Anda di halaman 1dari 5

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia

PERTANIAN DI LAHAN GAMBUT: MASA LALU, KINI DAN BESOK


Mohamad Noor dan Muhrizal Sarwani Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa, Jl. Kebun Karet, Loktabat, Kotak Pos 31 Banjarbaru, Kalsel

Abstrak Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian bukanlah pilihan, melainkan tuntutan karena laju pertambahan penduduk dan pengalihan fungsi lahan terus meningkat pesat. Upaya pemerintah membuka lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah merupakan catatan hitam masa lalu. Kontroversi pendapat dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian sering diperdebatkan karena sifat gambut di satu sisi banyak dimanfaatkan oleh penduduk lokal secara turun temurun untuk penghasil kebutuhan hidup berupa pangan seperti padi, sagu, dan ikan; papan seperti kayu, rotan; dan obat-obatan seperti tanaman temu-temuan (jahe, kencur, temulawak), pasak bumi, madu, sarang burung dan lain sebagainya. Di sisi yang lain gambut harus dipertahankan karena fungsi lingkungannya sebagai lumbung air, pemendam karbon, pelindung dan penawar pencemaran serta kekhasan warisan cagar alam hayatinya yang unik. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian memerlukan formulasi yang adil dan bijak antara fungsi produksi sebagai lahan budidaya dan fungsi lingkungannya sebagai penyangga lingkungan dan komunitasnya. Gatra (aspek) yang saling berlawanan antara sisi produksi dan sisi lingkungan ini sejatinya dipadukan secara kompensatif. Pemanfaatan gambut untuk pertanian memerlukan pengetahuan dasar tentang gambut itu sendiri. Sistem pengelolaan lahan gambut harus berlandaskan pada sifat dan watak gambut untuk menghindari terjadinya degradasi lahan.

291

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia


PENDAHULUAN Mega Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah sewindu yang lalu (Keppres No. 82/1995) merupakan catatan hitam masa lalu dalam sejarah pengembangan lahan gambut. Sejak awal proyek ini hampir mendapat sorotan melalui berbagai media, baik yang pro maupun kontra. Pemerintah beralasan, pembukaan lahan gambut sejuta hektar dimaksudkan untuk penyelamatan pangan nasional agar dapat meraih kembali swasembada pangan 1984 yang hilang sejak tahun 1989. Sejak tahun 1989 Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras, tercatat impor beras membengkak menjelang Mega Proyek tersebut diatas dari 0,6 juta ton tahun 1994 menjadi 1,8 juta ton 1995. Konon pembukaan lahan gambut secara luas, sejuta hektar, ini hanya berani dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Harapan besar dibalik potensi lahan gambut yang bermasalah menjadikan Mega Proyek ini akhirnya berhadapan dengan sejuta masalah. Prof. Dr. Bostang Radjagukguk dalam Pidato Pengukuhannya sebagai Guru Besar UGM, 6 Agustus 2001 menyebut proyek ini mempunyai alasan benar, tetapi salah tempat. Desakan dari beberapa lembaga internasional meminta proyek ini untuk dikaji kembali. Pemerintah kemudian membentuk Tim Kaji Ulang untuk melakukan peninjauan. Secara resmi proyek dihentikan pemerintah dengan dikeluarkannya Keppres 80/1999 oleh Presiden B.J. Habibie. Rencana pemerintah selanjutnya disebutkan sebagai upaya penyelamatan, karena pembukaan secara teknis telah terlanjur menggali sepanjang 917 km. saluran primer dan sekunder serta 11.839 km. saluran tersier. Selain itu, telah ditempatkan sebanyak 13.500 Kepala Keluarga transmigran dari sebanyak 350.000 KK yang direncanakan semula dalam kurun lima tahun. Sekarang warga transmigran yang tersisa di lokasi tidak lebih dari 50% dari jumlah semula. Kini lahan mega proyek ini mengalami pengatusan dan sebagian menjadi hutan terlantar. Lahan Mega Proyek ini mengalami kebanjiran di musim hujan, banjir mencapai ketinggian 1,5 meter pada tahun 2002 lalu sehingga menenggelamkan sekitar 40.000 hektar tanaman padi (Kompas, 3 Mei 2002). Selain itu, juga mengalami kekeringan pada musim kemarau karena debit air menyusut. Ketinggian pasang tidak mencapai lahan persawahan dan penyusupan air laut (intrusi) lebih jauh masuk ke pedalaman sehingga warga pedalaman kesulitan mendapatkan air tawar untuk rumah tangga di musim kemarau (Kalimantan Post, 11 Oktober 2001). Tulisan ini ingin mengemukakan tentang sejarah pembukaan lahan gambut secara sekilas, sifat dan kesuburannya untuk pertanian, terlepas dari masalah yang dihadapi pada kasus Mega Proyek Sejuta Hektar diatas. Tulisan ini juga mencoba menguraikan tentang kunci-kunci pengelolaan meliputi air, tanah, dan tanaman dalam pertanian lahan gambut secara berkelanjutan. SEJARAH PEMBUKAAN LAHAN GAMBUT Orang pertama yang menemukan gambut di Indonesia adalah Koorders. Hasil pengamatannya dilakukan di hutan rawa pantai timur Sumatera pata tahun 1895. Koorders memperkirakan 1/5 dari luas Sumatera yang merupakan kawasan rawa adalah lahan gambut. Penemuan gambut di kawasan tropika ini telah mematahkan pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa gambut hanya terbentuk berkenaan dengan akibat iklim dingin (temperate) yang dibatasi oleh ketinggian tempat dari permukaan laut sebagaimana umumnya gambut lumutan atau gambut Sphagnum (Notohadiprawiro, 1997). Penelitian tentang gambut ini di Indonesia secara intensif mulai dilakukan oleh Polak antara tahun 1930-1950 yang kemudian dilanjutkan oleh peneliti di beberapa perguruan tinggi dan Pusat Penelitian Tanah (sekarang Puslitbangtanak). Upaya pemerintah membuka lahan rawa dan gambut untuk pertanian pada dasarnya berbekal dari keberhasilan penduduk lokal di Kalimantan dan Sumatera. Lahan gambut dimanfaatkan oleh penduduk lokal secara turun temurun untuk menghasilkan kebutuhan hidup berupa pangan, seperti padi, sagu, dan ikan; papan seperti kayu, rotan; dan obat-obatan seperti tanaman temu-temuan (jahe, kencur, kunyit, temulawak), pasak bumi, madu, sarang burung dan lain sebagainya. Pembukaan gambut pertama secara terencana dilakukan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1936 di wilayah Tamban, Kalsel/Kalteng dalam rangka kolonisasi, dengan membuat saluran kanal (anjir) yang menghubungkan Sungai Kapuas Murung dengan Sungai Barito. Collier et al (1982) menilai pembukaan lahan gambut ini berhasil dengan baik. Jauh sebelumnya tahun 1920-an dibuka lahan

292

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia


gambut di kawasan antara Banjarmasin-Banjarbaru (km 15) yang dikenal sekarang dengan Kecamatan Kertak Hanyar dan Gambut, Kalsel sampai sekarang menjadi kawasan penghasil padi. Pengembangan gambut selanjutnya berkenaan dengan pembukaan secara besar-besaran rawa yang di mulai tahun 1969-1970 yang dikenal dengan Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Keberhasilan pengembangan rawa, khususnya gambut sangat tergantung pada sistem pengelolaan lahan meliputi air, tanah dan tanaman. Beberapa wilayah pembukaan kawasan rawa atau gambut mengalami perkembangan pesat sehingga menjadi kota, ibukota kecamatan atau kabupaten yang sebelumnya merupakan daerah rawa monoton (Yudohusodo, 1998). Namun di beberapa lokasi setelah pembukaan, petani mengeluh tidak diperolehnya hasil yang memuaskan seperti di Pangkoh (Kalteng), Rasau Jaya (Kalbar), Siak (Riau), Air Sugihan (Sumsel), dan Wendang (Jambi), sehingga terpaksa diadakan pemindahan kembali (relokasi) para transmigran ke pemukiman yang lain. Menurut Prof. Dr. Azwar Maas dalam Pidato Pengukuhannya sebagai Guru Besar UGM pada tanggal 19 Juli 2003 lalu menyatakan ditaksir terdapat sekitar 70% lahan rawa, termasuk di dalamnya lahan gambut Mega Proyek, menjadi lahan terlantar (bongkor). Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dapat secara berkelanjutan dan akrab lingkungan apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan kerjasama yang baik antara petani dengan pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu diantaranya pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sebagai mitra pemerintah. KARAKTER GAMBUT DAN KESUBURANNYA Gambut yang disebutkan disini terbatas untuk gambut tropika saja yang umum terdapat di kawasan Asia, termasuk Indonesia (Kalimantan, Sumatera dan Papua). Karakter gambut tropika yang dikenal sebagai gambut kayuan berbeda dengan gambut di daerah iklim sedang yang umum termasuk gambut lumutan. Gambut mempunyai tingkat kesuburan beragam dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya, meliputi (1) ketebalannya yang berhubungan dengan ketinggian tempat, topografi, kematangannya; (2) tata airnya yang berhubungan dengan tipe luapan, mintakat (zone) air tawar/payau, jeluk muka air tanah, reklamasi atau sistem tata air; dan (3) penyusun substratum, yaitu marint/pasir. Gambut tebal kurang atau tidak subur, umumnya berada di puncak (kubah) gambut, dan bersifat mentah (fibrik). Gambut yang berada pada tipe luapan D, umumnya kurang subur dibandingkan dengan tipe C atau B, umumnya tebal, dan masih bersifat mentah. Gambut yang di lapisan bawahnya pasir bersifat kurang subur, sedang yang di bawahnya marin (pirit) mempunyai risiko menjadi tanah sulfat masam. Gambut yang mendapat luapan pasang (tipe B dan C) lebih subur dibandingkan gambut tadah hujan (tipe D). Gambut yang berada di mintakat payau lebih kaya Na dan Mg dibandingkan dengan gambut di mintakat air tawar. Gambut yang mendapatkan luapan dari daerah (DAS) vulkanis lebih baik kesuburannya dibandingkan dengan DAS non-vulkanis seperti hutan galam. Keberagaman sifat dan lingkungan fisik lahan gambut ini memberikan konsekuensi suatu pengelolaan air, tanah, dan tanaman yang semestinya dilakukan dalam skala lokal (Notohadinegoro, 1996). Unit pengembangan ideal antara 2.000-5.000 hektar atau paling luas 10.000 hektar (Maas, 2003) agar terhindar dari ketidaksamaan sifat dan kesuburannya. Keadaan diatas juga memberikan isyarat pentingnya suatu perencanaan dalam pembukaan lahan gambut diawali lebih dahulu dengan penelitian identifikasi dan karakterisasi lahan secara rinci karena keberagaman lahan gambut yang sangat tinggi. KUNCI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT Pertama, kunci utama dari pengembangan pertanian di lahan gambut adalah pengendalian atau pengelolaan air (Sarwani et al., 1994). Sejatinya, sejak awal reklamasi tindakan mempertahankan tinggi muka air perlu dilakukan, tetapi sebaliknya yang terjadi pada kebanyakan lahan gambut, baik di Kalimantan maupun Sumatera, setelah reklamasi terjadi pengurasan air (over drainage) yang tak dapat terhindarkan, seperti yang sekarang dialami lahan Mega Proyek Sejuta Hektar, karena jaringan saluran primer inti (sepanjang 62 km) dibuat melintas dan memotong kubah gambut (peat dome), sementara pintu-pintu air belum keseluruhan dibangun. Upaya pengelolaan air ini dimaksudkan juga

293

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia


untuk mempertahankan agar gambut tetap lembab, karena apabila kering maka akan bersifat hidrofob (benci air). Gambut yang bersifat hidrofob mengalami perubahan kimia antara lain lemah dalam penjerap (adsopsi) hara (Masganti et al., 2003). Gambut yang kering atau terbakar berubah menjadi hidrofob tidak lagi bersifat sebagaimana semula dan daya serap airnya tinggal 50%. Kedua, lahan gambut mempunyai sifat marginal (piasan) sehingga memerlukan masukan (input) berupa pupuk dan amelioran lainnya agar kesuburan lahan dapat dipertahankan. Bertanam di lahan gambut, terutama gambut tebal sama dengan bertanam dengan sistem hidroponik (Notohadiprawiro, 1994 dalam Maas, 2003). Sistem pengembalian sisa tanaman (jerami) ke lahan dalam budidaya padi (lokal) yang disebut sistem tajak-puntal-hambur merupakan sistem pengawetan (konservasi) lahan yang terbukti dapat mempertahankan kesuburan lahan (Noor, 1996). Pembakaran untuk mendapatkan abu untuk menyuburkan lahan gambut perlu dihindarkan karena hanya bersifat sementara. Kerugian karena kehilangan lapisan gambut atau berubahnya sifat gambut lebih besar daripada peningkatan hasil akibat pemberian abu gambut. Pembakaran gambut pada luas 1 meter persegi dan tebal 1 meter menghasilkan abu hanya sekitar 5 kg. Netralitas 5 kg. abu gambut setara dengan 5 kg. dolomit atau kapur lainnya (Maas, 2003). Harga 5 kg. abu hanya sekitar Rp. 5.000, tetapi kerusakan atau kehilangan gambut 1 m3 untuk mengembalikannya memerlukan waktu ratusan tahun. Kebutuhan bahan amelioran atau pupuk sangat tergantung pada tingkat kesuburan lahan dan jenis tanaman yang dibudidayakan. Secara pukul rata untuk tanaman pangan kebutuhan pupuk berkisar 45-90 kg. N/hektar (setara 90-180 kg. urea per hektar ), 30-90 kg. P2O5/hektar (setara 80-160 kg. SP36 per hektar) dan 25-60 kg. K2O/hektar (setara 40-100 kg. KCl per hektar), dan dimana perlu ditambahkan pupuk mikro 5 kg. Cu/hektar. Lahan gambut yang telah berubah masam diperlukan tambahan 0,5-2,0 ton kapur/hektar. Sebaiknya selain pemakaian pupuk anorganik diatas diimbangi dengan pupuk organik sehingga jumlah pupuk anorganik yang disarankan diatas dapat dikurangi. Ketiga, lahan gambut tidak hanya cocok untuk tanaman pangan, berbagai tanaman hortikultura, tanaman industri, tanaman keras (perkebunan) dapat tumbuh apabila dilakukan pengelolaan secara sungguh-sungguh. Misalnya, tanaman lidah buaya yang banyak dibudidayakan oleh petani lahan gambut di Kalimantan Barat telah menjadi komoditas ekspor. Kelapa sawit sudah lama menjadi andalan Malaysia dibudidayakan di lahan gambut secara luas. Tanaman karet rakyat di Kalimantan Tengah tumbuh dengan baik di lahan gambut. Dengan demikian, untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik maka diperlukan diversifikasi tanaman bahkan dapat juga diversifikasi usahatani misalnya dengan usaha perikanan atau ternak. KESIMPULAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Mega Proyek Sejuta Hektar merupakan catatan hitam dalam sejarah pembukaan lahan gambut diharapkan tidak akan terulang lagi. Keberhasilan pengembangan rawa, khususnya gambut sangat tergantung pada sistem pengelolaan lahan, meliputi air, tanah dan tanaman. Lahan gambut mempunyai sifat marginal (piasan) sehingga memerlukan masukan (input) berupa pupuk dan amelioran lainnya agar kesuburan lahan dapat dipertahankan. Pembakaran lahan gambut sangat merugikan dalam jangka panjang oleh karena itu sebaiknya dihindarkan. Sistem usaha tani di lahan gambut memerlukan diversifikasi tanaman dan diversifikasi usahatani, misalnya dengan usaha perikanan atau ternak untuk meningkatkan pendapatan petani. Untuk mencegah kerusakan lahan gambut, baik karena dimanfaatkan untuk pertanian atau akibat alam, diperlukan kerjasama antara petani dengan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang lebih intens.

294

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia


DAFTAR PUSTAKA Collier, W.L. 1982. Lima puluh tahun transmigrasi spontan dan transmigrasi pemerintah di tanah rawa Kalimantan. Dalam J. Hardjono (ed). Transmigrasi dari Kolonisasi Sampai Swakarsa. Gramedia. Jakarta. Kalimantan Post, 2001. Sulitnya Air di Kota Air. Kolom Opini penulis Muhammad Noor, terbitan tanggal 11 Oktober 2001. Kompas, 2002. Wagub akan pimpin evakuasi warga eks PPLG yang kebanjiran, terbitan tanggal 3 Mei 2002 Maas, A. 2003. Peluang dan konsekuensi pemanfaatan lahan rawa pada masa mendatang. Makalah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta, 19 Juli 2003. Masganti, Notohadikusomo, T., Maas, A., dan Radjagukguk, B. 2001. Hydrophobicity and its impact on chemical properties of peat. Dalam J. Rieley dan S.E. Page (eds). Proc. of Jakarta Symp. Peatland for People: Natural Resources Function and Sustainable Management, 22-23 August 2001. pp. 109-114. Noor, M. 1996. Padi Lahan Marjinal. Penebar Swadaya. Jakarta. 213 hlm. Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Kendala dan Peluang. Kanisius. Yogyakarta. 174 hlm. Notohadinegoro, T. 1996. Perspektif pengembangan lahan basah : Maslahat dan Mudarat. Makalah pada Seminar Nasional Peringatan Setengah Abad Fakulats Pertanian UGM. Yogyakarta, 2526 September 1996. Notohadiprawiro, T. 1997. Twenty-five experience in peatland development for agriculture in Indonesia. Dalam J. Rieley dan S.E. Page (eds.). Proc. of the Int. Symp. on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatland. UK. pp. 301-310. Radjagukguk, B. 2001. Perspektif permasalahan dan konsepsi pengelolaan lahan gambut tropika untuk pertanian berkelanjutan. Makalah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta, 6 Agustus 2001. Sarwani, M., Noor, M. dan Maamun, M.Y. 1994 (penyunting). Pengelolaan Air dan Produktivitas Lahan Rawa Pasang Surut: Pengalaman dari Kalimantan Selatan dan Tengah. Balittan. Banjarbaru, 155 hlm. Yudohusodo, S. 1998. Transmigrasi : Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang Timpang. Jurnalindo Aksara Grafika. Jakarta. 256 hlm.

295

Anda mungkin juga menyukai