
Pembekalan untuk Calon
BMI, harus mencakup
Pendidikan dan Latihan
(Diklat). Pendidikan
diberikan untuk peningka-
tan wawasan, bahasa dan
kultur serta hukum negara
tujuan.
Aspek keterampilan diberi-
kan melalui pelatihan yang
memadai.
Diklat dilakukan oleh
Pemkab/Pemkot atau
pihak swasta terakreditasi.
Rekrutmen yang dilakukan
oleh PPTKIS hanya terha-
dap mereka yang sudah
memiliki sertifkat Diklat
&e PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
3. Pengaturan
Penampungan
Mencegah terjadinya penam-
pungan yang terlalu lama,
serta hal yang mirip dengan
penyekapan (pembatasan
atau larangan berkomuni-
kasi).
Memperkecil kemungkinan
terjadinya pelecehan dan
kekerasan seksual bagai
calon BMP
Memperkecil Calon BMI yang
dipekerjakan tanpa upah
dengan dalih sebagai bagian
dari pelatihan.
Kewajiban PPTKIS yang
beroperasi di daerah untuk
menyediakan Penampun-
gan di daerah yang layak
Penyediaan kamar-kamar
bagi Calon BMI di penam-
pungan (di daerah) den-
gan mempertimbangkan
keamanan dan hak privacy
para calon buruh migran
khususnya perempuan
Larangan penempatan
BMP dengan Visa Kawin
Kontrak
Penyediaan Dokter perem-
puan bagi Calon BM Per-
empuan dalam menjalani
Medical Check
Pidana bagi
PPTKIS yang
melakukan
tindakan
Penyekapan
Sanksi Admin-
istratif bagi
PPTKIS yang
tidak memen-
uhi standar
penampungan.
4. Pencegahan dan
Pemberantasan
Traffcking
Memperkecil atau memberan-
tas potensi dijadikannya BMI
khususnya BMP sebagai obyek
traffcking
Larangan bagi PPTKIS untuk
mengalihkan Calon BMI
kepada PPTKIS lainnya
Sanksi Pidana
bagi PPTKIS yang
melakukan traf-
fcking dengan
merujuk pada
KUHP
C. Masa Kerja (bila memungkinkan)
1. Pengakuan hak-hak
BMI selama masa kerja
melalui kontrak kerja
khususnya pemenuhan
hak reproduksi bagi
buruh migran perem-
puan
Memperkecil atau mence-
gah kemungkinan terjadinya
eksploitasi terhadap BMI serta
perlakuan yang sewenang-
wenang dari Majikan.
Pemantauan oleh Pemkab/
Pemkot dan PPTKIS terhadap
BMI yang sedang bekerja di
negara tujuan. Bekerjasama
dengan Perwakilan RI di
negara tujuan
2. Pengakuan Perem-
puan Pekerja Rumah
Tangga (PRT) sebagai
Pekerja
Pemenuhan hak buruh migran
perempuan setara dengan
buruh migran di sektor yang
disebut formal.
Memasukkan istilah/kategori
Pekerja di dalam Perjanjian
Penempatan dan Perjanjian
Kerja
D. Purna/Paska Kerja
1. Perlindungan BMI
dari tindak preman-
isme di Bandara
atau Pelabuhan
Memperkecil kemungkinan
terjadinya pemerasan terhadap
BMI di Bandara atau Pelabuhan
Kewajiban PPTKIS untuk
menjamin transportasi kepu-
langan BMI sampai Bandara/
Pelabuhan terdekat dengan
kampung halaman BMI
2. Pengelolaan/Peman-
faatan Hasil Kerja
Memanfaatkan pengelo-
laan hasil bekerja dari
luar negeri. Hal ini untuk
mencegah pemanfaatan
yang sewenang-wenang oleh
keluarga khususnya suami
bagi para istri yang bekerja
ke luar negeri.
Pembinaan kesejahteraan
bagi keluarga yang ditinggal-
kan oleh pemerintah daerah
dengan kerja sama sejumlah
instansi.
&=
Bagian Topik Isi
I (6 pasal) Ruang Lingkup &
Defnisi Pekerja
Migran
6 pasal (no 1 sampai dengan 6)
berkaitan dengan apa yang dicakup dan tidak dicakup konvensi
ini serta arti peristilahan yang dipakai termasuk pekerja migran
yang didokumentasikan maupun tidak atau berada dalam situasi
yang tidak biasa (pasal 5).
II (1 pasal) Prinsip Non
Diskriminasi
1 pasal (no 7)
janji untuk menghormati dan memastikan semua pekerja migran
dan anggota keluarganya memperoleh hak tanpa pembedaan apa-
pun.
III (28 pasal) Uraian tentang
HAM serta
ketentuan tentang
Kewajiban
Pekerja Migran
dan Anggota
Keluarganya
28 pasal (no 8-35)
pasal 8 : Hak datang dan pergi
pasal 9 : Hak hidup yang dilindungi hukum
pasal 10 : Hak mendapat perlakuan manusiawi, bebas dari
perlakuan yang menyiksa dan kejam
pasal 11 : Hak bebas dari kerja paksa
pasal 12 : Hak memilih & menganut agama/kepercayaan
pasal 13 : Hak mengeluarkan & menerima pendapat secara lisan
& tulisan
pasal 14 : Hak dapat perlindungan hukum atas kebebasan
pribadinya
pasal 15 : Hak perlindungan hukum atas hak milik individual
dan kolektif
pasal 16 : Hak mendapatkan perlindungan negara dari kekerasan
pasal 17 : Hak-hak dalam tahanan
pasal 18 : Hak-hak yang didapatkan di depan pengadilan
pasal 19 : Ketentuan pemberian hukuman
pasal 20 : Hak untuk tidak dipenjarakan
pasal 21 : Hak-hak dalam soal dokumen untuk identitas, izin
masuk, dan izin kerja
pasal 22 : Hak-hak untuk tidak diusir dan hal-hal yang berkaitan
dengan pemulangan
pasal 23 : Hak perlindungan & bantuan konsuler atau
diplomatic, khususnya dalam pengusiran.
pasal 24 : Hak untuk diakui sebagai manusia /pribadi di muka
hukum
pasal 25 : Hak perlakuan sama dengan warga negara dalam hal
upah
pasal 26 : Hak berorganisasi
pasal 27 : Hak perlakuan sama dengan warga negara dalam hal
jaminan sosial
pasal 28 : Hak dapat perawatan medis untuk kelangsungan
hidup
pasal 29 : Hak anak dapat nama, pendaftaran kelahiran, dan
kebangsaan
pasal 30 : Hak anak dapat pendidikan dengan perlakuan yang
sama
pasal 31 : Hak atas penghormatan pada identitas budaya
pasal 32 : Hak mentransfer penghasilan
pasal 33 : Hak mendapatkan informasi dalam bahasa yang
dimengerti
pasal 34 : Kewajiban mematuhi hukum
pasal 35 : Kesetaraan pada pekerja migran tak berdokumen atau
dalam situasi tak biasa
LAMPIRAN III
Gambaran Ringkas Isi dari Konvensi Internasional untuk Hak Pekerja
Migran dan Anggota Keluarganya tahun 1990
zc PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
IV (21 pasal) Uraian tentang
Hak-Hak Lain
21 pasal ( no 36-56)
pasal 36 : situasi reguler dan ireguler
pasal 37 : hak mendapatkan informasi tentang semua kondisi
yang berlaku di negara tempat bekerja dan pejabat
yang harus dihubungi berkaitan dengan perubahan
kondisi tsb
pasal 38 : hak libur
psk 39 : kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal
pasal 40 berkumpul dan mendirikan organisasi
pasal 41 berpartisipasi dalam masalah pemerintahan
pasal 42 : bebas memilih wakil dalam lembaga-lembaga
pasal 43 : hak yang berkaitan dengan akses pendidikan,
perumahan, pelayanan sosial dan kesehatan, koperasi
pasal 44 : perlindungan pada keluarga buruh migran
pasal 45 : hak yang berkaitan dengan akses pendidikan,
perumahan, pelayanan sosial dan kesehatan, koperasi
untuk anggota keluarga pekerja migran
pasal 46 : kemudahan dalam bea dan pajak impor untuk pekerja
migran
pasal 47 : transfer pendapatan pekerja migran
pasal 48 : bebas atau pengurangan pajak
pasal 49 : izin tinggal dan izin kerja berkaitan dengan kategori
regular/documented
pasal 50 : izin tinggal berkaitan dengan bubarnya perkawinan
atau meninggal
pasal 51 : izin tinggal berkaitan dengan jenis pekerjaan
pasal 52 : Pembatasan pembatasan akses
pasal 53 : anggota keluarga bebas milih pekerjaan bagi yang
bebas masuk negara tertentu
pasal 54 perlindungan atas pemecatan, tunjangan
pengangguran, akses kegiatan alternatif
pasal 55 : persamaan perlakuan
pasal 56 : tidak boleh diusir kecuali ada alasan-alasan tertentu
V (7 pasal) Ketetapan-
Ketetapan
yang Berlaku
bagi Kategori
Pekerja Tertentu
dan Anggota
Keluarganya

7 pasal (no 57 63)
pasal 57 : Pengecualian pekerja migran
pasal 58 : pekerja frontier (perbatasan)
pasal 59 : pejerja seasonal/musiman
pasal 60 : pekerja keliling
pasal 61 : pekerja proyek
pasal 62 : pekerja khusus, pekerjaan tertentu
pasal 63 : pekerja mandiri
VI (8 pasal) Promosi Kondisi
yang baik Setara,
Manusiawi, dan
Sah
2 pasal (no : 64-71)
pasal 64 : Ketentuan negara bekonsultasi dan bekerjasama
pasal 65 : Ketentuan negara menyediakan badan-badan yang
layak
pasal 66 : Ketentuan pembatasan perekrutan untuk wilayah
kerja
pasal 67 : Kerjasama untuk langkah-langkah pemulangan
pekerja migran dan anggota keluarganya
pasal 68 : Bekerjasama mencegah & menghapuskan kegiatan
mempekerjakan pekerja ilegal
pasal 69 : Tindakan untuk mengatur migrasi dalam situasi tidak
biasa atau undocumented migration
pasal 70 : Kondisi yang tidak lebih buruk dari warga negara
setempat
pasal 71 : Pemulangan jenazah dan kompensasi
z
VII (7 pasal) VII-IX Aplikasi
Konvensi
7 pasal (no 72-78)
pasal 72 : pembentukan Komite, (10 pakar, 14 pakar jika sudah
ditandatangani lebih dari 40)
pasal 73 : Anggota menyerahkan laporan upaya legislatif,
yudikatif, administratif, serta upaya-upaya lain untuk
melaksanakan konvensi.
pasal 74 : Komite memeriksa laporan
pasal 75 : Komite menetapkan aturan, memilih pejabat, serta
aturan sidang tiap tahun
pasal 76 : Negara anggota mengakui kewenangan komite
menerima & membahas komunikasi berkaitan dg
tuduhan tidak memenuhi kewajiban
pasal 77 : Mengakui kewenangan komite dalam hal menerima
& membahas komunikasi berdasarkan pengaduan
individual
pasal 78 : Prosedur lain penyelesaian sengketa
VIII (6 pasal) Ketentuan Umum 6 pasal (no 79-84)
IX (9 pasal) Ketentuan Penutup 9 pasal (no. 85-93): penandatangan, aksesi, ratifkasi, menarik
diri, usul perubahan, dan penyeleaian sengketa.
z& PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
No Nama lembaga/Institusi Alamat Telp/Fax/HP
Email
1. Hilfra Hamid Bagian Pemberdayaan
Perempuan dan Kesra
Jl. Rahadi Oesman, Pontianak 0561 7330407811
2. Padmi Marsiti Disnaker Propinsi Jatim Jl. Dukuh Manunggal 124-126
Surabaya
031 8292648
0813 30179449
3. Muh. Amin Disnakertrans Bone Jl. A. Mappanyukki, Bone 0481 22457
4. Sulaiman Disnakertrans Sumbawa Jl. Garuda No. 93 0371 21729
0371 21325
0812 3726892
5. Ubaidillah Disnaker Cianjur Jl. Raya Bandung Km 4,5
Cianjur
0263 262464
0817 6964379
6. Hasan Kementrian
Pemberdayaan
Perempuan (KPP)
Jl. Merdeka Barat 15
Jakarta
021 3805522
7. Mujari Ditjen Otoda Depdagri Jl. Merdeka Utama No. 7
Jakarta
8. Eka Baslar Ditjen Bina Bangda
Depdagri
Jl. Merdeka Utama No. 7
Jakarta
021 7942648/
79426438
9. A. Yani Ditjen Bina Bangda
Depdagri
Jl. Merdeka Utama No. 7
Jakarta
021 7942648/
79426438
10. Tresno Balitbang HAM Dephuk
HAM
Jl. HR Rasuna Said Kav. C1 021 2525015, ext.523
11. HB.Syaban
Farouq
DPRD Kab.Cianjur Jl. Siti Jaenab 31 Cianjur 0263 261702
12. Nurhasanah DPRD Lampung Jl. WR. Monginsidi No. 69,
Teluk Betung Lampung
0721 482166
0721 488946
0811 791653
13. Castra Aji Sarosa FWBMI Cirebon Jl. P. Sutajaya 5A Babalean,
Kab. Cirebon
0231 662072
14. Sukemi YLMD Lampung Jl. Merica No. 215A
Iringmulyo, kota Metro
Lampung
0725 42756
0815 4063284
sukemi_lpg@plasa.
com/ ylmd_lampung@
plasa.com
15. Ratna LPP Bone Jl. Andalas No. 31 Kabupaten
Bone
0481 21056
0813 55132536
asia_bone@yahoo.com
16. Supriyanto AP2BMI Sumbawa Jl. Tenggiri No. 18, komplek
Paragas Sumbawa Besar
0812 3726892
aliansi migran
samawa@yahoo.com
17. Andriyanto YLBH PIK Pontianak Jl. Aliyang No. 12A Pomtianak 0561 766439
0812 5765849
ad_yanto@yahoo.com
LAMPIRAN IV
Daftar Peserta yang terlibat dalam Pedoman Penyusunan Perda :
I. Seminar dan Lokakarya, 14 Februari 2006
zz
18. Danuhardi JKPS Ponorogo Balai Desa Krebet, Kec.
Jambon Ponorogo
0813 35706134
19. Lutf Lakpesdam Blitar Jl. Ciliwung 5/6 Blitar 0342 2801288
0816 562234
20. Sri Almainah Rico Saloke Jl. Cikini Raya No. 47
Jakarta
21. Felixon Kopbumi Jl. Bambu Kuning II/7
Jakarta Timur
021 4717201
22. Choirul Hadi SBMI Jl. Cipinang Kebemben Raya
No. 10, RT5/RW7
Jakarta
021 93856504
021 4756113
Pembicara :
23. Faebuadodo Ditjen Otoda Depdagri Jl. Merdeka Utama No.7
Jakarta
0812 9175479
24. Indra J. Piliang CSIS Jl. Tanah Abang III Np. 23-27,
Jakarta
021 3847517
0812 1013525
indrapiliang@csis.or.id
25. Tati Krisnawati Komnas Perempuan Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
26. Fasilitator :
Yos Soetiyoso
Komnas Perempuan Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
Panitia :
27. lisa NH Komnas Perempuan Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
28. Tety K Komnas Perempuan Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
29. Herman Komnas Perempuan Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
z PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
II. FGD
FGD dilakukan di 6 wilayah yaitu Lampung, , Cirebon, Pontianak Sumbawa, Ponorogo dan
Bone. Yang terlibat adalah :
A. FGD di Lampung, 5 April 2006
1. Anggi, Direktur YLMD
2. Abu Hasan, keluarga BMI (petani)
3. Suparman, keluarga BMI (petani)
4. Mudasir, DPRD Komisi A
5. Aris Susilo, DPRD Komisi D
6. Wagimin, DPRD Komisi B Lampung Tengah
7. Nurhayati, DPRD Komisi D, Sekretaris Komisi, Muslimat NU Lampung Tengah
8. Rahman Sulaiman, DPRD Komisi B
9. Nurlia, DPRD Komisi D Lampung Tengah
10. Mega Fitri, Dinsos Tenaga Kerja Lampung Tengah
11. Anton Munawar, Dinsos Tenaga Kerja Lampung Tengah
12. Ibnu Hiban, Kepala Dinsos Tenaga Kerja Lampung Tengah
13. Yuan Wiratna, Dinsos Tenaga Tenaga Kerja
14. Ibrahim, PJS Kepala Kampung
15. Novi, Lembaga Advokasi Perempuan Damar
16. Bambang Nugroho Adi, Pendeta untuk 3 Kabupaten
17. Musrianto, keluarga BMI
18. Nurcholis, keluarga BMI (buruh tani)
19. Sunyoto, keluarga BMI (petani)
20. Jumadi, mantan BMI (petani)
21. Ihwan, PJNU Lampung Tengah
22. Murti, Lembaga Advokasi Anak, Bandar Lampung
23. Sumarni, mantan BMI di Hongkong
24. Suprapto, SBMI Lampung
25. Rudi Sugianto,LSGS
26. Sukemi, YLPMD
27. Teguh, YLPMD
28. Fatayahsin, YLPMD
29. Marlina, YLPMD
30. Yos Soetiyoso, Komnas Perempuan
31. Tety, Komnas Perempuan
A. FGD di Bone, 25 April 2006
1. Abidin, disnakertrans
2. A. Men Ala, disnakertrans
3. Bunga, BPD
ze
4. M. Idris, DPRD
5. Asia, DPRD
6. Atto, keluarga BMI
7. A. Tobba, keluarga BMI
8. Adi, keluarga BMI
9. Asiah, keluarga BMI
10. Tahir, keluarga BMI
11. Ahmad, keluarga BMI
12. Juma, keluarga BMI
13. Imran, keluarga BMI
14. Aldi, keluarga BMI
15. Ruaeda, keluarga BMI
16. Mare, keluarga BMI
17. Mali, keluarga BMI
18. Hasmawty, keluarga BMI
19. Fahirah, LSM
20. Nirwanda, LPP Bone
21. Yos Soetiyoso, Komnas Perempuan
22. Herman, Komnas Perempuan
B. FGD di Ponorogo, 1 Maret 2006
1. Soegiharto, Balitbangda Blitar
2. Muladi, Disnakertrans Blitar
3. Minarto, Disnakertrans Ponorogo
4. Didit Santosa, Disnakertrans Ponorogo
5. Makin. Lakpesdam Blitar
6. Tatok Amarudin, Lakpesdam Blitar
7. Hafaz Lutf, Lakpesdam Blitar
8. Danuhardi, JKPS Poonorogo
9. Edy, JKPS Ponorogo
10. Dian Eryanti, LSPS Yogyakarta
11. Sutrisno, LSPS Yogyakarta
12. Sariyah, mantan BMI
13. Siti Fatimah, mantan BMI
14. Fulva, keluarga BMI
15. Eny Khoiriyah, mantan BMI
16. Sunardi, keluarga BMI
17. Galuh Febriyani, mantan BMI
18. Nurharsono, mantan BMI
19. Widodo, keluarga BMI
20. Lilik, mantan BMI
21. Heru Sasongko, mantan PJTKI
ze PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
22. Sukirno, cabang PJTKI
23. Yos Soetiyoso, Komnas Perempuan
24. Herman, Komnas Perempuan
C. FGD di Sumbawa, 11 Maret 2006
1. Masyuji, TPPKK Kab. Sumbawa
2. Zaenal Muntaqine, Disnakertrans
3. Asfo, Pemda, bagian hukum
4. Mahmudin, Pemda, bagian hukum
5. Zulnaidi, Polres
6. Sutriyanto, Polres
7. Muaji, Polres
8. Abdul Aziz, Polres
9. Mustaridahkan, Satpol PP
10. Yusmi Zustia, Dinas Sosial
11. Syamsul Fikri, DPRD Komisi IV
12. Syarifudin, DPRD
13. A. Muslich, DPRD
14. Nuraidah, FORPPHAS
15. Abdul Hakik, Camat Cape
16. Nisma Abdullah, Plampang
17. Nurhidayati, Sepakat
18. Wayati, LPA
19. Darmawanty, FORPPHAS
20. Nur Atiqah, PIPP
21. Aminah Mosfan, PIPP
22. Wanjayardi, Tatebal
23. Sumiar S, Tatebal
24. Tri Budi, PLAN Indonesia
25. Syamsudin, Kelompok TKW Dete
26. Nurhinsyah, mantan BMI
27. Dewi Rohyani, AP2BMI
28. Jaya Purnawan, AP2BMI
29. Guril, AP2BMI
30. Supriyanto, AP2BMI
31. Yos Soetiyoso, Komnas Perempuan
32. Tety Kuswandari, Komnas Perempuan
D. FGD di Pontianak, 16 Maret 2006
1. Maksum Jauhari, Disnakertrans Propinsi Kalbar
2. Rosalie Kowel, Disnakertrans Propinsi Kalbar
3. Sulaiman, Disnakertrans Propinsi Kalbar
z
4. Katharina Lies, DPRD Prop. Kalbar
5. Reny, PPSW Borneo
6. Dani, Pekka
7. Kurniadi, Eka Dharma Indonesia
8. Laili Khairnur, Lembaga Gemawan
9. RH Farid Panji Anom, MABM Kalbar
10. Nasipah, mantan BMI
11. Pabali Musa, Muhammadiyah Kalbar
12. Rousdy Said, Muhammadiyah Kalbar
13. Tuti, LBH Apik
14. Shantie, LPS AIR
15. Hei Zahry Abdulk, MAM Kalbar
16. Maria Rosyati Ama, Majelis Adat Dayak Kalbar
17. Wiwin, mantan BMI
18. Pida, mantan BMI
19. Verry, keluarga BMI
20. Rosnawati, mantan BMI
21. Yos Soetiyoso, Komnas Perempuan
22. Herman, Komnas Perempuan
E. FGD di Cirebon, 28 Maret 2006
1. Ubaidillah, Disnaker Kab. Cianjur
2. Odi Ahmad, Disnaker Cirebon
3. Ari Nurzaman, Sosnaker Indramayu
4. HB Syaban Farouq, DPRD Kab. Cianjur
5. Toto Satori, DPRD Kab. Cirebon, Komisi D
6. Fahrurozi, Solidaritas Buruh Migran Cianjur (SBMC)
7. Roziqoh, Fahmina Cirebon
8. Lutfah, FKBMI Indramayu
9. Badrun, FKBMI Indramayu
10. Masrifah, FKBMI Indramayu
11. Abdul Aziz, tokoh agama Indramayu
12. Yus Macrus, FWBMI Cirebon
13. Castra Aji Sarosa, FWBMI Cirebon
14. Roheti, FWBMI Cirebon
15. Handri, FWBMI Cirebon
16. Siti Fatimah, WCC Balqis Cirebon
17. Cardi Syaukani, keluarga BMI
18. Susanti Andriyani, mantan BMI Cirebon
19. Yos Soetiyoso, Komnas Perempuan
20. Tati Krisnawati, Komnas Perempuan
21. Lisa Noor Humaidah, Komnas Perempuan
ze PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
No Nama lembaga/Institusi Alamat Telp, Fax, HP, Email
1. Fatmawati DPRD Bone, Komisi D Jl. Yos Sudarso 0481 21015
0812 4145390
2. Amin DPRD Sumbawa, Komisi D Jl. Hasanudin No. 1 0812 3763633
3. Nurhasanah DPRD Lampung
Wakil ketua
Jl. P. Sutajaya 5A Babalean, Kab.
Cirebon
0231 662072
0811 791653
4. Suharjono Disnaker Prop. Jatim Jl. Dukuh Nenanggal 12A
Surabaya
0818 294130
5. Didit Santosa Disnakertrans Kab.
Ponorogo
Jl. Budi Utomo 12 Ponorogo 0813 35900503
6. A. Ubaidillah Disnaker Kab. Cianjur Jl. Raya Bandung Km 4,5
Cianjur
0263 262464
0817 6964379
7. Alimudin Nur Disnakertrans Kab.
Sumbawa
Jl. Garuda 93, Sumbawa Besar-
NTB
0371 21729
0371 21325
0813 39815666
8. Darusy Yunus Disnakertans Kab.
Sumbawa
Jl. Garuda 93, Sumbawa Besar-
NTB
0371 21729
0371 21325
0813 39554847
9. Edy Purwantono Disnakertrans Jateng Jl. Pahlawan 16, Semarang 0815 75747755
10. Zubaidah POLRI Jl. Trunojoyo 3, Jakarta Selatan 021 7218131
11. Arifn Hutagalung Ditjen Bina Bangda
Depdagri
Jl. Taman Makam Pahlawan No.
20 Kalibata, Jaksel
021 7942648
0816 1340038
12. Rizki DephukHAM Jl. HR Rasuna Said Kav. 6-7,
Kuningan, Jakarta Selatan
021 2525023
13. Maringan Firman Dephuk HAM Jl. HR Rasuna Said Kav. 6-7,
Kuningan, Jakarta Selatan
021 2525023
14. Halasan Pardede Dephuk HAM Jl. HR Rasuna Said Kav. 6-7,
Kuningan, Jakarta Selatan
021 2525023
15. Larmaya Adji Depnakertrans Gatot Subroto 021 5229124
16. Pihri Komnas HAM
17. Enni Rochmaeni Komisi Ombudsman Jl. Adityawarma 43
Kebayoran Baru, Jakarta
021 725874-77
18. Magdalena Komnas Perlindungan
Anak Indonesia
Jl. Teuku Umar 10
Jakarta
0818 727038
19. Herlyna Divisi Reformasi Hukum
Komnas Perempuan
Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
20. Lily P. Siregar Kopbumi Region Sumut Jl. Baru VI, No. 18AA Marindal,
Medan
061 7868577
08126503611
pusbakumi@yahoo.com
21. Danuhardi JKPS Ponorogo Balai Desa Krebet, Kec. Jambon
Ponorogo
0813 35706134
22. Endang S Kopbumi Region NTB Jl. Industri No. 26A, Mataram 0818 360252
23. Castra Aji Sarosa FWBMI Cirebon Jl. P. Sutajaya 5A Babalean, Kab.
Cirebon
0231 662072
24. Prapto SBMI Lampung Jl. Soekarno Hatta No. 85, Kec.
Mulyodadi- Kota Metro Lampung
085 269137314
25. Tatok Lakpesdam Blitar Jl. Ciliwung 5/6 Blitar 0342 2801288
0816 562234
26. Ratna LPP Bone Jl. Andalas No. 31 Kabupaten
Bone
0481 21056
0813 55132536
asia_bone@yahoo.com
III. Pertemuan Nasional, 19 Desember 2006
z=
27. Mulyadi Prayitno Kopbumi Region Sulsel Jl. Lembu No. 34 Makasar 0811 441129
28. Epraim TURC 021 5708777
0812 8246123
29 Yasmine TURC 021 5708777
30. Adnan Fauzi SBM Cianjur Kampung Cibitung Rt 11/Rw 5,
Ds. Girijaya, Kec. Cibinong, Kab.
Cianjur - Cianjur Selatan
0263 2360204
0815 63214997
31. Dadang SBM Karawang Kraung Mongul VII, Tegal Sawah-
Karawang
0267 573426
32. Lukman Syahru LBH Cianjur Jl. Masjid Agung No. 128 Cianjur 0817 6910695
33. Muh. Usman Kopbumi Region Jambi Perum puri Cemara Indah A2 No.
9 Jambi
0813 75221242
34. Supriyanto AP2BMI Sumbawa Jl. Tenggiri No. 18, komplek
Paragas Sumbawa Besar
0812 3726892
aliansi migran samawa@
yahoo.com
35. Andriyanto YLBH PIK Pontianak Jl. Aliyang No. 12A Pomtianak 0561 766439
0812 5765849
ad_yanto@yahoo.com
36. Tatik faricha Kopbumi Region Jatim Jl. Tales V/16 Surabaya 0813 30741579
37. Ratna Kopbumi Region Jateng Jl. Diponegoro 98, Salatiag 0815 7762868
38. Sukemi YLMD Lampung Jl. Merica No. 215A Iringmulyo,
kota Metro Lampung
0725 42756
0815 4063284
sukemi_lpg@plasa.com
ylmd_lampung@plasa.com
39. Hefriyadi Kopbumi Region Sumsel 0812 7842230
40. Thaufek Solidaritas Perempuan Jl. Jati Padang Raya, Gang Wahid
No. 64, Jakarta Selatan
021 7826008
021 7802529
41. Gandhi Convention Watch Salemba 4 Jakarta 021 3924392
021 7800702
42. Achie Luhulima Convention Watch Salemba 4, Jakarta 021 3924392
43. Endang Larasati GPPBM Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
44. Khalilah GPPBM Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
45. Pudja Pramono GPPBM Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
Pembicara :
46. Yos Soetiyoso Komnas Perempuan Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
47. Adhi santika Dephuk HAM Jl. HR Rasuna Said Kav. 6-7,
Kuningan, Jakarta Selatan
021 2525023
0816 789034
afhr@yahoo.com
48. Riwanto LIPI Widya Graha LIPI lt IV&V
Jl.Jend. Gatot Subroto 10
Jakarta Selatan
021 5265711
021 5262199
0815 11397280
49. Savitri Ecosoc Rights Jl. Tebet Timur Dalam VIC/17 0816 889409
Fasilitator :
50. Tati Krisnawati Komnas Perempuan Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
Panitia :
51. Tety Kuswandari Divisi PKRD
Komnas Perempuan
Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
52. Carolina Komnas Perempuan Jl. Latuharhari 4B
Jakarta Pusat
021 3903963
021 3903922
c PEDOMAN MENYUSUN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN INDONESIA
BERPERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN JENDER
KATA PENUTUP
P
uji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena perkenan-Nya, buku pedoman ini
dapat diselesaikan dan menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada penyumbang pemikiran dari berbagai elemen dari Pemerintah Pusat dan
Daerah, DPRD, LSM dan organisasi pemerhati buruh migran di 8 wilayah yaitu di
DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan NTB
untuk menyempurnakan pedoman menyusun Perda yang berperspektif HAM dan Keadilan
Jender (daftar nama terlampir).
Merespon kebutuhan di daerah berdasarkan hasil dari seminar nasional, FGD dan
pertemuan nasional yang dilakukan selama kurun waktu 1 tahun, diperlukan pedoman
menyusun Perda berperspektif HAM dan keadilan jender. Proses penyusunan pedoman ini
mengalami kesulitan mengekstraksikan mozaik aspirasi yang begitu banyak muncul dari
proses diskusi di daerah-daerah karena berupaya berupaya semaksimal mungkin, bagaimana
agar keseluruhan aspirasi bisa terserap.
Dengan adanya UU No. 29/1999 tentang otonomi daerah yang telah direvisi dengan
UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan peluang sekaligus menjawab
tantangan bagi Pemerintah Daerah untuk melahirkan Perda bagi perlindungan buruh migran
yang mempunyai perspektif HAM dan keadilan jender. Untuk menjamin penghormatan dan
penegakan prinsip-prinsip HAM dan keadilan jender, harus dijabarkan sebagai ketentuan di
dalam pasal-pasal Perda. Baik yang bersifat mengharuskan maupun yang bersifat larangan
kaitannya dengan hal diatas, dituangkan secara rinci disertai dengan sanksi-sanksi terhadap
pelanggarannya. Di dalam pedoman ini telah diurai sebagaimana yang diperlukan untuk
mengantisipasi kasus-kasus buruh migran dari pra pemberangkatan, masa kerja dan purna
kerja yang terjadi.
Namun demikian, Perda bukanlah suatu tongkat sihir yang dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi buruh migran. Perda mempunyai keterbatasan di dalam
dirinya sendiri seperti : yurisdiksi berlakunya perda; kerjasama bilateral adalah wilayah
kekuasaan Pemerintah Pusat bukan Daerah; dan UU 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri mempunyai kekuatan diatas Perda padahal UU
ini tidak secara jelas mengatur kewenangan Pemerintah Daerah dalam urusan penempatan
buruh migran ke luar negeri dan dalam mengatur penyelesaian masalah buruh migran.
Melihat hal tersebut diatas, keterbatasan Perda bukan alasan untuk tidak menyediakan
peraturan di tingkat daerah. Perda perlindungan buruh migran sangat dibutuhkan untuk
memastikan buruh migran mempunyai payung hukum sejak dari daerah asalnya.

Anda mungkin juga menyukai