: Etik : Resusitasi Jantung Paru : 1 9 2011 : RSUD Ungaran : Masalah dan Tinjauan Pustaka : Seorang laki-laki, usia 75 th, datang ke IGD dalam
tindak
resusitasi,
keluarga
pasien
KASUS
I. Identitas Nama : No. RM : Jenis Kelamin : Umur : Tanggal Kasus II. Anamnesis KU: tidak sadar RPS: Pk 20.20 WIB pasien datang ke IGD dibawa oleh keluarga dalam keadaan tidak sadar, tanpa napas dan tanpa nadi, badan teraba hangat. Perjalanan dari rumah ke IGD kurang lebih mencakup 10 menit. Pasien tiba-tiba jatuh setelah berbincang dengan temannya. R. Demam (-), muntah (-), kejang (-), sakit dada (-), sesak (-), nyeri dada (-), sakit kepala (-). RPD: Stroke (-), HT (+), DM (-), Jantung (+) Tn. S 18987 Laki-laki 77 th : 1/9/2011
III. Pemeriksaan Fisik A : clear B : apneu C : pulsasi a. Carotis (-) D : pupil isokor 3mm/3mm, RC OD/OS menurun IV. Manajemen Bagging + RJP 5 siklus Bagging + RJP 5 siklus Iv epinefrin 1 ampul , EKG: asystole, pupil 3/3 mm Keluarga meminta resusitasi dihentikan Pertanyaan: 1. Kapan kita tidak perlu melakukan pertolongan resusitasi? 2. Kapan kita dapat mengakhiri suatu tindak resusitasi?
tidak
perlu
melakukan
pertolongan
Untuk dapat menentukan perlu tidaknya tindak resusitasi, kita harus mengerti definisi dari kematian itu sendiri. Pada tahun 1988 IDI mengeluarkan pernyataan berkaitan kapan seorang dinyatakan mati. a. Bila pernafasan spontan dan jantung telah pasti berhenti,setelah dilakukan CPR optimal. b. Bila telah dipastikan terjadi Mati Batang Otak (MBO), tetapi pada RJP darurat dimana tidak mungkin menentukan MBO maka seorang dapat dinyatakan mati bila : 1. Ditemukan tanda-tanda mati jantung. Mati jantung adalah henti jantung yang irreversible dimana EKG isoelektris selama minimal 30 menit, (intractable electric asystole) walaupun terapi RJP telah optimal. 2. Setelah dimulai RJP pasien tetap tidak sadar, tidak muncul nafas spontan reflex muntah negatif serta pupil tetap dilatasi.
Selama lebih 30 menit kecuali pasien hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturat atau anestesi umum. Beberapa prinsip umum yang menyangkut mengenai keputusan resusitasi adalah: a. Prinsip autonomi - Advanced Directive Adalah metode/dokumen untuk mengkomunikasikan keinginan pasien terhadap keputusan suatu masalah kesehatan jika sewaktu-waktu pasien menjadi inkompeten dalam membuat keputusan; harus diekspresikan ketika pasien kompeten secara mental dan tidak di bawah tekanan; pasien harus mendeskripsikan sejelas-jelasnya keadaan ketika bantuan hidup tidak dilakukan atau dihentikan (dapat dibantu konsultan medik); sebisa mungkin terbaru dan menyangkut semua perubahan kondisi yang mungkin terjadi. Ada 2 macam bentuk advance directive: - Living will : instruksi / keinginan seseorang tentang suatu masalah kesehatan. Living will hanya akan efektif jika seseorang tersebut kehilangan kemampuan untuk membuat suatu keputusan masalah kesehatan dan orang tersebut mempunyai kondisi tertentu yang ditetapkan pemerintahbiasanya kondisi terminal atau tidak sadar permanen. Untuk menjadi valid, living will harus disesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku, misal di beberapa negara harus sesuai form tertentu atau harus ditulis sesuai dengan standardisasi tertentu. - Durable powers of attorney for health care : dokumen yang menyatakan bahwa pasien menunjuk seseorang (disebut agen/ proxy) untuk membuat suatu keputusan bagi pasien jika pasien menjadi inkompeten. Perbedaan dengan living will yang hanya berfokus terhadap proses pembuatan keputusan (tidak bisa mengantisipasi semua kemungkinan yang dapat terjadi), power of the attorney dapat mencakup secara luas mengenai segala kemungkinan pengambilan keputusan karena bisa memantau rekam medis, mendiskusikan masalah dengan staf medis, dan akhirnya memutuskan keputusan yang sekiranya sesuai atau sekiranya terbaik bagi pasien. Jika tidak terdapat advance directive, seseorang yang lain dapat dipanggil untuk membuat keputusan tentang masalah kesehatan, yang bisa saja bertentangan dengan keinginan pasien. Mereka disebut dengan Surrogate decision maker, biasanya adalah : 1. Keluarga (spouse), 2. Adult child, 3. Orangtua, 4. Saudara kandung/ Kerabat lainnya, 5. Orang yang ditunjuk jika pasien inkompeten (misal teman dekat), 6. Specialized care professional.
Do Not Atempt Resuscitation (DNAR): ketika terjadi henti jantung, RJP tidak perlu dilakukan. Jika pilihan pasien belum yakin, kondisi emergensi tetap ditindak sesuai protokol sampai keputusan diketahui. DNAR tidak mencakup intervensi seperti administyrasi cairan parenteral, nutrisi, oksigen, analgesik, sedasi, antiaritmik agen, vasopresor. Beberapa pasien juga terkadang masih memilih dilakukan defibrilasi dan kompresi dada tapi tidak intubasi dan ventilasi buatan. Keputusan DNAR harus ditulis di rekam medis pasien dengan catatan yang menjelaskan rasionalisasi keputusan DNAR dan spesifik keterbatasan perawatan lainnya. Beberapa negaraada pula yang menetapkan butuh tanda tangan 2 dokter jaga pada keputusan DNAR. Keterbatasan terapi akan lebih baik jika mencakup guideline untuk spesifik intervensi kondisi emergensi yang dapat timbul sewaktu dirawat, seperti penggunaan agen presor, produk darah, atau antibiotik. Oral DNAR tidak dapat diterima. Jika dokter jaga tidak hadir secara fisik, perawat dapat menerima perintah DNAR lewat telepon dengan pengertian bahwa dokter tersebut akan mau menandatangani perintah. DNAR harus ditinjau ulang secara berkala, terutama jika kondisi pasien berubah.
b. Prinsip Kesia-siaan Futility Definisi: Jika tujuan tindakan medis tidak dapat terpenuhi, maka tindakan tersebut dianggap sia-sia. Penentunya tergantung pada lama dan kualitas hidup yang diinginkan oleh pasien, jika tidak dapat terpenuhi sesuai dengan keinginan maka dianggap sia-sia. Kita tidak perlu melakukan pertolongan resusitasi apabila: - terdapat permintaan dari pasien atau keluarga inti yang berhak secara sah dan ditandatangani oleh pasien atau keluarga pasien. - Pada beberapa kasus tertentu: neonatus atau bayi dengan kelainan yang memiliki angka mortalitas dini tinggi misal bayi sangat prematur (umur gestasi <23 minggu/ BBL < 400 g), anensefali, atau kelainan kromosom seperti trisomi 13/ 18. - Jika sudah tampak tanda-tanda klinis kematian yang ireversibel seperti kaku mayat, lebam mayat, dekapitasi, atau tanda-tanda pembusukan. - Jika upaya resusitasi memiliki risiko membahayakan penolong. - Pada penderita dengan trauma yang tidak dapat diselamatkan seperti hangus terbakar, dekapitasi, atau hemikorporektomi. - Pasien dengan permintaan DNAR (Do Not Attempt Resusictation) - Tidak terdapat keuntungan fisiologis yang bisa diharapkan (futility) karena fungsi vital telah menurun walau sudah dilakukan terapi maksimal misal untuk kondisi progresif septik/ syok kardiogenik
Referensi Samil, Ratna S. 2001. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. ......................... 2011. Buku Panduan Kursus bantuan Hidup Jantung Dasar. Jakarta: PP PERKI Sabatino, Charles. Oktober 2007. Download from http://www.merckmanuals.com/home/fundamentals/legal_and_ethical_issues Part 2: Ethical Aspects of CPR and ECC. 6 November 2011. Download http://circ.ahajournals.org/