Anda di halaman 1dari 7

PERBEDAAN IPA DAN IPS DALAM PERSPEKTIF ONTOLOGI DAN EPISTIMOLOGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, merupakan cabang ilmu yang memberikan kontribusi dalam berbagai bidang pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan. Kedua jenis ilmu tersebut merupakan kajian yang dominan dalam pembelajaran di sekolah. Melalui pembelajaran ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial masyarakat sejak dini dipersiapkan untuk dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu alam dan sosial dalam kehidupannya. Semakin banyak kajian ilmu-ilmu alam dan sosial yang dipelajari masyarakat maka pemahaman tentang gejala alam dan hakekat hidup antar makhluk hidup dapat lebih dipahami oleh masyarakat. Ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial merupakan kajian umum yang banyak dipelajari oleh masyarakat. Berbagai pembelajaran yang merupakan cabang dari ilmu-ilmu alam dan sosial dilembagakan dalam bentuk pendidikan formal. Hakekat perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial kadang dimaknai hanya pada bentuk materi kajian tanpa memahami tentang perbedaan kedua ilmu tersebut ditinjau dari hakekat pembagian ilmu. Kajian yang mendasar tentang ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dapat memberikan batasan tentang kategorisasi ilmuilmu lebih terarah dan serta kemungkinan kategorisasi cabang ilmu-ilmu baru yang muncul. Menganalisis tentang komparasi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial sebenarnya dapat ditinjau dari berbagai perspektif. Tinjauan yang yang mendasar dalam membedakan kedua ilmu tersebut dengan menggunakan kajian dari filsafat ilmu. Kategori untuk membedakan kedua jenis ilmu tersebut dapat dianalisis dalam pertanyaan apa yang dikaji oleh pengetahuan itu, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut, serta bagaimana pengetahuan tersebut dipergunakan. Kajian filsafat ilmu dapat memberi kategorisasi secara umum tentang ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Berlatar belakang dari asumsi tersebut dalam karya ini akan dikaji tentang analisis perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam perspektif ontologi dan epistimologi. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam kajian tentang perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial adalah: 1. Bagaimana perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam perspektif ontologi? 2. Bagaimana perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam perspektif epistemologi?

C. Tujuan Penulisan Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana perbedaan ilmuilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam perspektif ontologis dan epistemologi. D. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan makalah ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Secara teoritis manfaat penulisan makalah ini adalah memberikan tambahan pengetahuan kepada pembaca tentang perbedaan ilmui-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ditinjau dari perspektif ontologis dan epistemologi. Manfaat pratis makalah ini diharapkan pembaca dapat membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam perspektif ontologi dan epistemologi. BAB II PEMBAHASAN

A. Perbedaan Ilmu-Ilmu Alam dengan Ilmu-Ilmu Sosial ditinjau dari Ontologi Menganalisis tentang masalah perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial ditinjau dari segi ontologi. Perlu diwacanakan tentang kriteria ilmu sebagai latar dari kajian. Ilmu merupakan pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara teoritis (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 46). Ilmu pengetahuan juga memiliki ciri-ciri yang umum yaitu memiliki objek, metode, sistematis dan kriteria kebenaran (Kaelan, 1996: 26). Kajian ontologi dalam filsafat ilmu berhubungan dengan telaah terhadap ilmu yang menyelidiki landasan suatu ilmu yang menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek material dan objek formal, baik bersifat fisik atau kejiwaan (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 53). Ilmu berkembang dengan pesat sering dengan penambahan jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan objek forma dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam atau the natural sciences dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial atau the social sciences (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93). Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta, sedangkan ilmu alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit, dan ilmu bumi yang mempelajari bumi (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93). Tiap-tiap cabang kemudian membikin ranting-ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan dan magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik (ilmu-ilmu murni).

Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang belum dikaitkan dengan masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 94). Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibanding dengan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia) ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara) (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 94). Cabang utama ilmu-ilmu sosial ini kemudian mempunyai cabang-cabang lain seperti antropologi terpecah menjadi lima yakni arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi dan antropologi sosial/kultural (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 95). B. Perbedaan Ilmu-Ilmu Alam dengan Sosial ditinjau dari Epistimologi Epistemologi atau teori pengetahuan membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran yang lainnya (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 9). Munculnya persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur penyelidikan ilmiah, tetapi dengan mempertanyakan mengapa prosedur ini bukan yang lain. Dalam konteks ilmu sosial, filsafat mempertanyakan metode dan prosedur yang dipergunakan peneliti sosial dari disiplin sosial (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 46). Ilmu alam memang terkait secara pokok dalam positivistik, mempelajari sesuatu yang objektif, tidak hidup, dunia fisik. Kajian masyarakat, hasil akal manusia, adalah subjektif, emotif bersifat subyektif. Tingkah laku masyarakat adalah selalu mengandung nilai, dan pengetahuan reliabel tentang kebudayaan hanya dapat digapai dengan cara mengisolasi ide-ide umum, opini atau tujuan khusus masyarakat. Hal tersebut membuat tindakan sosial adalah penuh bermakna subyektif. Alat untuk memperoleh pengetahuan sangat tergantung dari asumsi terhadap objek. Demikian juga telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan alat untuk memproses ilmu harus konsisten dengan karakter objek material ilmu. Berdasarkan kondisi tersebut terdapat perbedaan paradigma yang disebabkan oleh karakter objek yang berbeda. Misalnya antara ilmu alam dan ilmu sosial yang terdapat perbedaan metode dan sarana yang dipakai (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 47). Objek material adalah bahan yang dijadikan sasaran penyelidikan (misalnya ilmu kedokteran, ilmu sastra, psikologi) sedangkan objek formal adalah sudut pandang tertentu terhadap objek materialnya misalnya ilmu kedokteran objek formalnya keadaan fisik manusia (Lasiyo dan Yuwono, 1984: 5). Hindes Barry (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 47) menyatakan bahwa keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara epistemologis bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan hasil dari metode penyelidikan dan hasil penyelidikan. Oleh karena itu masalah keabsahan apakah ukurannya cocok tergantung pada metode dan karakter objek, sehingga jenis ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan kata lain seseorang tidak bisa menguji metode dan hasil ilmu yang satu dengan menggunakan ilmu lainnya.

Kajian tersebut dapat menjadi dasar perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial berdasarkan perspektif epistimologi yaitu: 1. Ilmu-Ilmu Alam Ilmu alam merupakan ilmu yang mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu alam mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan objek telaahnya maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris. Objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia tidak termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun S, 1981: 6). Ilmu alam mempunyai asumsi mengenai objek, antara lain: 1. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu dalam hal bentuk struktur dan sifat, sehingga ilmu tidak bicara mengenai kasus individual melainkan suatu kelas tertentu. 2. Menanggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan dilakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki. 3. Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dan urut-urutan kejadian yang sama (Yuyun S, 1981: 7). Dalam pandangan empirisme ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak, sehingga suatu kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain, melainkan bahwa suatu kejadian mempunyai kemungkinan besar untuk mengakibatkan terjadinya kejadian lain. Ilmu tentang objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan, hal ini perlu sebab kejadian alam sangat kompleks. Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian ilmu alam, sebab praktek ilmu alam merupakan suatu aktivitas manusia yang khas. Manusia memang dapat terlibat sebagai subjek dan sebagai objek, dengan kata lain manusia adalah mempraktekkan dan diprakteki (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 49). 2. Ilmu-ilmu Sosial Ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya, baik perseorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar. Objek material ilmu sosial lain sama sekali dengan objek material dalam ilmu alam. Objek material dalam ilmu sosial adalah berupa tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, bebas dan tidak deterministik (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 49). Kajian yang berbeda-beda terhadap ilmu merupakan konsekuensi dari perbedaan objek formal. Objek ilmu sosial yaitu manusia sebagai keseluruhan. Penelitian dalam ilmu sosial juga menimbulkan perbedaan pendekatan. Dalam ilmu manusia praktek ilmiah sebagai aktivitas manusiawi merupakan juga objek penelitian ilmu manusia, misalnya psikologi, psikis, sosiologis, dan sejarah. Spesifikasi ilmu sejarah adalah data peninggalan masa lampau baik berupa kesaksian, alat-alat, makam, rumah, tulisan dan karya seni, namun objek ilmu sejarah tidak dapat dikenai eksperiment karena menyangkut masa lampau. Kondisi tersebut yang mempengaruhi kemurnian objek manusiawi berkaitan dengan sikap menilai dari subjek

penelitian, maka objektivitas ilmu sejarah sebagai ilmu kemanusiaan (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 51). Klaim terhadap ilmu-ilmu sosial kadang dinilai gagal dalam menangkap kekomplekan gejala, didasarkan pada kegagalan dalam membedakan antara pernyataan beserta sistematika yang dipakai dengan gejala sosial yang dinyatakan oleh pernyataan tersebut. Tidak semua argumentasi tentang kerumitan gejala sosial yang menyebabkan ketidakmungkinan ilmu-ilmu sosial. Rangkaian argumentasi yang lain didasarkan pada tuduhan bahwa metode keilmuan tidak mampu untuk menangkap keunikan gejala sosial dan manusiawi. Penelaahan sosial tertarik kepada keungikan tiap-tiap kejadian sosial, padahal metode keimuan hanya mampu mensistematikakan berdasarkan generaslisasi, maka keadaan in menyebabkan harus ditetapkannya metode yang lain dalam ilmu-ilmu sosial (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 143). Objek penelaahan Ilmu Sosial mempunyai karakter (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 134) di bawah ini: 1. Objek Penelaahan yang Kompleks Gejala sosial lebih kompleks dibandingkan dengan gejala alam. Ahli ilmu alam berhubungan dengan satu jenis gejala yakni gejala yang bersifat fisik. Gejala sosial juga mempelajari karakteristik fisik namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut. Guna menjelaskan hal ini berdasarkan hukum-hukum seperti yang terdapat dalam ilmu alam tidaklah cukup. Ahli ilmu alam berhubungan dengan gejala fisik yang bersifat umum. Penelaahannya meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang relatif kecil yang dapat diukur secara tepat. Ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia selaku perseorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasi yang bertambah rumit. Variabel dalam penelaahan sosial adalah relatif banyak kadang-kadang membimbangkan peneliti. Apabila seorang ahli kimia mencampurkan dua buah zat kimia dan meledak, hal itu dapat dijelaskan dengan tepat dalam ilmu alam, namun apabila terjadi kejahatan, maka kajiannya terdapat faktor yang banyak sekali untuk dijelaskan. Faktor-faktor penjelas yang dimaksud antara lain, apa latar belakang kejahatan, bagaimana latar belakang psikologi orang, mengapa harus memilih melakukan kejahatan dan sebagainya. Tingkat-tingkat kejadian suatu peristiwa sosial selalu menyulitkan ahli ilmu sosial untuk menetapkan aspek-aspek apa saja yang terlibat, pola pendekatan mana yang paling tepat dan variabel-variabel apa saja yang termasuk di dalamnya. 2. Kesukaran dalam Pengamatan Pengamatan langsung gejala sosial lebih sulit dibandingkan dengan gejala ilmu-ilmu alam. Ahli ilmu sosial tidak mungkin melhat, mendengar, meraba, mencium atau mengecap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Serorang ahli pendidikan yang sedang mempelajari sistem persekolahan di zaman penjajahan dulu tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri kejadian-kejadian tersebut. Keadaan ini berbeda dengan seorang ahli kimia yang bisa mengulang kejadian yang sama setiap waktu dan mengamati suatu kejadian tertentu secara langsung.

3. Objek Penelaahan yang Tak Terulang Gejala fisik pada umumnya bersifat seragam dan gejala tersebut dapat diamati sekarang. Gejala sosial banyak yang bersifat unik dan sukar untuk terulang kembali. Abstraksi secara tepat dapat dilakukan terhadap gejala fisik melalui perumusan kuantitatif dan hukum yang berlaku umum. Masalah sosial sering kali bersifat spesifik dan konteks historis tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri. Bervariasinya kejadian-kejadian sosial ditambah dengan sulitnya pengamatan secara langsung waktu penelaahan dilakukan menyebabkan sukarnya mengembangkan dan menguji hukum-hukum sosial. 4. Hubungan antara Ahli dan Objek Penelaahan Sosial Gejala fisik seperti unsur kimia bukanlah suatu individu melainkan barang mati. Ahli ilmu alam tidak usah memperhitungkan tujuan atau motif dari planet. Ahli sosial mempelajari manusia yang merupakan makhluk yang penuh tujuan dalam tingkah laku. Manusia bertindak sesuai dengan keinginannya dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pilihan atas tindakan yang akan diambilnya. Hal ini menyebabkan manusia dapat melakukan perubahan dalam tindakannya. Kondisi ini menyebabkan objek penelaahan ilmu sosial sangat dipengaruhi oleh keinginan dan pilihan manusia maka gejala sosial berubah secara tetap sesuai dengan tindakan manusia yang didasari keinginan dan pilihan tersebut. Ahli ilmu alam menyelidiki proses alami dan menyusun hukum yang bersifat umum mengenai proses. Ahli alam tidak bermaksud untuk mengubah alam atau harus setuju dan tidak setuju dengan proses tersebut. Ahli ilmu alam hanya berharap bahwa pengetahuan mengenai gejala fisik dari alam akan memungkinkan manusia untuk memanfaatkan proses alam. Ahli ilmu sosial tidaklah bersikap sebagai penonton yang menyaksikan suatu proses kejadian sosial. Ahli ilmu alam mempelajari fakta dan memusatkan perhatiannya pada keadaan yang terjadi pada alam. Ahli ilmu sosial juga mempelajari fakta umpamanya mengenai kondisi-kondisi yang terdapat dalam suatu masyarakat. Peneliti mencoba untuk tidak terlibat dalam pola yang ada di masyarakat, namun kadang peneliti kemudian mengembangkan materi berdasarkan penemuannya tersebut untuk dapat diaplikasikan kepada masyarakat. Perbedaan-perbedaan secara epistemologi tersebut dapat dijadikan asumsi bahwa pada pengkajian ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak dapat disamakan. Metode dalam pengkajian ilmu-ilmu alam berbeda objeknya sehingga akan menyebabkan perbedaan cara pengkajian. BAB III KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan akhir dalam pembahasan mengenai perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam perspektif ontologi dan epistemologi antara lain:
1. Ditinjau dari perspektif ontologi, perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial yaitu ilmu-

ilmu alam merupakan cabang cari filsafat alam (the natural sciences) sedangkan ilmu-

ilmu sosial merupakan cabang dari filsafat moral (the social sciences). Ilmu-ilmu alam kemudian terbagi menjadi ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu alam terbagi lagi menjadi fisika, kimia, astronomi dan ilmu bumi. Ilmu-ilmu sosial terbagi menjadi antropologi, psikologi, ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik. 2. Ditinjau dari perspektif epistemologi, perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial terletak pada penggunaan prosedur ilmiah. Ilmu alam terkait secara pokok dalam positifistik, mempelajari yang objektif, tidak hidup, dan dunia fisik. Objek ilmu alam dianggap serupa, tidak mengalami perubahan dalam jangka tertentu, dan setiap gejala terpola. Ilmu-ilmu sosial merupakan hasil akal manusia, subjektif, dan emotif. Objek material ilmu sosial adalah tingkah laku khas manusia dan tidak desterministik. B. Implikasi Pengetahuan tentang perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ditinjau dari aspek ontologis memberi pemahaman bahwa ilmu alam dan ilmu sosial tersegmentasi dalam karakter yang sama. Perbedaan secara ontologis menjadikan kejelasan batasan mengenai karakter ilmu yang lebih bersifat ilmu alam atau ilmu sosial. Tinjauan epistemologi tentang perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial memberikan wacana tentang metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ilmu alam dan sosial. Metode yang digunakan harus disesuaikan dengan karakter objeknya baik ilmu alam atau ilmu sosial. Ketepatan metode menjadikan ilmu dapat dikaji secara benar. C. Saran Saran yang dapat disampaikan antara lain: 1. Pemahaman secara ontologis antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial penting dilakukan berbagai pihak karena dengan kajian tersebut maka dapat memberi penjelasan batasan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. 2. Pengetahuan tentang batasan epistemologis perlu dipahami oleh berbagai pihak agar tidak salah dalam menganalisis ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dengan metode yang tidak tepat. DAFTAR PUSTAKA Jujun S. Suriasumantri. 2005. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. . 2006. Ilmu dalam perspektif sebuah kumpulan dan karangan tentang hakekat ilmu. Yogyakarta: Liberty. Kaelan. 1996. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma. Lasiyo dan Yuwono. 1984. Pengantar Ilmu filsafat. Yogyakarta: Liberty. Tim Dosen Filsafat Ilmu. 2007. Filsafat ilmu sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan. Yogyakarta: Liberty. Yuyun S. 1981. Ilmu dalam perspektif. Yogyakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai