Anda di halaman 1dari 4

Belaimu di Pembaringan Malamku

Terbangun engkau dalam pembaring malamku. Melenguh, memandang tajam wajah lusuh ini dengan keluh. Bertabur tanya dalam khayalku, dan berujung dengan bisik Kenapa?? Ada apa??

Tak biasanya engkau terbangun saat kita baru mulai beranjak tidur. Dalam gelap kamar ini, biasanya engkau selalu langsung memelukku erat. Dengan manja kau mencumbuku, membelai mesra belahan rambutku, lalu bercerita. Bercerita singkat tentang perjalanan kita, hari ini. Kau begitu ingat detail menit yang kita lalui bersama sedari subuh tadi. Sejengkal demi sejengkal, kau tulis ulang cerita itu, dalam fikir rapuhku yang terkadang kosong. Ya karena aku tidak lah sepertimu. Tidak seperti dirimu yang begitu indah, begitu baik, dan selalu mengingatkanku ketika aku lemah dimakan godaan.

Kau begitu anggun. Gemulai gelagatmu dalam kesederhanaan, ketenangan, dan alim, hingga aku pun selalu iri padamu. Engkau begitu indah. Namun meski begitu, selalu engkau simpan keindahanmu itu dalam diam. Engkau begitu indah, terlalu indah hingga entah mampu atau tidak untukku sepenuhnya bersatu dengan dirimu. Setiap malam dinginku, kau selalu menghangatkan ragaku. Kau genggam erat jemari kecil ini, kau rengkuh raga lemah ini dengan nyaman. Dan aku pun terbuai, hanyut dalam cumbu majamu disetiap malam, menjelang lelapku dalam dekapan alam.

Malam itu, aku rindu dengan belai manja yang selalu engkau berikan padaku. Rindu, sangat-sangat rindu. Namun, ternyata bukan cumbu manjamu yang ku dapat, bukan peluk mesramu yang mengikat. Oh kenapa sebenarnya engkau?? Hentikan sorot mata tajammu itu, aku takut. Sungguh-sungguh takut. Tanpa bergeming bibir ini, engkau kemudian pergi. Sejenak lega sebenarnya, karena tatapan menakutkan darimu itu kini tak ku lihat lagi. Namun, kini aku kehilanganmu. Sepi, hanya terdengar rengekan jangkrik yang ikut menangisi malam menemaniku. Kemana engkau?? Akan kembalikah dirimu menemani cerita hari-hariku?? Merekamnya, lalu kembali ceritakan detailnya saat ku mulai terlelap dalam gelap.

Hmm malam semakin gelap. Jangkrik pun rasanya lelah menangis, semakin sepi, dan yang tertinggal hanyalah hembusan nyanyian malam beriring deru embun yang memilukan. Oh Tuhan,

akhirnya kini aku harus mandiri merenungi, kenapa gerangan akhirnya ia bersikeras tuk tinggalkanku pergi. Tidak kah pantas cerita hidupku hari ini untuk kau ingat dan kembali kita kenang dalam pekat?? Yah mungkinkah begitu?? Iya kah benar seperti itu??

Aku kembali terbelalak, serasa tersiram wajah sayu ini dengan dingin bongkahan embun Illahi. Kembali segar dan tersadar. Tersadar, kenapa kau tunjukkan mata merah penuh kemarahanmu padaku. Kenapa lantas kau tinggalkan aku pergi dan sendiri memeluk malamku.

Ya mungkin kau memang kecewa dengan yang terlaku hari ini dalam hidupku. Aku telah menduakanmu.

Itulah kesimpulanku. Kuduakan engkau dengan cinta yang lain. Kuduakan engkau dengan kenikmatan yang lain. Kenikmatan indah memang, dan mungkin lebih indah kurasakan saat ini daripada indahnya janji dan nasihatmu yang selalu engkau ungkapkan padaku. Meski aku pun yakin, pasti semua janjimu itu akan benar dan lebih indah kelak pada waktunya. Namun, inilah kebodohanku. Lagi-lagi keindahan sesaat yang selalu ku pegang erat. Astagfirullah

Kuingat, hari itu, kugandeng jemari lentik anak manusia. Tak hanya itu, aku pun sempat memeluknya erat. Mengecup keningnya, dan menyapu mesra panjang urai rambut hitamnya. Oh tidak, kenapa sampai bisa kulakukan itu, padahal aku tau dia belumlah menjadi hak dan halalku. Tuhan, maafkan aku. Hari itu, dalam senggang cengkrama dengan saudara. Aku sastrakan aib orang, dengan lidah tajamku dengan lantang. Meghunus dan akhirnya membius mereka yang menganggukkan rangkain ucap pasuh ku. Oh Tuhan, lagi maafkan aku.

Tak terhenti disana, detak fikir ini pun terus bergerilnya, mencari akar dari sebab hilangnya sebagian dari indahnya hidupku. Tangisan palsu, rengekan penuh tipu manja pada orang tuaku, brutalnya pandangan menyadur bingkisan keindahan paras perawan, bahkan terkadang hingga lebih. Tak jarang, lontaran macam-macam satwa hina dalam umpatan, sumpah palsu demi dapatkan kenikmatan, penyelipan mata uang demi pundi kekayaan, dan yah .rasanya terlalu banyak, begitu banyak hingga koleps tuk terungkapkan.

Oh Tuhan, lagi-lagi maafkan aku.

Tertunduk malu, wajah ini dalam dekapan aroma tengah petang yang ngeri. Kemana engkau wahai sebagian hidupku, kini ku telah sadar. Aku mohon, segera kembalilah padaku. Segera sejukkan lagi pandangmu. Aku mohon, maafkan pengabaianku dan perselingkuhanku pada nafsuku. Aku tetap terdiam, terbaring hina dengan bulir airmata tertumpah penuh harap. Tuhan..ampukan dosaku .

Tetap terdiam diri, hingga lonceng jam gantungku pun berbunyi mengagetkanku. Dan dalam selasela bunyinya, ku dengar kau kembali hadir memasuki gelap kamarku. Benarkah itu engkau?? setengah tak percaya ku coba fokuskan sorot mataku, dan Ya itu engkau, engkau kembali fikirku dengan girang namun tetap berbalut takut khawatir sorot tajam matamu belum hilang. Alhamdulillah Tuhan begitu sayu ternyata wajahmu saat kembali. Berseri matamu lengkap dengan senyum terlukis dalam bibirmu. Sungguh bahagia, serasa tak pernah kurasa senang yang sesenang ini saat kembali kau dekap aku dengan peluk maafmu. Saat kembali kau kecup aku dalam ikhlas penerimaanmu.

Nuraniku, kuharap kau tak lagi tinggalkanku dalam sepi. Aku bingung saat kau jauh. Serasa tak ada pengingat dalam hidupku. Serasa sendiri ku berjalan dalam hidupku. Engkau lah yang selalu menjadi alrm dalam hatiku. Mengingatkanku tuk selalu berjalan dalam kebaikan, menjanjikanku dengan janji kekalnya kebahagiaan dalam tangan Tuhan. Terimakasih, masih kau beri kesempatan aku untuk mencoba bersatu dalam kesucianmu, Nuraniku.

Data Diri
Tulisan atas nama No. Kontak No. Rekening : Supriadi : 085 295 123 172 : 0133783115 * BNI kantor cabang UPI Bandung

Penulis adalah salah satu mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Teknik Mesin.

Anda mungkin juga menyukai