Anda di halaman 1dari 9

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan sangat vital bagi mahkluk hidup. Air yang

dibutuhkan adalah air bersih dan hygiene serta memenuhi syarat kesehatan yaitu air yang jernih, tidak berwarna, tawar dan tidak berbau. Konsekuensi dari penggunaan air yang tidak bersih dan hygiene akan mengganggu kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Air yang berkualitas meliputi kualitas fisik, kimia dan bebas dari mikroorganisme (Soemirat,2001) Penggunaan air bersih yang merata pada seluruh penduduk di Indonesia merupakan bagian integral dari program penyehatan air. Menurut Depkes RI (2008) program penyehatan air tersebut meliputi perencanaan kebutuhan air bersih, cakupan pemenuhan air bersih bagi masyarakat baik di desa maupun kebutuhan air bersih pada masyarakat perkotaan. Menurut Totok (2004) peningkatan kuantitas air adalah syarat kedua setelah kualitas, karena semakin maju tingkat kehidupan seseorang maka meningkat pula kebutuhan air dari masyarakat tersebut. Program penyehatan air merupakan salah satu program prioritas dalam agenda Millenium Development Goals (MDGs) dengan sasarannya adalah penurunan sebesar separuh populasi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap sumber air minum yang aman dan bekelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada tahun 2015, dan

Universitas Sumatera Utara

diperkirakan 1,1 milyar penduduk di dunia yang tinggal di desa maupun di kota hidup tanpa akses air bersih (WHO, 2008). Salah satu kelompok masyarakat yang juga menggunakan air bersih adalah santri di pesantren baik bersumber dari sumur gali, sumur bor maupun bersumber dari perusahaan air daerah untuk mandi, mencuci dan untuk air minum (Afif,1999). Sumber air yang lazim dipergunakan di pesantren khususnya pesantren tradisional adalah air sumur gali, artinya air tersebut berasal dari air tanah. Air tanah adalah air yang bersumber langsung dari tanah dan biasanya dilakukan pengeboran maupun penggalian sumur guna memperoleh air bersih. Air tanah belum tentu mempunyai kualitas yang memenuhi syarat kualitas air baik kualitas fisik, kimia maupun bakteriologis (Soemirat, 2001). Menurut Kepmenkes RI No.907/Menkes/SK/VII/2002, tentang syarat-syarat dan pengawasan air minum menjelaskan bahwa air minum adalah air yang melalui pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung di minum, dan persyaratan kualitas air minum meliputi kualitas bakteriologis, kimia dan kualitas fisik (Depkes RI,2002). Berdasarkan laporan MDGs tahun 2008 di Indonesia jumlah penduduk yang tidak memiliki air bersih sebesar 44,2%, dan hanya 5,5% penduduk di desa yang mempunyai akses air bersih. Selanjutnya pada tempat-tempat umum cakupan penduduk yang mempunyai akses air bersih hanya 32,9% (WHO, 2008). Menurut Ramdani (2008), dampak dari penggunaan air bersih yang tidak hygiene ini dapat menyebabkan gangguan kulit, gatal-gatal dan secara permanen

Universitas Sumatera Utara

dapat mengganggu kesehatan dan estetika bagi santri. Keadaan ini cenderung terjadi pada santri-santri di pesantren tradisional, karena pesantren masih menggunakan air bersumber dari air sumur gali yang masih diragukan kualitas airnya. Di antara penyakit berbasis lingkungan (termasuk tersedianya air minum/ air bersih yang memenuhi syarat kesehatan ), yang potensial menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) adalah penyakiti diare. Insiden penyakit diare pada 2002 mencapai 280 penderita per 1000 penduduk pertahun, dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 300 per 1000 penduduk, dimana setiap anak balita saat ini paling tidak menderita diare rata-rata sebanyak 1,3 kali pertahun. Hal ini menunjukkan ada masalah air minum/air bersih dan perilaku hidup masyarakat yang kurang sehat (Depkes RI, 2008). Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dikenal sebagai Daerah Istimewa dan serambi mekkah, sehingga disetiap daerah mempunyai pesantren khususnya pesantren-pesantren tradisional dan umumnya juga menggunakan air sumur. Berdasarkan profil kesehatan Propinsi NAD (2008), cakupan pesantren yang mempunyai akses air bersih sangat rendah yaitu hanya 12,6% dari sejumlah pesantren yang ada. Kota Langsa mempunyai 18 pesantren tradisional, Keseluruhan pesantren tersebut masih menggunakan air sumur sebagai sumber air utama untuk pemenuhan kebutuhan air bagi santri dan pengelola pesantren. Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Kota Langsa (2008) menunjukkan bahwa cakupan penyehatan air di pesantren hanya 28,4% dan jumlah pesantren yang sudah diperiksa kualitas airnya hanya 4 pesantren, dan hasil pemeriksaan menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

82,4% air yang digunakan mengandung besi (Fe), dan Escherichia coli, sehingga secara perlahan dapat mengganggu kesehatan santri. Menurut Fardiaz (1992), bahwa suatu perairan yang mengandung E. coli dalam jumlah yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya berbagai gangguan kesehatan bagi manusia seperti diare. Menurut Wardhana (2001), sumber pencemar air dapat berasal (1) bahan buangan organik berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga hal ini dapat mengakibatkan semakin berkembangnya mikroorganisme dan mikroba patogen pun ikut juga berkembang biak di mana hal ini dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit, (2) bahan buangan anorganik berupa limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Apabila bahan buangan anorganik ini masuk ke air lingkungan maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam di dalam air, sehingga hal ini dapat mengakibatkan air menjadi bersifat sadah karena mengandung ion kalsium (Ca) dan ion magnesium (Mg). Selain itu ion-ion tersebut dapat bersifat racun seperti timbal (Pb), arsen (As) dan air raksa (Hg) yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia, dan (3) bahan buangan zat kimia, seperti bahan pencemar air yang berupa sabun, bahan pemberantas hama, zat warna kimia, larutan penyamak kulit dan zat radioaktif. Zat kimia ini di air lingkungan merupakan racun yang mengganggu dan dapat mematikan hewan air, tanaman air dan mungkin juga manusia. Penelitian Konsukartha, dkk (2007), bahwa pencemaran air tanah dapat diakibatkan oleh pembuangan limbah domestik di lingkungan kumuh di Banjar Ubung Sari, kelurahan Ubung, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

kekeruhannya air sumur penduduk mencapai 12,5 Nepnelometrik Turbidity Unit (NTU), bakteri E. coli mencapai 28/100 mL dan bakteri Coliforms mencapai 1100/l00 mL yang melebihi standar baku mutu kualitas air. Dampak yang ditimbulkan dari kualitas air yang tidak memenuhi baku mutu air bersih adalah terjadinya berbagai penyakit. Menurut Soemirat (2001), bahaya atau resiko kesehatan yang berhubungan dengan pencemaran air secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni bahaya langsung dan bahaya tak langsung. Bahaya langsung terhadap kesehatan manusia/masyarakat dapat terjadi akibat mengkonsumsi air yang tercemar atau air dengan kualitas yang buruk, baik secara langsung diminum atau melalui makanan, dan akibat penggunaan air yang tercemar untuk berbagai kegiatan sehari-hari. Berdasarkan laporan sepuluh penyakit terbanyak, diketahui jumlah penyakit yang bersumber dari air 76,1% penduduk mengalami gatal-gatal (kudis) dan sisanya menderita penyakit skabies, sehingga secara umum menjadi cerminan gangguan kesehatan masyarakat (Profil Kesehatan Kota Langsa, 2008). Penelitian Saptorini (2005), bahwa dari 246 sampel air sumur yang diambil di Desa Pengganjaran Kabupaten Kudus, 35,0% air sumur tidak memenuhi syarat kesehatan, yang terindikasi mengandung Escherichia coli, dan coliform berkisar antara 10-75 CFU/ml, dan secara statistik menunjukkan bahwa kualitas air berkorelasi secara signifikan dengan kejadian diare. Penelitian Gupta, dkk (2007) tentang faktor yang berhubungan dengan kontaminasi Escherichia coli pada air minum rumah tangga korban Tsunami dan

Universitas Sumatera Utara

Gempa menunjukkan bahwa terdapat 20% air minum yang dikonsumsi di Kabupaten Aceh Besar mengandung Escherichia coli dari 620 sampel yang diambil. Penelitian Mariana, dkk (2004) tentang kualitas kimia, fisik air PAM di Jakarta menemukan bahwa masih terdapat 1,86% air tidak memenenuhi syarat kekeruhan air, 1,62% sampel belum memenuhi syarat warna air, dan dari aspek kimia, parameter yang diperiksa adalah besi, kesadahan, klorida, mangan, nitrit, pH, sulfat dan KmNO4, dan hasil pemeriksaan menunjukkan air PAM masih mengandung kadar mangan yang belum memenuhi syarat kesehatan yaitu berkisar 4,41% , dan besi berkisar 2,09% sampel dari 431 sampel yang diambil. Penelitian Sulih (2007) di Daerah Kelurahan Sukarejo Kecamatan Gunungpati Semarang menggunakan uji kualitas air sumur artetis dengan parameter fisik meliputi warna, rasa, bau, temperatur, kekeruhan dan zat padat terlarut. Parameter Kimia meliputi Air Raksa (Hg), Arsen (As), Besi (Fe), Kadmium (Cd), Kesadahan (CaCO), Klorida (Cl), Mangan (Mn), Nitrat sbg N (NO -N), Nitrit sbg N ((NO2 -N), PH, Seng (Zn), Sianida (CN), Sulfat (SO4), Detergen, Timbal (Pb), Zat organik (KmNO4) dan Kromium, Valensi 6 (Cr6+) dan parameter Biologi meliputi MPN. Coliform dan Coli tinja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air sumur artetis yang melebihi baku mutu adalah warna 792=94% dari baku mutu 50=6%, besi 2.06= 67% dari baku mutu 1.0=33%, klorida 1836=75% dari baku mutu 600=25%, total coliform/MPN coliform dan coli tinja sama 240=80% dari baku mutu 10 untuk perpipaan 3% dari baku mutu 50 perpipaan 17%.

Universitas Sumatera Utara

Selain faktor kesehatan lingkungan, keluhan penyakit pada santri juga dipengaruhi oleh perilaku santri terhadap kesehatan. Perilaku kesehatan merupakan tindakan atau upaya nyata yang dilakukan oleh santri terhadap pencegahan penyakit dan menjaga kesehatan individu yang didasari dari pengetahuan dan sikap santri. Perilaku santri dalam penelitian ini berkaitan dengan frekuensi mandi dalam sehari dengan menggunakan sabun, kebiasaan mencuci pakaian, seprey, dan menjemur peralatan tidur santri. Penelitian Nugraheni (2008) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan kebersihan diri santri terhadap kejadian penyakit skabies di pondok pesantren Al-Muayyad Surakarta, dan secara proporsi mempunyai kebiasaan mandi hanya satu kali sehari. Hasil penelitian Kasim (2008) menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan pengetahuan, dan sikap terhadap penggunaan air bersih bersumber air sumur pada masyarakat di Di Desa Tonjong, Kecamatan Pelabuhanratu, Sukabumi, dan secara proporsi menunjukkan bahwa 93,9% responden yang memiliki sarana air bersih cenderung menggunakan air bersih, artinya ketersediaan air bersih secara kuantitas dan kualitas berdampak pada pemanfaatan air bersih bersumber air sumur. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti di 3 (tiga) pesantren di Kota Langsa, umumnya santri menggunakan air sumur dan secara bergiliran mandi dan mencuci, dan secara fisik air yang digunakan masih berwarna kekuningan, dan sedikit berasa, dan dapat disimpulkan bahwa air tersebut banyak mengandung besi (Fe), dan secara fisik belum memenuhi syarat kesehatan. Keadaan ini didukung secara geografis 72,9% penderita skabies

Universitas Sumatera Utara

umumnya letak pesantren berada di areal pemukiman penduduk dan persawahan, sehingga resapan air sawah yang terkontaminasi dengan pupuk dan resapan air dari pemukiman yang terkontaminasi dengan sampah dan air permukaan dapat berdampak terhadap kualitas air sumur yang digunakan oleh santri di pesantren. Menurut Depkes RI (2002), bahwa Air yang aman adalah air yang sesuai dengan kriteria bagi peruntukan air tersebut, dan untuk air minum secara langsung termasuk air kualitas A, dan air yang dapat digunakan untuk air baku air minum termasuk kualitas B, artinya air sumur yang digunakan santri termasuk air kualitas B yang masih membutuhkan pengolahan agar memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan studi analisis pengaruh kualitas air sumur dan pengaruh perilaku pengguna terhadap keluhan penyakit pada pesantren tradisional di Kota Langsa, sehingga dapat dilakukan upaya untuk penyehatan air khususnya di pesantren.

1.2 Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kualitas air sumur (kualitas fisik, kimia dan bakteriologis) dan pengaruh perilaku pengguna (pengetahuan, sikap dan tindakan) terhadap keluhan penyakit pengguna air sumur pada pesantren tradisional di Kota Langsa.

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas air sumur (kualitas fisik, kimia dan bakteriologis) dan pengaruh perilaku pengguna (pengetahuan, sikap

Universitas Sumatera Utara

dan tindakan) terhadap keluhan penyakit pengguna air sumur pada pesantren tradisional di Kota Langsa.

1.4 Hipotesis Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah : (1) Kualitas air (kualitas fisik, kimia dan bakteriologis) mempunyai pengaruh terhadap keluhan penyakit pengguna air sumur pada pesantren tradisional di Kota Langsa (2) Perilaku pengguna (pengetahuan, sikap dan tindakan) mempunyai pengaruh terhadap keluhan penyakit pengguna air sumur pada pesantren tradisional di Kota Langsa

1.5 Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Langsa tentang pengaruh kualitas air sumur di pesantren di kota langsa sehingga dapat diambil kebijakan dan langkah strategis untuk penyehatan air di tempat-tempat umum khususnya di pesantren. 2. Memberikan masukan bagi pengguna air sumur di pesantren untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya dampak negatif dari penggunaan air sumur yang belum terjamin kualitasnya 3. Menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai