Anda di halaman 1dari 2

Ketika mendapatkan ijazah dunia di al-Azhar pada tahun 1904, Syekh Musthafa Al Maraghi termasuk orang yang paling

muda dan termasuk orang yang paling kecil memasuki materi pengajaran di institusi pendidikan tertua di dunia itu. Bayangkan saja, pertamakali memasuki al-Azhar usianya baru berinjak 14 tahun. Baru saja ia belajar beberapa minggu di sana, Muhammad Abduh menunjuknya sebagai qadhi (hakim) di Sudan. Lalu, Maraghi kemudian berangkat ke Dankala dan Khurtoum, mengikuti ajakan Abduh. ?Engkau harus menjadi mursyid, lebih dari seorang hakim?, kata gurunya tersebut. Tahun 1907, Al Maraghi kembali pulang ke kampung halaman, bekerja sebagai Pengamat Masjid di Departemen Agama. Namun demikian, itu tidak berlangsung lama. Ia kembali ditunjuk sebagai hakim agung (qadhi qudhat) Sudan, ketika usianya belum melebihi angka 27 tahun. Pada saat revolusi Mesir di tahun 1919, ia mengumpulkan donasi untuk para korban revolusi, yang tentu saja membuat pemerintah Inggeris murka. Akibatnya ia dipaksa hengkang dari Sudan dan kembali ke Mesir, menjadi Kepala Pengawasan Syar?i di Departemen Keadilan. Karirnya terus menanjak sampai menjadi hakim Pengadilan Tinggi Agama. Tahun 1928 kursi syeikhul Azhar kosong melompong. Untuk memperbutkan kursi tersebut Syekh Al Maraghi harus berlomba dengan pesaingnya, syekh Ahmadi Al Zawahiri. Nampak jelas kedua tokoh tersebut masing-masing memiliki aliran sendiri-sendiri. Ketika itu syekh Ahmadi Al Zawahiri berkeyakinan bahwa sistem yang ada merupakan yang terbaik untuk mencapai ke arah itu, sementara Al Maraghi merupakan salah seorang putra generasi ke-3 dalam gerakan reformasi agama yang diawali oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Al Maraghi akhirnya mendatangi Masyaikhah (istana kaum syekh) Al azhar, membawa proyek pembaruan di tangannya. Namun ternyata kondisi tidak begitu kondusif, sehingga ia mengundurkan diri dari al-Azhar di tahun 1929. Di balik itu, Sayap Reformasi menempuh pelbagai macam cara untuk mengembalikan Al Maraghi ke al Azhar, diantaranya demonstrasi sambung menyambung yang mereka lakukan. Akhirnya Al Maraghi kembali ke al Azhar di tahun 1935. Di tahun tersebut akhirnya Al Maraghi berhasil merampungkan Proyek pembaruan yang tertunda sejak tahun 1929: ia meletakkan batu pertama pengadaan fakultas-fakutas spesialisasi, seperti fakultas Bahasa Arab, fakultas Ushuluddin, fakultas Ilmu-ilmu Syariah, serta memasukkan unsur-unsur ilmu-ilmu modern ke al Azhar seperti olahraga, biologi, geografi, dan matematika. Al Mararghi sendiri bukan hanya orang pertama yang mengirimkan para delegasi al Azhar ke luar negeri, bahkan ia pula yang melakukan penggemblengan secara langsung kepada calon da?i yang akan dikirimnya. Al Maraghi melihat sudah merupakan keharusan bagi para da?i mempelajari bahasa asing sebagai pembelaan terhadap citra Islam di luar. Al Maraghi mengirimkan delegasinya ke berbagai negara, termasuk ke negeri Jepang, bahkan ia sendiri belajar bahasa Inggeris sampai menguasainya betul-betul. Al Maraghi sendiri si empunya fatwa yang membolehkan penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Inggeris dengan syarat penerjemahannya tidak letterlijk. Setahun setelah menduduki tahta syeikhul Azhar, raja Fuad meninggal dunia dan kemudian digantikan oleh anaknya, raja Faruq. Maka dimulailah jalinan pertemanan yang indah antara sang syekh dan raja kecil itu. Al Maraghi menampakkan keinginannya untuk merealisasikan impiannya dalam gerakan pembaruan keagamaan. Namun jalin pertemanan itu berujung memburuk, sampai konon dikabarkan ketika syekh Al Maraghi meninggal dunia pada 22 Agustus 1945, sang raja datang melayat ke rumahnya. Sang raja meminta para hadirin yang melayat untuk meninggalkan kamar tidur sang imam besar itu, agar raja bisa dengan leluasa ?bercengkrama? dengan sang jenazah, yang tak lain adalah gurunya sendiri. Akan tetapi rumor yang berkembang menyatakan sebaliknya, bahwa raja Faruq mengunci

Evaluation notes were added to the output document. To get rid of these notes, please order your copy of ePrint 5.0 now.

pintu dan menggeledah kamar mencari buku harian yang ia tulis tentang hubungan Almarhum dengan raja dan yang lainnya. Tapi, sekali lagi, itu hanya sekedar desas-desus yang berkembang ketika itu, meskipun hal itu benar (bahwa syekh Al Maraghi menuliskan catatan-catatan politik di dalam buku hariannya), dan keluarganya dengan bangga bisa menyebarkan catatan-catatan yang penuh rahasia tersebut, namun diary tersebut tetap berada di tempatnya semula. Memang kemesraan yang terjalin antara raja Al Faruq dan syekh Al Maraghi menimbulkan banyak rumor yang berkembang. Ada yang menyangka bahwa sang imam berusaha meloloskan sang raja menjadi khalifah umat Islam, dan ketika itu memang Al Maraghi menyebutnya sebagai ?amirul mu?minin?. Adapula yang mengatakan Al Maraghi mentergantungkan diri pada Inggeris dalam merealisasikan proyek-proyek pembaruan dan lain-lainnya, bahkan ada pula rumor yang berkembang sampai batas yang sangat pribadi. Maka tak heran jika Roga Nuqash mengusung gerakan rehabilitasi nama baik sang tokoh pembaru ini di tahun 1990-an. Musthafa Al Maraghi wafat di Alexandria ketika ia menjabat sebagai syekh Al Azhar, kemudian dipindahkan ke Kairo dan dimakamkan berdampingan dengan sayyidah Nafisah. Kendatipun kita setuju bahwa ia tokoh terbaik yang mewujudkan pembaruan keagamaan di Mesir, hanya saja dalam politik ia berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya.[] Tenth District, Kairo, 22 Agutus 2005 # Taufik Munir Bahan bacaan: Mahfuz Abdurrahman: Shurah 'ala waraq bardi.

Evaluation notes were added to the output document. To get rid of these notes, please order your copy of ePrint 5.0 now.

Anda mungkin juga menyukai