Anda di halaman 1dari 168

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Identifikasi Masalah Dewasa ini seluler atau yang lebih dikenal dengan nama handphone tidak lagi menjadi barang asing di Indonesia. Harga yang kompetitif serta tersedianya berbagai jenis fitur layanan yang mampu memberikan kemudahan dalam berkomunikasi bagi penggunanya menjadikan perangkat ini semakin banyak diminati oleh hampir semua lapisan masyarakat di negara ini. Seluler sendiri mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1984 dengan menggunakan teknologi berbasis NMT (Nordic Mobile Telephone). Pada masa itu telepon seluler yang beredar di Indonesia berbobot setidaknya 450 gram, sehingga sangat tidak fleksibel untuk mobilisasi. Ponsel pada era ini berharga di atas kisaran 10 juta rupiah per unit. Teknologi yang digunakan adalah NMT 470 yang dioperasikan oleh PT Rajasa Hazanah Perkasa. Sedangkan sistem AMPS (Advance Mobile System) mulai dikenal pada tahun berikutnya dan ditangani oleh 4 operator yaitu PT Elektrindo Nusantara, PT Centralindo, PT Panca Sakti, dan Telekomindo. Perkembangan lebih lanjut dimulai pada periode tahun 1990, di mana berdiri 3 perusahaan yang bersaing di bidang telekomunikasi. PT Telkom yang memulai proyek percontohan seluler digital GSM (Global System for Mobile) di pulau Batam dan pulau Bintan, PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) yang mulai beroprasi dan mengenalkan GSM pertama di Indonesia dengan menggunakan SIM Card berjangkauan luas, dan diikuti oleh PT Excelcomindo Pratama (Exelcom) yang beroprasi sebagai operator dengan jangkauan nasional

Indonesia. Pada tahun tersebut harga ponsel turun drastis pada kisaran 2 juta rupiah per unit. Namun penggunaan seluler pada saat itu masih sangat terbatas pada kalangan eksekutif menengah ke atas (Rizal, 2008 online). Pada awal tahun 2000 pengguna ponsel di Indonesia semakin meningkat, dengan lebih dari 3 juta pelanggan. Pada tahun ini penggunaan fasilitas SMS (Short Messaging Service) mulai digemari oleh pengguna ponsel karena biayanya yang relatif murah. Seperti yang kita ketahui bahwa telepon dan SMS merupakan fungsi dasar dari ponsel, dan layanan inilah yang paling banyak digunakan oleh para konsumen di Indonesia. Seiring dengan perkembangan teknologi dalam bidang komunikasi, layanan seluler pun mengalami kemajuan dengan

dilengkapinya fitur GPRS yang disusul kemudian dengan diluncurkannya layanan MMS (Multimedia Messaging Service) di tahun 2003. Pada tahun 2005 muncul teknologi baru pada layanan ponsel yakni teknologi 3G yang mampu membawa data lebih banyak dengan waktu pengiriman data yang lebih singkat. Setelah teknologi 3G berhasil diterima masyarakat kemudian munculah teknologi HSDPA atau yang juga dikenal dengan teknologi 3,5G pada tahun 2007. Teknologi ini mampu meningkatkan kualitas pertukaran data melalui telepon seluler terutama untuk penggunaan browsing di internet (Rizal, 2008 online). Menurut ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia) di awal tahun 2009 ini angka penetrasi penggunaan seluler di Indonesia mencapai kisaran 140 juta pengguna atau sekitar 58% dari total jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan berjumlah 240 juta jiwa. Saat ini di Indonesia telah berdiri 11 operator jaringan seluler (Telkomsel, Exelcomindo, PT Indosat Tbk, PT Natrindo, Bakrie Telecom, Smart Telecom, Hutchinson CP, PT Pasific Satelit Nusantara,

Sampoerna Telekom, Mobile 8, dan PT Sinar Mas) dengan lebih dari 100 ribu BTS (Base Transceiver Station) yang memiliki coverage area sekitar 90% wilayah tanah air, baik untuk jaringan berbasis GSM (Global System for Mobile Communication) maupun CDMA (Code Division Multiple Access) pada teknologi seluler (Ariyanti, 2009 online). Tabel 1.1. Pengguna Seluler di Indonesia Periode 2000 s/d 2008 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pengguna (Juta) 3.5 6.4 11.3 18.5 30.3 46.9 63.8 96.4 132.7 Pertumbuhan (%) 62.8 82.8 76.5 64.1 63.7 54.8 36.1 51.1 37.7 Teledensitas (Per 100) 1.7 3.1 5.3 8.6 13.6 21.1 24.8 40.1 55.3

Sumber : Data Sekunder antara.co.id 2009

Melalui data sensus penduduk yang dihimpun oleh BPS, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah 203,464 juta jiwa, dan meningkat menjadi 218,868 juta pada tahun 2005. Pada tahun 2010 diestimasikan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2006 online). Harus disadari dari kisaran jumlah 240 juta ini, 42 juta diantaranya berada pada kelompok usia 0-10 tahun, dan sekitar 6 juta lainnya berada pada kelompok usia di atas 70 tahun. Bila diasumsikan bahwa penduduk pada kelompok usia tersebut tidak lagi atau belum menggunakan seluler, maka terdapat 140 juta nomor seluler aktif yang beredar pada 192 juta penduduk Indonesia pada kelompok usia 10-70 tahun. Dengan asumsi seperti ini bisa diartikan bahwa 3 dari 4 penduduk Indonesia menggunakan seluler dalam kesehariannya.

Uraian di atas menunjukkan adanya potensi yang cukup besar untuk memanfaatkan teknologi seluler sebagai media dalam kegiatan promosi kesehatan di Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sendiri, pemanfaatan teknologi seluler hanya sebatas pada penggunaan fasilitas komunikasi telepon dan penulisan pesan singkat SMS. Fasilitas SMS (Short Messaging Service) pada seluler inilah yang bisa dimanfaatkan oleh provider kesehatan sebagai instrumen media promosi dan pendidikan kesehatan masyarakat. Dunia kesehatan Indonesia masih belum mampu memanfaatkan teknologi seluler dalam kegiatan promosi kesehatan masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan beberapa pelaku bisnis di Indonesia yang mulai memanfaatkan fasilitas SMS pada seluler sebagai media promosi dan lahan bisnis baru. Bahkan pada masa pemilu ini fasilitas SMS pada seluler juga digunakan untuk kampanye calon legislatif dan sosialisasi partai. Sementara kegiatan promosi kesehatan masyarakat masih berkutat pada penggunaan media-media konvensional seperti leaflet, booklet, poster, slide show, film strip, dan beberapa media lainnya. Titik kritis yang menjadi perhatian pada penggunaan media konvensional adalah terdapatnya beberapa kekurangan seperti keterbatasan jangkauan sasaran serta frekwensi dari pesan kesehatan yang relatif rendah. Semua kekurangan tersebut bisa direduksi dengan memanfaatkan fasilitas SMS (Short Messaging Service) pada seluler untuk penyampaian pesan kesehatan. Dengan memanfaatkan fasilitas SMS pada seluler sebagai media promosi, maka informasi kesehatan akan dapat diberikan pada sedikitnya 50% dari total penduduk Indonesia pada semua lapisan kelompok di hampir 90% wilayah kependudukan, dengan frekwensi penyampaian informasi yang lebih tinggi dan berkelanjutan.

Begitu banyak permasalahan kesehatan di Indonesia yang berakar dari masalah perilaku menjadikan para ahli kesehatan di negara ini dituntut untuk dapat mengedepankan paradigma preventive promotive lebih dari paradigma curative rehabilitative. Pemanfaatan berbagai bentuk teknologi dalam upaya preventive promotive ini, termasuk teknologi seluler menjadi pilihan yang rasional dalam upaya pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Salah satu masalah kesehatan yang sering dipandang sebagai fenomena gunung es di Indonesia adalah masalah aborsi yang terjadi baik itu pada kalangan wanita dewasa maupun remaja puteri. Aborsi menjadi fenomena yang menarik karena selain kontribusinya sebagai salah satu masalah kesehatan dengan tingkat kematian yang cukup tinggi, juga memiliki dimensi sosial yang cukup luas. Kasus aborsi tidak hanya terjadi di negara modern tetapi juga banyak terjadi di negara berkembang. Hal ini tidak terlepas dari terjadinya pergeseran tatanan nilai masyarakat baik itu secara moral, kultural, sosial, dan agama. Selain itu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga teknologi informasi turut memberi andil dalam pergeseran tatanan nilai-nilai lokal. Menurut WHO tahun 1998, tercatat 46 juta kasus aborsi terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia, 20 juta diantaranya dilakukan dengan tidak aman (97% dilakukan di negara berkembang), dan 80 ribu wanita meninggal karena komplikasi aborsi. Dari jumlah tersebut 750 ribu hingga 1,5 juta dilakukan di Indonesia, angka ini memberikan kontribusi 11,1% terhadap AKI (Angka Kematian Ibu) di negara ini. AKI di Indonesia menduduki peringkat tertinggi di Asia Tenggara dengan 390 per 100.000 kelahiran hidup (Ozzy, 2007 online).

Sementara di Amerika, data statistik mengenai kasus aborsi dikumpulkan oleh dua badan utama, yaitu CDC (Federal Centres for Disease Control) dan AGI (Alan Guttmacher Institute). Hasil pendataan mereka menunjukkan bahwa jumlah nyawa yang dibunuh dalam kasus aborsi di Amerika setiap tahunnya mencapai 2 juta jiwa, ini lebih banyak dari jumlah nyawa manusia yang terbunuh dalam perang manapun dalam sejarah negara itu. James K. Glassman dari The Washington Post mengatakan pada tahun 1996 jumlah kematian akibat aborsi di Amerika 10 kali lebih banyak daripada semua kecelakaan yang terjadi ditambah kasus bunuh diri dan pembunuhan. Pada tahun yang sama Daniel S. Green menunjukkan di Amerika setiap tahun terdapat 550.000 orang meninggal karena kanker dan 700.000 meninggal karena penyakit jantung. Jumlah ini tidak seberapa dibandingkan jumlah kematian karena aborsi yang mencapai 2 juta jiwa setiap tahunnya di negara itu (Statistik..., 2002 online). Di Indonesia sendiri jumlah kasus aborsi sulit dihitung secara pasti, karena aborsi sering terjadi tanpa dilaporkan kecuali jika terjadi komplikasi sehingga memerlukan perawatan medis. Tetapi berdasarkan perkiraan terdapat 2 juta kasus aborsi yang dilakukan secara tidak aman setiap tahun (Zaenal, 2006 online). Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa aborsi sering dilakukan oleh perempuan karena alasan hamil di luar nikah atau alasan lain yang berhubungan dengan nilai normatif khususnya agama. Namun sebuah studi di Bali tahun 1997 menemukan bahwa 71% perempuan yang melakukan aborsi adalah perempuan menikah, juga studi yang dilakukan oleh Population Council tahun 1998, bahwa 98,8% perempuan yang melakukan aborsi di sebuah klinik swasta di Jakarta telah menikah dan rata-rata telah memiliki anak (Ozzy, 2007 online).

Sementara penelitian yang dilakukan PPKLP UI tahun 2001 pada 10 kota dan 6 kabupaten di Pulau Jawa, memperlihatkan 53% aborsi terjadi di kota dan 47% lainnya terjadi di pelosok kabupaten. Pelayanan aborsi dilakukan oleh tenaga tidak terlatih terdapat pada 16% titik pelayanan aborsi di kota dan 57% di kabupaten. Juga diketahui bahwa 2 dari 3 wanita pelaku aborsi lebih memilih melakukan aborsi dengan bantuan dukun bayi atau ahli pijat. Sebagian besar wanita melakukan aborsi di klinik atau RS memiliki profil khusus, yaitu telah menikah dan berpendidikan. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian yang dilakukan tahun 2000 menunjukkan bahwa 2 dari 3 klien yang melakukan aborsi sudah menikah. Sementara juga didapatkan data bahwa, 54% klien aborsi adalah lulusan Sekolah Menengah dan 21% dari mereka adalah lulusan Akademi atau Universitas. Selanjutnya ditemukan bahwa hampir setiap klien yang melakukan aborsi berusia lebih dari 20 tahun, 58% diantaranya berusia lebih dari 30 tahun dan hampir setengahnya telah memiliki anak (Sedgh et al, 2008 online). Bagan 1.1. Metode Aborsi di Indonesia Tahun 2000
8% 4% 5% 8%
Aspirasi vakum atau D&K Medikasi oral dan pijatan 38% Medikasi dengan injeksi Benda asing yang dimasukkan dalam rahim Jamu dan ramuan tradisional Akupunktur Paranormal

12%

25% Sumber : Data Sekunder guttmacher.org 2008

Aborsi sendiri masih tetap merupakan wacana yang selalu mengundang pro dan kontra baik ditinjau melalui kacamata hukum, kesehatan, maupun nilai agama. Peraturan perundangan dan penegakan hukum yang kurang ideal, serta kecenderungan untuk mengadopsi gaya pergaulan bebas seperti hubungan seks pra nikah dan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, berpengaruh secarah linier terhadap peningkatan jumlah kasus aborsi di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah aborsi adalah memberikan informasi yang benar melalui pendidikan dan promosi kesehatan tentang bahaya aborsi, baik kepada remaja khususnya remaja putri usia produktif dengan berpedoman pada pemilihan topik, metode, strategi, maupun media yang memadai dalam upaya peningkatan pengetahuan dan membentuk sikap yang positif terhadap aborsi. Selama ini telah banyak program pendidikan kesehatan tentang bahaya aborsi diperkenalkan dan diterapkan oleh berbagai kalangan dengan menggunakan berbagai pendekatan dari yang ilmiah sampai yang sederhana dan tradisional. ...we find that most women feel they could remove their own pregnancies, the invasion of their privacy is the most uncomfortable issue..., we want to provide the tools and knowledge with which a woman can make the best decision for herself... (Jackson, 2000 online). ...kami menemukan bahwa kebanyakan wanita merasa dapat mengakhiri kehamilan mereka sendiri, campur tangan terhadap masalah pribadi mereka adalah suatu hal yang paling tidak menyenangkan..., kami ingin menyediakan sarana dan pengetahuan yang dapat membantu mereka untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri... (Jackson, 2000 online). Dipahami bahwa campur tangan pihak luar terhadap keputusan aborsi bagi seorang wanita merupakan sesuatu hal yang sulit ditoleransi. Tetapi atas dasar

pertimbangan kesehatan dan kemanusiaan, dirasakan penting untuk memberikan pengetahuan dalam pengambilan keputusan aborsi bagi mereka yang telah hamil melalui kegiatan konseling dengan didukung fasilitas yang memadai. ...providing women with knowledge about and control over their reproductive system is a much smarter way to fight abortion than restraining the speech and activity of organization that help women make good decision... (US Gag..., 2001 online). ...memberikan pengetahuan tentang sistem reproduksi dan bagaimana mengontrolnya adalah cara yang lebih cerdas dalam mencegah aborsi, daripada sekedar kata-kata atau kegiatan yang dilakukan suatu organisasi dalam membantu wanita membuat keputusan yang terbaik... (US Gag..., 2001 online). Kutipan ini menjelaskan bahwa dengan memberikan pengetahuan tentang cara mengontrol sistem reproduksi pada mereka yang telah matang secara seksual sebagai upaya pencegahan kehamilan dan aborsi, adalah lebih baik dibandingkan dengan sekedar bantuan dalam pengambilan keputusan aborsi bagi mereka yang telah hamil. Pada point ini terdapat peran pendidikan dan promosi kesehatan. Dalam berbagai kasus aborsi yang terjadi di luar nikah, sering kali pelaku berada dalam kelompok usia remaja. Banyak alasan mengapa kasus aborsi sering kali dijumpai pada kelompok usia ini. Konsekwensi normatif berupa stigma masyarakat, tidak siap untuk menikah, serta alasan ekonomi sering kali menjadi pembenaran dilakukannya tindakan aborsi pada remaja. Menurut Gunarsa (2003) masa pra pubertas pada remaja usia dini (12-15 tahun) merupakan titik kritis peralihan dari usia kanak-kanak menuju masa pubertas. Pada masa ini terjadi kematangan fungsi seksual yang sesungguhnya serta diikuti perkembangan fungsi psikologis. Usia 12-15 tahun merupakan usia rata-rata seorang remaja berada pada bangku pendidikan menengah pertama

10

(SMP). Intervensi pendidikan dan promosi kesehatan terkait masalah reproduksi dan aborsi sangat ideal mulai diberikan pada remaja yang telah menginjak usia 12-15 tahun atau usia pendidikan menengah pertama. Begitu juga dengan SMP Negeri 26 dan SMP Negeri 20 Surabaya yang merupakan institusi pendidikan menengah pertama dengan rata-rata siswa berada pada kelompok usia 12-15 tahun. Kegiatan promosi kesehatan terkait masalah aborsi secara ideal juga harus diberikan pada siswa di institusi pendidikan ini. SMP Negeri 26 Surabaya berdiri tahun 1983 dan menjadi salah satu SMPN favorit di kota Surabaya. Pada tahun ajaran 2008/2009 institusi pendidikan yang berlokasi di Raya Banjarsugihan 21 Surabaya ini memiliki total 1.057 siswa (342 siswa kelas VII, 358 siswa kelas VIII, dan 357 siswa kelas IX) dengan proporsi 451 laki-laki dan 606 perempuan. Sedangkan SMP Negeri 20 Surabaya yang berdiri tahun 1982 dan beralamat di Dukuh Kapasan I Sambikerep Surabaya memiliki total 809 siswa (263 siswa kelas VII, 278 siswa kelas VIII, dan 268 siswa kelas IX) dengan 405 laki-laki dan 404 perempuan. Menurut keterangan pihak sekolah, semenjak berdiri hingga hari ini belum pernah terdapat kasus aborsi terjadi pada siswa di dua SMP ini, namun bukan berarti kasus tersebut tidak dapat terjadi kedepannya. Pemilihan SMPN 26 (experiment group) dan SMPN 20 (control group) sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa ke dua institusi pendidikan ini berlokasi di wilayah Surabaya bagian barat yang dikenal sebagai wilayah hitam untuk kegiatan prostitusi. Hal ini bisa diketahui dengan keberadaan beberapa lokalisasi besar yang tersebar di wilayah ini, yaitu Moroseneng, Kembang Kuning, Kremil, Jarak, dan Dolly yang dikenal sebagai pusat lokalisasi

11

terbesar di Asia Tenggara (Surabaya..., 2007 online). Kedekatan wilayah secara administratif serta karakteristik siswa yang relatif memiliki kesamaan, karena mayoritas berasal dari satu lingkungan yang sama juga menjadi pertimbangan dipilihnya dua institusi pendidikan ini sebagai lokasi penelitian. Perubahan trend dan pola pacaran, pengaruh lifestyle dan pergaulan bebas, tingginya paparan media hiburan dan informasi, pergeseran nilai-nilai sosio budaya, kurangnya konsistensi terhadap pelasanaan nilai-nilai spiritual (agama), rendahnya pengetahuan mengenai aborsi khususnya pada remaja, serta masih maraknya praktek aborsi ilegal yang terjadi di masyarakat, berpotensi untuk memicu terjadinya aborsi pada remaja usia dini, termasuk didalamnya adalah siswa SMP. Sebagai langkah preventive untuk menekan tingginya kejadian aborsi pada kelompok remaja, maka dirasakan penting untuk melaksanakan program pendidikan dan promosi kesehatan terkait masalah aborsi secara dini sebagai upaya dalam peningkatan pengetahuan yang kedepannya diharapkan mampu mempengaruhi sikap dan perilaku remaja secara lebih positif terhadap aborsi. Berangkat dari pemahaman terhadap potensi aborsi dikalangan remaja yang cukup tinggi dan juga adanya realitas bahwa dunia kesehatan Indonesia masih belum mampu secara optimal memanfaatkan teknologi seluler sebagai instrumen media promosi kesehatan, maka studi penelitian eksperimental semu dengan judul Pemanfaatan SMS pada Seluler sebagai Media Promosi Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Perubahan Sikap Remaja mengenai Aborsi ini dilakukan dengan sasaran penelitian siswa kelas VIII SMP Negeri 26 Surabaya sebagai kelompok eksperimen dan siswa kelas VIII SMP Negeri 20 Surabaya sebagai kelompok kontrol.

12

1.2. Kajian Masalah Pemanfaatan fasilitas SMS (Short Messaging Service) pada seluler dalam kegiatan promosi kesehatan memiliki target utama yaitu untuk meningkatkan pengetahuan sasaran mengenai masalah kesehatan (aborsi), dari peningkatan pengetahuan ini diharapkan berpengaruh pada perubahan sikap, dan sebagai tujuan akhir adalah perubahan perilaku. Komunikasi Matematikal Shannon Weaver
message transmitted received signal signal message

Information Source
promotor kesehatan

Transmitter
operator seluler

Receiver
seluler (SMS)

menerima kesan

Destination
mereproduksi kesan
remaja pengguna seluler

Noise Source

Brain
menyimpan kesan

Proses Fungsi Ingatan


Behavior
perilaku terkait aborsi

Practice
tidakan terkait aborsi

Attitude
sikap terhadap aborsi

Knowledge
pengetahuan tentang aborsi

Domain Perilaku Bagan 1.2. Proses Perubahan Perilaku melalui Tiga Konsepsi (Komunikasi Matematikal, Proses Fungsi Ingatan, dan Domain Perilaku) Gambar di atas menjelaskan tentang proses perubahan perilaku yang diharapkan terkait masalah aborsi. Dalam hal ini adalah perilaku remaja (SMPN 26 Surabaya) yang dijelaskan melalui tiga konsepsi dasar, yaitu model komunikasi matematikal Shannon Weaver (Uchajana, 2003), proses fungsi

13

ingatan manusia (Suryabrata, 1989), dan domain perilaku KAP - B (Notoatmodjo, 2003). 1. Model Komunikasi Matematikal (Shannon Weaver) Information Source Transmitter Noise Source Receiver Destination Message Transmitted Signal Received Signal : : : : : : : : Promotor kesehatan selaku provider Operator seluler Pengaruh noise pada jaringan seluler Seluler (SMS) Remaja pengguna seluler Informasi mengenai aborsi Gelombang radio Gelombang radio

2. Proses Fungsi Ingatan Manusia Menerima kesan Menyimpan kesan Mereproduksi kesan 3. Domain Perilaku KAP - B Knowledge Attitude Practice Behavior : : : : Peningkatan pengetahuan tentang aborsi Perubahan sikap terhadap aborsi Tindakan (positif) terkait aborsi Perilaku (positif) terkait aborsi : : : Menerima informasi mengenai aborsi Mengingat informasi tentang aborsi Menggunakan informasi tentang aborsi

Model komunikasi matematikal Shannon Weaver dipilih dengan alasan bahwa model ini memiliki perspektif matematis yang berfokus pada frekwensi sinyal yang diterima dalam proses transmisi informasi, serta efisiensi dari saluran komunikasi yang digunakan, dan bukan sekedar berfokus pada isi pesan yang

14

disampaikan (Arni, 1995). Hal ini sesuai dengan sifat media SMS pada seluler sebagai media transmisi informasi kesehatan (aborsi) yang memiliki keterbatasan dalam luas content informasi, namun memiliki keunggulan dalam frekwensi, kecepatan, dan jangkauan transfer informasi. Penyebaran informasi kesehatan (aborsi) melalui media SMS ini merupakan bentuk komunikasi massa satu arah yang tidak membutuhkan feedback langsung dari sasaran. Komunikasi lebih ditujukan pada bagaimana informasi kesehatan melalui media SMS akan mampu menjadi alat propaganda dalam peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap sasaran yang menerima informasi tersebut. Proses komunikasi melalui media SMS ini memiliki efek terbatas (limited effect) pada sasaran yang tidak sepenuhnya pasif (half active), dengan asumsi : 1. Tidak semua sasaran memiliki zero knowledge mengenai informasi aborsi 2. Tidak semua sasaran memiliki keterkaitan langsung terhadap informasi aborsi 3. Sasaran telah memiliki informasi mengenai aborsi dalam tingkatan tertentu sebelumnya 4. Sasaran mampu secara aktif untuk mencari informasi aborsi melalui sumber atau media lain Harus dipahami bahwa sasaran dalam kegiatan promosi kesehatan bukan hanya mereka yang memiliki kepentingan langsung terhadap informasi kesehatan yang akan diterimanya. Artinya setiap individu berhak untuk menerima informasi kesehatan walaupun informasi tersebut tidak memiliki keterkaitan langsung dengan dirinya. Dalam hal ini diharapkan individu tersebut mampu menyimpan dan menggunakan informasi kesehatan yang diterimanya untuk diinformasikan ulang pada individu lain disekitarnya (reinformation).

15

Dari studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Mei 2009 terhadap sepuluh orang siswa kelas VIII SMP (5 siswa SMPN 26 dan 5 siswa SMPN 20 Surabaya), didapatkan fakta bahwa hampir semua siswa pernah mendengar tentang aborsi, namun kebanyakan dari mereka hanya memaknai aborsi sebagai suatu tindakan menggugurkan bayi saat kehamilan. Selain itu mereka juga mengaku bahwa informasi tentang aborsi tersebut sering diperoleh melalui pembicaraan sehari-hari dengan teman pergaulannya. ...ya gitu itu pak, kan mbak-mbak yang nggugurkan bayi pas lagi hamil itu kan... (Siswa 4, SMPN 26 Surabaya). ...ya taunya pas crita-crita sama anak-anak... (Siswa 4, SMPN 26 Surabaya). Pemaknaan aborsi di sini terkesan sempit dan negatif, siswa cenderung menganggap aborsi sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan terutama dengan orang dewasa. Hal ini didukung dengan sikap mereka yang terkesan malu-malu dan tidak memberikan banyak komentar saat berbicara tentang aborsi. Selain itu mereka juga mengatakan sampai saat ini belum pernah menerima informasi mengenai aborsi melalui media promosi kesehatan, dan beberapa siswa diantaranya mengaku mengetahui informasi aborsi dalam bentuk liputan kasus kriminal yang ditayangkan pada program pemberitaan di beberapa stasiun televisi swasta juga pemberitaan di koran. Namun tentu saja bentuk informasi pada media televisi (pemberitaan kasus aborsi) yang diterima oleh mereka ini hanya memberikan informasi aborsi dalam perspektif tindakan kriminal dan bukan dalam tujuan pendidikan dan promosi kesehatan. ...kalo di teve kan juga sering disiarkan kejadian orang yang menggugurkan bayinya... (Siswa 2, SMPN 20 Surabaya).

16

Untuk kepemilikan handphone, 7 dari 10 siswa mengaku memilikinya secara pribadi. Memang terdapat himbauan dari pihak institusi agar siswa tidak membawa handphone di sekolah, namun karena adanya tuntutan dari orang tua siswa yang menginginkan kemudahan dalam memantau dan berkomunikasi dengan anaknya, maka pihak sekolah mentoleransi penggunaan handphone hanya pada saat di luar jam pelajaran, selain itu pihak sekolah juga tidak bertanggung jawab terhadap segala bentuk kehilangan handphone yang terjadi di sekolah. Tabel 1.2. Studi Pendahuluan Penelitian (Pemanfaatan SMS sebagai Media Promosi Kesehatan pada Remaja terkait Masalah Aborsi) SMPN 26 Surabaya Siswa Siswa 1 Siswa 2 Siswa 3 Siswa 4 Siswa 5 Sex L L P P P Pengertian Aborsi pengguguran bayi pengguguran bayi pengguguran bayi saat kehamilan pengguguran bayi saat kehamilan pengguguran bayi Pengertian Aborsi pengguguran bayi pengguguran bayi secara paksa pengguguran bayi tidak tahu pengguguran bayi saat kehamilan Sumber Informasi teman pergaulan teman pergaulan teman pergaulan teman pergaulan teman pergaulan Sumber Informasi teman pergaulan teman pergaulan teman pergaulan teman pergaulan Media Informasi liputan berita televisi liputan berita televisi punya punya Pemilikan Handphone punya tidak punya punya

SMPN 20 Surabaya Siswa Siswa 1 Siswa 2 Siswa 3 Siswa 4 Siswa 5 Sex L L P P P Media Informasi liputan berita televisi berita di koran Pemilikan Handphone tidak punya punya punya punya tidak punya

Sumber : Data Primer SMPN 26 dan SMPN 20 Surabaya 2009

17

Dengan menggunakan model teori perilaku dari Lawrence W. Green, diidentifikasikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku aborsi pada remaja terutama siswa SMP.
Predisposing Factors Karakteristik Personal Siswa karakteristik fisik nilai dan keyakinan tingkat pengetahuan dimensi kejiwaan

Enabling Factors Kondisi Lingkungan Fisik Siswa kondisi lingkungan tempat tinggal ketersediaan fasilitas kesehatan kondisi sosial ekonomi

Behavior Perilaku Aborsi

Reinforcing Factors Keadaan Lingkungan Sosial Siswa pengaruh pergaulan nilai dan norma masyarakat dukungan sosial paparan media peran promosi kesehatan kebijakan dan peraturan

Bagan 1.3. Identifikasi Determinan Perilaku Aborsi pada Remaja 1. Predisposing Factors merupakan faktor pendorong yang melekat pada diri siswa atau karakteristik personal yang berpotensi untuk membentuk perilaku tertentu terkait aborsi. Meliputi karakteristik fisik, nilai dan keyakinan yang dimiliki, tingkat pengetahuan, serta dimensi kejiwaan siswa. 2. Enabling Factors merupakan faktor pendukung yang memungkinkan siswa untuk berperilaku tertentu terkait aborsi. Meliputi keadaan lingkungan (fisik)

18

tempat tinggal siswa, ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan, serta kondisi sosial ekonomi siswa. 3. Reinforcing Factors merupakan keadaan di luar diri siswa yang mampu memperkuat siswa untuk berperilaku tertentu terkait aborsi. Meliputi keadaan lingkungan (sosial) di sekitar siswa termasuk teman pergaulan, dukungan sosial, nilai dan norma yang berlaku (orang tua, guru, dan tokoh religius), pengaruh media, peranan kebijakan dan peraturan terkait masalah aborsi, dan juga peranan pendidikan dan promosi kesehatan.

1.3. Rumusan Masalah Untuk mengetahui apakah pemanfaatan fasilitas SMS (Short Messaging Service) yang terdapat pada teknologi seluler sebagai media dalam kegiatan promosi dan pendidikan kesehatan, akan mampu secara efektif meningkatkan pengetahuan dan berpengaruh terhadap perubahan sikap remaja terkait aborsi, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut : 1. Research Problem Sejauh mana efektifitas pemanfaatan fasilitas SMS (Short Messaging Service) pada teknologi seluler sebagai media alternatif program promosi kesehatan akan mampu meningkatkan pengetahuan dan berpengaruh terhadap perubahan sikap siswa SMP Negeri 26 Surabaya terkait masalah aborsi. 2. Research Question a. Apakah pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan cukup efektif dalam meningkatkan pengetahuan siswa SMPN 26 Surabaya terkait masalah aborsi?

19

b.

Apakah pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan cukup efektif dalam mempengaruhi perubahan sikap siswa SMPN 26 Surabaya terkait masalah aborsi?

c.

Seperti apakah tanggapan siswa SMPN 26 Surabaya selaku sasaran program terhadap pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan khususnya masalah aborsi?

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengukur efektifitas pemanfaatan fasilitas SMS (Short Messaging Service) pada teknologi seluler sebagai media alternatif program promosi kesehatan dalam meningkatkan pengetahuan dan mempengaruhi perubahan sikap siswa SMP Negeri 26 Surabaya terkait masalah aborsi. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Mengukur efektifitas pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan dalam meningkatkan pengetahuan siswa SMPN 26 Surabaya terkait masalah aborsi. 2. Mengukur efektifitas pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan dalam mempengaruhi perubahan sikap siswa SMPN 26 Surabaya terkait masalah aborsi. 3. Mengeksplorasi tanggapan siswa SMPN 26 Surabaya selaku sasaran program terhadap pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan khususnya masalah aborsi.

20

1.5. Manfaat Penelitian Diharapkan dengan dilaksanakannya penelitian berjudul Pemanfaatan SMS pada Seluler sebagai Media Promosi Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Perubahan Sikap Remaja mengenai Aborsi ini dapat memberikan manfaat yang berarti bagi berbagai pihak. 1. Bagi Siswa SMPN 26 Surabaya a. Meningkatkan pengetahuan mengenai aborsi terutama dalam sudut pandang kesehatan. b. Membentuk sikap yang lebih positif (tidak mendukung) terhadap aborsi. c. Meningkatkan kemampuan dalam memperoleh dan menggunakan informasi kesehatan tentang aborsi baik bagi dirinya maupun untuk diinformasikan kembali pada orang lain disekitarnya. 2. Bagi Peneliti a. Meningkatkan pengetahuan dalam kerangka promosi kesehatan dan penggunaan media promosi kesehatan. b. Meningkatkan wawasan dalam menghadapi berbagai fenomena kesehatan dalam masyarakat, khususnya yang berkenaan dengan masalah aborsi. c. Meningkatkan pengalaman dalam studi penelitian serta sensitifitas dalam bersentuhan langsung dengan masalah kesehatan yang ada di masyarakat. 3. Bagi Instansi Terkait a. Sebagi masukan dalam menyempurnakan program promosi kesehatan masyarakat, terutama untuk masalah aborsi. b. Sebagai masukan dalam penggunaan dan pemanfaatan media promosi kesehatan alternatif non konvensional.

21

c. Sebagai masukan mengenai pentingnya upaya networking serta peranan peraturan dan kebijakan (health policy and healthy public policy) khususnya dalam pemanfaatan jaringan komunikasi publik, sebagai upaya peningkatan derajat kesehatan nasional. 4. Bagi Akademisi a. Memperkaya kajian studi dan praktek promosi kesehatan, baik melalui sudut pandang kesehatan maupun sosial. b. Memperbesar kemungkinan terhadap inovasi dan pengembangan media promosi kesehatan yang lebih baik. c. Membuka berbagai kemungkinan untuk dilakukan penelitian yang sejenis, baik penelitian baru maupun pengembangannya.

22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Seluler 2.1.1. Teknologi Seluler Seluler atau lebih dikenal dengan nama cellphone merupakan perangkat komunikasi bergerak (mobile) nirkabel dengan memanfaatkan gelombang radio sebagai medium penghantar sinyal (Encarta Encyclopedia, 2006). Jaringan seluler merupakan sistem dengan teknologi canggih yang mampu membagi suatu area dalam beberapa sel kecil. Dengan kemampuan membagi area dalam beberapa sel kecil ini maka frekwensi sinyal dapat meluas hingga mencapai semua bagian pada suatu area tertentu, sehingga dapat digunakan secara bersamaan secara simultan tanpa jeda dan tanpa terputus-putus. Jaringan seluler beroperasi dengan membagi akses layanan berdasarkan jangkauan area pada zona tertentu dengan sumber daya dan jalur tersendiri. Layanan tersebut hanya dapat diakses oleh pengguna yang berada dalam jangkauan zona tersebut. Sehingga jika pengguna berpindah ke daerah lain maka akan berada pada pusat layanan yang berbeda walaupun menggunakan provider yang sama. Jaringan seluler memiliki keterbatasan dalam hal ketersediaan bandwidth, karena pada dasarnya jaringan ini beroperasi dengan penggunaan ulang dari frekwensi yang ada. Secara teknis frekwensi tersebut dihasilkan oleh BTS (Base Transceiver Station), maka terdapat penggunaan frekwensi yang sama untuk beberapa daerah yang berbeda, dengan aturan tidak terjadi interferensi frekwensi antara satu daerah dengan yang lainnya (Sistem..., 2000 online).

23

Ray Sheriff dan Fun Hu (2001) mengatakan, bahwa untuk menambah kapasitas dan jangkauan jaringan seluler dapat dilakukan tiga cara : 1. Menambah jumlah jalur komunikasi 2. Menambah efisiensi modulasi dengan teknik multiple access 3. Penggunaan ulang jalur komunikasi yang sama tanpa interferensi Berdasarkan perkembangan kemampuannya, jaringan seluler dapat dibagi ke dalam fase 1G yang memiliki bandwidth 10 Kbps. Selanjutnya adalah fase 2G yang memiliki bandwidth hingga 270 Kbps. Kemudian dilanjutkan dengan teknologi 3G yang memilili bandwidth 2 Mbps, dan dapat ditingkatkan hingga mencapai 155 Mbps pada suatu lingkungan khusus. Selain itu kini juga dikembangkan teknologi 4G pada seluler yang menggunakan sistem All IP Environment (Syafwin dkk, 2007). Berbagai jenis teknologi dikembangkan dalam sistem komunikasi melalui seluler, diantaranya adalah AMPS (Advance Mobile Phone System), GSM (Global System for Mobile Communication), CDMA (Code Division Multiple Access), dan PHS (Personal Handy Phone System). Dua jenis teknologi komunikasi nirkabel yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah teknologi GSM dan CDMA (Hilman, 2008 online). 1. GSM (Global System for Mobile Communication) GSM adalah sistem telekomunikasi bergerak dengan menggunakan teknologi digital yang merupakan generasi ke dua setelah AMPS. GSM pertama kali muncul tahun 1991 dan mulai berkembang tahun 1993. Perkembangan pesat dari GSM disebabkan karena penggunaan sistem dengan teknologi digital yang memungkinkan pengembang untuk mengeksploitasi penggunaan algoritma

24

serta penggunaan VLSI (Very Large Scale Integration). Untuk memperkecil biaya operasional terminalnya, saat ini teknologi GSM telah menggunakan fitur jaringan cerdas (Intelligent Network). Sejak pertama kali dibuat GSM memang dipersiapkan untuk menjadi sistem telekomunikasi bergerak dengan cakupan internasional dengan berbasis teknologi Time Division Multiple Access (TDMA) yang menggunakan teknik penyebaran spektrum. GSM mempunyai frekwensi 900 Mhz dan 1800 Mhz dengan layanan pengiriman data berkecepatan tinggi yang menggunakan teknologi HSCSD (High Speed Circuit Switch Data) dengan kecepatan 64-100 Kbps. 2. CDMA (Code Devision Multiple Access) CDMA merupakan generasi ke tiga teknologi telpon tanpa kabel. Berbeda dengan teknologi GSM yang berbasis TDMA (Time Division Multiple Access), CDMA tidak memberikan penanda frekwensi khusus pada setiap user. Setiap channel menggunakan spektrum yang tersedia secara penuh. Percakapan individual akan di encode dengan pengaturan digital secara random. CDMA merupakan perkembangan AMPS yang pertama kali di gunakan oleh militer Amerika Serikat. Perkembangan CDMA tidak secepat perkembangan GSM yang banyak diadopsi oleh sebagian besar operator di berbagai negara. 2.1.2. Sejarah Seluler Dalam sejarah perkembangan seluler baik ponsel maupun peralatan telekomunikasi wireless lain, pada prinsipnya terkait dengan hasil eksperimen yang dilakukan dua ilmuwan yang bernama James Clerk Maxwell (1831-1879) dan Heinrich Hertz (1857-1894). Maxwell berhasil menguak fenomena alam mengenai gelombang elektromagnetik. Dia menemukan bahwa kecepatan radiasi

25

gelombang magnet listrik ini sama dengan kecepatan perambatan cahaya, yakni sekitar 186.000 mil (300.000 km) per detik. Sementara itu dalam kesempatan yang berbeda, Hertz melengkapi hasil telaah ilmiah Maxwell dengan mengungkapkan bahwa gelombang radio adalah bagian dari fenomena gelombang elektromagnetik. Untuk menghargai jerih payah Hertz, masyarakat ilmiah dunia kemudian menggunakan nama Hertz sebagai satuan frekwensi atau getaran per detik. Gelombang inilah yang kemudian dipecah hingga ribuan kanal dan digunakan secara internasional untuk berbagai kepentingan di bawah pengawasan International Telecommunication Union (Supono, 2006 online). Pada awalnya radio komunikasi sendiri hanya dimanfaatkan oleh kalangan terbatas dalam dunia kemiliteran. Bentuk radio genggam pertama pada mulanya masih relatif besar dan berat. Dengan dimensi seperti ini pemanfaatan radio memang masih jauh dari praktis. Dalam ajang Perang Dunia II, bentuk dan kekuatan radio genggam berkali-kali diperbaiki. Pada dekade 70an, bentuknya bisa diperkecil dengan ditemukannya transistor yang bisa mewakili sekian puluh komponen berukuran besar, dan menjelang dekade 80an berhasil diciptakan Integrated Circuit yang mampu memuat sekian puluh bahkan ratusan instrumen elektronik ke dalam komponen yang hanya sebesar kancing baju. Temuan ini membuat peralatan telekomunikasi ini menjadi semakin memasyarakat karena biaya produksinya yang menjadi semakin murah dan manfaatnya yang semakin banyak. Teknologi digital yang mulai dikombinasikan pada dekade 90an juga ikut membuat peralatan ini menjadi kian digemari. Telepon seluler dikembangkan pertama kali pada tahun 1947 di Eropa, di mana pengembangannya dimulai oleh Lars Magnus Ericsson yang juga

26

merupakan pendiri perusahaan Ericsson. Pada awalnya orang Swedia ini medirikan perusahaan Ericsson dengan fokus terhadap bisnis peralatan telegraf, dan perusahaanya juga tidak terlalu besar pada waktu itu. Pada tahun 1960 di Finlandia sebuah perusahaan bernama Fennis Cable Works yang semula berbisnis dibidang kabel melakukan ekspensi dengan mendirikan perusahaan elektronik Nokia sebagai produsen handset telepon seluler. Pada dekade 70an perkembangan telepon mobile menjadi pesat dengan di dominasi oleh 3 perusahaan besar di Eropa yaitu perusahaan Ericcsson, Nokia, dan Motorola. Pada tahun 1969 sistem telekomunikasi seluler mulai dikomersialkan (Nurasa, 2009 online). Di Indonesia pemanfaatan teknologi telekomunikasi berbasis gelombang radio dimulai pada dekade 70an. Indonesia dikenal sebagai negara ke 4 di dunia yang menggunakan satelit komunikasi setelah USA, USS, dan Canada. Satelit pertama Indonesia, SKSD Palapa A diluncurkan tahun 1976 dan dimanfaatkan sebagai sarana pemersatu tanah air, di mana pengoperasiannya dilakukan oleh Perumtel (PT Telkom). Selain untuk keperluan telekomunikasi jarak jauh, satelit ini juga dimanfaatkan sebagai sarana penerima dan pengirim sinyal televisi. 2.1.3. Teknologi SMS SMS (Short Messaging Service) merupakan fasilitas pada seluler yang berfungsi untuk mengirim dan menerima pesan dalam bentuk teks. Penggunaan SMS pada teknologi seluler (GSM dan CDMA) memiliki prosedur operasional yang relatif sama. Terdapat dua metode untuk pengiriman dan penerimaan pesan teks SMS. 1. Menggunakan perangkat mobile phone 2. Menggunakan ESMEs (External Short Messaging Entities)

27

Network Management

Seluler
Mobile Station

Base Station System

Seluler

BSC

Mobile Station

BTS

MSC SMSC

BTS

VLR Seluler

HLR

EIR Seluler

Gambar 2.1. Sistem Jaringan Seluler Mengirim dan menerima pesan teks dengan menggunakan perangkat mobile adalah cara standar yang paling sering digunakan. Pesan yang dikirim melalui ponsel sebelumnya dikirimkan terlebih dahulu ke server yang mengatur lalu lintas SMS yang disebut SMSC (Short Messaging Service Center), yaitu sebuah sistem yang mendukung pengiriman pesan teks dalam jaringannya. SMSC menentukan jalur pengiriman pesan teks sehingga pesan dapat diterima oleh perangkat mobile. SMSC menquery database HLR (Home Location Register) yang berisi data pengguna, informasi subscriber (info call waiting dan pesan teks), data tagihan, availability dari pengguna, serta lokasi pengguna. Melalui interaksi dengan elemen jaringan yang lain, HLR menentukan informasi rute yang dibutuhkan untuk sampai ke tujuan. Jika SMSC menerima balasan bahwa pengguna sedang tidak bisa menerima pesan, maka pesan teks disimpan di server dan akan dikirim untuk lain waktu (Traynor et al, 2005).

Terminal Equipment Database

28

SMSC merupakan pusat aliran pesan SMS, tetapi secara teknis SMSC memiliki keterbatasan dalam menangani jumlah pesan. SMSC hanya dapat melakukan antrian pesan dalam jumlah yang terbatas untuk setiap pengguna layanan. Pesan akan terus disimpan sampai perangkat mobile yang dituju menerima pesan, atau terhapus karena batasan waktu yang ditentukan. Secara teknis dibutuhkan waktu sebesar 0,71 detik untuk pengiriman pesan dan waktu sebesar 7-8 detik untuk menerima pesan. SMS memiliki besar data maksimum sebesar 160 byte ditambah dengan ukuran data untuk header pada protokol yang digunakan. Jika SMS dikirim melalui internet maka dibutuhkan besar data sekitar 1500 byte untuk mentransmisikannya. Setiap penyedia layanan SMS memiliki kebijakan berbeda terhadap penyediaan unit SMSC dalam jaringannya, ini berpengaruh terhadap kapasitas penyimpanan pesan serta kecepatan pengiriman dan penerimaan pesan (Traynor et al, 2005). 2.1.4. Tarif Seluler Setiap operator seluler di Indonesia menerapkan beberapa pola tarif layanan yang berbeda. Saat ini dikenal dua metode pentarifan layanan jasa seluler, yaitu tarif variabel yang didasarkan pada jarak (zona), letak geografis, dan waktu penggunaan (peak dan off peak), serta tarif flat yang memberlakukan penetapan tarif secara setara bagi sesama operator. Penetapan tarif merupakan sesuatu yang rumit karena melibatkan banyak perhitungan yang berbeda-beda untuk setiap perusahaan. Banyak faktor yang menjadi pertimbangan para operator dalam penentuan tarif layanan, seperti pola bisnis, strategi pasar, segmenting, positioning, dan targeting (Haryo, 2007 online).

29

Secara sederhana pola penetapan komponen tarif seluler di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yakni : 1. Tarif berdasarkan regulasi Penetapan tarif oleh pemerintah dengan berdasar pada jenis layanan yang disediakan, kemudian dilepas pada kebijakan operator sendiri. Pemerintah hanya menetapkan batas maksimum dan minimum tarif layanan sebagai bentuk pengendalian kompetisi pasar. 2. Tarif berdasarkan overhead cost Komponen ini tidak diatur oleh pemerintah, tetapi diserahkan langsung pada kebijakan operator jaringan, seperti biaya produksi dan operasional, biaya pemeliharaan dan penambahan jaringan, dan sebagainya. Komponen overhead cost tidak bersifat transaparan karena merupakan rahasia perusahaan.

2.2. Aborsi 2.2.1. Definisi Aborsi Aborsi berasal dari bahasa latin aboriri yang menunjuk pada suatu obyek yang dikeluarkan dari tempat yang seharusnya. Kata ini menjadi lazim dalam dunia kesehatan dengan beranalogi bahwa janin merupakan suatu obyek yang dikeluarkan dari tempat (rahim) di mana seharusnya dia tetap berada sebelum dilahirkan baik secara sengaja (induced) maupun tidak (spontaneous). Selanjutnya definisi aborsi yang ada cukup beragam, tetapi secara substansial pada dasarnya sama. Menurut WHO abortion is the termination of a pregnancy before the fetus is capable of extrauterine life. Sedangkan Faro dan Pearlman (1992) dalam bukunya mengatakan bahwa abortion is the termination of a pregnancy from

30

fertilization of the ovum until the time of fetal viability. Selanjutnya dalam pengertian lain aborsi didefinisikan sebagai keadaan berakhirnya kehamilan karena kondisi tertentu sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu, atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di dunia luar (Saifudin, 2000). Selain itu secara medis pengertian aborsi adalah keluarnya hasil pembuahan sebelum berusia 20 minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram. Janin yang dikeluarkan dari kandungan sebelum usia 20 minggu tidak memiliki harapan hidup. Sedangkan setelah 20 minggu dapat dikatakan sebagai persalinan mengingat janin yang dikeluarkan sudah mempunyai harapan hidup walaupun sangat kecils (Ekotama dkk, 2001). 2.2.2. Jenis Aborsi 1. Abortus Spontan Abortus spontan adalah aborsi yang berlangsung tanpa disengaja atau tanpa adanya tindakan tertentu. Kebanyakan kasus aborsi jenis ini disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sperma atau karena faktor kelainan genetika. Wanita yang memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol lebih berpeluang mengalami aborsi spontan dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok dan tidak minum alkohol. Begitu pula halnya dengan kondisi gizi buruk pada wanita hamil, hal ini juga dapat mengakibatkan terjadinya abortus spontan. Aborsi jenis ini seringkali terjadi pada usia kahamilan memasuki 20 minggu. Karena aborsi jenis ini terjadi tanpa adanya faktor kesengajaan oleh sang ibu maka abortus spontan juga dikenal dengan istilah keguguran atau miscarriage. Dalam dunia medis aborsi jenis ini disebut sebagai threatened spontaneous abortion (Pritchard et al, 1991).

31

Banyak wanita mengalami keguguran kandungan akibat berbagai penyakit yang dideritanya seperti sipilis, malaria, dan infeksi yang disertai dengan demam tinggi. Penyakit tersebut dapat menyebabkan embrio tidak dapat bertahan untuk terus tumbuh sebagaimana mestinya. Hal lain yang menyebabkan terjadinya abortus spontan adalah karena kelalaian sang ibu sendiri. Seringkali ibu hamil kurang berhati-hati menjaga kandungannya, misalnya sering melakukan pekerjaan yang melelahkan khususnya pada usia kehamilan yang masih muda. Di samping itu keguguran disebabkan oleh kecelakaan yang dialami sang ibu, misalnya jatuh terpeleset, dan tabrakan yang mengakibatkan terjadinya benturan pada perut sang ibu. Benturan keras pada perut ibu hamil mengakibatkan kandungan mengalami kontraksi rahim karena ketuban pecah yang pada gilirannya akan mendorong janin keluar dari kandungan (Ekotama dkk, 2001). 2. Abortus Provokatus Abortus provokatus adalah aborsi yang terjadi secara sadar dan sengaja dengan melalui campur tangan atau pengaruh pihak lain, abortus jenis ini dibagi menjadi 2 kategori. a. Abortus Provokatus Terapeutik (Artificialis) Aborsi yang dilakukan dengan pertimbangan medis demi keselamatan sang ibu karena menderita penyakit serius (jantung, darah tinggi, kanker, ginjal, dll) dan dapat mengancam keselamatan sang ibu pada saat persalinan. Tindakan aborsi semacam ini tentunya perlu didasarkan pada kesepakatan bersama antara pelaksana aborsi maupun pihak yang meminta untuk dilakukan aborsi. Beberapa tindakan dalam melakukan aborsi jenis ini

32

adalah sunction curretage dan surgical abortion yang biasa dilakukan pada usia kehamilan antara 6 hingga 12 minggu (Ekotama dkk, 2001). Pada kasus ibu hamil yang mengalami kecelakaan, bila janin berusia lebih dari tujuh bulan, dokter masih dapat melakukan tindakan medis dengan melakukan operasi cesar untuk menyelamatkan janin atau ibunya. Tetapi bila umur kandungan kurang dari enam bulan, biasanya janin direlakan sebagai suatu kecelakaan, karena embrio tersebut memiliki harapan hidup yang kecil sehingga harus digugurkan. Pertimbangan medis lain yang menyebabkan dokter mengambil tindakan abortus adalah karena bayi yang akan dilahirkan menderita cacat fisik yang berat, misalnya ectopia kordia (janin lahir tanpa dinding dada), anensefalus (bayi lahir tanpa otak besar), rachiscisis (kelainan pada tulang punggung yang tidak tertutup kulit), atresia orsophagus (saluran tenggorokan tidak terbentuk), fistula tracheo oesphagus (kelainan pada batang tenggorokan dan saluran kerongkongan terhubung menjadi satu). b. Abortus Provokatus Kriminalis Dikenal dengan istilah induced abortion adalah aborsi yang dilakukan karena tidak menginginkan kehadiran bayi yang dikandung. Aborsi ini secara sadar dilakukan oleh sang ibu, baik dilakukan sendiri atau bersama dengan pihak lain yang membantu melakukan aborsi (dokter, bidan, dukun, dll), maupun pihak yang mendorong untuk melakukan aborsi (keluarga, pacar, teman selingkuh, dll). Pada banyak negara aborsi jenis ini dianggap sebagai tindakan criminal dan melawan hukum (ilegal) serta dikategorikan sebagai pembunuhan (Ekotama dkk, 2001).

33

2.2.3. Alasan Aborsi Pada umumnya aborsi yang dilakukan oleh wanita baik remaja maupun dewasa terutama untuk jenis abortus provocatus criminalis memiliki beberapa alasan sebagai berikut : a. Tidak ingin terganggu karir, sekolah, atau tanggung jawab lainnya b. Tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk memelihara anak c. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah d. Desakan orang lain (pacar, keluarga, atau teman) e. Persepsi negatif masyarakat pada kehamilan di luar nikah f. Merasa masih terlalu muda dan tidak siap secara mental g. Telah memiliki banyak anak h. Tidak mengerti apa yang dilakukan i. Korban perkosaan 2.2.4. Dampak Aborsi Menurut WHO komplikasi berbagai jenis aborsi merupakan faktor utama yang menyebabkan kematian ibu di negara berkembang. Kemandulan, cacat kronis, infeksi merupakan bentuk komplikasi dari aborsi. Komplikasi akibat aborsi yang tidak aman menyebabkan kurang lebih 40% kematian ibu di dunia. Artinya 200.000 dari 500.000 kematian wanita setiap tahun merupakan akibat dari proses yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan yang dilakukan dengan cara aborsi yang tidak aman (Koblinsky et al, 1993). Terdapat banyak resiko yang harus dihadapi oleh seorang perempuan yang melakukan aborsi, baik itu resiko fisik hingga kematian, resiko psikologis, dan resiko lain berupa konsekwensi moral dan nilai sosial.

34

1. Bahaya aborsi pada kesehatan dan keselamatan fisik a. Kematian karena pendarahan yang hebat atau kegagalan pembiusan b. Infeksi pada lapisan rahim (endometritis) c. Luka Robek pada rahim (uterine perforation) d. Kerusakan leher rahim (cervix leceration) e. Mandul (infertility) 2. Dampak aborsi pada kesehatan mental PAS (Post Abortion Syndrome) a. Merasa kehilangan harga diri b. Berteriak histeris c. Mimpi buruk berulang-ulang tentang bayi d. Ingin melakukan bunuh diri e. Mulai mencoba menggunakan obat-obatan terlarang f. Tidak bisa menikmati hubungan seksual selanjutnya 3. Resiko lain dari aborsi a. Beban secara moral b. Stigma sosial dan konsekensi hukum c. Hilangnya kesempatan meneruskan keturunan d. Kerugian biaya terutama bila terjadi komplikasi 2.2.5. Pro Live dan Pro Choice Di dalam aspek yuridis politik sekalipun masalah aborsi masih merupakan isu yang hangat diperdepatkan. Dalam hukum formal suatu negara, banyak negara yang melegalkan aborsi dan banyak pula negara yang melarang aborsi, khususnya negara yang berideologi keagamaan yang kuat. Di Amerika misalnya, aborsi masih merupakan komoditi politik. Pada era kepemimpinan Bill Clinton

35

(demokrat), upaya untuk melegalkan aborsi terus dilakukan dengan cara meningkatkan alokasi dana pembiayaan klinik yang menyediakan pelayanan aborsi. Tetapi pada masa kampanye, George W. Bush (republik) menggunakan isu aborsi untuk mendapat dukungan dari kalangan pro live dengan menjanjikan pemotongan alokasi dana bagi lembaga yang menyediakan layanan aborsi. Perdebatan mengenai aborsi di Amerika Serikat mulai memanas saat dilegalkannya aborsi di negara itu pada tahun 1973. Pada tahun 1996 terjadi peristiwa yang mengejutkan publik Amerika, Paul Hill seorang mantan Pendeta Presbyterian menyerang klinik aborsi Ladies Center di Pensacola Florida dan menembak mati dua orang dokter, seorang perawat serta melukai beberapa orang lainnya. Peristiwa tersebut menandai titik ekstrim dari peseteruan kelompok pro live dan pro choice di Amerika Serikat (Dyatmika, 2008 online). Kubu pro live berargumen bahwa setiap manusia termasuk yang belum lahir memiliki hak untuk hidup, dan hak seseorang untuk hidup merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia Universal, sementara kelompok pro choice beranggapan bahwa seorang perempuan berhak menentukan pilihan atas tubuhnya, dan hak menentukan pilihan adalah hak asasi manusia yang harus dilindungi. Kubu pro choice semakin menguat bukan saja di Amerika melainkan juga di dunia pada masa Bill Clinton berkuasa. Kebijakan pemerintah Amerika Serikat pada waktu itu menguntungkan kubu pro choice diantaranya pengucuran dana pemerintah kepada klinik-klinik aborsi yang kemudian dihentikan pada masa George W Bush berkuasa. Selain itu pemerintah Amerika Serikat juga berhasil mensponsori dan mempengaruhi banyak negara di dunia untuk mendukung kebijakan pro choice mengenai hak reproduksi, keluarga, dan wanita (Dyatmika, 2008 online).

36

Perdebatan aborsi pada umumnya didasari pada kapan kehidupan dimulai. Bagi kelompok pro live, kehidupan dimulai pada saat konsepsi terjadi. Sehingga klinik dan pusat medis yang menyediakan pelayanan aborsi dianggap sama dengan kamp konsentrasi Nazi pada perang dunia II (human personhood equivalent of a Nazi death camp). Di sisi lain para pro choice menganggap bahwa kehidupan manusia dimulai pada saat kelahiran (human personhood begin later in gestation or at birth) (Kartono, 1998). Perdebatan masalah aborsi juga terjadi di kalangan medis, dan sampai dengan saat ini masih belum disepakati kapan sebenarnya kehidupan manusia itu dimulai. Persatuan dokter spesialis kebidanan sedunia (FIGO) menetapkan bahwa awal kehidupan itu dimulai sejak sel telur yang dibuahi menempel pada dinding rahim. Selanjutnya Norman Ford mengatakan bahwa kehidupan dimulai setelah pembentukan primitive strech yaitu lipatan ke dalam yang membentuk zygote saat kehamilan berusia empat minggu, pada saat inilah embrio dapat dianggap sebagai makhluk insani. Sementara Dr. Jerome Lejeune dari Universitas Rene Descartes Paris mengatakan bahwa beberapa saat setelah 23 kromosom pria bertemu dengan 23 kromosom wanita dalam sebuah pembuahan semua informasi genetika manusia yang belum dilahirkan telah diperoleh, pada saat itulah kehidupan manusia dimulai (Kartono, 1998) 2.2.6. Kebijakan Aborsi di Indonesia Indonesia termasuk salah satu negara yang menentang pelegalan aborsi dalam setiap konvensi yang digelar badan dunia PBB, satu kubu dengan beberapa negara Muslim, Amerika Latin, dan Vatikan. Di Indonesia aborsi dianggap ilegal kecuali atas alasan medis untuk menyelamatkan nyawa ibu. Oleh karena itulah

37

praktek aborsi dapat dikenai pidana oleh negara. Fatwa lembaga keagamaan pun ikut mendukung kebijakan pemerintah tersebut, misalnya fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1989 tentang aborsi yang menyatakan bahwa aborsi dengan alasan medik diperbolehkan dan aborsi dengan alasan non medik diharamkan (Dyatmika, 2008 online). Di Indonesia, abortus provocatus criminalis merupakan tindakan yang melawan hukum dan dianggap kriminal (ilegal). Perangkat perundangan yang mengatur masalah aborsi ini adalah UU No. 23 Tahun 1992 Pasal 15 Ayat 1 tentang Kesehatan. ...tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan, namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan janin yang didukungnya dapat diambil tindakan medis tertentu... (Pasal 15, UU No. 23 Tahun 1992). Melalui kacamata hukum hanya aborsi terapeutik saja yang dapat dianggap legal, dan hanya boleh dilakukan oleh dokter ahli kandungan profesional berdasarkan alasan medis yang tepat bahwa kehamilan tersebut berisiko terhadap keselamatan sang ibu. Aborsi ini hanya dapat dilakukan atas persetujuan keluarga pasien. Produk hukum lain mengenai aborsi adalah KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349 tentang dakwaan terhadap pelaku serta orang yang membantu melakukan aborsi secara ilegal. Namun pasal dalam KUHP tersebut belum dapat memberikan batasan yang jelas mengenai jenis abortus provokatus seperti apa yang dilarang. Hal ini tentunya akan menciptakan keragu-raguan bagi seorang dokter untuk melakukan abortus provokatus terapeutik karena ancaman pasal KUHP di atas (Ekotama dkk, 2001).

38

2.3. Remaja 2.3.1. Definisi Remaja Istilah remaja berasal dari kata latin adolescentia, dari kepustakaan Belanda disebutkan bahwa adolenscentia dimulai ketika tercapainya kematangan seksual secara biologis sesudah pubertas. Adolenscentia dari kepustakaan bahasa Inggris menunjukkan masa peralihan dengan diikuti oleh perubahan fisiologis dan perkembangan psikologis, yakni antara usia 12-21 tahun. Masa remaja sendiri dikategorikan menjadi 3 tahap perkembangan (Gunarsa, 2003). 1. Masa Pra Pubertas (12-15 tahun) Merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju pubertas, di mana seorang anak telah tumbuh (puber : anak besar) dan ingin berlaku seperti orang dewasa. Pada masa ini terjadi kematangan seksual yang sesungguhnya, bersamaan dengan perkembangan fungsi psikologis. 2. Masa Pubertas (15-18 tahun) Pada masa ini seorang anak tidak lagi hanya bersifat reaktif tetapi juga mulai aktif melakukan kegiatan dalam rangka menemukan jati diri dan pedoman hidupannya. 3. Masa Adolenscen (18-21 tahun) Pada masa ini seseorang sudah dapat mengetahui kondisi dirinya, ia sudah mulai membuat rencana kehidupan serta mulai memilih dan menentukan jalan hidup yang akan ditempuhnya. Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu psikologis, biologis dan sosial ekonomi (Sarwono, 2003).

39

1. Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. 2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanakkanak menjadi dewasa. 3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Selanjutnya WHO (World Health Organization) memberikan batasan usia remaja antara 10-20 tahun, bila pada usia tersebut telah menikah maka masuk dalam kategori dewasa, sebaliknya bila pada usia 20 tahun masih bergantung pada orang tua, maka masih dikategorikan sebagai remaja. WHO juga membagi kurun usia remaja dalam dua bagian, yaitu remaja awal usia 10-15 tahun dan remaja akhir usia 15-20 tahun (Sarwono, 2003). 2.3.2. Perubahan Remaja Menurut BKKBN (1998) terdapat tiga perubahan dasar yang terjadi pada diri remaja, berupa perubahan jasmani, perubahan kejiwaan, dan perubahan tingkah laku. 1. Perubahan Jasmani Perubahan pada pria : a. Badan lebih berotot (terutama pada bahu dan dada) b. Pertumbuhan berat dan tinggi badan c. Suara lebih besar d. Tumbuh rambut disekitar alat kelamin, kaki, tangan, dada, ketiak dan wajah e. Buah zakar menjadi lebih besar dan kalau terangsang dapat ejakulasi f. Mengalami mimpi basah

40

Perubahan pada wanita : a. Tumbuh rambut di sekitar alat kelamin dan ketiak b. Payudara mulai membesar c. Panggul mulai membesar d. Mengalami haid untuk yang pertama kalinya 2. Perubahan Kejiwaan Timbul rasa tertarik pada lawan jenis, bagi remaja wanita ingin mempercantik diri, bagi remaja pria terdorong untuk menunjukkan kejantanannya. Perubahan kejiwaan lain yang remaja rasakan biasanya adalah tidak percaya diri (rendah diri, malu, cemas, dan bimbang) remaja menjadi salah tingkah saat menyukai lawan jenis. 3. Perubahan Tingkah Laku Pada usia remaja mereka akan lebih senang berkumpul di luar rumah, lebih sering membantu orang tua, ingin menonjolkan diri, kurang pertimbangan. Hal ini menyebabkan remaja mudah terpengaruh teman. Untuk remaja yang wanita, saat menjelang haid biasanya menjadi perasa, mudah sedih, marah, dan cemas tanpa alasan. 2.3.3. Kesehatan Reproduksi Remaja Secara sederhana reproduksi berasal dari kata re (kembali) dan production (menghasilkan), jadi reproduksi mempunyai arti suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup. Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran, dan sistem reproduksi.

41

Berdasarkan Konferensi Wanita ke IV di Beijing pada tahun 1995 serta Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994 disepakati 4 pokok hak reproduksi : 1. Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health) 2. Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making) 3. Kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women) 4. Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security) Selain itu juga disinggung hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, pengaturan jarak kelahiran, dan penentuan kelahiran (Widjanarko, 1999). Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat menyangkut sistem, fungsi, dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat ini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan, namun juga sehat secara mental dan sosio kultural. Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar tentang proses reproduksi dan berbagai faktor yang ada didalamnya. Dengan informasi yang benar diharapkan remaja memiliki sikap dan perilaku yang bertanggung jawab terhadap proses reproduksinya.

2.4. Psikologi Pendidikan Pengertian definitif psikologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dimensi psikis dari manusia dalam proses pembelajaran dan pemahaman. Definisi lain tentang psikologi pendidikan (educational psychology) diberikan oleh Witherington, yaitu studi sistematis tentang proses-proses dan

42

faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia. Selanjutnya Tardif menyatakan bahwa psikologi pendidikan merupakan suatu studi yang

berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk usaha-usaha kependidikan, dengan 3 ruang lingkup (Suryabrata, 1989). a. Context Teaching and Learning b. Process Teaching and Learning c. Outcomes Teaching and Learning 2.4.1. Fungsi Ingatan Salah satu area yang menjadi bahasan dalam psikologi pendidikan adalah fungsi ingatan manusia. Secara teoritis dapat dibedakan tiga aspek yang bekerja dalam berfungsinya ingatan manusia (Suryabrata, 1989).

menerima kesan

mereproduksi kesan

Human Brain

menyimpan Gambar 2.2. Proses Fungsi Ingatan Manusia kesan 1. Menerima Kesan Menerima semua bentuk kesan atau informasi melalui panca indera baik itu disengaja ataupun tidak. 2. Menyimpan Kesan a. Menyimpan dengan kehendak Menyimpan informasi yang dikehendaki, atau dengan sungguh-sungguh mencamkan kesan yang telah diterima.

43

b. Menyimpan tanpa kehendak Menyimpan informasi tanpa dikehendaki, atau secara tidak disadari mencamkan kesan yang telah diterima. 3. Mereproduksi Kesan Mengeluarkan kesan atau informasi yang telah disimpan dalam ingatan baik secara utuh, berkurang, ataupun dengan penambahan. 2.4.2. Proses Belajar Menurut Guthrie (1948) belajar memang merupakan sifat kodrati dari manusia. Berbagai jenis aktifitas manusia dapat diasosiasikan sebagai proses belajar, seperti menghafal, menerima hal (informasi) baru, memahami dan memaknai sesuatu, menekuni hobby dan kegemaran, bahkan berprasangka dan menuduh juga dikatakan sebagai proses belajar. Berdasarkan pemahaman ini maka konsepsi mengenai belajar menjadi perhatian sentral dalam psikologi pendidikan (Dahar, 1989). Banyak sekali definisi yang diberikan oleh ahli dari berbagai disiplin ilmu tentang belajar. Cronbach (1954) mengatakan learning is to observe, to read, to imitate, to try something themeselves, to listen, and to follow direction. Sementara Geoh (1958) mengatakan learning is a change in performance as a result of practice. Definisi lain diberikan oleh Hilgard (1948) yang menyebutkan learning is the process by which an activity originates or is changed trough training procedures (whether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from change by factors not attributable to training. Dari beberapa definisi yang dipaparkan oleh ahli-ahli dengan latar belakang yang berbeda, dapat ditarik tiga prinsip pokok tentang belajar.

44

1. Belajar dapat membawa perubahan pada individu baik secara aktual maupun potensial. 2. Perubahan yang didapatkan dari belajar adalah kecakapan (pengertian, pemahaman, dan keahlian) baru. 3. Perubahan yang didapatkan dari proses belajar terjadi karena usaha, baik itu disengaja ataupun tidak. Pada tahun 1962 seorang ahli psikologi sekaligus ahli matematika berkebangsaan Jerman, Herbart memberikan konsepsi mengenai proses

pembelajaran dengan berdasar pada asumsi matematis. Konsepsi tersebut selanjutnya dikenal dengan nama teori kesan. Menurutnya kesadaran manusia berisikan kesan-kesan yang ditangkap melalui panca indera baik disengaja ataupun tidak. Keberdaan dari kesan-kesan tersebut tidak selalu kita sadari, ada kalanya kesan-kesan tersebut hanya sedikit dan tersimpan di bawah alam sadar manusia. Tetapi kesan-kesan yang berada di bawah alam sadar ini tidaklah hilang, melainkan bersifat laten dan memiliki potensi untuk muncul kembali di alam sadar kita. Tiap kesan yang berada dalam alam sadar kita memiliki kekuatan yang berbeda, semakin kuat kesan maka semakin besar perannya dalam menentukan tingkah laku manusia (Dahar, 1989). Kekuatan dari kesan-kesan ini diperhitungkan secara matematis oleh Herbart, dan potensinya bergantung dua hal. 1. Jelas atau tidaknya kesan yang pertama kali diterima oleh kesadaran. Semakin jelas suatu kesan yang diterima maka semakin kuat berada dalam alam sadar manusia begitu juga sebaliknya.

45

2. Frekwensi dari kesan yang diterima dalam kesadaran manusia. Semakin sering suatu kesan masuk dalam kesadaran maka semakin kuat kesan tersebut berada dalam alam sadar manusia dan begitu juga sebaliknya.

2.5. Perubahan Perilaku Terdapat tiga proses perubahan perilaku yang dimulai dengan perubahan pengetahuan (kognitif) kemudian diikuti oleh perubahan sikap (afektif) dan yang terakhir adalah perubahan perilaku (psikomotor), ketiganya disingkat menjadi KAP. Juga dikenal sebagai fungsi domain perilaku KAP - B (Knowledge Attitude Practice - Behavior). Tokoh psikologi sosial Festinger (1957) mengemukakan tentang Cognitive Dissonance Theory. Dissonance terjadi karena dalam diri individu terdapat elemen kognisi yang saling bertentangan. Yang dimaksud elemen kognisi adalah pengetahuan, pendapat, dan keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu obyek atau stimulus yang memunculkan pendapat atau keyakinan yang berbeda dan saling bertentangan dalam diri individu sendiri, maka terjadilah dissonance (ketidakseimbangan). Melalui penyesuaian elemen kognitif, pertentangan dalam diri individu dapat dikurangi sehingga tercapailah consonance (keseimbangan), dengan tercapainya keseimbangan kembali ini menunjukkan adanya perubahan sikap yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku (Notoatmodjo, 2003). 2.5.1. Pengetahuan Pengetahuan merupakan salah satu komponen utama yang membentuk perilaku manusia. Pengetahuan merupakan keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dengan segala isinya

46

termasuk kehidupannya. Pengetahuan merupakan hasil dari proses penginderaan terhadap sutu obyek, khususnya penglihatan dan pendengaran. Menurut Bloom (1979) domain pengetahuan memiliki enam tingkatan, yaitu : 1. Tahu (to know), yaitu kemampuan untuk mengingat kembali materi pelajaran yang pernah diajarkan. 2. Pemahaman (comprehension), yaitu kemampuan untuk menjelaskan secara benar obyek yang diketahui serta dapat mengimplementasikannya. 3. Penerapan (application), yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari dalam suatu kondisi yang nyata. 4. Analisis (analyze), yaitu kemampuan untuk menjabarkan materi yang didapat dalam komponen yang lebih kecil namun tetap sebagai kesatuan yang utuh. 5. Sintesis (synthesize), yaitu kemampuan untuk merangkai komponen yang ada menjadi suatu entitas baru, atau kemampuan untuk menyusun formulasi. 6. Evaluasi (evaluation), yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau obyek dengan menggunakan kriteria tertentu. 2.5.2. Sikap Secara historis istilah sikap (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer tahun 1862, yang diartikan sebagai status mental seseorang. Sejumlah ahli psikologi seperti Louis Thurstone, Rensis Likert, Charles Osgood menyatakan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan yang mana dapat memihak (favorable) maupun tidak memihak (unfavorable) pada suatu obyek tertentu. Sedangkan kelompok ahli psikologi sosial seperti Chave, Bogardus, La Pierre, Mead, dan Gordon Allport menganggap sikap sebagai kesiapan (kecenderungan potensial) untuk bereaksi pada suatu obyek dengan cara-

47

cara tertentu. Selanjutnya La Pierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, dan predisposisi untuk menyesuaikan dengan situasi sosial, atau secara sederhana sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan (Azwar, 1995). Kelompok ahli lain yang berorientasi pada triadic scheme menganggap sikap sebagai konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami dan merasakan suatu obyek. Secord dan Backman mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek tertentu. Komponen kognitif berkaitan dengan kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sesuatu yang telah diyakini akan menjadi suatu stereotipe pada individu tersebut, sehingga pikirannya selalu terpola. Misalnya, bila individu percaya bahwa prostitusi adalah sesuatu yang buruk maka kepercayaan tersebut akan selalu terpola pada pikirannya. Komponen afektif menunjuk pada perasaan emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek. Sedangkan komponen konatif merupakan struktur sikap yang menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang dikaitkan dengan obyek sikap yang dihadapinya (Azwar, 1995). Muchielli menggambarkan sikap sebagai suatu kecenderungan mental atau perasaan yang relatif tetap terhadap suatu kategori obyek, orang, atau situasi tertentu. Recht menyatakan bahwa sikap menggambarkan kumpulan kepercayaan yang selalu memasukan aspek penilaian, artinya sikap selalu dapat ditafsirkan sebagai baik dan buruk atau positif dan negatif (Green, 1980).

48

2.5.3. Perilaku Perilaku adalah suatu tindakan yang dilakukan seseorang berdasarkan atas keinginan yang dalam pelaksanaannya dibatasi oleh norma dan nilai yang ada di masyarakat. Perilaku merupakan wujud dari pemahaman seseorang mengenai suatu hal yang dinyatakan dalam bentuk perbuatan. Bentuk perilaku bisa dinilai secara positif atau negatif tergantung pada standar nilai yang berlaku pada saat itu (Notoatmodjo, 2003). Selanjutnya perilaku secara lebih operasional dapat diartikan sebagai respon organisme (individu) terhadap rangsangan atau stimulus. Respon ini sendiri terbagi menjadi 2 kategori. 1. Respon Pasif Merupakan respon internal yang terjadi di dalam diri individu yang tidak dapat terlihat secara langsung, misalnya berfikir, persepsi, dan sikap yang masih terselubung (covert behavior). 2. Respon Aktif Bentuk respon yang dapat dilihat atau diobservasi secara langsung, berupa tindakan nyata (overt behavior).

2.6. Promosi dan Pendidikan Kesehatan 2.6.1. Promosi Kesehatan Pengertian promosi kesehatan (health promotion) didefinisikan secara berbeda pendidikan kesehatan (health education). Menurut dokumen Healthy People promosi kesehatan didefinisikan sebagai life style improvements of essentially health people. Definisi ini sejalan dengan konsep promosi kesehatan

49

yang berfokus pada upaya untuk mendapatkan keadaan yang lebih sehat. Jhonson mendefinisikan promosi kesehatan sebagai perpaduan dari aspek pendidikan, organisasi, ekonomi, dan lingkungan yang mampu mendukung perilaku kondusif dalam meningkatkan derajat kesehatan (Simon Morton et al, 1995). Promosi kesehatan tidak saja menjadikan individu sebagai target tunggal, keluarga, masyarakat, badan-badan swasta, dan pemerintah juga dipandang sebagai kelompok yang perlu diberikan program promosi kesehatan. Hal ini identik dengan definisi promosi kesehatan yang diberikan oleh Krueter dan Dwore bahwa promosi kesehatan adalah proses untuk meningkatkan kesehatan sehingga memperluas kemungkinan bagi setiap pribadi (individu, keluarga, dan masyarakat), sektor swasta (para profesional dan dunia usaha), serta publik (negara dan daerah) dalam mendukung praktek kesehatan yang positif sehingga menjadi tata nilai dan budaya baru (Simon Morton et al, 1995). 2.6.2. Pendidikan Kesehatan Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan ini terkandung 3 komponen pendidikan. a. Input atau sasaran pendidikan b. Proses atau upaya yang dilakukan dalam mendidik c. Output atau hasil yang diharapkan Pendidikan kesehatan sendiri didefinisikan secara berbeda oleh beberapa ahli. Menurut Nyswander (1967), pendidikan kesehatan dipandang sebagai proses pengembangan individu dengan cara merubah perilaku atau sikap menjadi

50

kebiasaan yang sehat sebagai akibat dari pengalaman yang diperolehnya. Definisi pendidikan kesehatan lain juga dikemukakan oleh Griffits (1972), yaitu upaya untuk menghilangkan kesenjagan antara apa yang diketahui tentang praktek kesehatan yang optiman dengan apa yang sesungguhnya dilakukan. Tujuan pendidikan kesehatan tidak selalu dapat dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat. Adanya kesenjangan antara informasi kesehatan dengan kenyataan kesehatan yang ada pada masyarakat menjadi dasar bagi President Committee of Health Education dalam pernyataannya, bahwa pendidikan kesehatan adalah proses yang menjembatani antara informasi kesehatan dengan praktek-praktek hidup sehat dalam masyarakat. Selain itu makin meningkatnya kompleksitas permasalahan kesehatan, menjadi dasar bagi Joint Committee on Health Terminology dalam mengembangkan definisi pendidikan kesehatan sebagai penggunaan dari berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan rencana, implementasi dan evaluasi terhadap program pendidikan kesehatan yang mampu memberdayakan individu, keluarga, kelompok, organisasi, masyarakat untuk memainkan peran aktif dalam mendapat, menjaga dan mempertahankan kesehatan (Simon Morton et al, 1995).

2.7. Komunikasi 2.7.1. Dasar Komunikasi Komunikasi pada prinsipnya adalah aktivitas pertukaran ide atau gagasan. Secara sederhana komunikasi dipahami sebagai kegiatan penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak lain, dengan tujuan untuk mencapai kesamaan pandangan atas pesan yang dipertukarkan tersebut.

51

Tiga elemen dasar yang terdapat dalam preoses komunikasi adalah komunikator, pesan, dan komunikan, dan elemen lain yang sering menjadi bagian dalam proses komunikasi adalah media dan umpan balik (Soehoet, 2003). 1. Komunikator Pemberi pesan baik itu individual, kelompok, atau lembaga organisasi. 2. Pesan Materi atau gagasan yang dikomunikasikan antar pihak yang terlibat dalam proses komunikasi, baik berbentuk verbal, non verbal, atau paralinguistik. 3. Media Sarana atau instrumen pengirim pesan dari komunikator pada komunikan. 4. Komunikan Sasaran dari komunikasi, bisa individu, kelompok, atau lembaga organisasi. 5. Umpan Balik Tanggapan (feedback) atas pesan oleh komunikan kepada komunikator baik itu positif maupun negatif. Menurut tujuannya komunikasi dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu komunikasi informatif, komunikasi instruksional, komunikasi persuasif, dan komunikasi hiburan (Soehoet, 2003). 1. Komunikasi Informatif Komunikasi informatif adalah jenis komunikasi yang bertujuan memberikan informasi atau penjelasan. Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan agar komunikasi informatif ini dapat berhasil, yaitu menarik perhatian komunikan, mengusahakan agar komunikan bersedia menerima pesan, serta mengupayakan agar komunikan bersedia menyimpan pesan.

52

2. Komunikasi Intruksional Komunikasi yang terjadi dalam proses belajar mengajar. Tahapan penerimaan pesan sama dengan yang terjadi pada komunikasi informatif, tetapi di sini tingkat efektifitasnya lebih tinggi karena terdapat kontrak antar komunikator dengan komunikan. 3. Komunikasi Persuasif Tahapan penyampaian pesan sama dengan komunikasi informatif tetapi tujuan komunikasi jenis ini lebih jauh lagi, yaitu mengajak komunikan untuk bertindak sesuai dengan isi pesan. Komunikan diberikan pandangan baru lalu diajak meneliti kembali kerangka acuan tindakan dan pola perilakunya selama ini, pada akhirnya dipengaruhi untuk merubah kerangka acuan tindakan dan pola perilakunya sesuai dengan yang dikehendaki komunikator. 4. Komunikasi Hiburan Komunikasi ini bertujuan untuk menghibur. Meskipun tahapan prosesnya sama dengan jenis komunikasi lainnya, namun pencapaian tujuannya lebih ringan, karena tidak perlu mengubah pandangan ataupun tindakan komunikan. Faktor situasi menjadi kunci keberhasilan dalam komunikasi jenis ini. Straubharr mengatakan, bahwa komunikasi kekinian adalah komunikasi yang termediasi oleh berbagai bentuk media baru. Media baru ini adalah bentuk mass media dengan perubahan konsep yang mengikuti perkembangan teknologi digital. Tumbuhnya media komunikasi baru ini juga diikuti oleh meningkatnya konsumsi informasi oleh masyarakat (Mufid, 2005). Proses perkembangan komunikasi pada periode ini secara umum diikuti oleh beberapa perubahan sudut pandang komunikasi.

53

1. Dari orientasi terhadap pesan menjadi orientasi terhadap penerima 2. Dari satu arah menjadi bolak-balik dan berputar (circular) 3. Dari statis menjadi process oriented 4. Dari penekanan makna informasi menjadi penekanan interpretasi informasi 5. Dari personal menjadi konteks hubungan organisasi, masyarakat, dan media 2.7.2. Model Komunikasi Shannon Weaver Claude E. Shannon (1949) mengutarakan tentang Mathematical Theory of Communication. Yang menjadi fokus perhatian pada teori ini adalah prinsip transmisi informasi. ...that of reproducing at one point either exactly or approximity a message selected at another point... (Yearry, 2008 online). Teori Shannon pada dasarnya adalah pendekatan teknis matematis terhadap proses komunikasi. Shannon menggambarkan komunikasi dalam perspektif matematis bagaimana sebuah pesan mampu terkirimkan dari komunikator kepada komunikan. Sistem komunikasi yang ditawarkan dianalogikan sebagai sebuah mesin, di mana komunikasi manusia dianggap bekerja dengan cara yang sama. Warren Weaver (1949) menjelasan proses komunikasi dalam asumsi bahwa ide yang ada di dalam benak komunikator (source) pada mulanya diubah menjadi separangkat kode tertentu (decode). Ide ini diubah menjadi seperangkat sinyal (signal) yang dikirim melalui pengirim sinyal (transmiter). Sinyal tersebut bisa berupa suara melalui mulut kita, tulisan melalui surat, pesan singkat melalui SMS, atau teks berita yang dituliskan pada surat kabar. ...in oral speech the information source is the brain, the transmitter is the voice mechanism producing the varying air pressure (signal) which is ttransmitted through the air (channel)... (Yearry, 2008 online).

54

Sinyal dikirimkan kepada komunikan (destination) dan kemudian ditangkap oleh receiver yang dimiliki oleh komunikan. Bila suara atau kata-kata yang disampaikan oleh komunikator ditangkap oleh telinga komunikan, maka telinga adalah receiver bagi komunikan. Receiver inilah yang bertugas untuk mengolah kembali (encode) sinyal suara menjadi seperangkat ide yang akan dipersepsikan oleh komunikan (Yearry, 2008 online).
message Information Source transmitted signal Transmitter received signal Receiver message

Destination

penyandian pesan Noise Source

penginterpretasian pesan

Gambar 2.3. Model Komunikasi Shannon Weaver Model komunikasi matematikal dikenal juga dengan nama model komunikasi Shannon Weaver yang muncul pada tahun 1949 sebagai perpaduan gagasan Claude E. Shannon dan Warren Weaver. Pada tahun 1948 Shannon mengetengahkan teori matematik dalam komunikasi permesinan (engineering communication), yang kemudian bersama Weaver pada tahun 1949 diterapkan pada proses komunikasi manusia (human communication). Kajian utamanya adalah bagaimana menentukan saluran (channel) komunikasi yang dapat digunakan secara lebih efisien. Latar belakang keahlian teknik matematis tampak dalam penekanan teori ini. Faktor utama dalam keberhasilan komunikasi adalah bukan pada pesan atau makna yang disampaikan (mazhab semiotika), tetapi lebih pada jumlah sinyal yang diterima dalam proses transmisi pesan (Arni, 1995).

55

1. Sumber Informasi (Information Source) Dalam komunikasi manusia yang menjadi sumber informasi adalah otak. Pada otak terdapat kemungkinan pesan yang tidak terbatas jumlahnya. Tugas utama dari otak adalah menghasilkan suatu pesan atau suatu set kecil pesan dari berjuta-juta pesan yang ada. 2. Pengirim Sinyal (Transmitter) Bentuk transmitter tergantung pada jenis komunikasi yang digunakan. Pada komunikasi tatap muka yang menjadi transmitter adalah organ pembentuk suara dan dihubungkan dengan otot serta organ tubuh lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa non verbal, sedangkan pada bentuk komunikasi yang menggunakan mesin, alat komunikasi yang berfungsi sebagai transmitter adalah telepon, radio, televisi, foto, dan lain sebagainya. 3. Penyandian Pesan (Encoding) Penyandian pesan (encoding) digunakan untuk mengubah pesan ke dalam suatu sandi yang cocok dengan transmitter. Dalam komunikasi tatap muka sinyal yang cocok dengan organ suara adalah kata-kata. Sinyal yang cocok dengan otot tubuh dan indera adalah anggukan kepala, sentuhan, gerak tubuh, serta kontak mata. Pada komunikasi yang menggunakan mesin terdapat alat yang digunakan sebagai perluasan dari indera, penyandian pesan yang berasal dari tubuh diperluas dengan transmitter. Misalnya radio yang merupakan perluasan dari suara atau televisi yang merupakan perluasan dari mata. 4. Penerima Sinyal (Receiver) Pada proses komunikasi tatap muka transmitter menyandikan pesan dengan menggunakan organ suara dan otot tubuh. Penerima (receiver) dalam hal ini

56

adalah organ tubuh yang sanggup menangkap sinyal, misalnya telinga menerima sandi pembicaraan, sementara mata menerima sandi gerakan badan, kepala, dan sinyal lain yang dapat ditangkap mata. 5. Penginterpretasian Pesan (Decoding) Istilah penginterpretasian pesan (decoding) berlawanan dengan istilah penyandian pesan (encoding). Penerima pesan yang telah menerima sinyal melalui pendengaran, penglihatan, dan sebagainya akan menguraikan sinyal tersebut dan diinterpretasikan oleh otak. 6. Tujuan (Destination) Komponen terakhir adalah tujuan (destination). Destination ini adalah otak manusia yang menerima pesan berupa, ingatan, ide, gagasan, atau pemikiran mengenai makna pesan. 7. Sumber Gangguan (Noise) Noise merupakan faktor yang dapat mengganggu transmisi sinyal dari transmitter ke receiver. Misalnya saat berbicara dengan seseorang terdengar suara mobil dapat mengganggu pembicaraan. Gangguan dalam proses komunikasi dapat dikurangi atau dinetralkan. Untuk menetralkan gangguan ini terdapat 4 teknik, yaitu : a. Menambah kekuatan sinyal b. Mengatur dan mengarahkan sinyal secara tepat c. Menggunakan bantuan sinyal lain d. Redudansi untuk memperjelas sinyal Model komunikasi matematikal juga menjelaskan tentang bagaimana kita dapat melakukan semacam prediksi terhadap tindakan komunikasi. Sebagai

57

contoh, ketika komunikator mengirimkan pesan kepada komunikan berupa pesan sudah makan belum...? menurut teori ini dapat diprediksi respon apa atau informasi apa yang bisa kita dapatkan dari komunikan atas pesan tersebut. Kita dapat memprediksi bahwa ada 50 persen kemungkinan jawaban sudah dan 50 persen kemungkinan muncul jawaban belum dari komunikan. Maka teori ini melihat bahwa komunikasi pada hakikatnya dapat dikalkulasikan dan dilihat sebagai proses matematis (Fikse, 1999). Jika Claude Shannon hanya memfokuskan diri pada perihal seberapa akurat pesan mampu terkirimkan, maka Weaver menjadikan cakupan teori ini menjadi lebih luas. Hingga kemudian teori ini manpu membahas dimensi semantik dan efektifitas dalam praktek komunikasi. Perspektif teori ini menjadi landasan yang kuat bagi perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri dan semakin mempertegas peran paradigma komunikasi sebagai alat transmisi ide (Fikse, 1999). Warren Weaver melakukan interpretasi terhadap teori Shannon dengan mengajukan konsep tiga level communication problem atau hambatan dalam proses komunikasi. 1. Bagaimana akurat pesan komunikasi dapat ditransmisikan 2. Seberapa tepat pesan yang ditransmisikan mampu mendekati makna yang diinginkan 3. Seberapa efektif pesan yang tersampaikan mempengaruhi tindakan yang diinginkan Komunikasi dikaji melalui pendekatan ilmu eksakta, dengan menganggap bahwa efektifitas komunikasi dapat dihitung dan diukur secara matematis maka komunikasi dapat dipakai sebagai alat kontrol. Karena pesan komunikasi dapat

58

didesain dan diukur efektifitasnya maka dalam perspektif propaganda, komunikasi bisa digunakan sebagai alat manipulasi. Komunikasi dapat mempengaruhi pemikiran dan membentuk nilai orang lain sesuai dengan apa yang diharapkan, dan dijadikan alat penyampai pesan yang efektif guna mencapai tujuan tertentu sebagaimana diinginkan oleh pelaku komunikasi. Mathematical Theory of Communication dari Shannon Weaver memberikan landasan dasar dalam sudut pandang transmisi informasi ini (Fikse, 1999). 2.7.3. Komunikasi Kesehatan Komunikasi kesehatan adalah usaha yang sistematis untuk mempengaruhi secara positif perilaku sasaran dengan menggunakan berbagai prinsip dan metode komunikasi, baik komunikasi interpersonal maupun komunikasi masa. Tujuan utama komunikasi kesehatan adalah perubahan cara pandang dan perilaku kesehatan masyarakat. Selanjutnya dengan perubahan perilaku masyarakat yang lebih sehat akan berpengaruh kepada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Notoatmodjo, 2003). 2.7.4. Media Komunikasi Media komunikasi adalah instrumen perantara dalam proses penyampaian isi pernyataan (message) dari komunikator sampai kepada komunikan atau proses penyampaian umpan balik (feedback) dari komunikan sampai kepada

komunikator (Hamzah, 1991). 1. Media Audio Media audio adalah instrumen yang dapat menghasilkan bunyi atau suara. Jadi penyampaian informasi dari seorang komunikan kepada komunikator melalui media yang hanya dapat ditangkap melalui indera pendengaran.

59

2. Media Visual Media visual yaitu intrumen yang dapat memperlihatkan bentuk visualisasi dari obyek, yang kita kenal sebagai alat peraga. Instrumen visual atau alat-alat peraga ini terbagi atas : a. Alat visual dua dimensi pada bidang yang tidak transparan, seperti gambar di atas kertas, gambar yang diproyeksikan dengan opaque projector, lembar balik, grafik, diagram, bagan, poster, gambar hasil cetak saring, dan foto. b. Alat visual dua dimensi pada bidang yang transparan, seperti slide, film strip, lembaran transparan untuk overhead projector. c. Alat visual tiga dimensi. Disebut tiga dimensi karena mempunyai ukuran panjang, lebar dan tinggi, seperti model, contoh barang atau specimen, dan alat tiruan sederhana atau mockup. 3. Media Audio Visual Media audio visual adalah instrumen yang dapt didengar (audible) dan dapat dilihat (visible). Jadi media audio visual adalah suatu media yang digunakan oleh komunikator pada komunikan dalam penyampaian pesan dalam bentuk gambar dan suara. Kriteria media promosi kesehatan yang efektif diantaranya adalah mudah diperoleh bahan pembuatannya, murah karena hanya membutuhkan biaya yang kecil, mampu menarik dan merangsang perhatian sasaran, desain pesan informatif dan tidak bermakna ganda, efektif dan berdayaguna bagi sasaran, mampu mendorong sasaran untuk belajar secara lebih positif, tepat waktu dan aktual dalam penyampaian, serta sesuai dengan kebututuhan sasaran (Soehoet, 2003).

60

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual Penelitian

Predisposing Factors Karakteristik Personal Siswa karakteristik fisik nilai dan keyakinan dimensi kejiwaan Knowledge

Enabling Factors Kondisi Lingkungan Fisik Siswa kondisi lingkungan sekitar ketersediaan fasilitas kesehatan kondisi sosial ekonomi

Reinforcing Factors Kondisi Lingkungan Sosial Siswa pengaruh pergaulan sistem nilai masyarakat dukungan sosial paparan media peran promkes peraturan kebijakan

Intervention Informasi Kesehatan Tentang Aborsi (Desain SMS)

Pe ng gu na an S M S Pa da Sel ule r

Attitude Sikap Terhadap Aborsi

Practice Tindakan Aborsi

Behavior Perilaku Aborsi

diteliti tidak diteliti

Bagan 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian

61

Kerangka konseptual penelitian berjudul Pemanfaatan SMS pada Seluler sebagai Media Promosi Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Perubahan Sikap Remaja mengenai Aborsi (Studi di SMP Negeri 26 Surabaya) ini didesain dengan mengadopsi model teori perilaku dari Lawrence W. Green (Predisposing, Enabling, and Reinforcing Factors) yang dikombinasikan dengan domain perilaku KAP - B (Knowldge Attitude Practice - Behavior). 1. Lawrence W. Green a. Predisposing Factors Faktor pendorong yang melekat pada diri siswa dan berpotensi untuk membentuk perilaku tertentu terkait masalah aborsi. b. Enabling Factors Faktor pendukung yang memungkinkan siswa untuk berperilaku tertentu terkait masalah aborsi. c. Reinforcing Factors Faktor yang mampu memperkuat siswa untuk berperilaku tertentu terkait masalah aborsi. 2. Domain Perilaku KAP - B a. Knowledge b. Attitude c. Practice d. Behavior : Pengetahuan tentang aborsi : Sikap terhadap aborsi : Tindakan terkait aborsi : Perilaku aborsi

Tidak semua variabel yang terdapat dalam kerangka konseptual penelitian ikut diteliti, namun dibatasi pada pengukuran perubahan tingkat pengetahuan dan perubahan sikap siswa (SMPN 26 Surabaya) terkait masalah aborsi setelah

62

dilakukan intervensi. Intervensi di sini berupa pemberian informasi kesehatan tentang aborsi yang didesain dan disampaikan melalui penggunaan fasilitas SMS pada seluler sebagai media promosi kesehatan. Penelitian mengenai pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan ini sendiri merupakan pilot research di mana untuk penelitian sejenis khususnya pada bidang ilmu kesehatan masyarakat belum pernah dilakukan, karena itu diberikan beberapa batasan : 1. Penelitian ditujukan untuk mengetahui sejauh mana efektifitas SMS sebagai media promosi kesehatan akan sanggup mempengaruhi perubahan pengetahuan dan sikap sasaran terkait masalah aborsi. 2. Efektifitas pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan diukur melalui metode komparasi hasil pretest posttest sebelum dan sesudah intervensi. 3. Peneliti di samping berlaku sebagai provider kesehatan juga bertindak sebagai provider pengiriman pesan SMS. 4. Kontrol penerimaan pesan SMS aborsi pada sasaran dilakukan hanya melalui laporan messasge status yang terdapat pada seluler. 5. Desain pesan kesehatan melalui media SMS merupakan sebuah desain yang relatif baru, dengan keterbatasan kemampuan media SMS terutama untuk menampung informasi dengan deskripsi yang panjang. 6. Diasumsikan tidak semua sasaran memiliki zero knowledge mengenai informasi aborsi, tidak semua sasaran memiliki keterkaitan langsung terhadap informasi aborsi, sasaran telah memiliki informasi aborsi dalam tingkatan tertentu sebelumnya, dan sasaran mampu secara aktif untuk mencari informasi aborsi melalui sumber atau media lain.

63

7. Bentuk intervensi melalui media SMS ini bersifat satu arah dan tidak membutuhkan feedback langsung. Namun lebih ditujukan pada pencapaian outcomes berupa peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap.

3.2. Hipotesis Penelitian Hipotesis pada studi penelitian berjudul Pemanfaatan SMS pada Seluler sebagai Media Promosi Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Perubahan Sikap Remaja mengenai Aborsi (Studi di SMP Negeri 26 Surabaya) ini adalah sebagai berikut : 1. Pemanfaatan SMS pada seluler sebagai media promosi kesehatan mampu secara efektif meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa SMPN 26 Surabaya terkait masalah aborsi. 2. Pemanfaatan SMS pada seluler sebagai media promosi kesehatan mampu secara efektif mempengaruhi perubahan sikap secara positif (tidak mendukung) bagi siswa SMPN 26 Surabaya terkait masalah aborsi.

64

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1. Rancang Bangun Penelitian Penelitian berjudul Pemanfaatan SMS pada Seluler sebagai Media Promosi Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Perubahan Sikap Remaja mengenai Aborsi (Studi di SMP Negeri 26 Surabaya) ini merupakan penelitian quasi experimental dengan rancangan randomized pretest posttest with control group (quantitative study). Interventio Pretest Experiment Group Control Group X X n Xi Posttest X X

Bagan 4.1. Rancang Bangun Penelitian Sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, maka pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan instrumen kuesioner tertutup (pretest posttest) untuk mengukur tingkat pengetahuan dan sikap siswa (responden) sebelum dan sesudah perlakuan. Selain itu untuk memperoleh informasi lain sebagai penunjang hasil penelitian juga dilakukan FGD (Focus Group Discussion) dan indepth interview, yang digunakan untuk : 1. Mengidentifikasi program kesehatan dan penggunaan media promosi kesehatan konvensional mengenai aborsi yang telah sampai pada siswa selaku informan penelitian (indepth interview).

65

2. Mengeksplorasi lebih dalam pendapat dan pandangan siswa (informan) mengenai hal-hal yang terkait dengan aborsi (indepth interview). 3. Mengeksplorasi lebih dalam tanggapan siswa (informan) terhadap penggunaan SMS pada seluler sebagai media promosi kesehatan khususnya aborsi (FGD). Secara operasional tahapan-tahapan dalam desain penelitian quasi experimental ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Experiment Group

Siswa Kelas VIII SMPN 26 dan SMPN 20 Surabaya

Kelas VIII SMPN 26

Kelas VIII SMPN 20

Control Group

Pretest

Pretest

Dengan Perlakuan

Tanpa Perlakuan

Posttest

Posttest

Bagan 4.2. Desain Penelitian Keterangan : Analisis Hasil Pretest Posttest

1. Sasaran penelitian adalah siswa kelas VIII SMPN 26 Surabaya (experiment group) dan siswa kelas VIII SMPN 20 Surabaya (control group).

66

2. Pada kelompok eksperimen maupun kontrol dilakukan pretest untuk mengukur pengetahuan dan sikap sebelum perlakuan. 3. Siswa kelas VIII SMPN 26 sebagai kelompok eksperimen diberikan perlakuan (intervensi) dengan menggunakan pesan media SMS, sedangkan siswa kelas VIII SMPN 20 sebagai kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan. 4. Dilakukan posttest pada ke dua kelompok baik eksperimen maupun kontrol untuk mengukur pengetahuan dan sikap setelah perlakuan. 5. Dilakukan analisis data hasil pretest posttest untuk ke dua kelompok, siswa SMPN 26 Surabaya (experiment group) dan siswa SMPN 20 Surabaya (control group) dengan menggunakan uji statistik (komparasi).

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian : SMPN 26 Surabaya, Raya Banjarsugihan 21 Surabaya (Eksperimen) SMPN 20 Surabaya, Dukuh Kapasan I Sambikerep Surabaya (Kontrol) 2. Waktu Penelitian : Periode bulan Juni 2009 s/d Juli 2009

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian Populasi pada studi penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMP Negeri 26 Surabaya yang berjumlah 358 siswa dan siswa kelas VIII SMP Negeri 20 Surabaya yang berjumlah 278 siswa baik laki-laki maupun perempuan, tahun ajaran 2008/2009.

67

4.3.2. Sampel Penelitian Menurut Gay, jumlah sampel minimum yang dapat diterima untuk studi penelitian eksperimental sederhana dengan subyek manusia adalah 15 sampai dengan 30 subyek per kelompok, yang disesuaikan dengan tujuan dan maksud penelitian (Wijono, 2007). Berdasarkan pendapat tersebut serta disesuaikan dengan tujuan penelitian maka penentuan besar sampel dan pemilihan unit sampel untuk setiap kelompok ditetapkan sebesar 30 sampel, dipilih menggunakan teknik random sampling pada masing-masing populasi dengan kriteria inklusi berupa pertimbangan kepemilikan handphone secara pribadi yang digunakan dalam keseharian siswa. a. 30 siswa sebagai responden kelompok eksperimen yang dipilih secara random dari 284 siswa (79,3%) yang menggunakan handphone, pada total 358 siswa kelas VIII SMPN 26 Surabaya. b. 30 siswa sebagai responden kelompok komtrol yang dipilih secara random dari 215 siswa (77,4%) yang menggunakan handphone, pada total 278 siswa kelas VIII SMPN 20 Surabaya. Informan indepth interview dan FGD dipilih berdasarkan nilai hasil pretest posttest, dengan kriteria siswa yang memperoleh nilai terendah, nilai tertinggi, dan siswa dengan selisih nilai pretest posttest terbesar untuk variabel pengetahuan. a. Siswa sebagai informan indepth interview merupakan siswa dari kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Jumlah informan disesuaikan hingga informasi yang diperlukan terpenuhi.

68

b. Siswa sebagai informan FGD (Focus Group Discussion), yaitu 6 informan yang kesemuanya merupakan siswa dari kelompok eksperimen. 4.4. Variabel Penelitian Dalam penelitian quasi experimental ini terdapat dua variabel yang terbagi sebagai dependent variable dan independent variable. 1. Variabel Bebas 2. Variabel Terikat : : Media Seluler (SMS) Pengetahuan dan sikap terkait aborsi

4.5. Definisi Operasional Tabel 4.1. Definisi Operasional Penelitian


No. 1. Variabel Pengetahuan Definisi Pengukuran Skala Ratio Kriteria 25 soal dengan nilai 4 untuk jawaban benar dan nilai 0 untuk jawaban salah : - Baik nilai 76 - Cukup nilai 51 s/d 75 - Buruk nilai 50 20 pertanyaan menggunakan Likert Scale : 8 favorable 4 = SS 3 = S 2 = TS 1 = STS 12 unfavorable 1 = SS 2 = S 3 = TS 4 = STS - Anti aborsi Pengetahuan Multiple atau pemahaman Choices responden Questioner mengenai aborsi

2.

Sikap

Kecenderungan atau pandangan responden terhadap aborsi

Multiple Choices Questioner

Ratio

69

nilai 61 - Ambivalent nilai 31 s/d 60 - Pro aborsi nilai 30 No. 3. Variabel Perubahan tingkat pengetahuan Definisi Perubahan tingkat pengetahuan responden mengenai aborsi yang diukur melalui perbedaan hasil pretest dan posttest Perubahan sikap responden terhadap aborsi yang diukur melalui perbedaan hasil pretest dan posttest Pengukuran Multiple Choices Questioner Skala Ordinal Kriteria Selisih hasil pretest dan posttest : - Naik bila pre < post - Tetap bila pre = post - Turun bila pre > post Selisih hasil pretest dan posttest : - Berubah (+) bila pre < post - Tetap bila pre = post - Berubah (-) bila pre > post Dikatakan efektif bila setelah pretest dan posttest dilakukan : Ratio - Terdapat peningkatan pengetahuan responden 10% - Terdapat perubahan positif sikap responden 10% -

4.

Perubahan sikap

Multiple Choices Questioner

Ordinal

5.

Efektifitas pemanfaatan SMS pada seluler dalam :

Kemampuan SMS pada seluler sebagai media promosi kesehatan, dalam : - Meningkatkan pengetahuan responden mengenai aborsi - Merubah sikap responden secara positif terhadap aborsi Segala bentuk tanggapan, kritik, dan masukan yang diberikan oleh responden

Multiple Choices Questioner

- Peningkatan pengetahuan

- Perubahan sikap

Ratio

6.

Tanggapan terhadap penggunaan media seluler

Focus Group Discussion

70

terhadap penggunaan seluler sebagai media promosi kesehatan No. 7. Variabel Pendapat dan pandangan tentang aborsi Definisi Segala bentuk pendapat dan pandangan yang dimiliki oleh responden terhadap aborsi, baik positif atau negatif : - Pandangan responden yang anti atau menolak tindakan aborsi Pengukuran Indepth Interview Skala Kriteria

- Pandangan positif terhadap aborsi

- Pandangan negatif terhadap aborsi 8. Program dan media promosi kesehatan konvensional

- Pandangan
responden yang pro atau menerima tindakan aborsi Segala bentuk Indepth program Interview kesehatan terkait aborsi dengan penggunaan media non seluler yang telah sampai pada responden

4.6. Teknik Pengumpulan Data 4.6.1. Data Kuantitatif Untuk memperoleh data kuantitatif dalam pengukuran tingkat pengetahuan dan sikap responden terkait masalah aborsi, digunakan instrumen kuesioner tertutup dengan metode pretest posttest.

71

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini telah menjalani uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan 10 orang responden (siswa SMP). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kuesioner ini telah valid dan reliabel untuk digunakan sebagai instrumen pengumpulan data penelitian. Hasil lengkap uji validitas dan reliabilitas eksternal untuk setiap item pertanyaan kuesioner baik untuk variabel pengetahuan maupun variabel sikap dapat dilihat pada lembar lampiran 12.

Gambar 4.1. Alpha Cronbachs untuk Pengetahuan Nilai Cronbachs Alpha untuk pengetahuan adalah 0,980 (98,0%), lebih besar dari nilai koefisien korelasi r table 0,632 ( = 0,05 dan n = 10).

Gambar 4.2. Alpha Cronbachs untuk Sikap Nilai Cronbachs Alpha untuk sikap adalah 0,969 (96,9%), lebih besar dari nilai koefisien korelasi r table 0,632 ( = 0,05 dan n = 10). 4.6.2. Data Kualitatif Data kualitatif sebagai penunjang penelitian diperoleh dengan menggunakan instrumen indepth interview dan FGD (Focus Group Discussion).

72

1. Identifikasi program dan media kesehatan konvensional mengenai aborsi yang telah sampai pada siswa serta eksplorasi lebih dalam pendapat dan pandangan siswa mengenai aborsi, digunakan teknik indepth interview terhadap siswa (informan) baik dari kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. 2. Eksplorasi lebih dalam tanggapan siswa terhadap penggunaan seluler (SMS) sebagai media promosi kesehatan khususnya dalam penyampaian informasi aborsi, digunakan teknik FGD (Focus Group Discussion) dengan peserta berjumlah 6 siswa (informan) yang kesemuanya berasal dari kelompok eksperimen.

4.7. Teknik Analisis Data Data kuantitatif dianalisis dengan teknik komparasi dan disajikan dalam bentuk tabulasi frekuensi untuk nilai mean dan persentase perubahan hasil pretest posttest. Sedangkan data kualitatif dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk transkrip narasi. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan komparasi nilai mean hasil pretest dan posttest responden, komparasi nilai mean beda hasil pretest posttest responden, serta komparasi persentase perubahan hasil pretest posttest responden baik pada kelompok eksperimen (experiment group) maupun kelompok kontrol (control group). Uji komparasi data kuantitatif hasil penelitian, dengan kriteria : a. Data kuantitatif berdistribusi normal b. Data kuantitatif berskala ratio 1. Komparasi nilai mean hasil pretest dan posttest (2 Independent Samples T Test)

73

a. Hasil pretest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol b. Hasil posttest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol Formula Hipotesis Penelitian ( = 0,05) H0 : tidak ada perbedaan bermakna antara sampel satu dengan yang lain Jika nilai (probabilitas) > H0 diterima Jika nilai (probabilitas) < H0 ditolak 2. Komparasi nilai mean beda hasil pretest posttest (2 Paired Samples T Test) a. Beda hasil pretest posttest pada kelompok eksperimen b. Beda hasil pretest posttest pada kelompok kontrol Formula Hipotesis Penelitian ( = 0,05) H0 : tidak ada perbedaan bermakna antara sampel satu dengan yang lain Jika nilai (probabilitas) > H0 diterima Jika nilai (probabilitas) < H0 ditolak 3. Komparasi persentase perubahan hasil pretest posttest a. Persentase (%) perubahan nilai hasil pretest posttest kelompok eksperimen b. Persentase (%) perubahan nilai hasil pretest posttest kelompok kontrol

4.8. Kerangka Operasional 4.8.1. Teknis Intervensi 1. Bentuk dan sifat intervensi SMS yang dimaksud adalah one way SMS 2. Total 30 desain pesan SMS berisikan informasi kesehatan mengenai aborsi, dengan 160 karakter per SMS (fit to one message) 3. Desain pesan SMS dikategorikan menurut jenis informasi : a. Pesan berisikan pengetahuan mengenai aborsi (22 pesan)

74

b. Pesan berisikan himbauan terkait masalah aborsi (6 pesan) c. Pesan berisikan informasi saluran lain yang dapat diakses (2 pesan) 4. Teknis pengiriman pesan SMS : a. 30 SMS dikirimkan setiap hari selama 30 hari intervensi b. 2 SMS per hari pada 15 hari pertama dan kemudian diulang lagi 2 SMS per hari pada 15 hari berikutnya c. Waktu pengiriman pesan SMS (SMS 1 pukul 13.00 WIB dan SMS 2 pukul 18.00 WIB) d. Untuk mengetahui apakah SMS telah sampai pada responden atau tidak dengan memanfaatkan messasge status report, dan dilakukan pengiriman ulang bila pesan gagal terkirimkan 4.8.2. Validitas Media Intervensi Media intervensi (pesan SMS) dalam penelitian ini telah di uji coba pada 10 orang responden yang berstatus pelajar SMP dengan menggunakan daftar pernyataan benar salah, masing-masing pernyataan mewakili tiap item pesan SMS (30 SMS). Hasil menunjukkan pesan SMS telah untuk digunakan intervensi uji statistik bahwa instrumen valid dan reliabel sebagai media

penelitian. Hasil

lengkap uji validitas media intervensi penelitian dapat dilihat pada lembar lampiran 11.

75

Gambar 4.1. Alpha Cronbachs untuk Media Intervensi Nilai Cronbachs Alpha yang didapat adalah 0,984 (98,4%), lebih besar dari Studi Pendahuluan Pra Eksperimental nilai koefisien korelasi r table 0,632 ( = 0,05 dan n = 10).
Validitas dan 4.8.3. Kerangka Operasional Penelitian Reliabilitas

Penetapan Populasi dan Sampel Sampel Penelitian

Eksperimental Kelompok Kontrol

Kelompok Eksperimen

Uji Homogenitas

Pretest
Peneliti berlaku sebagai provider seluler melakukan pengiriman SMS berisikan pesan kesehatan terkait masalah aborsi

Pretest

Intervention

Posttest

Posttest

Analisis Hasil Pretest Posttest Indepth Interview Focus Group Discussion Indepth Interview

Pasca Eksperimental

76

Bagan 4.3. Kerangka Operasional Penelitian 4.8.4. Pelaksanaan Penelitian Tabel 4.2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Waktu Pelaksanaan Kegiatan Juni 2009 M3 Pra Eksperimental 1. Studi Pendahuluan 2. Penetapan Populasi dan Sampel Eksperimental 1. Sample Selection pemilihan sampel untuk kelompok eksperimen dan kontrol dilakukan pada ke dua kelompok (eksperimen dan kontrol) dilakukan dengan memanfaatkan hasil pretest pada ke dua kelompok dilakukan hanya pada kelompok eksperimen pengiriman 2 dilakukan saat pembuatan proposal dilakukan saat pembuatan proposal M4 M1 Juli 2009 M2 M3 Keterangan

2. Pretest

3. Uji Homogenitas

4. Intervention - SMS Tahap 1

77

- SMS Tahap 2

5. Posttest

6. Pretest Posttest Analysis Waktu Pelaksanaan Kegiatan Juni 2009 M3 Pasca Eksperimental M4 M1 Juli 2009 M2 M3

SMS per hari (15 hari pertama) dengan total 30 SMS pengiriman ulang 2 SMS per hari (15 hari ke dua) dengan total 30 SMS dilakukan pada ke dua kelompok (eksperimen dan kontrol) analisis hasil pretest posttest pada ke dua kelompok

Keterangan

1. Indepth Interview

2. Focus Group Discussion Pelaporan Penelitian 1. Laporan Final

dilakukan pada responden terpilih dari kelompok eksperimen dan kontrol dilakukan pada 6 responden terpilih dari kelompok eksperimental dilaksanakan setelah penelitian lapangan selesai dilakukan

78

BAB 5 HASIL DAN ANALISIS DATA

5.1. Gambaran Umum Penelitian Penelitian quasi experimental berjudul Pemanfaatan SMS pada Seluler sebagai Media Promosi Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Perubahan Sikap Remaja mengenai Aborsi ini dilaksanakan di dua lokasi, yaitu SMP Negeri 26 Surabaya dan SMP Negeri 20 Surabaya. Pada lokasi penelitian pertama, yakni SMPN 26 diambil 30 siswa sebagai responden kelompok eksperimen. Responden pada kelompok eksperimen ini mendapatkan perlakuan berupa pemberian informasi kesehatan tentang aborsi yang didesain dan dikirimkan melalui pemanfaatan media SMS (Short Messaging Service) pada seluler. Sedangkan pada lokasi penelitian berikutnya, yakni SMPN 20 juga diambil 30 siswa sebagai responden kelompok kontrol. Responden pada kelompok kontrol ini tidak mendapatkan perlakuan yang sama seperti responden yang berada pada kelompok eksperimen.

79

Pemberian intervensi berupa pengiriman informasi kesehatan tentang aborsi melalui SMS ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana efektifitas SMS pada seluler yang dimanfaatkan sebagai media promosi kesehatan, akan mampu mempengaruhi perubahan pengetahuan dan sikap responden terkait masalah aborsi. Evaluasi efektifitas SMS sebagai media promosi kesehatan dilakukan melalui pengukuran pengetahuan dan sikap responden pada ke dua kelompok (experiment dan control) sebelum dan sesudah intervensi dengan menggunakan metode pretest posttest. 5.1.1. SMP Negeri 26 Surabaya SMP Negeri 26 merupakan institusi pendidikan menengah pertama yang berlokasi di Raya Banjarsugihan 21 Kecamatan Tandes Surabaya. SMP yang mulai beroperasi semenjak tahun 1983 ini merupakan institusi pendidikan negeri dengan jenjang akreditasi A dan menduduki peringkat ke 9 terbaik tingkat kota Surabaya untuk perolehan nilai hasil UNAS SMP tahun 2008 dengan rata-rata nilai 8,21. Luas lahan total yang dimiliki oleh SMPN 26 Surabaya adalah 12.879 m2 dengan bangunan fisik seluas 7.411 m2 dan tanah kosong seluas 5.468 m2 yang memiliki potensi untuk pengembangan sekolah ke depan. Potensi lain yang dimiliki oleh SMPN 26 Surabaya guna mendukung kegiatan belajar mengajar siswa, antara lain : 1. Hubungan kerja sama yang baik dan harmonis antara pihak sekolah dengan orang tua wali siswa. 2. Komite Sekolah yang mendukung dan responsive terhadap pelaksanaan program belajar mengajar.

80

3. Sarana dan prasarana yang cukup untuk menunjang pelaksanaan pendidikan baik ekstrakurikuler maupun intrakurikuler. 4. Sarana penunjang lain seperti tempat ibadah, koperasi sekolah, fasilitas parkir, serta ruang terbuka hijau (taman sekolah) yang cukup memadai. Pada tahun ajaran 2008/2009 ini jumlah staf pengajar yang dimiliki oleh SMPN 26 Surabaya adalah 76 tenaga pendidik dengan didukung oleh 17 tenaga administratif, yang membimbing dan melayani total 1.057 siswa (342 siswa kelas VII, 358 siswa kelas VIII, dan 357 siswa kelas IX). Tabel 5.1. Distribusi SDM dan Siswa Didik SMP Negeri 26 Surabaya Tahun Ajaran 2008/2009 Distribusi Tenaga Pendidik Tingkat Pendidikan S2 Sarjana D3/Sarmud PGSMTP/D1/SLTA Jumlah Status Pegawai Tetap Tidak Tetap 5 58 7 2 1 3 68 8 Status Pegawai Tetap Tidak Tetap 1 5 2 8 1 2 3 16 Distribusi Siswa Didik Kelas VII VIII IX Jumlah Jumlah Kelas 9 9 9 Jenis Kelamin L 147 160 144 451 P 195 198 213 606 Jumlah Siswa 342 358 357 1057 Jumlah 5 65 3 3 76

Distribusi Tenaga Administrasi Tingkat Pendidikan Sarjana D1/SLTA SLTP SD Jumlah Jumlah 6 10 1 2 19

81

Sumber : Data Sekunder SMPN 26 Surabaya 2009

Sarana dan prasarana penunjang pendidikan yang dimiliki oleh SMPN 26 Surabaya terbilang lengkap dengan kondisi yang cukup terawat, meliputi keberadaan ruang belajar utama, ruang tenaga pengajar, dan ruang pendukung lain guna memenuhi kebutuhan belajar mengajar siswa. Walaupun kondisi fisik sarana dan prasarana belajar siswa relatif baik namun terdapat beberapa fasilitas yang kondisinya rusak dan berada dalam masa perbaikan, atau menunggu untuk diganti dengan fasilitas yang baru. Tabel 5.2. Kondisi Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Belajar Mengajar Siswa SMP Negeri 26 Surabaya Kondisi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Fasilitas Ruang Kelas Laboratorium IPA Laboratorium IPS Laboratorium Bahasa Laboratorium Komputer Ruang Perpustakaan Ruang Seni dan Ketrampilan Ruang Serba Guna Ruang UKS Ruang Praktek Kerja Ruang BP/BK Ruang Kepala Sekolah Ruang Guru Ruang TU Ruang Tamu Ruang OSIS Koperasi WC Guru WC Siswa Gudang Ruang Ibadah Jumlah 27 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 5 3 1 Baik 20 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 5 2 1 Rusak Ringan 5 1 Rusak Berat 2 1 -

82

22. 23. 24. 25.

Pos dan Rumah Penjaga Sekolah Lapangan Olahraga Kantin Pujasera Lahan Parkir Jumlah Fasilitas Ruang

1 1 4 2 64

1 1 3 2 54

1 7

Sumber : Data Sekunder SMPN 26 Surabaya 2009

5.1.2. SMP Negeri 20 Surabaya SMP Negeri 20 adalah institusi pendidikan menengah pertama yang berdiri pada tahun 1982. SMP yang beralamat di Dukuh Kapasan I Kecamatan Sambikerep Surabaya ini memiliki jenjang akreditasi B. Walaupun prestasinya tidak sebaik SMPN 26 Surabaya, namun SMPN 20 juga memiliki nilai hasil UNAS dalam kategori yang cukup baik, dengan rata-rata nilai 7,54 pada tahun 2008. Institusi pendidikan negeri ini berdiri pada lahan seluas 9.139 m 2 dengan luas bangunan fisik 6.709 m2 dan pemilikan tanah kosong seluas 2.430 m2 yang direncanakan untuk pembangunan kelas dan fasilitas gedung serba guna pada awal 2010 nanti. Jumlah SDM yang dimiliki oleh SMPN 20 Surabaya adalah 68 tenaga pendidik yang didukung oleh 11 tenaga administratif, dengan total 809 siswa (263 siswa kelas VII, 278 siswa kelas VIII, dan 268 siswa kelas IX) pada tahun ajaran 2008/2009. Tabel 5.3. Distribusi SDM dan Siswa Didik SMP Negeri 20 Surabaya Tahun Ajaran 2008/2009 Distribusi Tenaga Pendidik Tingkat Pendidikan S2 Sarjana D3/Sarmud Status Kepegawaian Tetap Tidak Tetap 4 51 9 2 Jumlah 4 60 2

83

D2 PGSMTP/D1/SLTA Jumlah

1 1 59

1 1 68

Distribusi Tenaga Administrasi Tingkat Pendidikan Sarjana D3/Sarmud D1/SLTA SLTP Jumlah Status Kepegawaian Tetap Tidak Tetap 1 2 1 3 2 1 1 5 6 Distribusi Siswa Didik Kelas VII VIII IX Jumlah Jumlah Kelas 7 7 7 Jenis Kelamin L 136 130 139 405 P 127 148 129 404 Jumlah Siswa 263 278 268 809 Jumlah 3 1 5 2 11

Sumber : Data Sekunder SMPN 20 Surabaya 2009

Keadaan fasilitas penunjang pendidikan yang dimiliki SMPN 20 Surabaya tidak selengkap dan sebaik fasilitas yang dimiliki SMPN 26. Fasilitas gedung serba guna misalnya, sampai saat ini SMPN 20 masih belum memilikinya dan baru pada tahap perencanaan untuk pembangunan. Keberadaan dan kondisi fisik sarana dan prasarana penunjang pendidikan yang dimiliki oleh SMPN 20 dapat dilihat melalui tabel berikut ini. Tabel 5.4. Kondisi Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Belajar Mengajar Siswa SMP Negeri 20 Surabaya Kondisi No. 1. 2. 3. Fasilitas Ruang Kelas Laboratorium IPA Laboratorium Bahasa Jumlah 21 1 1 Baik 12 1 1 Rusak Ringan 7 Rusak Berat 2 -

84

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. No. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.

Laboratorium Komputer Ruang Perpustakaan Ruang Seni dan Ketrampilan Ruang UKS Ruang BP/BK Ruang Kepala Sekolah Ruang Guru Ruang TU Ruang OSIS Hall Looby Koperasi WC Siswa Fasilitas WC Guru Gudang Ruang Ibadah Pos dan Rumah Penjaga Sekolah Lapangan Olahraga Kantin Pujasera Lahan Parkir Jumlah Fasilitas Ruang

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 Jumlah 1 1 1 1 1 3 1 48

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3

1 1 Kondisi Rusak Ringan 9

1 Rusak Berat 3

Baik 1 1 1 1 1 3 1 36

Sumber : Data Sekunder SMPN 20 Surabaya 2009

Terdapat fakta bahwa secara kuantitas dan kualitas, fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar yang dimiliki SMPN 20 Surabaya tidak sebaik dan selengkap fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar yang ada di SMPN 26 Surabaya. Begitu juga dengan jumlah tenaga pendidik maupun non pendidik, di mana SMPN 26 memiliki 8 orang staf pengajar 8 dan staf administrasi lebih banyak dari tenaga yang dimiliki oleh SMPN 20. Tentu saja hal ini juga berpengaruh terhadap jumlah peserta didik di masing-masing sekolah. SMPN 26 memiliki 248 siswa lebih banyak dari siswa yang ada di SMPN 20. Namun dalam

85

hal kelulusan ke dua SMPN ini memiliki angka yang sama, yaitu 100 % kelulusan siswa pada tahun ajaran 2007/2008. 5.1.3. Identifikasi Responden Responden yang digunakan dalam penelitian ini baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol merupakan siswa kelas VIII SMP yang rata-rata berada pada usia 13-14 tahun (96,7%). Distribusi responden berdasarkan tempat tinggal baik pada SMPN 26 maupun SMPN 20 Surabaya, sebagian besar berada di Kecamatan Tandes (63,3%) yang merupakan wilayah Surabaya bagian barat. Untuk responden kelompok eksperimen (SMPN 26) terdiri dari 12 siswa laki-laki dan 18 siswa perempuan, diambil secara random dari 284 siswa (79,3%) yang mengaku memiliki handphone secara pribadi dari total 358 siswa kelas VIII SMPN 26. Sedangkan untuk responden kelompok kontrol (SMPN 20) walaupun tidak mendapatkan intervensi pengiriman SMS, namun tetap diambil secara random dari 215 siswa (77,4%) yang mengaku menggunakan handphone dalam kesehariannya dari total 278 siswa kelas VIII SMPN 20, responden kelompok ini terdiri dari 15 siswa laki-laki dan 15 siswa perempuan. Tabel 5.5. Distribusi Usia, Sex, dan Domisili Responden Responden SMPN 26 SMPN 20 Jumlah Usia 13 14 12 26 14 15 17 32 15 1 1 2 Tandes 20 18 38 Domisili Sambikerep 2 7 9 Lainnya 8 5 13 Sex L 12 15 27 P 18 15 33

Sumber : Data Primer SMPN 26 dan SMPN 20 Surabaya 2009

Untuk mengetahui tingkat homogenitas variabel pengetahuan dan variabel sikap antara responden pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

86

sebelum perlakuan, dilakukan uji homogenitas menggunakan 2 Independent Samples T Test dengan tingkat kemaknaan 5% ( = 0,05).

Gambar 5.1. Hasil Uji Homogenitas Responden Nilai (probabilitas) untuk variabel pengetahuan adalah 0,607 > (0,05) dan nilai (probabilitas) untuk variabel sikap adalah 0,234 > (0,05). Hasil uji homogenitas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna untuk variabel pengetahuan dan sikap responden pada ke dua kelompok sebelum intervensi dilakukan, atau dapat diartikan responden ke dua kelompok bersifat homogen. Melalui hasil uji normalitas, diketahui data (pengetahuan dan sikap) responden pada ke dua kelompok berdistribusi normal. Hasil uji homogenitas dan normalitas responden dapat dilihat pada lembar lampiran 13 dan 14.

5.2. Analisis Data Kuantitatif 5.2.1. Variabel

Pengetahuan Dari data penelitian diketahui bahwa hasil pretest sebelum perlakuan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol untuk variabel pengetahuan tidak

87

menunjukkan perbedaan yang berarti. Nilai mean hasil pretest antara ke dua kelompok relatif setara, yaitu 54,9 (experiment) dan 53,7 (control) dengan selisih 1,2 point. Berdasarkan nilai rata-rata hasil pretest ini maka tingkat pengetahuan tentang aborsi pada ke dua kelompok dikategorikan cukup (51-75). Tabel 5.6. Hasil Pretest Variabel Pengetahuan Kelompok Eksperimen Kontrol Selisih Nilai Nilai Total 1648 1612 36 Mean 54,9 53,7 1,2 Maximun 72 72 0 Minimum 40 36 4

Sumber : Data Primer SMPN 26 dan SMPN 20 Surabaya 2009

Hasil pretest variabel pengetahuan sebelum intervensi antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol di uji menggunakan 2 Independent Samples T Test dengan tingkat kemaknaan 5% ( = 0,05). Dari uji statistik ini didapatkan nilai (probabilitas) sebesar 0,607.

Gambar 5.2. Hasil Uji Beda Pretest Variabel Pengetahuan Nilai (0,607) > (0,05), maka H0 diterima. Artinya tidak ada perbedaan bermakna antara pengetahuan responden pada ke dua kelompok (experiment dan control) sebelum dilakukan intervensi.

88

Distribusi hasil pretest untuk variabel pengetahuan antara responden kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat dilihat pada grafik berikut.

Bagan 5.1. Distribusi Hasil Pretest Variabel Pengetahuan Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Sementara untuk hasil posttest variabel pengetahuan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah perlakuan menunjukkan perbedaan yang cukup berarti. Nilai rata-rata (mean) yang diperoleh berdasarkan hasil posttest antara ke dua kelompok relatif berbeda, yaitu 76,3 untuk experiment group dan 55,3 untuk control group. Selisih nilai rata-rata antara ke dua kelompok juga cukup tinggi mencapai 21,0 point. Dari hasil posttest ini dapat dikatakan bahwa tingkat pengetahuan mengenai aborsi untuk responden pada kelompok eksperimen berada pada kategori baik

89

(76), sementara untuk tingkat pengetahuan responden pada kelompok kontrol berada pada kategori cukup (51-75). Tabel 5.7. Hasil Posttest Variabel Pengetahuan Kelompok Eksperimen Kontrol Selisih Nilai Nilai Total 2288 1660 628 Mean 76,3 55,3 21,0 Maximun 92 68 24 Minimum 44 32 12

Sumber : Data Primer SMPN 26 dan SMPN 20 Surabaya 2009

Melalui uji statistik menggunakan 2 Independent Samples T Test untuk mengetahui perbedaan pengetahuan (posttest) antara responden kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah dilakukan intervensi, didapatkan nilai (probabilitas) sebesar 0,000 dengan tingkat kemaknaan 5% ( = 0,05).

Gambar 5.3. Hasil Uji Beda Posttest Variabel Pengetahuan Hasil uji statistik tersebut menunjukkan bahwa nilai (0,000) < (0,05), maka H0 ditolak. Ini berarti terdapat perbedaan yang cukup bermakna antara pengetahuan responden kelompok eksperimen dengan pengetahuan responden

kelompok kontrol setelah dilakukan intervensi.

90

Berikut ini adalah data hasil posttest untuk variabel pengetahuan responden pada ke dua kelompok penelitian.

Bagan 5.2. Distribusi Hasil Posttest Variabel Pengetahuan Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Grafik di atas menunjukkan perbedaan yang cukup tinggi untuk perolehan nilai posttest yang didapatkan oleh responden pada kelompok eksperimen (dengan perlakuan) dan nilai posttest yang didapatkan oleh reponden pada kelompok kontrol (tanpa perlakuan). 5.2.2. Variabel Sikap Pada variabel sikap sebelum intervensi, ke dua kelompok masih dikategorikan memiliki sikap yang ambivalent atau tidak menentu (31-60) terhadap aborsi. Nilai mean hasil pretest pada kelompok eksperimen adalah 60,8

91

sementara nilai mean untuk kelompok kontrol adalah 58,3. Selisih nilai mean antara ke dua kelompok sebesar 2,5 point. Tabel 5.8. Hasil Pretest Variabel Sikap Kelompok Eksperimen Kontrol Selisih Nilai Nilai Total 1825 1748 77 Mean 60,8 58,3 2,5 Maximun 73 69 4 Minimum 45 29 16

Sumber : Data Primer SMPN 26 dan SMPN 20 Surabaya 2009

Dengan melakukan uji beda menggunakan 2 Independent Samples T Test pada tingkat kemaknaan 5% ( = 0,05), didapatkan nilai (probabilitas) untuk variabel sikap sebelum intervensi antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebesar 0,234.

Gambar Uji Beda Variabel

5.4. Hasil Pretest Sikap Hasil uji

statistik di atas menunjukkan bahwa nilai (0,234) > (0,05), maka H0 diterima. Yang berarti bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara sikap reponden pada ke dua kelompok (experiment dan control) sebelum intervensi diberikan.

92

Grafik distribusi hasil pretest untuk variabel sikap sebelum perlakuan antara responden kelompok eksperimen dan responden kelompok kontrol adalah sebagai berikut.

Bagan 5.3. Distribusi Hasil Pretest Variabel Sikap Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Sementara untuk hasil pengukuran varibel sikap pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah dilakukan intervensi (posttest), didapatkan nilai mean yang cukup berbeda. Nilai rata-rata hasil posttest yang diperoleh kelompok eksperimen adalah 64,8 sedangkan nilai rata-rata hasil posttest yang diperoleh kelompok kontrol adalah 57,2. Selisih nilai rata-rata antara ke dua kelompok ini mencapai 7,6 point.

93

Perbedaan yang cukup besar untuk nilai mean hasil posttest variabel sikap antara kelompok eksperimen (64,8) dan kelompok kontrol (57,2) menjadikan responden pada kelompok eksperimen dapat dikategorikan memiliki sikap anti aborsi (61), sedangkan untuk responden pada kelompok kontrol masih dikategorikan bersikap ambivalent atau memiliki sikap yang masih tidak menentu terhadap aborsi (31-60). Tabel 5.9. Hasil Posttest Variabel Sikap Kelompok Eksperimen Kontrol Selisih Nilai Nilai Total 1944 1715 229 Mean 64,8 57,2 7,6 Maximun 76 73 3 Minimum 40 26 14

Sumber : Data Primer SMPN 26 dan SMPN 20 Surabaya 2009

Perbedaan hasil mean variabel sikap kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diberikan intervensi (posttest) ini diperkuat dengan uji statistik menggunakan 2 Independent Samples T Test, dan didapatkan nilai (probabilitas) sebesar 0,003 pada tingkat kemaknaan 5% ( = 0,05).

Gambar 5.5. Hasil Uji Beda Posttest Variabel Sikap Dari hasil uji statistik didapatkan nilai (0,003) < (0,05), maka H0 ditolak. Artinya terdapat perbedaan yang cukup bermakna antara sikap responden pada kelompok eksperimen dengan sikap responden pada kelompok kontrol setelah intervensi diberikan.

94

Grafik berikut merupakan data hasil posttest untuk variabel sikap responden pada ke dua kelompok penelitian (eksperimen dan kontrol).

Bagan 5.4. Distribusi Hasil Posttest Variabel Sikap Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Perbedaan yang cukup bermakna dapat terlihat pada perolehan hasil posttest variabel sikap antara responden kelompok eksperimen dan responden kelompok kontrol. 5.2.3. Komparasi Pretest Posttest Kelompok Eksperimen Perbandingan hasil mean variabel pengetahuan pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah dilakukannya intervensi menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Nilai rata-rata hasil pretest (sebelum intervensi) untuk variabel pengetahuan adalah 54,9 dan nilai ini naik 21,4 point menjadi 76,3 pada saat

95

posttest (setelah intervensi). Berdasarkan hasil tersebut tingkat pengetahuan mengenai aborsi untuk responden kelompok eksperimen sebelum diberikan intervensi berada pada kategori cukup (51-75), dan berubah menjadi kategori baik (76) setelah diberikan intervensi. Tabel 5.10. Hasil Pretest Posttest Variabel Pengetahuan Experiment Group Pengetahuan Pretest Posttest Selisih Nilai Kelompok Eksperimen Total 1648 2288 640 Mean 54,9 76,3 21,4 Maximun 72 92 20 Minimum 40 44 4

Sumber : Data Primer SMPN 26 Surabaya 2009

Uji beda hasil pretest posttest variabel pengetahuan sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok eksperimen dilakukan menggunakan 2 Paired Samples T Test dengan tingkat kemaknaan 5% ( = 0,05). Dari uji statistik ini didapatkan nilai (probabilitas) sebesar 0,000.

Gambar 5.6. Hasil Uji Beda Pretest Posttest Variabel Pengetahuan Kelompok Eksperimen Untuk nilai (0,000) < (0,05), maka H0 ditolak. Artinya terdapat perbedaan yang cukup bermakna untuk pengetahuan responden kelompok eksperimen antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Distribusi hasil pretest posttest variabel pengetahuan pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah perlakuan dapat dilihat pada grafik berikut.

96

Bagan 5.5. Distribusi Hasil Pretest Posttest Variabel Pengetahuan Kelompok Eksperimen Namun untuk nilai mean hasil pretest posttest variabel sikap pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah diberikan perlakuan, tidak didapatkan perbedaan yang cukup mencolok. Nilai mean hasil pretest posttest variabel sikap pada kelompok ini hanya memiliki perbedaan 4,0 point, di mana rata-rata nilai pretest adalah 60,8 sedangkan rata-rata nilai posttest adalah 64,8. Walaupun nilai mean hasil pretest posttest untuk variabel sikap pada responden kelompok eksperimen tidak berbeda jauh, namun hasil tersebut telah cukup untuk merubah kategorisasi sikap responden pada kelompok eksperimen dari kategori bersikap ambivalent atau tidak menentu (31-60) terhadap aborsi

97

sebelum dilakukan intervensi, menjadi bersikap anti aborsi (61) setelah dilakukan intervensi. Tabel 5.11. Hasil Pretest Posttest Variabel Sikap Experiment Group Sikap Pretest Posttest Selisih Nilai Kelompok Eksperimen Total 1825 1944 119 Mean 60,8 64,8 4,0 Maximun 73 76 3 Minimum 45 40 5

Sumber : Data Primer SMPN 26 Surabaya 2009

Melalui uji statistik dengan menggunakan 2 Paired Samples T Test pada tingkat kemaknaan 5% ( = 0,05) untuk mengetahui perbedaan hasil pretest posttest variabel sikap sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok eksperimen, didapatkan nilai (probabilitas) sebesar 0,001.

Gambar 5.7. Hasil Uji Beda Pretest Posttest Variabel Sikap Kelompok Eksperimen Melalui hasil uji statistik di atas diketahui bahwa nilai (0,001) < (0,05), maka H0 ditolak. Artinya terdapat perbedaan yang bermakna untuk sikap responden pada kelompok eksperimen antara sebelum dan sesudah intervensi diberikan. Hasil lengkap distribusi hasil pretest posttest untuk variabel sikap sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelompok eksperimen dapat dilihat melalui grafik berikut ini.

98

Bagan 5.6. Distribusi Hasil Pretest Posttest Variabel Sikap Kelompok Eksperimen Melalui grafik di atas dapat dilihat perbedaan hasil pretest posttest untuk variabel sikap pada responden kelompok eksperimen sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. 5.2.4. Komparasi Pretest Posttest Kelompok Kontrol Responden pada kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan seperti halnya yang didapatkan oleh responden pada kelompok eksperimen. Perubahan nilai mean hasil prertest posttest (tanpa intervensi) variabel pengetahuan pada kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Nilai rata-rata hasil pretest yang diperoleh untuk variabel pengetahuan adalah 53,7 dan berubah menjadi 55,3 pada saat posttest, dengan selisih perbedaan 1,6 point.

99

Berdasarkan hasil (mean) tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat pengetahuan mengenai aborsi untuk responden kelompok kontrol baik itu pada saat pretest maupun posttest tanpa diberikan perlakuan, berada pada kategori cukup (51-75). Tabel 5.12. Hasil Pretest Posttest Variabel Pengetahuan Control Group Pengetahuan Pretest Posttest Selisih Nilai Kelompok Kontrol Total 1612 1660 48 Mean 53,7 55,3 1,6 Maximun 72 68 4 Minimum 36 32 4

Sumber : Data Primer SMPN 20 Surabaya 2009

Rendahnya tingkat perbedaan nilai rata-rata hasil pretest posttest (tanpa perlakuan) untuk variabel pengetahuan pada responden kelompok kontrol ini diperkuat dengan hasil uji beda statistik menggunakan 2 Paired Samples T Test, yang mendapatkan nilai (probabilitas) sebesar 0,142 pada tingkat kemaknaan 5% ( = 0,05).

Gambar 5.8. Hasil Uji Beda Pretest Posttest Variabel Pengetahuan Kelompok Kontrol Melalui hasil uji statistik didapatkan nilai (0,142) > (0,05), maka H0 diterima. Dapat diartikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna untuk pengetahuan responden kelompok kontrol baik pada saat pretest maupun posttest tanpa adanya intervensi.

100

Berikut ini adalah distribusi hasil pretest posttest variabel pengetahuan pada responden kelompok kontrol (tanpa perlakuan).

Bagan 5.7. Distribusi Hasil Pretest Posttest Variabel Pengetahuan Kelompok Kontrol Sementara untuk nilai mean hasil pretest posttest variabel sikap pada kelompok kontrol (tanpa intervensi), juga tidak memiliki perbedaan yang cukup berarti. Bahkan terdapat penurunan hasil pretest posttest untuk variabel sikap pada kelompok ini, di mana rata-rata nilai pretest adalah 58,3 dan turun menjadi 57,2 pada saat posttest, dengan selisih perbedaan 1,1 point. Berdasarkan nilai rata-rata hasil pretest posttest variabel sikap untuk responden kelompok kontrol yang diukur tanpa diberikan intervensi, maka

101

kelompok ini dapat dikategorikan masih memiliki sikap yang ambivalent atau tidak menentu (31-60) terhadap aborsi. Tabel 5.13. Hasil Pretest Posttest Variabel Sikap Control Group Sikap Pretest Posttest Selisih Nilai Kelompok Kontrol Total 1748 1715 33 Mean 58,3 57,2 1,1 Maximun 69 73 4 Minimum 29 26 3

Sumber : Data Primer SMPN 20 Surabaya 2009

Perbedaan hasil pretest posttest (tanpa perlakuan) variabel sikap untuk responden kelompok kontrol di uji dengan menggunakan 2 Paired Samples T Test pada tingkat kemaknaan 5% ( = 0,05), dan didapatkan nilai (probabilitas) sebesar 0,131.

Gambar 5.9. Hasil Uji Beda Pretest Posttest Variabel Sikap Kelompok Kontrol Dari hasil uji statistik didapatkan nilai (0,131) > (0,05), maka H0 diterima. Artinya tidak ada perbedaan yang bermakna untuk sikap responden kelompok kontrol baik pada saat pretest maupun posttest tanpa diberikan intervensi. Data distribusi nilai mean hasil pretest posttest (tanpa perlakuan) untuk variabel sikap pada responden kelompok kontrol dapat dilihat melalui grafik berikut ini.

102

Bagan 5.8. Distribusi Hasil Pretest Posttest Variabel Sikap Kelompok Kontrol Grafik di atas menunjukkan adanya penurunan rata-rata hasil pretest posttest untuk variabel sikap pada responden kelompok kontrol (tanpa intervensi).

5.2.5. Efektifitas Media SMS Pengukuran efektifitas SMS sebagai media promosi kesehatan terkait masalah aborsi ditinjau melalui dua aspek, yaitu pengetahuan dan sikap yang diukur menggunakan metode pretest posttest terhadap kelompok penelitian yang mendapatkan perlakuan (intervensi SMS). Dalam hal ini adalah kelompok eksperimen (experiment group).

103

Indikator efektifitas media SMS dapat dilihat melalui persentase perubahan (kenaikan) nilai mean hasil pretest posttest pada kelompok yang mendapatkan intervensi (experiment group). Dikatakan efektif bila persentase kenaikan antara hasil pretest (sebelum intervensi) dan posttest (setelah intervensi) untuk variabel pengetahuan atau variabel sikap mencapai 10%.
100

80 Nilai Mean Hasil Pretest Posttest

60

64,8

60,8

76,3

40 58,3 54,9 53,7 55,3 57,2 Ai

20

Ai

Ki

Ki

Experiment Group A Ai K Ki : : : : Hasil Pretest Variabel Sikap Hasil Posttest Variabel Sikap Hasil Pretest Variabel Pengetahuan Hasil Posttest Variabel Pengetahuan

Control Group

Bagan 5.9. Distribusi Nilai Mean Hasil Pretest Posttest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Perbedaan nilai mean dan persentase perubahan hasil pretest posttest untuk variabel pengetahuan dan variabel sikap pada responden kelompok eksperimen

104

(dengan intervensi) maupun responden kelompok kontrol (tanpa intervensi) dapat dilihat melalui tabel berikut. Tabel 5.14.Persentase Perubahan Hasil Pretest Posttest pada Responden Kelompok Penelitian
Experiment Group Variabel Knowledge Attitude Nilai Mean Pre 54,9 60,8 Post 76,3 64,8 Selisih 21,4 4,0 Persen (%) up 38,9 up 6,6 Intervensi ada ada Indikator 10% 10% Efektif ya tidak

Control Group Variabel Knowledge Attitude Nilai Mean Pre 53,7 58,3 Post 55,3 57,2 Selisih 1,6 1,1 Persen (%) up 2,9 down 1,9 Intervensi tidak tidak Indikator Efektif -

Sumber : Data Primer SMPN 26 dan SMPN 20 Surabaya 2009

Terjadi peningkatan nilai mean hasil pretest posttest untuk variabel pengetahuan dan variabel sikap pada kelompok eksperimen, dengan persentase perubahan 38,9% untuk pengetahuan dan 6,6% untuk sikap. Sedangkan pada kelompok kontrol peningkatan nilai mean hasil pretest posttest hanya terdapat pada variabel pengetahuan dengan persentase perubahan 1,6%, dan untuk variabel sikap justru terjadi penurunan nilai mean dengan persentase perubahan 1,1%. Dari persentase perubahan nilai mean hasil pretest posttest untuk variabel pengetahuan dan variabel sikap pada kelompok penelitian dengan intervensi (experiment group), didapatkan jawaban terhadap dua hipotesis penelitian. 3. Hipotesis Satu Pemanfaatan SMS pada seluler sebagai media promosi kesehatan mampu secara efektif meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa SMPN 26 Surabaya terkait masalah aborsi.

105

Peningkatan persentase nilai mean hasil pretest posttest untuk pengetahuan sebesar 38,9% > 10%, hipotesis satu diterima. Artinya pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan terbukti efektif dalam mempengaruhi peningkatan pengetahuan (aborsi) siswa SMPN 26 Surabaya. 4. Hipotesis Dua Pemanfaatan SMS pada seluler sebagai media promosi kesehatan mampu secara efektif mempengaruhi perubahan sikap secara positif (tidak mendukung) bagi siswa SMPN 26 Surabaya terkait masalah aborsi. Peningkatan persentase nilai mean hasil pretest posttest untuk sikap sebesar 6,6% < 10%, hipotesis dua ditolak. Artinya pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan terbukti kurang efektif dalam mempengaruhi perubahan sikap (aborsi) siswa SMPN 26 Surabaya.

5.3. Analisis Data Kualitatif Data kualitatif penelitian diperoleh dengan menggunakan instrumen indepth interview dan FGD (Focus Group Discussion), yang dilaksanakan pada siswa (informan) SMPN 26 dan SMPN 20 Surabaya setelah intervensi dilakukan. Untuk mengetahui pandangan siswa mengenai hal-hal yang terkait dengan aborsi, serta identifikasi program dan penggunaan media promosi kesehatan mengenai aborsi yang telah sampai pada siswa, digunakan instrumen indepth interview (SMPN 26 dan SMPN 20). Sedangkan untuk eksplorasi lebih dalam mengenai tanggapan siswa terhadap pemanfaatan SMS pada teknologi seluler sebagai media promosi kesehatan khususnya masalah aborsi, digunakan instrumen FGD (SMPN 26).

106

5.3.1. Paparan Informasi dan Pandangan tentang Aborsi Melalui kegiatan indepth interview terhadap empat informan yang merupakan siswa kelas VIII SMP Negeri 26 (dua informan) dan SMP Negeri 20 (dua informan) Surabaya, didapatkan beberapa fakta menarik terkait pandangan siswa tentang aborsi. Umumnya pemahaman informan yang rata-rata berusia 13 hingga 14 tahun ini mengenai aborsi hanya pada batas pengguguran bayi dalam kandungan. Alasan yang paling sering diungkapkan oleh mereka dalam kasus-kasus yang mendasari terjadinya aborsi adalah ketidaksiapan pelaku untuk memiliki anak karena hamil pada usia sekolah, selain itu dikatakan bahwa korban pemerkosaan dan jumlah anak yang terlalu banyak juga mendasari dilakukannya aborsi. Kelompok remaja sekolah menengah dan mahasiswa dituding menjadi kelompok paling rawan dan sering melakukan aborsi. ...aborsi itu ya menggugurkan bayi saat kehamilan..., yang paling sering nglakuin biasanya anak SMA ato kuliah, mungkin pacarannya keterterlaluan kali ya... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...tidak mau punya anak saat masih sekolah..., juga bisa karena diperkosa... (Informan 2 SMPN 26 Surabaya). Metode aborsi yang banyak diketahui oleh informan adalah pemijatan oleh dukun beranak atau juga melalui praktek ilegal oleh dokter. Sementara untuk dampak aborsi sendiri, semua informan mengetahui bahwa aborsi memiliki pengaruh negatif terhadap kesehatan si pelaku, namun hanya beberapa dari mereka yang mengungkapkan secara spesifik bagaimana dampak aborsi bagi kesehatan. Sedangkan untuk dampak diluar kesehatan, semua informan sependapat bahwa tindakan aborsi memiliki konsekwensi secara etis dalam sudut

107

pandang sosial serta konsekwensi secara vetikal (dosa) dalam sudut pandang keyakinan spiritual atau agama. ...bukannya kebanyakan mereka itu melakukan di dukun bayi atau dokter..., biasanya perutnya dipijit-pijit sampe mengeluarkan darah... (Informan 4, SMPN 20 Surabaya). ...aborsi itu bisa berbahaya untuk kesehatan karena dapat meyebabkan pendarahan pada rahim dan juga stress... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). ...orang yang nglakuin aborsi pasti bakalan dikucilkan masyarakat, kayak jadi rasan-rasan tetangganya gitu..., ya soalnya sama kayak pembunuh, yang pasti nglakuin aborsi itu dosa besar..., dan bisa dihukum... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). Sikap informan terhadap aborsi sendiri cenderung menolak karena berbagai alasan moral, namun terdapat juga informan yang menyatakan bahwa aborsi bisa dilakukan karena alasan medis tertentu. ...tidak setuju..., salah sendiri mau melakukan tapi tidak mau bertanggung jawab... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). ...tapi ada juga yang diperbolehkan, karena sakit tidak bisa melahirkan... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). Bahkan juga terdapat informan yang memberikan pertimbangan ke depan terhadap resiko bayi yang dilahirkan oleh orang tua yang tidak memiliki kesiapan secara moral maupun material, atau bayi yang dilahirkan oleh keluarga yang telah memiliki banyak anak. ...ga setuju..., tapi kayaknya ada juga yang boleh, jadi ya bisa boleh bisa enggak... (Informan 4, SMPN 20 Surabaya). ...ya kalo orangnya masih kecil..., terus kalo orangnya sudah punya banyak anak..., terus daripada entar anaknya terlantar gimana, kan ibunya masih kecil... (Informan 4, SMPN 20 Surabaya).

108

Walaupun dalam tingkatan tertentu informan telah memahami apa itu aborsi, namun untuk kejadian aborsi sendiri informan mengaku belum pernah menjumpainya secara langsung, terlebih lagi untuk mengetahui tempat praktek dilakukannya aborsi. ...ga pernah tahu kalo di kehidupan nyata..., kalo yang hamil tapi ga nikah sih pernah tahu, tapi kalo aborsi belum pernah... (Informan 4, SMPN 20 Surabaya). ...kalo tempatnya ya saya mana tahu kak..., baru tahu kalo sudah dipraktekkan.... (Informan 4, SMPN 20 Surabaya). Media informasi publik seperti televisi dan koran justru menjadi saluran utama dalam mendapatkan informasi mengenai aborsi. Namun informasi ini tidak dikemas dalam kerangka edukatif, karena hanya sebatas pada liputan berita kriminal seputar kejadian aborsi, atau juga didesain sebagai media hiburan melalui sinetron. Selain memberi pemahaman awal mengenai aborsi, ternyata peran media di atas juga mampu menyentuh sisi sensitifitas emosional informan. ...iya uda tau..., sebelom terima SMS nya mas juga uda pernah tau tentang aborsi..., taunya dari teve, dari majalah juga ada..., tapi emang kebanyakan tau aborsi dari teve... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...di televisi saya tahunya dari sinetron, kalo di koran ya berita aborsi itu...., kalo di sinetron sih bagus ada ceritanya, tapi kalo di koran ya kasian bayinya... (Informan 4, SMPN 20 Surabaya). ...tidak menarik..., kadang sungkan juga sama orang-orang rumah kalau lagi lihat televisi bareng-bareng... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). Televisi dan koran menjadi sumber informasi utama tentang aborsi, karena hanya dari media inilah mereka banyak mendapatkan informasi. Aborsi sendiri merupakan hal masih dianggap tabu oleh informan sehingga informasi tersebut

109

tidak pernah ditanyakan langsung kepada orang yang lebih dewasa, terutama orang tua atau guru di sekolah. Aborsi sering hanya menjadi pembicaraan ringan antar teman sebaya, terlebih bila terdapat momentum yang memicu terjadinya pembicaraan. ...ya sama temen-temen itu ngomongnya, sama temen rumah yang seumuran..., kalo orang dewasa se ga pernah, ya malu aja... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...yang diomongin ya kok tega ada orang yang nglakuin hal kayak gitu..., ga tau tiba-tiba aja ngomongin masalah itu, biasanya se abis liat teve ato kalo ada orang yang ketauan hamil tapi belum kawin... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...gak pernah..., gak pa pa yo takut ae mas..., yo cumak omongomongan ae, pas ada yang pacaran sama anak SMA... (Informan 3, SMPN 20 Surabaya). Tidak semua informan memiliki keinginan dan berusaha untuk mencari informasi aborsi secara mandiri. Hal ini dikarenakan sebagian dari mereka merasa bahwa informasi aborsi tidak terlalu relevan dengan kebutuhannya. Selain itu kendala rasa malu dalam mengkomunikasikan aborsi pada orang yang dianggap lebih tahu (orang tua dan guru) juga menjadi alasan mengapa selama ini informan tidak berusaha mencari tahu lebih banyak tentang aborsi. ...kadang aku pengen tau aborsi itu sendiri gimana se..., tapi ya ga pernah bener-bener nyari gitu..., mau tanya kakak juga ga enak... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...ya ga pa pa mas.., kan aku juga ga terlalu butuh... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...yo males ae mas, soale kan gak penting..., di pelajaran juga gak ada mas... (Informan 3, SMPN 20 Surabaya). Namun terdapat juga informan yang mengaku pernah mencari sendiri informasi tentang aborsi. Rasa ingin tahu lebih banyak mengenai aborsi dan

110

ketidakpuasan karena selama ini informasi aborsi tidak pernah didapatkan secara langsung melalui orang lain yang dianggap lebih tahu menjadi alasan dilakukannya pencarian ini. ...pernah di internet..., mungkin minggu-minggu kemarin waktu sering terima SMS itu... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). ...banyak, tapi seperti yang di SMS itu..., apa itu aborsi, penyebabnya apa, terus bagaimana supaya tidak melakukan aborsi..., ya hampir sama... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). ...yang pernah saya tahu di internet itu..., aborsi itu banyak dilakukan remaja karena hamil di luar nikah dan ga ingin sampai ketahuan orang tuanya..., terus ibu-ibu yang ga ingin punya anak lagi..., terus apa lagi ya..., ya itu aja sih ingatnya kak... (Informan 4, SMPN 20 Surabaya). Internet menjadi media pilihan dalam pencarian informasi mengenai aborsi, dikarenakan informasi yang didapatkan melalui media ini dianggap lebih banyak dan lengkap, serta adanya kemudahan dalam mengaksesnya apalagi terdapat juga informan yang disediakan fasilitas internet di rumah. 5.3.2. Tanggapan terhadap Pemanfaatan Media SMS Eksplorasi tanggapan siswa terhadap pemanfaatan SMS pada seluler sebagai media promosi kesehatan khususnya tentang aborsi dilakukan melalui kegiatan FGD (Focus Group Discussion) yang melibatkan enam siswa (informan) kelas VIII SMP Negeri 26 Surabaya. Dari hasil FGD yang dilaksanakan selama 90 menit pada hari Rabu 22 Juli 2009, didapatkan beberapa pernyataan siswa terkait pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan. Sebagian besar informan memiliki pemahaman yang sederhana tentang promosi kesehatan masyarakat. Mereka tidak memberikan definisi dan batasan yang jelas mengenai apa itu promosi kesehatan, tetapi rata-rata telah mampu

111

menunjukkan contoh kegiatan atau program promosi kesehatan itu sendiri yang diketahui dalam keseharian mereka. Kegiatan penyuluhan serta pemasangan gambar-gambar (poster dan papan peringatan) kesehatan dianggap merupakan representasi dari kegiatan promosi kesehatan masyarakat. ...promosi kesehatan itu seperti kegiatan penyuluhan kesehatan... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...ya kegiatan penyuluhan..., kayak waktu di pertemuan ibu-ibu di RT itu... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). ...mungkin seperti gambar-gambar dilarang merokok atau juga dilarang buang sampah sembarangan itu ya... (Informan 3, SMPN 26 Surabaya). Untuk media promosi kesehatan itu sendiri, sebagian informan juga telah mengenalnya dengan baik. Beberapa contoh media promosi kesehatan yang banyak dijumpai di masyarakat dapat ditunjukkan oleh informan, walaupun pemaparannya juga masih sangat umum, seperti media cetak dan elektronik yang digunakan untuk penyampaian informasi kesehatan. ...media cetak atau juga media elektonik... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...mungkin kayak poster, terus brosur-brosur..., di televisi juga ada... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). ...poster, televisi..., terus SMS yang itu juga ya... (Informan 3, SMPN 26 Surabaya). Iklan layanan SMS yang sering masuk pada handphone informan dirasakan sedikit mengganggu, terutama bentuk pesan SMS dengan ajakan untuk bergabung atau mendaftar (registrarsi) pada layanan tertentu dengan tarif jauh di atas tarif SMS normal. Informan menganggap SMS seperti ini merupakan bentuk penipuan yang dapat mengurangi jumlah saldo pulsa pada handphone mereka.

112

...sebenernya seneng juga, tapi kadang isinya ga penting banget..., jadi ya agak terganggu... (Informan 3, SMPN 26 Surabaya). ...tidak suka karena biasanya iklan layanan SMS itu berisi penipuan dan menyedot pulsa hp... (Informan 5, SMPN 26 Surabaya). Namun dikatakan juga bahwa mereka tidak keberatan untuk menerima layanan pesan SMS sepanjang isinya memberikan informasi yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan. ...selama iklan layanan SMS itu bersifat menambah wawasan dan pengetahuan pasti dapat diterima dengan baik..., bahkan juga bisa diterapkan manfaatnya... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). Pengiriman informasi aborsi melalui SMS pada handphone informan ternyata mendapat sambutan yang positif. Informan menyatakan bahwa semua pesan aborsi yang diterimanya telah dibaca walaupun beberapa dari mereka mengaku agak kesulitan untuk memahami isi pesan aborsi tersebut. ...dibaca..., tapi kadang-kadang ga langsung baca..., habis hp nya ga terus dibawa... (Informan 3, SMPN 26 Surabaya). ...paham..., karena bahasa SMS nya baku jadi mudah dipahami... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...agak kesulitan juga memahami kata-kata asing... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). ...agak paham..., karena banyak yang tidak kebaca...., hp nya dibawa kakak... (Informan 6, SMPN 26 Surabaya). Pesan aborsi yang masuk pada handphone informan juga memiliki nilai khusus bagi sebagian dari mereka. Hal ini ditunjukkan dengan adanya upaya dari beberapa informan untuk tetap menyimpan pesan SMS tersebut. Namun terdapat juga dari mereka yang mengaku langsung menghapus pesan aborsi yang diterima setelah membacanya.

113

...di hapus karena memory hp tidak cukup... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...ada beberapa yang dihapus dan ada beberapa yang masih disimpan..., malah bikin folder buat dibaca-baca sebagai pengetahuan... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). Untuk reinformasi pesan aborsi, hanya sebagian dari informan yang mengaku berusaha mengkomunikasikan isi pesan aborsi pada orang lain disekitarnya. Mereka mengatakan bahwa alasan untuk megkomunikasikan pesan SMS karena mereka menganggap bahwa orang lain juga berhak untuk mengetahui informasi tersebut. Selain itu juga karena banyak pertanyaan dari pihak keluarga mengenai sering masuknya pesan SMS pada handphone mereka. ...SMS diketik ulang, diprint.., lalu dilihatkan ke teman sama saudara... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...hanya diberitahukan ke keluarga... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). ...supaya orang lain dapat pengetahuan juga... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...karena orang rumah banyak yang tanya-tanya... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). Namun juga banyak dari mereka yang mengatakan bahwa informasi tersebut tidak diberikan pada yang lain dengan alasan bahwa hal itu tidak terlalu penting bagi mereka, atau juga karena mereka masih merasa bahwa informasi aborsi merupakan sesuatu yang tidak wajar untuk diberitahukan kepada orang lain. ...ya ada yang buka-buka inbox terus baca SMS nya..., ya malu sih koq SMS nya aborsi..., sempat ditanya-tanya tapi uda tak jelasin... (Informan 3, SMPN 26 Surabaya). ...kalo dikirim lagi sayang pulsanya... (Informan 5, SMPN 26 Surabaya).

114

Pada umumnya informan menyatakan tidak merasa terganggu dengan masuknya pesan SMS aborsi pada handphone mereka, namun pengiriman pesan SMS yang sama secara berulang-ulang cenderung menjadikan mereka merasa bosan. Selain itu bagi sebagian informan pesan aborsi masih dianggap sedikit memalukan bila dibaca oleh orang tua. ...ngerasa terganggu juga kalo SMS nya sering diulang-ulang... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). ...enjoy aja.., ya dianggep sex education... (Informan 3, SMPN 26 Surabaya). ...malu kalo sampai dibaca orang tua... (Informan 5, SMPN 26 Surabaya). Sementara untuk teknis dan desain pesan aborsi melalui media SMS sendiri, informan juga memiliki pendapat yang berbeda-beda. Kebanyakan dari mereka memberikan komentar terhadap bahasa penulisan pesan. Selain itu durasi dan frekwensi pengiriman pesan SMS juga tidak lepas dari perhatian mereka. ...kurang enak dipahami jika hanya bahasa tulisan saja.., karena yang namanya penyuluhan selalu identik dengan gambar-gambar... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...kurang gaul bahasa yang digunakan... (Informan 3, SMPN 26 Surabaya). ...merasa tersanjung sama bahasa yang digunakan..., karena ada kata-kata anda... (Informan 4, SMPN 26 Surabaya). ...jarak antara pengiriman SMS satu sama yang ke dua terlalu cepat..., kadang sedikit mengganggu apalagi kalo siang... (Informan 5, SMPN 26 Surabaya). Setelah mendapatkan intervensi berupa pengiriman pesan SMS tentang aborsi pada handphone mereka, sebagian dari informan mengaku berusaha untuk mencari informasi aborsi lebih banyak melalui media lain. Rasa ingin tahu

115

mengenai aborsi dan harapan untuk memperoleh informasi aborsi secara lebih lengkap mendorong informan untuk melakukan pencarian ini. Media internet menjadi saluran informasi pilihan dalam memuaskan keingintahuan informan mengenai aborsi, namun demikian informasi aborsi yang mereka dapat melalui media internet secara garis besar relatif sama dengan informasi pada SMS yang telah mereka terima. ...coba mencari info lewat internet... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...sama juga..., coba cari-cari lewat internet..., ada juga teman yang beritahu... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). ...aborsi itu seperti apa..., terus dampaknya apa... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...untuk lebih memperjelas tentang aborsi... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). Tanggapan berbeda-beda diberikan oleh informan terkait penggunaan SMS sebagai media promosi kesehatan, terutama dalam penyampaian informasi tentang aborsi. Bagi mereka informasi dalam bentuk pesan teks SMS sedikit kurang menarik dibandingkan dengan informasi yang didesain dengan media yang menggunakan audio visual sebagai bentuk penyampaiannya. Mereka berpendapat bahwa penyampaian informasi kesehatan dengan disertai ilustrasi gambar akan lebih mempermudah dalam pemahaman, selain itu juga akan lebih menarik untuk membacanya. ...kurang ada gambar untuk lebih memperjelas...., lebih enak kalau pakai media lain yang ada audio visualnya... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...setuju aja..., tapi bagaimana dengan mereka yang tidak punya hp..., kasian kan... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya).

116

Namun terdapat juga beberapa tanggapan dari informan yang menunjukkan nilai lebih dari penggunaan SMS sebagai media promosi kesehatan, terutama pada keunikan dan efisiesinya. ...kalo SMS itu bikin penasaran bakal SMS apalagi ya..., jadi ya lebih seneng aja... (Informan 3, SMPN 26 Surabaya). ...lebih enak yang dibaca tidak terlalu banyak... (Informan 5, SMPN 26 Surabaya). ...pulsa tidak boros karena hanya terima SMS... (Informan 6, SMPN 26 Surabaya). Beberapa rekomendasi menarik juga diberikan oleh informan terkait dengan penggunaan SMS pada seluler sebagai media promosi kesehatan ke depan. ...coba diberikan informasi tentang menstruasi... (Informan 1, SMPN 26 Surabaya). ...jangan terlalu banyak pakai bahasa inggris... (Informan 2, SMPN 26 Surabaya). ...lain kali dikirim SMS tentang narkoba..., atau SMS dunia remaja seperti dunia cinta... (Informan 3, SMPN 26 Surabaya). ...jangan ada SMS yang berbunyi ancaman... (Informan 4, SMPN 26 Surabaya). ...jarak pengiriman SMS terlalu dekat..., jangan SMS terlalu malam kadang ada orang yang tidak boleh pakai hp di atas jam sembilan... (Informan 5, SMPN 26 Surabaya). ...ya sama, diberi SMS lainnya... (Informan 6, SMPN 26 Surabaya). Saran yang diberikan oleh informan selain pada desain dan teknis pengiriman pesan, juga lebih ditujukan pada isi informasi SMS, di mana mereka berharap bahwa ke depan nanti akan pendapatkan informasi mengenai sesuatu yang lebih relevan dengan kehidupannya saat ini. BAB 6

117

PEMBAHASAN

Penggunaan media dalam program promosi kesehatan masyarakat merupakan suatu yang sangat mendasar. Walaupun media hanya merupakan instrumen pendukung dalam kegiatan promosi kesehatan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa media memegang peranan dalam berhasil tidaknya pencapaian tujuan program promosi kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan sendiri pada dasarnya merupakan suatu bentuk aktifitas komunikasi dalam penyampaian informasi kesehatan antara provider kesehatan dan sasaran program, dengan media sebagai alat bantu komunikasi untuk menunjang proses penyampaian informasi. Efektif tidaknya suatu media dalam kegiatan promosi kesehatan tentu saja juga bergantung pada provider, sasaran, dan informasi itu sendiri. Pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan masyarakat merupakan sesuatu yang relatif baru. Bagaimana bentuk, desain, teknis implementasi, dan peranannya dalam pencapaian tujuan program promosi kesehatan merupakan pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian berjudul Pemanfaatan SMS pada Seluler sebagai Media Promosi Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Perubahan Sikap Remaja mengenai Aborsi ini. Penelitian ini sendiri didesain dan ditujukan untuk mengetahui sejauh mana efektifitas SMS yang digunakan sebagai media promosi kesehatan dalam meningkatkan pengetahuan dan mempengaruhi sikap remaja terkait masalah aborsi. Dengan subyek penelitian yaitu siswa kelas VIII SMP Negeri 26 dan SMP Negeri 20 Surabaya. 6.1. Karakteristik Responden

118

Responden dalam penelitian ini baik itu experiment group dan control group sebagian besar berada pada kisaran usia 13-14 tahun (96,7%), ini merupakan masa pra pubertas atau masa peralihan dari kanak-kanak menuju pubertas yang diikuti oleh perubahan fungsi fisiologis dan perkembangan fungsi psikologi (Gunarsa, 2003). Pada remaja usia dini ini secara biologis telah dicapai kematangan fungsi seksual dengan beberapa perubahan fisik, secara kejiwaan mulai mengalami ketertarikan terhadap lawan jenis, dan secara tingkah laku mulai senang untuk lebih banyak bergaul dan berada di luar rumah (BKKBN, 1998). Bagaimanapun juga ini merupakan titik kritis di mana perilaku seksual beresiko mulai muncul dan dapat berdampak pada terjadinya aborsi pada remaja. Tentu saja pendidikan dan promosi kesehatan mengenai masalah perilaku seksual dan khususnya tentang aborsi sangat penting untuk diberikan pada remaja usia dini. Distribusi jenis kelamin responden pada ke dua kelompok penelitian adalah 27 laki-laki dan 33 perempuan. Walaupun penelitian ini tidak bertujuan untuk mengetahui peranan gender dalam perubahan tingkat pengetahuan dan sikap remaja terkait aborsi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa masalah aborsi memiliki asosiasi langsung dengan jenis kelamin perempuan. Resiko aborsi pada kesehatan fisik (infeksi rahim, infertility, dll) maupun psikologis PAS (Post Abortion Syndrome) dan bahkan kematian tentu saja berada pada kelompok perempuan. Sementara untuk kelompok laki-laki justru lebih sering menjadi pihak yang mendorong terjadinya aborsi, terlebih dengan masih kentalnya budaya patriakalis yang menjunjung tinggi dominasi laki-laki.

119

Demikian juga dengan konsekwensi etis berupa stigma masyarakat yang lebih melekat pada pihak perempuan pelaku aborsi daripada pihak laki-laki yang secara logis juga memiliki peran dalam tindakan aborsi. Namun demikian dalam kerangka hukum di Indonesia telah terdapat beberapa pasal yang memuat konsekwensi normatif berupa sanksi tindak pidana bagi pelaku serta orang yang membantu dilakukannya aborsi (ilegal). Produk hukum yang tertuang pada KUHP Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349 ini berlaku bagi mereka baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dilakukannya aborsi secara ilegal (Ekotama dkk, 2001). Konferensi Wanita ke IV di Beijing tahun 1995 disepakati 4 pokok hak reproduksi, yaitu kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health), penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making), kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women), dan keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security). Dari empat point ini dapat dipahami terdapat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk masalah reproduksi (Widjanarko, 1999). Atas pertimbangan bahwa tanggung jawab dari masalah reproduksi (khususnya aborsi) ada pada ke dua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan, serta adanya pemahaman bahwa pengetahuan yang cukup dan sikap yang positif mengenai aborsi harus dimiliki oleh remaja tanpa ada pemisahan gender, maka studi ini dilakukan pada subyek penelitian dengan tanpa memandang perbedaan jenis kelamin. Bentuk keyakinan spiritual (agama) yang dipegang oleh responden juga tidak menjadi perhatian dalam penelitian ini. Namun melalui kegiatan indepth

120

interview diketahui bahwa semua informan mengemukakan dosa sebagai konsekwensi (vertikal) bagi tindakan aborsi. Melalui kacamata keyakinan ini diketahui bahwa responden memiliki karakteristik yang sama, yaitu masih memegang nilai-nilai spiritual yang juga turut berperan sebagai kontrol sikap dan tindakan mereka sehari-hari. Sesuai yang dikatakan oleh Azwar (1995), bahwa agama atau keyakinan spiritual dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap sikap dan perilaku. Dari sini diharapkan dengan nilai spiritual (agama) yang dipegang oleh responden akan mampu memberikan pengaruh positif terhadap sikap dan perilaku mereka terkait aborsi. Responden penelitian berasal dan bertempat tinggal di lingkungan dengan kondisi sosial kemasyarakatan yang relatif sama, yaitu di wilayah Surabaya bagian barat dengan kelompok terbesar (63,3%) berdomisili di Kecamatan Tandes. Seperti diketahui bahwa wilayah Surabaya bagian barat yang dikenal sebagai wilayah hitam untuk kegiatan prostitusi, beberapa lokalisasi tersebar di wilayah ini seperti Moroseneng, Kembang Kuning, Jarak, dan Dolly. Walaupun pengaruh lingkungan sosial responden tidak ikut diteliti namun faktor lingkungan sosial juga dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku responden terkait aborsi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Gunarsa (2003), bahwa lingkungan sosial merupakan lingkungan di mana individu berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain pada situasi tertentu. Lingkungan sosial sering menjadi determinan dalam pembentukan perilaku individu, karena individu cenderung untuk mengidentifikasi perilakunya dengan perilaku kelompok pada lingkungan di mana dirinya bersosialisasi.

121

Karakteristik responden (sebelum perlakuan) untuk pengetahuan dan sikap terkait aborsi aborsi baik SMPN 26 maupun SMPN 20 Surabaya relatif homogen dan cukup representatif digunakan sebagai subyek penelitian. Hal ini ditunjukkan melalui hasil uji homogenitas dengan nilai (probabilitas) untuk variabel pengetahuan dan variabel sikap masing-masing sebesar 0,607 dan 0,234 yang lebih besar dari (0,05) yang artinya bahwa keadaan awal responden (SMPN 26 dan SMPN 20) bersifat homogen. Dalam hal kualitas pendidikan yang didapatkan, ke dua kelompok responden berasal dari SMP dengan status yang relatif setara. SMP Negeri 26 dan SMP Negeri 20 merupakan dua institusi pendidikan menengah pertama negeri yang juga berlokasi di wilayah Surabaya bagian barat. Selama ini pihak ke dua SMP belum pernah melakukan kegiatan penyuluhan mengenai perilaku aborsi terhadap siswanya. Kegiatan penyuluhan mengenai perilaku remaja yang diberikan sebatas pada Narkoba, Rokok, serta Pola Pacaran (SMPN 26), itupun dilaksanakan sepenuhnya oleh guru BK (Bimbingan Konseling) tanpa adanya keterlibatan dari penangggung jawab UKS (Usaha Kesehatan Sekolah). Sehingga bentuk penyuluhan dan pemberian informasi oleh pihak sekolah tersebut lebih diorientasikan pada aspek etis normatif daripada aspek kesehatan. Informasi mengenai aborsi belum pernah diberikan dengan pertimbangan bahwa informasi tersebut masih terlalu dini untuk siswa setingkat SMP. Bahkan untuk pemahaman tentang perilaku seksual remaja pun juga cenderung direduksi menjadi bagaimana pola pacaran yang baik. Tampak masih ada batasan yang kuat antara guru dan siswa dalam mendiskusikan hal-hal yang berbau seksualitas, reproduksi, dan aborsi, walaupun itu dalam konteks pendidikan kesehatan.

122

Walaupun demikian untuk pihak SMPN 26 masih menyediakan media informasi bagi siswa mengenai perilaku seksual remaja yang secara implisit juga menyinggung tentang aborsi. Media informasi ini berupa VCD pengetahuan yang tersimpan di perpustakaan sekolah dan dapat diakses sewaktu-waktu oleh siswa secara bebas dalam ruang perpustakaan. Hal ini diketahui dari hasil FGD, dimana seorang siswa informan SMPN 26 mengatakan pernah menerima informasi tentang aborsi melalui media film yang diputar di perspustakaan sekolah.

6.2. Pengetahuan dan Sikap terkait Aborsi Perubahan tingkat pengetahuan dan sikap terkait aborsi pada responden dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan dua teknik pengukuran (uji komparasi). Pertama uji perbandingan nilai mean hasil pretest dan posttest (2 Independent Samples T Test) antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, berikutnya uji perbandingan nilai mean beda hasil pretest posttest (2 Paired Samples T Test) untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. 6.2.1. Perubahan Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003) terdapat tiga proses tahapan perubahan perilaku (KAP) yang dimulai dengan perubahan pengetahuan (kognitif), diikuti oleh perubahan sikap (afektif), dan terakhir adalah perubahan perilaku (psikomotor). Juga dikenal sebagai domain perilaku KAP - B (Knowledge Attitude Practice - Behavior). Berdasarkan pemahaman di atas, maka sudah sewajarnya bila kegiatan promosi kesehatan tentang perilaku aborsi pada remaja harus dimulai dengan memperkuat pengetahuan dan pemahaman remaja terhadap konsepsi aborsi.

123

Sejalan dengan hal tersebut, studi ini dilakukan dengan aspek pengetahuan sebagai salah satu sasaran intervensinya. Penelitian menunjukkan bahwa melalui intervensi berupa pengiriman SMS berisikan pesan aborsi ternyata mampu berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan responden terkait aborsi. Komparasi nilai mean hasil pretest dan posttest (2 Independent Samples T Test) variabel pengetahuan antara responden pada ke dua kelompok, adalah berikut : 1. Sebelum intervensi dilakukan, ke dua kelompok memiliki nilai rata-rata hasil pretest pengetahuan yang tidak jauh berbeda, yaitu 54,9 untuk kelompok eksperimen dan 53,7 untuk kelompok kontrol. Dengan nilai (0,607) > (0,05), yang berarti tidak ada perbedaan bermakna antara pengetahuan responden pada ke dua kelompok. 2. Setelah intervensi dilakukan, terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara nilai rata-rata hasil posttest pengetahuan pada ke dua kelompok. Nilai 76,3 untuk kelompok eksperimen dan 55,3 untuk kelompok kontrol. Dengan nilai (0,000) < (0,05), yang berarti ada perbedaan bermakna antara pengetahuan responden pada ke dua kelompok. Sementara komparasi nilai mean beda hasil pretest posttest (2 Paired Samples T Test) variabel pengetahuan untuk responden kelompok eksperimen dan responden kelompok kontrol, adalah berikut : 1. Nilai rata-rata hasil pretest posttest pengetahuan kelompok eksperimen (dengan intervensi) memiliki perbedaan yang cukup tinggi, yaitu 54,9 untuk pretest dan 76,3 untuk posttest. Dengan nilai (0,000) < (0,05), yang berarti ada perbedaan bermakna pada pengetahuan responden setelah diberi intervensi.

124

2. Nilai rata-rata hasil pretest posttest pengetahuan kelompok kontrol (tanpa intervensi) tidak menunjukkan banyak perbedaan, yaitu 53,7 untuk pretest dan 55,3 untuk posttest. Dengan nilai (0,142) > (0,05), yang berarti tidak ada perbedaan bermakna pada pengetahuan responden tanpa diberi intervensi. Penggunaan 2 uji komparasi (statistik) dalam penelitian ini (2 Independent Samples T Test dan 2 Paired Samples T Test) dimaksudkan untuk memperkuat nilai kemaknaan dari perbedaan tingkat pengetahuan mengenai aborsi untuk responden pada ke dua kelompok. Penelitian ini memberikan parameter tingkat pengetahuan mengenai aborsi menurut tiga kategori, yaitu pengetahuan kurang (50) , cukup (51-75), dan baik (76). Hasil pengukuran dalam pretest posttest variabel pengetahuan tingkat

mengelompokkan

responden

beberapa

kategori

menurut

pengetahuan (aborsi) yang dimiliki. Sesuai hasil pretest, tingkat pengetahuan responden ke dua kelompok berada pada kategori cukup. Melalui hasil posttest, tingkat pengetahuan responden kelompok eksperimen (dengan intervensi) naik pada kategori baik, sedangkan tingkat pengetahuan responden kelompok kontrol (tanpa intervensi) tetap berada pada kategori cukup.
pengetahuan cukup Pretest 54,9 dengan intervensi Experiment Group pengetahuan baik Posttest 76,3

pengetahuan cukup Pretest 53,7

Control Group tanpa intervensi

pengetahuan cukup Posttest 55,3

Bagan 6.1. Kategorisasi Pengetahuan Responden

125

Pemberian informasi aborsi sebagai proses belajar terbukti mampu meningkatkan pengetahuan responden. Walaupun informasi aborsi yang diberikan tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kehidupan mereka setidaknya untuk saat ini, namun informasi tersebut ternyata dapat diserap dan disimpan dalam alam sadar mereka. Hal ini sesuai dengan teori pembelajaran dalam psikologi pendidikan, di mana otak manusia mampu menerima semua bentuk kesan melalui panca indera baik disengaja atau tidak disengaja, menyimpan kesan yang telah diterima secara sadar atau tidak sadar, dan mengeluarkan kesan yang tersimpan dalam ingatan baik secara utuh, berkurang, atau dengan penambahan (Suryabrata, 1989). Melalui FGD diketahui banyak dari informan mengeluhkan (bosan) tentang pengiriman pesan SMS yang sering diulang-ulang, terutama dengan jarak waktu kirim yang relatif dekat. Pemberian informasi aborsi secara berulang-ulang dimaksudkan agar informasi tersebut dapat tersimpan kuat dalam alam sadar responden, yang pada gilirannya akan memberikan peran dalam mempengaruhi perilaku mereka sesuai dengan yang diharapkan. Sejalan dengan yang dikemukakan Hebart, bahwa potensi dari kesan dalam alam sadar manusia bergantung pada dua hal. Pertama adalah jelas atau tidaknya kesan yang pertama kali diterima, semakin jelas suatu kesan diterima kesadaran maka semakin kuat berada dalam alam sadar. Berikutnya adalah frekwensi kesan yang diterima, semakin sering suatu kesan masuk dalam kesadaran maka semakin kuat kesan tersebut berada dalam alam sadar. Tiap kesan yang berada dalam alam sadar memiliki kekuatan yang berbeda-beda, semakin kuat kesan maka semakin besar perannya dalam menentukan tingkah laku manusia (Dahar, 1989).

126

Dalam studi quasi eksperimental tentu saja responden pada ke dua kelompok tidak sepenuhnya dapat dikontrol. Dalam artian bahwa sebelum penelitian dilakukan pengetahuan reponden mengenai aborsi tidak sepenuhnya kosong, juga dugaan akan adanya faktor perancu di mana selama penelitian berlangsung responden bisa mendapatkan informasi aborsi dari sumber lain yang akan berpengaruh terhadap hasil tes pengetahuan. Dugaan ini diperkuat melalui hasil indepth interview di mana semua informan pada ke dua kelompok penelitian mengatakan pernah mendapatkan informasi mengenai aborsi sebelumnya melalui beberapa sumber terutama televisi dan koran. Mereka juga telah mengetahui apa dan bagaimana itu aborsi walaupun dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda dan tidak terlalu luas. Sedangkan melalui FGD diketahui bahwa beberapa informan juga mencari informasi lebih mengenai aborsi melalui media internet selama penelitian berlangsung. Walaupun demikian bukan berarti bahwa hasil penelitian untuk variabel pengetahuan mengenai aborsi ini menjadi tidak bermakna. Karena meskipun responden terbukti telah memiliki pengetahuan tentang aborsi yang didapatkan sebelum studi dilakukan, namun hal ini dapat diantisipasi dengan melakukan pengukuran tingkat pengetahuan awal responden serta penggunaan skoring dan kategorisasi tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah perlakuan. Sementara untuk responden yang ternyata juga mendapatkan informasi aborsi dari sumber lain selama penelitian berlangsung, diketahui bahwa informasi yang didapatkan tersebut relatif sama dengan informasi yang diterima melalui SMS, sehingga informasi dari sumber lain tersebut hanya bersifat memperkuat informasi yang telah diterima melalui pesan SMS.

127

Dari argumentasi ini dapat dinyatakan bahwa peningkatan pengetahuan responden mengenai aborsi adalah benar-benar berasal dari intervensi pengiriman informasi aborsi melalui pemanfaatan fasilitas SMS pada seluler. Dalam kerangka pengetahuan, intervensi pemberian informasi aborsi sendiri difokuskan pada pencapaian tiga hal utama, yaitu reponden dapat mengetahui, memahami, dan mengevaluasi segala sesuatu terkait aborsi. Tujuan ini diadopsi dari enam domain pengetahuan Bloom (1979), yaitu to know (mengingat materi), comprehension (menjelaskan kembali materi), application (mengimplementasikan materi), analyze (menjabarkan materi dalam komponen yang lebih kecil namun tetap utuh), synthesize (merangkai materi menjadi entitas baru), dan evaluation (melakukan penilaian terhadap materi menggunakan kriteria tertentu). 6.2.2. Perubahan Sikap Dalam domain perilaku KAP - B, perilaku merupakan konstelasi dari pengetahuan, sikap, dan tindakan yang saling berinteraksi satu sama lain terhadap suatu obyek. Pengetahuan merupakan determinan awal dari sikap, sementara sikap sendiri adalah pemicu dari tindakan nyata, dan tindakan yang telah terbentuk dan menjadi bagian dari diri seseorang adalah perilaku. Namun tidak selamanya dapat dikatakan bahwa komponen pengetahuan selalu berbanding lurus dengan komponen sikap. Perubahan pengetahuan individu terhadap suatu obyek belum tentu diikuti oleh perubahan sikap individu terhadap obyek yang sama. Cognitive Dissonance Theory dari Festinger (1957) setidaknya mampu menjawab hal ini. Ketidakseimbangan elemen kognitif (pengetahuan, pendapat, dan keyakinan) dalam diri individu dapat menimbulkan pertentangan, ini terjadi ketika individu menghadapi suatu stimulus yang memunculkan

128

pendapat atau keyakinan berbeda dan saling bertentangan dalam diri individu sendiri, kondisi ini disebut sebagai dissonance (Notoatmodjo, 2003). Dengan menggunakan tolak ukur kuantitatif, setidaknya teori di atas dapat dijumpai pada hasil penelitian. Peningkatan pengetahuan responden mengenai aborsi yang cukup tinggi tidak diikuti oleh perubahan sikap mengenai aborsi yang tinggi pula pada responden yang sama. Terdapat ketidakseimbangan fungsi kognitif antara elemen pengetahuan dan keyakinan responden, yang

memunculkan pertentangan antara pemahaman dan sikap mereka terhadap aborsi. Walaupun uji statistik menunjukkan bahwa melalui intervensi pengiriman pesan SMS mengenai aborsi ternyata mampu memberikan pengaruh yang cukup bermakna terhadap perubahan sikap responden, namun secara kuantitas perubahan nilai rata-rata hasil pretest posttest pada variabel sikap ini tidak sebanding dengan perubahan nilai rata-rata hasil pretest posttest pada variabel pengetahuan. Komparasi nilai mean hasil pretest dan posttest (2 Independent Samples T Test) variabel sikap antara responden pada ke dua kelompok, adalah berikut : 1. Sebelum intervensi dilakukan, nilai rata-rata hasil pretest sikap pada ke dua kelompok tidak jauh berbeda, yaitu 60,8 untuk kelompok eksperimen dan 58,3 untuk kelompok kontrol. Dengan nilai (0,234) > (0,05), yang berarti tidak ada perbedaan bermakna antara sikap responden pada ke dua kelompok. 2. Setelah intervensi dilakukan, nilai rata-rata hasil posttest sikap pada ke dua kelompok menunjukkan perbedaan yang cukup tinggi, yaitu 64,8 untuk kelompok eksperimen dan 57,2 untuk kelompok kontrol. Dengan nilai (0,003) < (0,05), yang berarti ada perbedaan bermakna antara sikap responden pada ke dua kelompok.

129

Sementara komparasi nilai mean beda hasil pretest posttest (2 Paired Samples T Test) variabel sikap untuk responden kelompok eksperimen dan responden kelompok kontrol, adalah berikut : 1. Nilai rata-rata hasil pretest posttest sikap kelompok eksperimen (dengan intervensi) memiliki perbedaan yang cukup tinggi, yaitu 60,8 untuk pretest dan 64,8 untuk posttest. Dengan nilai (0,001) < (0,05), yang berarti ada perbedaan bermakna pada sikap responden setelah diberi intervensi. 2. Nilai rata-rata hasil pretest posttest sikap kelompok kontrol (tanpa intervensi) tidak menunjukkan banyak perbedaan, yaitu 58,3 untuk pretest dan 57,2 untuk posttest. Dengan nilai (0,131) > (0,05), yang berarti tidak ada perbedaan bermakna pada sikap responden tanpa diberi intervensi. Sikap responden terhadap aborsi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu sikap pro aborsi (30) , ambivalent (31-60), dan anti aborsi (61). Melalui hasil pretest didapatkan sikap responden pada ke dua kelompok berada pada kategori ambivalent. Dan melalui hasil posttest, sikap responden kelompok eksperimen (dengan intervensi) berubah pada kategori anti aborsi, sedang sikap responden kelompok kontrol (tanpa intervensi) tetap berada pada kategori ambivalent.
sikap ambivalent Pretest 60,8 dengan intervensi Experiment Group sikap anti aborsi Posttest 64,8

sikap ambivalent Pretest 58,3

Control Group tanpa intervensi

sikap ambivalent Posttest 57,2

Bagan 6.2. Kategorisasi Sikap Responden

130

Bila diperhatikan perubahan sikap kelompok eksperimen dari kategori ambivalent menjadi anti aborsi sebenarnya tidak terlalu banyak berarti karena secara kuantitas perubahan nilai rata-rata hasil pretest posttest variabel sikap kelompok ini hanya memiliki selisih 4,0 point. Sementara hasil pretest posttest sikap ke dua kelompok untuk kategori ambivalent rata-rata hanya 2,2 point dibawah batas kategori anti aborsi. Menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan respon internal yang terjadi di dalam diri individu yang tidak dapat dilihat secara langsung, dan merupakan bagian dari covert behavior. Sikap merupakan sesuatu yang sangat sulit dikontrol dan diamati, serta membutuhkan waktu yang relatif lebih panjang untuk dapat dipengaruhi atau dirubah. Begitu juga dengan variabel sikap responden yang secara kuantitas tidak memiliki banyak perubahan seperti variabel pengetahuan. Waktu penelitian yang relatif kurang, sikap awal responden yang sebelumnya memang telah menolak aborsi, serta adanya perbedaan nilai maximum antara hasil tes sikap dan tes pengetahuan (80 dan 100), ikut menjadi penyebab mengapa kuantitas perubahan nilai sikap tidak setinggi kuantitas perubahan nilai pengetahuan. Melalui indepth interview diketahui bahwa sikap informan terhadap aborsi cenderung menolak, sikap ini tentu saja didasari oleh penilaian-penilaian berdasar pada standar nilai tertentu. Keyakinan terhadap dosa maupun stigma masyarakat menjadi alasan sikap penolakan terhadap aborsi. Hanya beberapa informan saja yang ikut menyertakan aspek kesehatan sebagai alasan dalam penolakan tindakan aborsi. Sikap anti aborsi pada informan lebih dikarenakan alasan-alasan etis, moral, dan agama daripada alasan dalam perspektif kesehatan.

131

Penolakan aborsi oleh informan dengan alasan bahwa tindakan aborsi memiliki konsekwensi negatif dalam masyarakat, merupakan bentuk sikap yang lahir dari pengaruh nilai-nilai (norma) yang berlaku pada masyarakat dimana informan berada. Karena pada dasarnya norma masyarakat merupakan nilai yang ada dan dipercaya pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Norma masyarakat berupa keyakinan umum yang berakar dari tradisi dan kepercayaan yang telah membudaya dan dijadikan pandangan masyarakat. Norma masyarakat

memberikan batasan dalam bersikap dan bertindak bagi tiap individu yang menjadi anggota suatu kelompok masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Dari hasil indepth interview juga ditemukan informan yang menolak aborsi dengan alasan etis dan agama, sekaligus dapat menerima aborsi sepanjang terdapat kondisi yang beresiko (secara ekonomi) bagi ibu dan bayi kedepannya nanti bila kehamilan tetap dilanjutkan. Sikap ambivalent ini tentu saja merupakan hasil konfrontasi internal dalam diri informan pada penilaian-penilaian mengenai aborsi dengan menggunakan beberapa standar nilai tertentu. Nilai agama dan etis sosial menjadi standar pertimbangan untuk ditolaknya aborsi, serta nilai ekonomi dan kesehatan menjadi standar pertimbangan untuk diterimanya aborsi. Standar nilai mana yang lebih berperan dalam mempengaruhi sikap informan ke depan akan bergantung pada situasi seperti apa yang akan dihadapi. Ambivalensi sikap informan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Recht, bahwa sikap menggambarkan kumpulan kepercayaan individu yang selalu memasukan aspek penilaian didalamnya, artinya sikap selalu dapat ditafsirkan sebagai baik dan buruk atau positif dan negatif, tergantung oleh standar nilai yang digunakan individu pada saat itu (Green, 1980).

132

Beberapa ahli psikologi sosial dan psikologi kepribadian seperti Chave, Bogardus, La Pierre, dan Gordon Allport menganggap sikap sebagai kesiapan (kecenderungan potensial) untuk bereaksi pada suatu obyek dengan cara-cara tertentu, serta tendensi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dengan stimuli sosial tertentu (Azwar, 1995). Sejalan dengan pendapat di atas maka dengan berbekal sikap yang relatif lebih dekat pada pilihan anti aborsi sebagai kecenderungan potensial dalam antisipasi tindakan aborsi pada diri responden, diharapkan kedepannya mereka akan selalu dapat bertindak dan berperilaku secara positif terkait aborsi.

6.3. Efektifitas Media SMS Seluler pada dasarnya merupakan bentuk media elektonik (audio) yang digunakan dalam penyampaian pesan (komunikasi) dalam bentuk suara oleh komunikator kepada komunikan. Namun pada perkembangannya seluler berubah dari sebatas perangkat komunikasi berbasis audio (suara) menjadi perangkat media audio visual (gambar dan suara). Fasilitas SMS (Short Messaging Service) sendiri mewakili salah satu bentuk visual dari media seluler. Dalam penelitian ini efektifitas fasilitas SMS sebagai media promosi kesehatan terkait masalah abosi diukur melalui dua variabel, yaitu pengetahuan dan sikap. Dengan indikator pencapaian efektifitas berupa kenaikan persentase nilai rata-rata hasil pretest posttest untuk masing-masing variabel pada kelompok yang diberikan intervensi (experiment group) sebesar 10% atau lebih. Melalui hasil pretest posttest untuk variabel pengetahuan dan variabel sikap pada kelompok eksperimen menunjukkan persentase kenaikan nilai rata-rata

133

sebesar 38,9% (di atas 10%) untuk pengetahuan dan 6,6% (di bawah 10%) untuk sikap. Dari persentase perubahan hasil ini didapatkan jawaban terhadap dua hipotesis penelitian. 5. Peningkatan persentase nilai rata-rata hasil pretest posttest untuk variabel pengetahuan sebesar 38,9% > 10%. Artinya pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan terbukti efektif dalam mempengaruhi peningkatan pengetahuan (aborsi) siswa SMPN 26 Surabaya. 6. Peningkatan persentase nila rata-rata hasil pretest posttest untuk variabel sikap sebesar 6,6% < 10%. Artinya pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan terbukti kurang efektif dalam mempengaruhi perubahan sikap (aborsi) siswa SMPN 26 Surabaya. Keberhasilan pencapaian target peningkatan rata-rata hasil pretest posttest sebesar 10% untuk variabel pengetahuan terjadi karena beberapa faktor : a. Pengetahuan merupakan variabel yang relatif lebih mudah dipengaruhi, karena pengetahuan bersifat obyektif dengan landasan yang berlaku secara universal, serta tidak melibatkan aspek penilaian (baik buruk) dalam penerimaannya. b. Pengetahuan tentang aborsi bukan hal baru bagi responden, sehingga ada keterbukaan dalam penerimaan informasi aborsi. c. Pengetahuan awal responden terhadap aborsi hanya sebatas pengertian secara umum yang tidak terlalu luas, sehingga pemberian informasi aborsi yang lebih lengkap akan semakin memperluas pengetahuan mereka. d. Desain pesan SMS aborsi yang mudah untuk dipahami dan sifat dari media SMS sendiri yang mampu mendorong responden untuk membaca keseluruhan informasi aborsi.

134

Sedangkan kegagalan pencapaian target peningkatan rata-rata hasil pretest posttest sebesar 10% untuk variabel sikap dapat terjadi karena : a. Sikap lebih bersifat subyektif dan selalu melibatkan aspek penilaian (baik buruk) dalam penerimaannya dengan landasan standar nilai yang sangat beragam, sehingga akan lebih sulit dalam mempengaruhinya. b. Perubahan sikap membutuhkan proses yang lama dan tidak dapat berlangsung secara instant, sehingga kontradiktif dengan waktu penelitian yang relatif singkat. c. Keberadaan sikap awal responden yang cenderung telah menolak aborsi, sehingga pemberian informasi aborsi hanya bersifat memperkuat sikap mereka saja tanpa ada pengaruh yang besar. d. Desain pesan SMS aborsi yang lebih difokuskan pada bentuk informasi pengetahuan dan kurang memperhatikan bentuk informasi yang dapat menyentuh sisi emosional responden. Dalam bidang promosi dan pendidikan kesehatan, secara umum telah dipahami beberapa kriteria media promosi yang efektif diantaranya adalah mudah diperoleh bahan pembuatannya, murah karena hanya membutuhkan biaya yang kecil, mampu menarik dan merangsang perhatian sasaran, desain pesan informatif dan tidak bermakna ganda, efektif dan berdayaguna bagi sasaran, mampu mendorong sasaran untuk belajar secara lebih positif, tepat waktu dan aktual dalam penyampaian, serta sesuai dengan kebututuhan sasaran (Soehoet, 2003). Pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan untuk peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap siswa terkait aborsi, dalam beberapa point telah memenuhi kriteria efektifitas media di atas. Bahkan melangkah lebih jauh

135

terutama dalam kemampuan media untuk memastikan sasaran akan membaca keseluruhan infomasi yang diberikan, dan kemampuan untuk mempermudah peluang reinformasi pesan. Seperti hasil yang didapatkan dari FGD bahwa informan membaca semua pesan aborsi yang masuk pada handphone mereka, lepas dari informasi itu menarik atau tidak, dan apakah informasi itu memiliki keterkaitan langsung dengan mereka atau tidak. Rasa penasaran terhadap isi pesan SMS menjadi alasan untuk ini, dan bagaimanapun juga selalu terdapat naluri untuk membaca setiap pesan yang masuk pada handphone tanpa memandang isi pesan itu sendiri. Selain itu terdapat kemungkinan bagi informan untuk menginformasikan ulang (reinformasi) pesan aborsi yang telah diterimanya ke pada siapapun, kapanpun, dan dimanapun, karena bagaimanapun juga pesan SMS yang masuk pada handphone informan akan selalu ada sepanjang mereka tetap menggunakan handphone miliknya dan tidak menghapus pesan tersebut. Beberapa informan juga mengaku lebih mudah memahami pesan SMS aborsi karena kesederhanaan dari pesan SMS itu sendiri, yang menjadikan mereka tidak terlalu membutuhkan banyak waktu dan usaha untuk dapat memahaminya. Walaupun harus diakui bahwa beberapa informan merasa akan jauh lebih mudah untuk memahami informasi bila disertai ilustrasi gambar yang menunjukkan aborsi itu sendiri. Pesan SMS aborsi juga mampu membangkitkan rasa ketertarikan untuk mencari informasi lebih banyak mengenai aborsi melalui berbagai sumber media lain. Setidaknya hal ini diketahui dari informan yang mengaku berusaha mencari informasi aborsi secara lebih lengkap melalui media internet setelah menerima pesan SMS aborsi selama penelitian berlangsung.

136

Pada sisi lain terdapat banyak permintaan dari informan terhadap penginformasian pesan-pesan lain (selain aborsi) melalui media SMS kedepannya nanti. Baik itu informasi dalam konteks kesehatan maupun non kesehatan, seperti informasi siklus menstruasi, narkoba, dan juga dunia remaja. Banyaknya harapan dari informan ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan media SMS telah dapat diterima dan diminati secara serius, walaupun hal ini masih merupakan sesuatu yang relatif baru. Dengan penggunaan SMS sebagai media promosi kesehatan mengenai aborsi, diharapkan responden dapat memiliki pemahaman yang benar mengenai masalah aborsi serta berbagai faktor yang ada didalamnya dalam perspektif kesehatan. Dan dengan pemahaman yang benar diharapkan responden kedepannya akan memiliki sikap dan perilaku yang bertanggung jawab terhadap proses reproduksinya terkait aborsi.

6.4. Peran Komunikasi dalam Perubahan Perilaku Komunikasi kesehatan adalah usaha yang sistematis untuk mempengaruhi secara positif perilaku sasaran dengan menggunakan berbagai prinsip dan metode komunikasi, baik komunikasi interpersonal maupun komunikasi massa. Tujuan utama komunikasi kesehatan adalah perubahan perilaku yang sehat. Selanjutnya dengan perilaku yang lebih sehat diharapkan akan berpengaruh terhadap pencapaian derajat kesehatan yang optimal (Notoatmodjo, 2003). Sejalan dengan hal di atas, bentuk komunikasi dalam studi penelitian ini pada dasarnya merupakan representasi dari komunikasi kesehatan. Dengan pemanfaatan media komunikasi (SMS) dalam proses transfer pesan (aborsi) dari

137

komunikator (peneliti) kepada komunikan (responden). Tujuan dari proses komunikasi ini adalah peningkatan pemahaman dan perubahan sikap responden (terukur) secara lebih positif terkait aborsi, dan diharapkan dengan pemahaman yang baik dan sikap yang positif akan berpengaruh secara linier terhadap perilaku responden (tidak terukur) dikemudian hari. Dengan berlandaskan pada tujuan komunikasi kesehatan, secara prinsip komunikasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah komunikasi persuasif dengan tahapan penyampaian pesan seperti pada komunikasi informatif tetapi dengan tujuan yang lebih jauh lagi, yaitu mengajak komunikan (responden) untuk bertindak sesuai dengan isi pesan (aborsi). Komunikan diberi pandangan baru lalu diajak untuk meneliti kembali kerangka acuan tindakan dan pola perilakunya selama ini, kemudian dipengaruhi untuk merubah kerangka acuan tindakan dan pola perilakunya sesuai dengan yang dikehendaki komunikator (Soehoet, 2003). Keberhasilan proses komunikasi dengan menggunakan media SMS pada penelitian ini diukur melalui tingkat efektifitas SMS yang dinilai dari sejauh mana responden mampu memahami informasi aborsi serta sejauh mana informasi tersebut dapat berpengaruh terhadap sikap responden terkait aborsi. Dalam konteks ini komunikasi digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi pengetahuan dan sikap responden terkait aborsi, atau dengan kata lain komunikasi digunakan sebagai alat propaganda. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Claude E. Shannon dan Warren Weaver dalam Mathematical Theory of Communication, bahwa efektifitas komunikasi dapat dihitung dan diukur secara matematis (akurasi transmisi pesan, ketepatan pesan terhadap makna, dan efektifitas pesan dalam mempengaruhi

138

tindakan), sehingga komunikasi dapat dipakai sebagai alat kontrol. Karena pesan komunikasi dapat didesain dan diukur efektifitasnya, maka dalam perspektif propaganda komunikasi bisa digunakan sebagai alat manipulasi. Komunikasi dapat mempengaruhi pola pikir dan membentuk nilai sesuai dengan apa yang diharapkan, dan dapat dijadikan alat penyampai pesan yang efektif guna mencapai tujuan tertentu sebagaimana diinginkan oleh pelaku komunikasi (Fikse, 1999). Dalam studi ini hubungan antara komunikasi dan perilaku aborsi memang tidak ikut diteliti. Namun dari pernyataan informan didapatkan relevansi yang kuat antara faktor komunikasi dengan determinan perilaku aborsi (pengetahuan dan sikap). Hasil indepth interview menunjukkan bahwa informasi aborsi yang diterima informan selama ini lebih banyak berasal dari media televisi dan koran, ini merupakan bentuk komunikasi massa yang lebih bersifat informatif daripada edukatif. Namun bentuk komunikasi ini ternyata juga memiliki peran terhadap pengetahuan dan sikap informan terkait aborsi. Juga didapatkan fakta bahwa selama ini terdapat nilai-nilai etis yang menjadi batasan bagi informan untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang dianggap lebih paham tentang aborsi (guru dan orang tua), ini tentu berpengaruh secara negatif terhadap pengetahuan dan sikap informan. Artinya keberadaan faktor hambatan komunikasi juga memegang peranan dalam pengetahuan dan sikap informan terkait aborsi. Tidak dapat disangkal bahwa komunikasi memiliki peran yang cukup berpengaruh terhadap proses perubahan perilaku, dengan beberapa tahapan yang harus dilalui. Pada tahap awal fungsi komunikasi adalah penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan, dan dengan tersampaikannya informasi diharapkan komunikan mampu memahami makna atau maksud dari informasi

139

tersebut. Selanjutnya dengan pemahaman yang baik terhadap informasi diharapkan terdapat perubahan sikap pada komunikan. Dan pada tahap akhir dengan terjadinya perubahan sikap diharapkan akan berpengaruh terhadap perubahan perilaku komunikan.

6.5. Pemanfaatan SMS sebagai Media Promosi Kesehatan Menurut dokumen Healthy People promosi kesehatan didefinisikan sebagai life style improvements of essentially health people. Promosi kesehatan adalah proses untuk meningkatkan kesehatan hingga memperluas kemungkinan bagi setiap pribadi (individu, keluarga, dan masyarakat), sektor swasta (para profesional dan dunia usaha), serta publik (negara dan daerah) dalam mendukung praktek-praktek kesehatan yang positif sehingga menjadi tata nilai dan budaya baru (Simon Morton et al, 1995). Promosi kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan kesehatan nasional, serta merupakan sebuah proses komprehensif bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Tidak hanya mencakup upaya peningkatan kemampuan dan kesadaran masyarakat di bidang kesehatan saja, tetapi juga upaya yang bertujuan merubah dan mengkondisikan lingkungan menjadi tempat tinggal yang ideal penopang kehidupan dalam perspektif kesehatan, meningkatkan peran serta masyarakat dalam hal kesehatan, reorientasi sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan, memperluas kemitraan (networking) lintas sektor dalam program kesehatan, serta peran strategis untuk ikut mempengaruhi arah kebijakan (pusat, daerah, dan kelembagaan), agar setiap bentuk kebijakan yang dikeluarkan juga mempertimbangkan kepentingan kesehatan (healthy public policy).

140

Salah satu strategi pembangunan kesehatan adalah peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam bidang kesehatan. Proses penyadaran kesehatan merupakan proses yang panjang dan dinamis, dan tentu saja sebelum titik sadar tercapai haruslah diawali dengan proses tahu terlebih dahulu. Proses pemaparan pengetahuan yang terus-menerus dan berkelanjutan lambat laun akan membentuk keasadaran, dan melalui tahap sadar inilah perubahan perilaku yang diharapkan dapat terwujud. Untuk menunjang strategi ini tentu saja dibutuhkan suatu bentuk media promosi kesehatan yang efektif, fleksibel, efisien dalam pembiayaan dan operasionalisasi, serta mampu menjangkau semua lapisan masyarakat. Atas dasar ini pemanfaatan fasilitas SMS (Short Messaging Service) pada teknologi seluler sebagai instrumen media promosi kesehatan layak untuk dijadikan alternatif pilihan, dengan target utama peningkatan pengetahuan melalui penyebarluasan informasi kesehatan pada masyarakat di semua lapisan. 6.5.1. Karaktersistik Pesan SMS Berbeda dengan penggunaan media kesehatan lain, media SMS hanya mampu menampung informasi kesehatan dalam bentuk pesan tekstual dengan jumlah karakter yang terbatas (160 karakter pes SMS). Karena itu desain informasi kesehatan melalui media SMS harus benar-benar memperhatikan aspek kesederhanaan informasi tanpa harus mengurangi isi dan makna dari informasi itu sendiri. Namun tentu saja satu jenis informasi kesehatan secara lengkap dipastikan tidak akan dapat ditampung seluruhnya dalam satu pesan teks SMS. Sehingga diperlukan beberapa SMS agar keseluruhan informasi kesehatan tersebut dapat

141

terakomodir. Hal ini tidak menjadi masalah sepanjang pemberian informasi melalui SMS kepada sasaran dapat berlangsung secara continue dan tidak terputus sampai keseluruhan informasi terkirimkan.

tahukah anda bahwa aborsi tidaklah sama dengan keguguran..., terdapat dua jenis aborsi, yaitu abortus spontan dan abortus provokatus

perlu anda tahu bahwa keguguran (miscarriage) atau aborsi spontan adalah aborsi yang terjadi dengan tidak sengaja dan tanpa ada campur tangan dari pihak lain RedCell

harus anda tahu bahwa aborsi yang dilakukan secara sadar dan sengaja, dengan bantuan atau pengaruh dari pihak lain merupakan bentuk dari abortus provokatus RedCell

RedCell

Gambar 6.1. Contoh Desain Pesan SMS Tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam teknis pemberian informasi kesehatan melalui penggunaan media SMS, yaitu frekwensi pengiriman pesan, durasi pengiriman pesan, dan redaksional penulisan pesan. 1. Frekwensi pengiriman pesan yang terlalu tinggi akan menimbulkan kejenuhan pada sasaran, namun bila frekwensi pengiriman pesan terlalu rendah akan menjadikan informasi kurang dapat diingat oleh sasaran. 2. Durasi pengiriman pesan yang terlalu panjang akan menjadikan informasi kehilangan rangkaian sehingga pemaknaan informasi oleh sasaran dapat berbeda dengan makna yang dimaksud, namun bila durasi pengiriman pesan terlalu pendek akan menimbulkan kejenuhan pada sasaran. 3. Format redaksional penulisan pesan hendaknya dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan sebisa mungkin menghindari masuknya kata-kata asing, karena sasaran pesan bersifat acak dan berasal dari lapisan yang beragam.

142

Juga terdapat beberapa karakteristik lain dari media SMS yang dapat membedakan dengan media promosi kesehatan lain, yaitu : 1. Peluang informasi kesehatan untuk dibaca oleh sasaran lebih besar, karena secara psikologis terdapat naluri dari seseorang untuk selalu membaca pesan SMS yang masuk pada handphone milikinya tanpa memandang isi dari pesan itu sendiri. 2. Kemudahan dalam penyimpanan informasi kesehatan, karena informasi itu sendiri berbentuk teks digital yang dapat dengan mudah disimpan dalam handpone. Hal ini tentu saja mempermudah sasaran untuk sewaktu-waktu membaca kembali informasi yang telah diterima sebelumnya. 3. Kemudahan dalam reinformasi pesan melalui forwarding atau juga ditunjukkan langsung pada pihak yang dikehendaki. Karena bagaimanapun juga informasi kesehatan yang masuk pada handphone sasaran akan selalu ikut terbawa dimanapun sasaran berada sepanjang tetap menggunakan handphone dan tidak menghapus informasi kesehatan yang telah diterima. 6.5.2. Segmentasi dan Jangkauan Pesan Menurut ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia) di awal tahun 2009, angka penetrasi penggunaan seluler di Indonesia mencapai kisaran 140 juta pengguna atau sekitar 58% dari total jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 240 juta jiwa, artinya 3 dari 4 orang menggunakan seluler dalam kesehariannya. Di Indonesia sendiri telah berdiri 11 operator jaringan seluler dengan lebih dari 100 ribu BTS yang memiliki coverage area sekitar 90% wilayah tanah air, baik untuk jaringan seluler berbasis GSM maupun CDMA (Ariyanti, 2009 online).

143

Berdasarkan data di atas, dalam hal sasaran maupun jangkauan pesan (demografis dan geografis) pemanfaatan SMS pada seluler sebagai media dalam promosi kesehatan di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. Penggunaan media SMS mampu menjangkau masyarakat pada hampir semua kelompok umur, semua status kelas, dan semua lokasi di Indonesia. Dalam implementasi SMS sebagai media promosi kesehatan ke depan, segmentasi sasaran bersifat acak dan beragam dari semua lapisan masyarakat yang menggunakan teknologi seluler dalam kesehariannya. Hal ini berbeda dengan penggunaan media promosi kesehatan lain di mana sasaran dapat lebih spesifik dan terkontrol. Dalam penggunaan media SMS sasaran tidak dapat terspesifikasi atau terkontrol karena sasaran lebih bersifat majemuk tanpa ada kategorisasi. Artinya provider kesehatan tidak dapat memilih pada kelompok sasaran mana informasi kesehatan yang spesifik dapat diberikan, karena provider kesehatan tidak mungkin melakukan pendataan terhadap setiap nomor handphone sasaran setiap kali melaksanakan kegiatan promosi kesehatan untuk setiap jenis permasalahan kesehatan. Dalam hal sasaran, penggunaan media SMS lebih memiliki peran informatif seperti pada media komunikasi massa lain, misalnya televisi atau koran. Namun dalam hal content informasi, penggunaan media SMS tetap memiliki peran edukatif. Dengan filosofi dasar, bahwa penyebarluasan informasi kesehatan pada semua lapisan kelompok masyarakat tanpa memandang apakah informasi kesehatan tersebut memiliki korelasi langsung atau tidak, dan memiliki tujuan utama untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap berbagai permasalahan kesehatan yang ada.

144

Harus dipahami bahwa segmentasi informasi dalam kegiatan promosi kesehatan pada dasarnya bukan hanya pada sasaran yang memiliki kepentingan langsung terhadap informasi kesehatan. Artinya setiap individu berhak untuk menerima berbagai jenis informasi kesehatan walaupun informasi tersebut tidak memiliki keterkaitan langsung dengan dirinya. Individu diharapkan mampu menerima dan memahami informasi kesehatan yang didapat untuk digunakan sewaktu-waktu ketika terdapat kondisi yang memungkinkan, juga diharapkan individu akan mampu menyebarkan informasi kesehatan yang didapat pada individu lain (reinformation) yang lebih membutuhkan informasi tersebut. Dalam konteks reinformation ini sasaran tidak hanya dipandang sebagai target promosi kesehatan, melainkan juga sebagai agen-agen promosi kesehatan. 6.5.3. Pembiayaan Makro Dalam hal pembiayaan, penggunaan SMS sebagai media promosi kesehatan secara makro relatif lebih murah dibandingkan penggunaan media promosi kesehatan lainnya. Terlebih bila dikaitkan dengan jumlah dan jangkauan sasaran yang dapat di capai oleh media SMS (teknologi seluler). Terdapat tiga aspek penilaian efisiensi beban pembiayaan untuk pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan, yaitu : 1. SDM Konsep dan materi informasi kesehatan didesain khusus oleh tenaga promosi kesehatan dalam naungan Departemen Kesehatan RI. Untuk desain konsep dan materi informasi ini tidak dibutuhkan jumlah tenaga promosi kesehatan (SDM) yang terlalu besar. Minimnya pemakaian SDM secara linier akan berpengaruh terhadap penekanan biaya operasional program promosi kesehatan.

145

Selanjutnya untuk pendistribusian informasi kesehatan melalui media SMS kepada masyarakat khususnya pengguna jasa layanan seluler, dilaksanakan sepenuhnya dalam tanggung jawab opertaor penyedia jaringan di bawah pengawasan Departemen Komunikasi dan Informasi RI. 2. Teknologi Jaringan seluler pada dasarnya bekerja dengan prinsip teknologi gelombang radio yang mampu membagi suatu area dalam beberapa sel kecil. Dengan kemampuan membagi area dalam beberapa sel kecil maka frekwensi sinyal dapat meluas hingga mencapai semua bagian pada suatu area tertentu, sehingga dapat digunakan secara bersamaan secara simultan tanpa jeda dan tanpa terputus. Jaringan ini beroperasi dengan penggunaan ulang dari frekwensi (bandwidth) yang ada, dan secara teknis frekwensi tersebut dihasilkan oleh BTS (Base Transceiver Station) (Sistem..., 2000 online). Teknologi seluler menggunakan frekwensi gelombang radio, tentu saja hal ini berbeda dengan telepon rumah yang masih menggunakan kabel sebagai penghubung. Artinya operator jaringan seluler hanya membutuhkan satu frekwensi melalui BTS untuk melayani semua pengguna layanan pada area yang sama. Jadi berapapun jumlah pengguna jasa suatu operator jaringan dalam satu area jangkauan, tidak akan terjadi pembengkakan biaya operasional yang berarti atau dapat dikatakan constant cost at any use. Dalam komunikasi melalui SMS terdapat sistem yang disebut SMSC (Short Messaging Service Center), yaitu sebuah sistem yang mendukung distribusi pesan teks dalam jaringan. SMSC sendiri merupakan pusat aliran pesan SMS (Traynor et al, 2005).

146

Saat ini setiap operator jaringan seluler yang beroperasi di wilayah Indonesia telah memiliki unit SMSC dalam jaringannya untuk menfasilitasi layanan pesan teks SMS bagi pengguna. Pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan tentu saja juga bekerja dalam sistem jaringan seperti diungkapkan sebelumnya. Namun dengan beban operasional yang lebih murah karena sifat pesan SMS dalam promosi kesehatan ini adalah one way SMS (provider to customer) dalam satu operator jaringan (intra operator).
dua arah intra dan antar operator Pengguna 1 SMS Operator Y SMS satu arah intra operator Pengguna 1 SMS Operator X SMS Pengguna 2 Operator X SMS Pengguna 3 Pengguna 2

Pengguna 3

SMS

Operator Y

SMS

Pengguna 4

Bagan 6.3. Jalur Distribusi Pesan SMS Setiap operator seluler di Indonesia cenderung menerapkan pola tarif layanan dengan dua metode pentarifan, yaitu penerapan tarif variabel yang didasarkan pada perhitungan jarak (zona), letak geografis, dan waktu penggunaan (peak dan off peak), serta penerapan tarif flat yang memberlakukan tarif secara setara untuk komunikasi pelanggan antar sesama operator. Terdapat banyak faktor yang menjadi pertimbangan provider dalam penentuan tarif layanan, seperti pola bisnis, strategi pasar, segmenting, positioning, dan targeting (Haryo, 2007 online).

147

Secara sederhana pola penetapan komponen tarif seluler di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yakni : a. Tarif berdasarkan regulasi Penetapan tarif oleh pemerintah dengan berdasar pada jenis layanan yang disediakan, dan kemudian dilepas pada kebijakan operator. Pemerintah hanya menetapkan batas maksimum dan minimum tarif layanan sebagai bentuk pengendalian kompetisi pasar. b. Tarif berdasarkan overhead cost Komponen ini tidak diatur oleh pemerintah, tetapi diserahkan langsung pada kebijakan operator, seperti biaya produksi, operasional, pemeliharaan, penambahan jaringan, dan sebagainya. Komponen overhead cost tidak bersifat transaparan karena merupakan rahasia perusahaan. Komponen overhead cost menjadi kunci bagaimana maraknya perang tarif antar penyedia jasa layanan seluler di Indonesia. Bahkan banyak operator seluler memberikan tarif percakapan dan pengiriman pesan SMS dari 0,01 rupiah hingga gratis bagi para pelanggannya. Pasar, kompetisi, strategi bisnis, atau penetapan subsidi silang mungkin bisa dijadikan penjelasan, namun demikian tentu saja pihak provider seluler masih akan menetapkan tarif yang rasional bagi jasa layanan mereka. Biaya overhead cost yang murah menjadi alasan paling logis atas fenomena perang tarif antar operator seluler ini. 3. Sasaran Sasaran program kesehatan dengan menggunakan SMS sebagai media promosi akan terbebas dari segala bentuk beban pembiayaan, karena praktis hanya menerima informasi kesehatan dalam bentuk pesan teks SMS yang dikirimkan

148

oleh provider jaringan yang mereka gunakan. Sasaran tidak harus mengakses apapun, tidak harus datang kemanapun, atau harus menyediakan waktu kapanpun hanya untuk mendapatkan informasi kesehatan. Sasaran hanya menerima pesan SMS melalui handphone miliknya dimanapun mereka berada, serta dapat membacanya kapanpun mereka mau. Tentu saja sasaran adalah mereka yang notabene memiliki dan menggunakan fasilitas seluler, namun ini tentu tidak menjadi suatu kendala yang berarti karena diketahui terdapat 140 juta nomer aktif dari berbagai provider jaringan yang tersebar pada 240 juta penduduk Indonesia, secara matematis artinya 3 dari 4 penduduk Indonesia menggunakan seluler dalam kesehariannya. Selain itu informasi kesehatan yang didistribusikan dengan menggunakan media SMS akan mampu menjangkau seluruh komponen masyarakat di hampir seluruh pelosok tanah air yang berada dalam area jaringan seluler. Transfer informasi kesehatan hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat dengan jangkauan yang sangat luas (jumlah dan jarak), dan hanya dilakukan melalui satu pusat kendali. Fleksibilitas distribusi informasi kesehatan bagi sasaran serta luas jangkauan informasi kesehatan baik dalam jarak maupun jumlah, menjadi salah satu alasan mengapa beban pembiayaan pada pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan secara makro dikatakan lebih murah. 6.5.4. Posisi SMS terhadap Media Konvensional Dalam hubungannya dengan media promosi kesehatan lain, media SMS lebih memiliki fungsi sebagai media penunjang penggunaan media promosi kesehatan yang telah ada. Di mana untuk bentuk informasi kesehatan yang

149

bersifat umum, bagi sasaran yang juga lebih bersifat umum (khalayak) dapat diakomodir oleh pemanfaatan media SMS. Sedangkan untuk informasi kesehatan yang lebih bersifat spesifik, bagi sasaran pada kelompok yang spesifik dapat diakomodir oleh penggunaan media promosi kesehatan lain. Beberapa media informasi yang umum digunakan dalam kegiatan promosi kesehatan (direct approach) di Indonesia, antara lain leaflet, booklet, poster, lembar balik, buku saku, slide show dan film strip. Sementara untuk pemanfaatan saluran komunikasi publik sebagai media informasi kesehatan dengan jangkauan yang lebih luas, diantaranya adalah media internet, televisi, radio, tabloid, dan koran. Walaupun beberapa media yang terakhir disebutkan ini jarang sekali dimanfaatkan. Saat ini kegiatan promosi kesehatan sendiri lebih menggunakan prinsip direct approach dan target oriented dalam kaitannya dengan sasaran. Hubungan antara tenaga promotor kesehatan dengan masyarakat sasaran, serta seberapa dekat keterkaitan informasi kesehatan yang diberikan dengan kebutuhan real masyarakat sasaran menjadi kunci keberhasilan dalam paradigma ini. Dengan paradigma seperti ini tidaklah heran bila media-media promosi kesehatan konvensional seperti leaflet, poster, lembar balik, dan slide show lebih menjadi pilihan dalam setiap pelaksanaan kegiatan promosi kesehatan. Untuk program promosi kesehatan yang lebih bersifat holistik dan lebih berorientasi pada penyebaran informasi kesehatan kepada khalayak umum dengan pemanfaatan saluran-saluran informasi publik, terkesan kurang mendapat perhatian. Berikut adalah karakteristik beberapa media informasi publik (mass communication) yang juga dimanfaatkan dalam program promosi kesehatan.

150

1. Koran dan Tabloid Media ini memiliki keunggulan di mana terdapat jaminan untuk tebit setiap hari atau minimal setiap minggu, dan bila dimanfaatkan secara optimal sebagai media promosi kesehatan, hasilnya tentu akan lebih baik paling tidak dalam pengertian frekwentif. Informasi kesehatan juga bisa disimpan dan dapat diakses kembali sewaktu-waktu. Namun masih dijumpai adanya kendala untuk pemanfaatan media jenis ini, salah satunya adalah biaya pemanfaatan space media yang relatif tinggi. Dan seandainya permasalahan biaya ini dapat diatasi dan juga terdapat jaminan bahwa media ini akan memuat informasi kesehatan setiap hari, hasilnya belum tentu optimal. Tidak semua lapisan masyarakat secara continue mengkonsumsi koran dan tabloid, biaya berlangganan yang cukup mahal serta budaya baca yang masih rendah menjadi alasan utama kelemahan media ini. 2. Radio dan Televisi Dalam banyak hal televisi terlihat lebih menjanjikan daripada radio, terutama untuk kemampuannya dalam menghasilkan gambar dan suara. Televisi sebagai media audio visual tentu saja jauh lebih informatif dan lebih menarik dalam penyampaian informasi kesehatan, dengan jangkauan yang relatif lebih luas dan beragam. Namun sangat disayangkan frekwensi tayang iklan layanan kesehatan masyarakat pada media ini sangat kurang, dan tentu saja lagi-lagi yang menjadi kendala adalah faktor pembiayaan. Pemanfaatan media televisi juga masih memiliki beberapa kelemahan. Tidak semua masyarakat memiliki banyak waktu untuk menonton televisi, kebanyakan dari mereka hanya menikmati televisi pada jam-jam tertentu atau

151

hanya sebatas acara-acara tertentu. Tidak ada jaminan bahwa informasi kesehatan yang disampaikan melalui media ini akan dapat diterima oleh setiap orang pada setiap waktu, frekwensi dan durasi tayang informasi akan sangat dibatasi karena sifatnya yang non komersial dan tidak memiliki rating. Televisi juga tidak fleksibel karena sifatnya yang kurang mobile, dan juga informasi yang telah disiarkan tidak mungkin dapat diakses kembali sewaktu-waktu. 3. Internet Media ini terbilang cukup baru bila dibandingkan dengan dua media sebelumnya. Pemanfaatan media internet sebagai saluran informasi kesehatan belakangan ini banyak dikembangkan. Media ini cukup efektif bila sasarannya adalah kelompok terdidik yang dalam kesehariannya akrab dengan teknologi internet. Informasi kesehatan yang dapat diakses oleh pengguna tidak sekedar informasi di tingkat lokal saja tetapi juga informasi kesehatan yang berasal dari belahan dunia lain, yang bisa dilakukan setiap saat. Kendala dalam pemanfaatan teknologi internet sebagai media promosi kesehatan adalah fakta bahwa tingkat penggunaan komputer dan fasilitas internet di negara ini yang tidak terlalu tinggi. Media ini menuntut keaktifan masyarakat untuk mendapatkan sendiri informasi yang dibutuhkan. Sedang masyarakat sendiri cenderung pasif dan kurang memiliki kesadaran terhadap informasi, terutama informasi kesehatan. Terlebih beban pembiayaan akses informasi melalui media ini juga menjadi beban masyarakat pengguna. Walaupun tidak semua media informasi disebutkan, namun ke tiga media di atas cukup mewakili gambaran media saluran informasi publik terkait dengan penggunaannya sebagai media promosi kesehatan di Indonesia.

152

Orientasi dari media informasi publik sendiri adalah jangkauan dan segmentasi sasaran, accsessibility, aspek pembiayaan, serta frekwensi informasi itu sendiri. Sementara untuk content informasi, terutama untuk kesesuaian antara informasi dengan sasaran kurang menjadi perhatian, karena bidikan dari media informasi publik adalah khalayak umum pada semua lapisan. Senada dengan yang dikatakan oleh Straubharr, bahwa komunikasi kekinian adalah komunikasi yang termediasi oleh berbagai bentuk media baru. Media baru ini adalah mass media dengan perubahan konsep yang mengikuti perkembangan teknologi digital. Tumbuhnya media komunikasi baru ini juga diikuti oleh meningkatnya konsumsi informasi oleh masyarakat (Mufid, 2005). Proses perkembangan komunikasi pada periode ini secara umum diikuti oleh beberapa perubahan sudut pandang komunikasi : a. Dari orientasi terhadap pesan menjadi orientasi terhadap penerima b. Dari satu arah menjadi bolak-balik dan berputar (circular) c. Dari statis menjadi process oriented d. Dari penekanan makna informasi menjadi penekanan interpretasi informasi e. Dari personal menjadi konteks hubungan organisasi, masyarakat, dan media Media seluler (SMS) sendiri dapat difungsikan sebagai saluran informasi publik terutama informasi kesehatan, untuk mendukung penggunaan media-media promosi kesehatan lainnya. Seperti didiskusikan sebelumnya bahwa pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan tidak dimaksudkan untuk menggantikan fungsi media promosi kesehatan konvensional. Tetapi lebih difungsikan sebagai complementary element bagi media promosi kesehatan lain dalam upaya pencapaian pembangunan rakyat Indonesia seutuhnya.

153

6.6. Upaya Strategis Pemanfaatan Media SMS Implementasi pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan ke depan dibutuhkan strategi dan upaya yang komprehensif. Tidak hanya melibatkan peranan petugas promosi kesehatan saja tetapi juga melibatkan pihak lain dalam konteks networking. Selain itu juga dibutuhkan dukungan berupa regulasi dan kebijakan publik yang mampu menjadi pilar utama dalam menjamin pelaksanaan dan kesinambungan dari implementasi program itu sendiri. Upaya implementasi ini mengakomodir tiga fungsi strategis promosi kesehatan masyarakat di Indonesia, yaitu advokasi dan keterlibatan dalam perumusan kebijakan kesehatan (Health Policy dan Healthy Public Policy) baik ditingkat pusat maupun daerah, upaya networking dan kerjasama lintas sektoral untuk pelaksanaan program kesehatan, serta pengorganisasian dan penyadaran masyarakat dalam hal kesehatan melalui health education dan people empowerment. Ke tiga fungsi ini merupakan bagian integral dan harus dilaksanakan tanpa ada kepincangan pada tiap bagiannya. Juga merupakan strategi yang diadopsi dari Piagam Ottawa November 1986 (Ottawa Charter for Health Promotion), dimana disebutkan bahwa secara fundamental promosi kesehatan merupakan upaya yang mencakup lima fungsi dasar, yaitu : 1. Build Healthy Public Policy 2. Create Supportive Environments 3. Develop Personal Skills 4. Reorient Health Services 5. Strengthen Community Actions

154

6.6.1. Kerjasama Lintas Sektoral Implementasi pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan dilaksanakan melalui upaya kerjasama lintas sektoral (networking) antara tenaga promosi kesehatan dengan provider jaringan seluler baik berstatus BUMN, swasta nasional, maupun swasta asing. Ditinjau dari perspektif beban pembiayaan program, terdapat tiga alternatif kerjasama yang bisa dilakukan oleh ke dua organisasi pelayanan publik ini. 1. Pembiayaan program dibebankan pada promotor kesehatan yang berlaku sebagai client dari provider jaringan seluler, dengan cost yang mengikuti mekanisme pasar. 2. Pembiayaan program dibebankan pada provider jaringan seluler sebagai bentuk kepedulian sosial melalui mekanisme kebijakan perusahaan CSR (Corporate Social Responbility). 3. Pembiayaan program dibebankan ke dua belah pihak, dimana untuk jenis, isi, ide, dan materi informasi menjadi tanggung jawab promotor kesehatan, sementara pengiriman informasi dengan penggunaan teknologi komunikasi seluler (SMS) disediakan penuh oleh provider jaringan. Anggaran kesehatan yang disediakan oleh pemerintah selama ini tidak pernah mencapai 5% dari total APBN. Pada tahun 2008 alokasi dana kesehatan sekitar 18,8 triliun (2,4% APBN) dengan 1,5 triliun dana bantuan asing, ini masih jauh dibawah anggaran kesehatan yang diwajibkan UU sebesar 15% dari total APBN (Afriatni, 2009 online). Dana ini dialokasikan untuk pembiayaan sektor promotive dan curative, yang pada pelasanaannya sektor curative selalu mendapatkan porsi lebih besar dari sektor promotive.

155

Atas pertimbangan minimnya dana kesehatan yang disediakan pemerintah untuk promosi kesehatan, tentu saja alternatif bentuk kerjasama pertama akan sulit direalisasikan Sementara untuk alternatif bentuk kerjasama ke dua masih mungkin dilakukan, namun bentuk kerjasama dengan bergantung pada kebijakan CSR (Corporate Social Responbility) tentu saja tidak akan dapat dipastikan kesinambungannya, sedangkan keberhasilan promosi kesehatan sendiri menuntut adanya kesinambungan program. Bentuk kerjasama ke tiga merupakan alternatif paling ideal dalam implementasi pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan ke depan. Secara operasional bentuk kerjasama ini dapat digambarkan melalui bagan berikut.
Pemerintah Republik Indonesia healthy public policy provider jaringan sebagai penyedia saluran teknologi informasi dan komunikasi Depkominfo RI

networking Depkes RI promotor kesehatan sebagai desainer konsepsi materi, isi, gagasan dan issue kesehatan

desain pesan kesehatan, frekwensi pesan, waktu dan teknis penyampaian pesan, serta sasaran pesan Program Promosi Kesehatan Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (SMS pada Seluler)

penggunaan teknologi media komunikasi dan informasi seluler sebagai instrumen penyampaian pesan promosi kesehatan Masyarakat Pengguna Seluler

Bagan 6.4. Bentuk Networking dalam Implementasi Pemanfaatan SMS sebagai Media Promosi Kesehatan

156

Implementasi pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan ke depan mensyaratkan adanya keterlibatan dari Departemen Kesehatan RI dan Departemen Komunikasi dan Informasi RI dalam bentuk networking. Untuk menjamin terlaksananya kerjasama serta menjamin kesinambungan dari implementasi pelaksanaan program dibutuhkan sebuah regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat (Healthy Public Policy). 6.6.2. Regulasi dan Kebijakan Publik Regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebagai dasar hukum bagi implentasi pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan tentu saja tidak secara eksklusif diperuntukkan bagi sektor kesehatan saja, atau hanya berlaku sebatas pada peranan provider jaringan seluler. Namun secara luas harus memuat tentang peranan provider jasa komunikasi dan informasi (cetak dan elektronik) di Indonesia baik bestatus BUMN, swasta nasional, maupun swasta asing terhadap penyediaan layanan informasi publik sebagai kewajiban yang mengikat secara hukum. Pertimbangan ini didasarkan pada asumsi bahwa selama ini kontribusi organisasi-organisasi komersial penyedia jasa layanan komunikasi dan informasi di Indonesia hanya sebatas sebagai penyumbang pendapatan negara. Ke depan nanti pemerintah harus mampu memanfaatkan kontribusi organisasi-organisasi komersial ini lebih dari sekedar kontribusi terhadap pendapatan negara dalam bentuk pajak, melainkan juga pemanfaatan sebagian dari produk dan jasa layanan mereka untuk kepentingan publik (free cost). Bentuk regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini secara ideal merupakan peraturan setingkat UU, hal ini ditujukan untuk menjamin

157

kekuatan hukum dalam pelaksanaan jangka panjang. Kebijakan ini sendiri secara garis besar harus memuat tentang : 1. Kewajiban bagi semua organisasi penyelenggara jasa telekomunikasi dan informasi di Indonesia untuk berperan aktif terhadap kepentingan publik. 2. Organisasi yang dimaksud baik bersatatus BUMN, swasta nasional, maupun swasta asing. 3. Bentuk peran aktif di sini adalah penyediaan layanan informasi (free cost) untuk kepentingan publik secara continue. a. Koran, tabloid, dan media sejenis lainnya harus menyediakan kolom khusus untuk memuat informasi publik. b. Televisi, radio dan media sejenis lainnya harus menyediakan waktu tayang khusus bagi pemberitaan informasi publik. c. Provider jaringan seluler harus menyediakan fasiltas layanan mereka secara khusus bagi penyiaran informasi publik. 4. Kepentingan publik yang dimaksud adalah kepentingan dalam bentuk informasi non komersial baik yang bersifat informatif maupun edukatif. 5. Kuantitas layanan informasi yang disediakan untuk kepentingan publik minimal 1% dari total produk atau jasa layanan yang dihasilkan. 6. Frekwensi (waktu terbit) layanan informasi publik disesuaikan dengan waktu operasi aktif dari masing-masing organisasi penyelenggara jasa telekomunikasi dan informasi. 7. Implementasi layanan informasi publik dilaksanakan atas kerjasama dengan badan-badan pemerintah terkait, dalam pengawasan Departemen Komunikasi dan Informasi RI

158

8. Jenis dan materi informasi disediakan oleh badan-badan (government) terkait, sesuai dengan tujuan yang ditujukan untuk kepentingan umum. Tentu saja dibutuhkan usaha keras (advokasi) agar kebijakan ini dapat dirumuskan oleh pemerintah pusat. Namun bukan berarti upaya ini mustahil dilakukan, karena dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, terutama pada Pasal 5 disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk ikut andil dalam merumuskan dan mempengaruhi kebijakan publik baik di tingkat pusat maupun daerah melalui ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). ...masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang undang dan rancangan peraturan daerah... (Pasal 53, UU No. 10 Tahun 2004). Untuk memperkuat daya dorong dalam upaya advokasi pemanfaatan saluran komunikasi dan informasi publik ini, dapat dilakukan dengan memanfaatkan peran KKP (Koalisi Kebijakan Partisipatif). Yaitu sebuah wadah organisasi tingkat nasional yang memiliki visi untuk menjadi kendaraan advokasi publik, sebagai perwujudan hak partisipasi masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan di Indonesia baik ditingkat pusat maupun daerah (Zen dkk, 2005). Secara garis besar keseluruhan rangkaian di atas merupakan bagian upaya strategis peningkatan derajat kesehatan rakyat. Dan dalam terminologi negara kesejahteraan (wellfare state) hal ini merupakan filosofi dasar dari pemenuhan hak-hak dasar rakyat terkait posisi negara dan warga negara, dengan hasil akhir yang diharapkan tentu saja adalah pencapaian derajat kesehatan rakyat Indonesia yang optimal.

159

Peoples Right as a Citizen Optimal Health Degree

Education

health policy

partnership

Environment

Legal Formal Organization (Private and Public)

Curative Rehabilitative Approach networking

Information and Communication Judicial and Law Industry and Technology Agriculture Other Leading Sector

healthy public policy

Preventive Promotive Approach

Economical Right

Political Right

Civil Right

Social Right

Cultural Right

State Role (Government Function)

Bagan 6.5. Health Policy dan Healthy Public Policy 1. Peoples Right as a Citizen Kesehatan sebagai hak warga negara, dan upaya pemenuhannya merupakan kewajiban negara melalui regulasi kebijakan dan instrumen kelembagaan. 2. Legal Formal Organization (Private and Public) Upaya pencapaian derajat kesehatan rakyat yang optimal difasilitasi oleh dua kutub kelembagaan (organizational) baik itu public ataupun private, yaitu

160

lembaga organisasi kesehatan dan lembaga organisasi non kesehatan. Kedua bidang kelembagaan ini harus memiliki kemampuan untuk melakukan networking secara solid dan berkesinambungan. 3. State Role (Government Function) Pemerintah harus mampu memenuhi dan membangun lima pondasi utama kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka wellfare state. Ke lima hal tersebut merupakan implementasi hak dasar warga negara yang pemenuhannya menjadi syarat utama pencapaian derajat kesehatan rakyat yang optimal. Lima pondasi hak dasar ini adalah Economical Right, Political Right, Civil Right, Social Right, dan Cultural Right. 4. Dalam tujuan pencapaian derajat kesehatan rakyat yang optimal, pemerintah dapat mengeluarkan regulasi dan kebijakan kesehatan (Health Policy dan Healthy Public Policy), serta melakukan pengawasan dan intervensi pada semua sektor baik kelembagaan maupun non kelembagaan (public dan private). a. Kebijakan kesehatan (Health Policy), untuk semua hal yang terkait langsung dengan bidang kesehatan termasuk didalamnya manajemen pelayanan kesehatan. b. Kebijakan berorientasi kesehatan (Healthy Public Policy), untuk hal-hal yang terkait secara tidak langsung terhadap bidang kesehatan, namun memiliki relevansi dan pengaruh cukup besar terhadap aspek kesehatan.

161

BAB 7 PENUTUP

Dari hasil penelitian berjudul Pemanfaatan SMS pada Seluler sebagai Media Promosi Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Perubahan Sikap Remaja mengenai Aborsi ini, terdapat beberapa kesimpulan dan saran yang dapat diberikan.

7.1. Kesimpulan 1. Efektifitas pemanfaatan SMS pada teknologi seluler sebagai media promosi kesehatan : a. Media SMS terbukti efektif untuk meningkatkan pengetahuan siswa (SMPN 26 Surabaya) terkait masalah aborsi. b. Media SMS terbukti kurang efektif untuk mempengaruhi perubahan sikap siswa (SMPN 26 Surabaya) terkait masalah aborsi. 2. Tanggapan siswa terhadap pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan khususnya mengenai masalah aborsi : a. Karakteristik SMS yang hanya menyajikan informasi dalam bentuk teks dirasakan kurang menarik bagi siswa, terutama bila dibandingkan dengan media promosi kesehatan lain yang berbasis gambar dan suara. b. Distribusi informasi kesehatan melalui media SMS dapat diterima secara positif oleh siswa, sepanjang frekwensi pengiriman pesan tidak terlalu sering, jarak antar pengiriman pesan tidak terlalu dekat, dan layanan pesan tidak dipungut biaya.

162

c. Terdapat harapan dari siswa untuk mendapatkan informasi kesehatan lain, seperti informasi tentang siklus menstruasi dan informasi tentang narkoba yang dikirimkan melalui SMS. Hal ini menunjukkan adanya tingkat ekspetasi dan penerimaan yang cukup tinggi terhadap pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan. 3. Selama ini program promosi kesehatan terkait masalah aborsi belum pernah sampai kepada siswa, sehingga siswa hanya memiliki pemahaman yang sempit mengenai aborsi serta bukan dalam sudut pandang kesehatan. Pemahaman mengenai aborsi sendiri diterima oleh siswa melalui informasi media televisi dan koran (non edukatif), dan tidak pernah didapatkan melalui peran guru di sekolah atau peran orang tua di rumah. 4. Keterbatasan media SMS dalam menampung informasi kesehatan dengan materi dalam jumlah besar, mensyaratkan desain pesan yang lebih sederhana serta dapat ditampung dalam beberapa SMS yang didistribusikan secara continue dan tidak terputus. 5. Melalui hasil penelitian didapatkan beberapa pembuktian teoritis, diantaranya adalah : a. Komunikasi terbukti mampu menjadi alat propaganda dalam mempengaruhi perubahan (pengetahuan dan sikap) pada komunikan (sasaran) sesuai dengan harapan komunikator (peneliti). b. Pemberian informasi yang berulang-ulang dan tidak terputus selama kurun waktu tertentu akan berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan. c. Peningkatan pengetahuan tidak selalu berpengaruh secara linier terhadap perubahan sikap.

163

6. Metodologi kuantitatif ideal digunakan untuk analisis kuantitas perubahan pengetahuan dan sikap sasaran, namun masih perlu didukung oleh penggunaan metodologi kualitatif untuk mengetahui bagaimana kualitas perubahan pemahaman dan sikap itu sendiri, selain juga untuk mengetahui informasi lain yang tidak mampu ditangkap oleh penggunaan metodologi kuantitatif.

7.2. Saran 1. Pemanfaatan SMS sebagai media promosi kesehatan harus dikaji ulang melalui studi-studi lain dengan materi informasi dan sasaran yang berbeda, dengan titik berat pada peranan media komunikasi untuk mempengaruhi perubahan pengetahuan dan sikap dalam perspektif perilaku kesehatan. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam desain penelitian lanjutan : a. Penelitian dengan materi informasi kesehatan untuk bentuk perilaku yang lebih konkrit dan disesuaikan dengan keseharian sasaran, seperti perilaku merokok atau perilaku seksual dengan sasaran kelompok remaja. b. Penelitian dengan intervensi berupa pemberian satu jenis informasi kesehatan yang ditujukan pada kelompok sasaran yang beragam (status, usia, dll), ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan tingkat perubahan pengetahuan dan sikap dari tiap-tiap kelompok sasaran dengan pemberian informasi yang sama. c. Penelitian dengan waktu intervensi yang lebih lama, ini dilakukan untuk memperkuat pengaruh perubahan terutama pada variabel sikap. d. Penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk memperkuat validitas hasil studi.

164

4. Penguatan metodologi kualitatif untuk mendukung hasil analisis metodologi kuantitatif, terutama dalam memperoleh gambaran pemahaman, sikap, dan tanggapan sasaran terhadap obyek penelitian. 5. Untuk menjawab kekurangan media SMS (Short Messaging Service) terutama pada informasi berbentuk teks yang cenderung kurang menarik, ke depan dapat dipertimbangkan desain penelitian dengan intervensi pemberian informasi kesehatan melalui media MMS (Multimedia Messaging Service) yang mampu menampung informasi dalam bentuk gambar dan suara.

DAFTAR PUSTAKA

165

Adiningsih (2009). http://www.antara.co.id. Persaingan pada Industri Telepon Seluler di Indonesia. tanggal sitasi 20 April 2009 Afriatni, Ami (2009). http://www.tempointeraktif.com. Anggaran Kesehatan Maksimal Belum Dapat Terpenuhi. tanggal sitasi 30 Juli 2009 Anonym (2002). http://www.aborsi.org. Statistik Aborsi. tanggal sitasi 20 April 2009 Anonym (2000). http://www.elektroindonesia.com. Sistem Jaringan PCS. tanggal sitasi 08 April 2009 Anonym (2001). http://www.freep.com. US Gag Rule that Hurts Women Woldwide. tanggal sitasi 20 April 2009 Anonym (2007). http://www.topix.com. Surabaya Pusat Pelacuran Terbesar di Asia Tenggara. tanggal sitasi 25 Juni 2009 Ariyanti, Ratna (2009). http://www.operatorseluler.com. Pengguna Seluler Baru Naik hingga 2 Juta Pelanggan. tanggal sitasi 08 April 2009 Arni, Muhammad (1995). Komunikasi Organisasi. Cetakan Dua. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta Azwar, Saifudin (1995). Sikap Manusia. Cetakan Empat. Penerbit Liberty. Yogyakarta BKKBN (1998). Materi Pelatihan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Jakarta Bloom, Benjamin (1979). Taxonomy of Educational Objectives. Longman Group. London BPS (2006). http://www.bps.go.id. Indonesia dalam Statistik. tanggal sitasi 20 April 2009 Dahar, RW (1989). Teori Belajar. Edisi I. Penerbit Erlangga. Jakarta Dyatmika (2008). http://www.aborsi.org. Seks, Remaja, dan Aborsi. tanggal sitasi 25 Juni 2009

166

Ekotama, Pudjiarto. Widiartana (2001). Abortus Provocatus bagi Korban Perkosaan (Viktimologi, Kriminilogi, dan Hukum Pidana). Universitas Atmajaya. Yogyakarta Encarta Encyclopedia 2006 Premium DVD Edition. Cellular Phone. Microsoft Coorporation. USA Faro, Sebastian. Pearlman, Mark (1992). Infectious and Abortion. Eldsevier Science Publishing. New York Fikse, John (1999). Introduction to Communication Study. 2nd Edition. Guernsey Press Co Ltd. London Hamzah, Amir. (1991). Media Audio Visual untuk Pengajaran, Penerangan, dan Penyuluhan. Penerbit PT Gramedia. Jakarta Haryo (2007). http://www.kuliseluler.com. Analisis Tarif Seluler. tanggal sitasi 25 Juni 2009 Hilman, Anshori (2008). http://www.indoforum.org. Dasar Teknologi Komunikasi Telepon Seluler. tanggal sitasi 08 April 2009 Green, Lawrence W (1980). Health Education Planning, A Diagnostic Approach. Mayfield Publishing Co. California Gunarsa (2003). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. PT BPK Gunung Mulya. Jakarta Jackson, Debby (2000). http://www.cnn.com. Abortion Rhetoric Doesnt Help. tanggal sitasi 20 April 2009 Kartono, Muhammad (1998). Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Koblinsky, Marge. Timyan, Judith. Gray, Jill (1993). Kesehatan Wanita (Sebuah Perspektif Global). Gajahmada University Press. Yogyakarta Mufid, Muhammad (2005). Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Cetakan Pertama. Prenada Media. Jakarta Mulyana, Deddy (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Gramedia Media. Jakarta

167

Notoatmodjo, Soekidjo (2003). Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Dua. PT Rineka Cipta. Jakarta Nurasa (2009). http://www.scribd.com. HANDPHONE (Telepon Seluler). tanggal sitasi 25 Juni 2009 Ozzy (2007). http://www.kesepro.info. Aborsi di Indonesia. tanggal sitasi 20 April 2009 Pritchard, JA. Gant, NF (1991). Obstetric Williams. Airlangga University Press. Surabaya Rizal (2008). http://www.ilmusejarah.com. Telepon Seluler di Indonesia. tanggal sitasi 08 April 2009 Saifudin, AB (2000). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta Sarwono, Solita (2003). Psikologi Remaja. Rajawali Pers. Jakarta Sedgh, Gilda. Ball, Haley (2008). http://www.guttmacher.org. Aborsi di Indonesia. tanggal sitasi 20 April 2009 Sheriff, Ray. Hu, Fun (2001). Mobile Satelite Communication Networks. John Wiley & Sons. Bradford Simon Morton, Bruce. Greene, Walter H. Goetlieb, Nell (1995). Introduction to Health Education and Health Promotion. Waveland Press Inc. USA Soehoet, Hoeta (2003). Media Komunikasi. Yayasan Kampus Tercinta II SIP. Jakarta Supono (2006). http://www.indowebster.web.id. Sejarah Telepon Seluler. tanggal sitasi 25 Juni 2009 Suryabrata, Sumadi (1989). Psikologi Pendidikan. Edisi IV. Penerbit Rajawali. Jakarta Syafwin, Sandra. Hardiantina, Ratih. Awaliyah, Siti (2007). GSM Security. Fakutas Teknik Informatika. Institut Teknologi Bandung Traynor, Patrick. Enck, William. La Porta, Thomas (2005). Exploiting Open Functionality in SMS Capable Cellular Network. Pennsylvania University. USA

168

Uchajana, Onong (2003). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Cetakan Tiga. PT Citra Aditya Bakti. Bandung Undang Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004. Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992. Kesehatan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta Undang Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2007. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta Widjanarko (1999). Seksualitas Remaja. Pusat Penelitian Kependudukan. Universitas Gajahmada. Yogyakarta Wijono, Djoko (2007). Paradigma dan Metodologi Penelitian Kesehatan. CV Duta Prima Airlangga. Surabaya Yearry (2008). http://www.comminit.com. Information of the Mathematical Theory of Communication. tanggal sitasi 25 Juni 2009 Yearry (2008). http://www.comminit.com. Mathematical Theory of Shannon & Weaver. tanggal sitasi 25 Juni 2009 Zaenal, Achmad (2006). http://www.antara.co.id. Fenomena Gunung Es itu Bernama Aborsi. tanggal sitasi 20 April 2009 Zen, Patra. Santoso (2005). Refleksi dan Penyusunan Starategi Mewujudkan Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Perundang Undangan. Sekertariat Nasional KKP. Jakarta

By : Eko Teguh Pribadi, 2008 red_camarade@yahoo.co.id 031 71440055 or 081 75124748

Anda mungkin juga menyukai