Kerajaan Galuh adalah suatu kerajaan Sunda di pulau Jawa, yang wilayahnya
terletak antara Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Cipamali di sebelah
timur. Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan Kendan, bawahan
Tarumanagara.
Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah kuno Carita Parahiyangan,
suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16. Dalam
naskah tersebut, ceritera mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu Rahiyangta ri
Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun. Selanjutnya,
kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang Wretikandayun.
Kerajaan kembar
Wretikandayun punya tiga anak lelaki: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resiguru
di Galunggung), Rahiyang Kidul (jadi resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak.
Setelah menguasai Galuh selama sembilan puluh tahun (612-702),
Wretikandayun diganti oleh Rahiyang Mandiminyak, putra bungsunya, sebab
kedua kakaknya menjadi resiguru.
Dari Nay Pwahaci Rababu, Sempakwaja mempunyai dua anak: Demunawan dan
Purbasora. Akibat tergoda oleh kecantikan iparnya, Mandiminyak sampai terseret
ke perbuatan nista, sampai melahirkan Sena (atau Sang Salah). Sedangkan dari
istrinya, Dewi Parwati, putra dari Ratu Sima dan Raja Kartikeyasingha,
Mandiminyak mempunyai putra perempuan yang bernama Sannaha. Sannaha
dan Sena lantas menikah, dan mempunyai putra yang bernama Rakryan Jambri
(atau disebut Sanjaya).
Selanjutnya bupati yang kaya akan ilmu pengetahuan dan tidak bisa tidur
sebelum berbakti pada rakyat itu membuka lahan persawahan baru dan kebun
kelapa di berbagai tempat. Malah untuk sosialisasi kelapa, setiap pengantin lelaki
saat seserahan diwajibkan untuk membawa tunas kelapa, yang selanjutnya
harus ditanam di halaman rumah tempat mereka mengawali perjalanan bahtera
rumah tangga.
Dari jaman Kangjeng Prebu, perkebunan kelapa di Galuh Ciamis menjadi sangat
subur, dengan produksinya yang menumpuk (ngahunyud) di setiap pelosok
kampung. Dalam waktu tak terlalu lama, Ciamis tersohor menjadi gudang kelapa
paling makmur di Priangan timur. Banyak pabrik minyak kelapa didirikan oleh
para pengusaha, terutama Cina. Yang paling tersohor adalah Gwan Hien, yang
oleh lidah orang Galuh menjadi Guanhin. Lalu pabrik Haoe Yen dan pabrik di
Pawarang yang terkenal disebut Olpado (Olvado). Olpado ini musnah tertimpa
bom saat Galuh dibombadir oleh Belanda. Guanhin juga tinggal nama, demikian
juga yang lainnya. Saat ini, minyak kelapa terdesak oleh minyak kelapa sawit dan
minyak goreng jenis lainnya.
Sekolah Sunda
Dari tahun 1853 Kangjeng Prebu tinggal di keraton Selagangga yang dibuat dari
kayu Jati yang kokoh. Luas lahan tempat keraton itu berdiri adalah satu hektar,
dengan kolam ikan, air mancur, dan bunga-bunga di pinggirnya. Di bagian lain
dari keraton, ada kaputren, tempat para putri Bupati. Di komplek keraton juga
ada mesjid. Tahun 1872 di komplek keraton ini dibangun Jambansari dan
pemakaman keluarga Bupati. Di sebelah timur pemakaman ada situ yang sangat
dikeramatkan. Dulu tidak ada yang berani melanggarnya, orang Galuh percaya
air situ itu mengandung khasiat seperti yang dituliskan oleh Kangjeng Prebu
dalam guguritan yang dibuatnya, "Jamban tinakdir Yang Agung, caina tanba
panyakit, amal jariah kaula, bupati Galuh Ciamis, Aria Kusumahdiningrat, medali
mas pajeng kuning." Artinya kurang lebih, "Jamban takdir dari Yang Agung,
airnya penyembuh penyakit, amal jariah saya, bupati Galuh Ciamis, Aria
Kusumahdiningrat, medali mas pajeng kuning."
Tampaknya Kangjeng Prebu sama sekali tidak melupakan satu pun kepentingan
masyarakat. Pendidikan diutamakan oleh Bupati yang mahir berbahasa Perancis
ini. Untuk pendidikan putera-puteranya dan kadang keluarga Bupati, sengaja
dipanggil guru Belanda J.A.Uikens dan J. Blandergroen ke kantor kabupaten
untuk mengajarkan membaca dan berbicara bahasa Belanda. Tahun 1862,
Kangjeng Dalem mendirikan Sekolah Sunda. Tahun 1874, Sekolah Sunda yang
kedua berdiri di Kawali. Sekolah-sekolah ini merupakan sekolah pertama di Tatar
Sunda.
Kangjeng Prebu merupakan Bupati pertama di Tatar Sunda yang bisa membaca
aksara latin, juga mempunyai ilmu kebatinan yang tinggi. Menurut ceritera yang
berkembang di masyarakat Galuh Ciamis, Kangjeng Prebu juga menguasai
makhluk gaib yang di Ciamis terkenal disebut onom. Tahun 1861, jalan kereta api
akan dibuka untuk melancarkan hubungan antar warga, dari Tasikmalaya ke
Manonjaya, Cimaragas, Banjar, terus sampai Yogyakarta. Kangjeng Prebu
segera mengajukan permohonan, supaya jalan kereta api bisa melewati kota
Galuh, pusat kabupaten, dan bukannya melewati Cimaragas - Manonjaya. Biaya
pembuatannya memang jadi membengkak sebab perlu dibuat jembatan yang
panjang di Cirahong dan Karangpucung. Tetapi akhirnya Belanda menerima
permohonan itu. Walaupun stasiun yang dibangun Belanda kini sudah tua, tapi
Ciamis sampai kini dilewati jalan kereta api, diantaranya kereta api Galuh.
Tahun 1886 Kangjeng Prebu lengser kaprabon, jabatannya dilanjutkan oleh
putranya yang bernama Raden Adipati Aria Kusumasubrata. Tapi walaupun
sudah pensiun, Kangjeng Prebu tidak hanya mengaso sambil ongkang-ongkang
kaki di kursi goyang. Ia masih terus berbenah dan membangun Galuh Ciamis.
Masih di jamannya berkuasa, Undang-undang Agraria mulai dipakai, tepatnya
tahun 1870. Oleh sebab itu, di Galuh Ciamis banyak perkebunan swasta,
diantaranya Lemah Neundeut, Bangkelung, Gunung Bitung, Panawangan,
Damarcaang, dan Sindangrasa.
Pemakaman Kangjeng Prebu sampai sekarang masih diurus dan dipelihara oleh
Yayasan yang dipimpin oleh Toyo Djayakusuma. Sementara waktu ke belakang,
sempat terlantar kurang terurus karena tiadanya biaya. Jambansari hampir hilang
terkubur ilalang. Maka didatangilah rumah keluarga Menteri Pekerjaan Umum
Republik Indonesia di Jakarta yang saat itu dijabat Ir. Radinal Muchtar. Oleh
keluarga itu kemudian dilakukan pembenahan dan perbaikan serta diangkat lagi
martabatnya. Kebetulan isteri dari Radinal masih menak Galuh Ciamis,
keturunan Kangjeng Prebu. Jadi masih merasa perlu bertanggungjawab untuk
memelihara pemakanam dan komplek Jambansari yang oleh rakyat Galuh
sangat dimulyakan.
Ada yang sedikit menggores ke dalam rasa dari orang Galuh Ciamis, terutama
yang bertempat tinggal di Jalan Selagangga, seputaran komplek pemakanan dan
Jambansari, yaitu saat Jalan Selagangga diganti namanya menjadi Jalan K.H.
Ahmad Dahlan mengikuti nama pimpinan Nahdlatul Ulama. Oleh sebab itu orang
Galuh tetap menyebutnya Selagangga, sebab di situ ada peninggalan Kangjeng
Prebu yang dirasa telah besar jasanya dalam sejarah Galuh Ciamis. Tanpa
mengurangi rasa hormat pada Ahmad Dahlan, mereka meminta bupati untuk
mengembalikan nama Jalan Selagangga untuk mengenang Kanjeng Prebu yang
memiliki keraton di tempat itu, memimpin Galuh dari sana, bahkan
dimakamkannya juga di pemakaman Sirnayasa (Jambansari) Selagangga.
Mereka merasa tak melihat adanya alasan yang bisa diterima bila Jalan
Selagangga harus berganti nama.
Prasasti Mandiwunga
Prasasti Mandiwunga adalah salah satu prasasti peninggalan Galuh.
Lokasi
Prasasti Mandiwunga dituliskan pada sebuah batu dan ditemukan pada tahun 1985 di desa
Cipadung, kecamatan Cisaga, Ciamis. Kini prasasti ini disimpan di museum negeri Sri
Baduga , di Bandung, Jawa Barat.
Jenis bahan
Prasasti Mandiwunga terbuat dari batu alam. Bagian atas prasasti ini patah dan ukuran yang
ada sekarang (setelah patah) adalah tinggi 70 cm x lebar 14—26 cm dan tebal antara 4-5-10
cm.
Penemuan
Prasasti Mandiwungan pertama kali diumumkan oleh Dirman Surachmat dalam forum
Seminar Sejarah Nasional IV di Yogyakarta pada tahun 1985. Tetapi transkripsi dan
pembahasannya belum sempurna. Kemudian prasasti ini ditranskripsi ulang oleh Richadiana
Kartakusuma pada tahun 1991. Hasil transkripsinya disampaikan langsung ke pihak museum
setempat.
Isi
Prasasti Mandiwungan bertulisan lima baris beraksara dan berbahasa gaya Jawa Kuno dengan
transkripsi sebagai berikut:
Prasasti Cikajang
Prasasti Rumatak
Prasasti Galuh
Batu Kukus
Pabeasan
108°05’BT, 06°53’LS,
Astanagede (Darmaraja) Teras Berundak
±230m dpl
Embah Jalul
Lembu Agung
Dalem Demang
107°55’BT, 07°06’LS,
2. Garut Cangkuan (Pulo-Leles) Struktur bangunan
±704m dpl
Siwaguru
Neolitik
Megalitik
108°12’BT, 07°11’LS,
3. Tasik Malaya Indihiyang struktur bangunan
±420m dpl
Sisa fondasi
Lingga-yoni
Lumpang, umpak
Batu
Menhir
Stone-Cist
Lingga
Sanghiyang Bedil
Panyambungan Hayam
Lamban Peribadatan
Cikahuripan
Panyandaan
Pamangkonan
Makam Adipati
Panaekan
Mata air
108°23’BT, 07°11’LS,
Kawali (Kawali) Teras berundak (5 teras)
±415m dpl
Batu Tapak
Batu Pangeunteungan
Batu Panyandaan
Batu Panyandungan
Kerakal andesit
Yoni,Lumpang
Lapik, Yoni
menhir
Tulisan rintisan ini belum dikategorikan, tapi Anda dapat membantu Wikipedia mengembangkannya.