Anda di halaman 1dari 3

Kompas | Rabu, 29 Desember 2010 | 10:07 WIB

Selilit Pengentasan Kemiskinan di Jatim


Oleh MASUN Prestasi Jawa Timur dalam pengentasan warga miskin diapresiasi oleh pemerintah pusat. Bahkan, Menko Kesra Agung Laksono mengakui kinerja untuk mengentaskan warga dari kemiskinan di Jatim adalah yang terbaik saat ini (Kompas, 1/12/2010). Jatim menyumbangkan 32 persen penurunan angka kemiskinan selama periode 2009-2010. Pada periode ini penurunan angka kemiskinan di Indonesia mencapai lebih dari 1,5 juta jiwa dan penurunan di Jatim hampir 500.000 jiwa. Meskipun demikian, angka kemiskinan di Jatim masih relatif tinggi hingga 15,26 persen dari total penduduk (BPS, 2010). Fakta yang menarik dari realitas kemiskinan di Jatim bahwa angka kemiskinan di pedesaan justru menunjukkan peningkatan dari 3,6 juta jiwa (64,32 persen) pada 2009 membengkak menjadi 3,8 juta jiwa (66,12 persen) pada 2010. Data ini menggambarkan sisi lain kinerja program pengentasan warga miskin di Jatim untuk wilayah pedesaan ternyata masih mengalami kegagalan. Kesuksesan pengentasan kemiskinan di Jatim tampaknya hanya berlaku di wilayah perkotaan dengan penurunan angka kemiskinan dari 2,1 juta jiwa (35,68 persen) pada 2009 menjadi 1,8 juta jiwa (33,88 persen) pada 2010. Realitas yang kontras ini mengindikasikan ketimpangan lokus kebijakan pembangunan selama ini antara perkotaan dan pedesaan. BPS (2010) melaporkan bahwa komoditas makanan, antara lain beras, berpengaruh signifikan dalam menentukan nilai garis kemiskinan di Jatim. Hal ini berarti relasi tingkat harga beras di pasar dengan tingkat kemiskinan di Jatim bersifat elastis. Dengan demikian, insiden peningkatan harga beras akan menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin di Jatim. Ironisnya data yang ada justru menunjukkan bahwa penduduk di pedesaanyang secara langsung bisa diasosiasikan sebagai petani dan buruh taniadalah pihak yang paling rentan menjadi penduduk miskin akibat relasi yang bersifat elastis tersebut. Fakta ini adalah ironi bagi petani mengingat mereka adalah produsen beras sesungguhnya di Jatim. Bahkan, prestasi Jatim sebagai gudang pangan nasional tidak bisa dipisahkan dari peran mereka. Namun, data menunjukkan mayoritas rumah tangga petani Jatim justru berada dalam kemiskinan. Adapun sebagian rumah tangga lainnya

berada dalam kategori hampir miskin dan sangat mudah menjadi miskin jika garis kemiskinan mengalami kenaikan akibat peningkatan harga beras di pasar. Keterbatasan Fenomena ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya mayoritas petani Jatim adalah konsumen beras daripada sebagai produsen beras. Kenyataan ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, tingkat produksi relatif terbatas dibandingkan dengan tingkat konsumsi rumah tangga akibat keterbatasan penguasaan alat produksi, terutama lahan pertanian dan teknologi on farm. Kedua, tingkat pendapatan dari sektor pertanian banyak yang dialihkan menjadi biaya produksi daripada dialokasikan untuk menabung dan konsumsi akibat tingkat harga agro input yang timpang terhadap harga agro output. Ketiga, ketergantungan petani pada usaha tanaman pangan. Sektor pertanian juga semakin turun diindikasikan oleh tren penurunan struktur pendapatan dari usaha/sektor ini. Di sisi lain struktur pasar yang timpang dan intervensi pemerintah yang longgar justru mengukuhkan posisi rentan petani. Ketika harga beras melonjak signifikan seperti yang terjadi pada awal dan akhir tahun 2010, pelaku pasar berdalih kenaikan harga dipicu oleh keterbatasan suplai. Padahal, secara agregat provinsi ini surplus produksi beras hingga 2 juta ton per tahun. Dalam perspektif awam hal ini membingungkan sehingga wajar jika ditanyakan di mana surplus beras tersebut? Hal ini bisa dijelaskan melalui dua sudut pandang yang paradoksal. Pertama, telah terjadi pendistribusian beras Jatim keluar daerah secara tak terkontrol sehingga mengabaikan kontinuitas suplai dalam provinsi pada masa paceklik. Hal ini mengindikasikan pemerintah daerah wajib mengintervensi tata niaga beras lintas provinsi demi menjamin terwujudnya suplai beras yang berkecukupan antarwaktu dan antarwilayah di Jatim. Dengan demikian, pencapaian keseimbangan antara permintaan dan suplai beras di pasar tidak bisa digantungkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Kedua, telah terjadi praktik moral hazard dalam pendistribusian stok beras oleh pebisnis di masa paceklik demi memperoleh keuntungan besar. Hal ini memungkinkan karena dengan kekuatan monopsonistiknya pebisnis menjadi superordinat terhadap konsumen sehingga bisa mengontrol pembentukan keseimbangan antara permintaan dan suplai di pasar pada tingkat harga yang dikehendaki.

Sebagai penentu harga, pebisnis berkuasa mengatur strategi penggelontoran stok beras ke pasar berdasarkan kalkulasi bisnis yang menguntungkan. Dengan demikian, stok beras sesungguhnya mencukupi, tetapi ada masalah dalam distribusi. Realitas kehidupan petani yang terpuruk dalam kemiskinan, bahkan jumlahnya semakin banyak akibat kenaikan harga beras, merupakan selilit bagi prestasi pengentasan warga miskindi Jatim. Paling tidak dari sudut pandang sektor pertanian kinerja program pengentasan angka kemiskinan belum memperlihatkan kesuksesan. Ini merupakan selilit yang besar karena terkait dengan masalah pangan (beras) yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.*** MASUN Mahasiswa di International University of Japan Niigata, Jepang, asal Ponorogo Available at http://cetak.kompas.com/read/2010/12/29/10071287/selilit.pengentasan.kemiskinan.di.jati m

Anda mungkin juga menyukai