Anda di halaman 1dari 68

BAB I DEMOKRASI Kompetensi Dasar :

1. Menjelaskan hakikat demokrasi 2. Menganalisa sejarah perkembangan demokrasi 3. Menjelaskan pentingnya kehidupan demokratis dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara A. Hakikat Demokrasi

Kata demokrasi terkesan sangat akrab dan seakan sudah dimengerti begitu saja. Namun apa dan bagaimana sebenarnya makna dan hakikat substansi demokrasi mungkin belum sepenuhnya dimengerti dan dihayati. Sehingga perlu diketahui makna dan hakikat demokrasi karena hampir semua negara menjadikan demokrasi sebagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara. Berdasarkan hal tersebut di atas sudah tentu sangat perlu untuk mengetahui lebih dulu makna dan hakikat demokrasi. Banyak para ahli memberikan batasan tentang demokrasi antara lain dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis), bahwa demokrasi berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara etimologis, demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Sedangkan secara istilah (terminologis) pengertian demokrasi banyak

dikemukakan oleh para ahli, antara lain : (a) Yoseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat; (b) Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa; (c) Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakantindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih; (d) Henry B Mayo, demokrasi sebagai sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh 1

wakil-wakil yang diawasi secara effektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Dari beberapa pendapat di atas diperoleh kesimpulan bahwa hakikat demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat yang mengandung pengertian tiga hal: Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian yang berhubungan dengan pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate government) dan pemerintahan yang tidak sah dan tidak diakui (unligitimate government) di mata rakyat. Legimitasi suatu pemerintahan sangat penting, karena dengan legitimasi tersebut pemerintahan dapat menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.

Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by the people) mengandung arti bahwa pemerintahan menjalankan kekuasaan atas nama rakyat bukan atas dorongan diri dan keinginannya sendiri, serta dalam menjalankan kekuasaannya, maka pemerintah berada dalam pengawasan rakyat (social control) secara langsung maupun tidak langsung. Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for the people) mengandung arti bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah itu dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat harus didahulukan dan diutamakan di atas segalanya. Untuk itu pemerintah harus mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi rakyat dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan dan program-programnya. Pemerintah harus membuka saluran dan ruang kebebasan serta menjamin adanya kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat dalam menyampaikan aspirasinya baik melalui media pers maupun secara langsung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itu demokrasi memerlukan usaha nyata setiap warga dan perangkat pendukungnya yaitu budaya yang kondusif sebagai manifestasi dari suatu mind set (kerangka berpikir) dan setting social (rancangan masyarakat). Sehingga bentuk kongkrit dari manifestasi tersebut adalah dijadikannya demokrasi sebagai way of life (pandangan hidup) dalam seluk beluk sendi kehidupan bernegara baik oleh rakyat (masyarakat) maupun oleh pemerintah. Sebagai bentuk 2

pemerintahan maka demokrasi meliputi unsur-unsur : (1) Adanya partisipasi masyarakat secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, (2) Adanya pengakuan akan supremasi hukum., (3) Adanya kebebasan, antara lain: kebebasan berekspresi dan berbicara atau berpendapat, kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk menggugat pemerintah, kebebasan untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, dan kebebasan untuk mengurus nasib sendiri, dan (4) Adanya pengakuan supremasi sipil atas militer. Pemerintahan demokratis membutuhkan kultur demokrasi untuk membuatnya performed (eksis dan tegak). Kultur demokrasi ini berada dalam masyarakat itu sendiri. Pemerintahan yang baik dapat tumbuh dan stabil bila masyarakat pada umumnya punya sikap positif dan proaktif terhadap norma-norma dasar demokrasi. Oleh karena itu harus ada keyakinan yang luas di masyarakat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik dibanding dengan sistem lainnya (Saiful Mulyani:2002) . Untuk itu masyarakat harus menjadikan demokrasi sebagai way of life yang menuntun tata kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, pemerintahan dan kenegaraan. Demokrasi mengandung proses dinamis dalam arti proses melaksanakan nilainilai civility (keadaban) dalam bernegara dan bermasyarakat (Nurcholis Madjid:2000), sehingga secara teoritis maupun pengalaman praktis di negeri-negeri yang demokrasinya cukup mapan paling tidak mencakup tujuh norma : Pertama, pentingnya kesadaran akan pluralisme. Dalam hal ini tidak hanya sekedar pengakuan (pasif) akan kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi lebih dari itu adalah kesadaran akan kemajemukan menghendaki tanggapan yang positif terhadap kemajemukan itu sendiri secara aktif. Seorang individu akan mampu menyesuaikan dirinya pada cara hidup demokratis jika ia mampu mendisiplinkan dirinya sendiri ke arah jenis persatuan dan kesatuan yang diperoleh melalui penggunaan perilaku kreatif dan dinamik serta memahami segi-segi positif kemajemukan masyarakat. Pandangan hidup demokratis seperti ini menuntut moral pribadi yang tinggi. Kesadaran akan pluralitas sangat penting dimiliki bagi rakyat Indonesia sebagai bangsa yang sangat beragam dari sisi etnis, bahasa, budaya, agama dan potensi alamnya. Kedua, adanya istilah musyawarah dalam arti saling memberi isyarat (bahasa Arab). Internalisasi dan semangat musyawarah menghendaki dan

mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan kalah suara. Semangat musyawarah menuntut 3

agar setiap orang menerima kemungkinan terjadinya partial fintioning of ideals yaitu suatu pandangan bahwa belum tentu, dan tidak harus, seluruh keinginan atau pikiran seseorang atau kelompok akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya. Korelasi prinsip ini ialah kesediaan untuk kemungkinan menerima bentuk-bentuk kompromi atau islah. Korelasinya yang lain ialah seberapa jauh kita bisa bersikap dewasa dalam mengemukakan pendapat, dan kemungkinan mengambil pendapat yang lebih baik. Dalam masyarakat yang belum terlatih benar untuk berdemokrasi, sering terjadi kejenuhan antara mengkritik yang sehat dan bertanggung jawab, dan menghina yang merusak dan tanpa tanggung jawab. Ketiga, ungkapan tujuan menghalalkan segala cara harus dihindari. Hal ini mengisyaratkan suatu kutukan kepada orang yang berusaha meraih tujuannya dengan cara-cara yang tidak peduli kepada pertimbangan moral. Pandangan demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan. Bahkan sesungguhnya klaim atas suatu tujuan yang baik harus diabsahkan oleh kebaikan cara yang ditempuh untuk meraihnya. Sehingga demokrasi tidak akan terwujud tanpa akhlak yang tinggi, di mana pertimbangan moral (keluhuran akhlak) menjadi acuan dalam berbuat dan mencapai tujuan. Keempat, permufakatan yang jujur dan sehat adalah hasil akhir musyawarah yang jujur dan sehat. Musyawarah yang benar dan baik hanya akan berlangsung jika masing-masing pribadi atau kelompok mempunyai kesediaan psikologis untuk melihat kemungkinan orang lain benar dan diri sendiri salah, dan bahwa setiap orang pada dasarnya baik, berkecenderungan baik, dan beritikad baik. Jadi permufakatan yang dicapai melalui manipulasi atau taktik hasil konspirasi, tidak hanya merupakan permufakatan yang curang, cacat atau sakit, bahkan dapat dikatakan sebagai suatu penghianatan pada nilai dan semangat demokrasi. Kelima, terpenuhinya keperluan pokok yaitu sandang, pangan dan papan. Ketiga hal itu menyangkut masalah pemenuhan segi-segi ekonomi yang dalam pemenuhannya tidak lepas dari perencanaan sosial-budaya. Masyarakat demokratis ditantang untuk mampu menganut hidup dengan pemenuhan kebutuhan secara berencana, dan harus memiliki kepastian bahwa rencana-rencana itu benar-benar sejalan dengan tujuan dan praktik demokrasi. Dengan demikian rencana pemenuhan kebutuhan ekonomi harus mempertimbangkan aspek keharmonisan dan keteraturan sosial. Keenam, kerjasama

antarwarga masyarakat dan sikap saling mempercayai itikad baik masing-masing, kemudian jalinan dukung mendukung secara fungsional antara berbagai unsur kelembagaan kemasyarakatan yang ada, merupakan segi penunjang efisiensi untuk 4

demokrasi. Masyarakat yang terkotak-kotak dengan masing-masing penuh curiga kepada lainnya, buka saja mengakibatkan tidak efisiennya cara hidup demokratis, tetapi juga dapat menjurus pada lahirnya pola tingkah laku yang bertentangan dengan nilainilai asasi demokrasi. Pengakuan akan kebebasan nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua (egalitarianism) dan tingkah laku penuh percaya pada itikad baik orang dan elompok lain (trust attitude) mengharuskan adanya landasan pandangan kemanusiaan yang positif dan optimis. Pandangan kemanusiaan yang negatif dan pesimis akan dengan sendirinya sulit menghindari perilaku curiga dan tidak percaya kepada sesama manusia, yang kemudian ujungnya ialah keengganan bekerjasama. Ketujuh, pendidikan demokrasi. Sementara ini pendidikan demokrasi pada umumnya masih terbatas pada usaha indoktrinasi dan penyuapan konsep-konsep secara verbalistik. Terjadi diskrepansi (jurang pemisah) antara das sein dan das sollen dalam konteks ini ialah dari kuatnya budaya menggurui (secara feodalistik) dalam masyarakat kita. Sehingga verbalisme yang dihasilkannya juga menghasilkan kepuasan tersendiri dan membuat yang bersangkutan merasa telah berbuat sesuatu dalam penegakan demokrasi, hanya karena telah berbicara tanpa perilaku. Pandangan hidup demokratis terlaksana dalam abad kesadaran universal sekarang ini, maka nilai-nilai dan pengertian-pengertiannya harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan kita.tidak dalam arti menjadikannya muatan kurikuler yang klise, tetapi diwujudkan dalam hidup nyata (lived in) dalam sistem pendidikan kita. Kita harus mulai dengan sungguh-sungguh memikirkan untuk membiasakan anak didik dan masyarakat umumnya siap menghadapi perbedaan pendapat dan tradisi pemilihan terbuka untuk menentukan pimpinan atau kebijakan. Jadi kajian demokrasi tidak saja dalam kajian konsep verbalistik, melainkan telah membumi (menyatu) dalam interaksi dan pergaulan sosial baik di kelas maupun di luar kelas. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Masykuri Abdillah (1999) prinsipprinsip demokrasi terdiri atas prinsip persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Sedang dalam pandangan Robert A. Dahl terdapat enam prinsip yang harus ada dalam sistem demokrasi, yaitu: (a) kontrol atas keputusan pemerintah, (b) pemilihan yang teliti dan jujur,(c) hak memilih dan dipilih, (d) kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman, (e) kebebasan mengakses informasi, (f) kebebasan berserikat. Sementara itu Inu Kencana lebih memerinci lagi tentang prinsip-prinsip demokrasi dengan a). Adanya 5

pembagian kekuasaan; b) adanya pemilihan umum yang bebas; c) adanya manajemen yang terbuka; d) adanya kebebasan individu; e) adanya peradilan yang bebas; f) adanya pengakuan hak minorritas; g) adanya pemerintahan yang berdasarkan hukum; h) adanya pers yang bebas; adanya musyawarah; k) adanya persetujuan parlemen; l) adanya pemerintahan yang konstitusional; m) adanya ketentuan tentang pendemokrasian; n) adanya pengawasan terhadap administrasi publik; o) adanya perlindungan hak asasi; p) adanya pemerintahan yang bersih; q) adanya persaingan keahlian; r) adanya mekanisme politik; s) adanya kebijaksanaan negara; dan t) adanya pemerintahan yang mengutamakan tanggungjawab. Suasana kehidupan yang demokratis merupakan dambaan bagi umat manusia termasuk manusia Indonesia, karena itu demokrasi tidak boleh menjadi gagasan yang utopis melainkan harus diimplementasikan dalam interaksi sosial kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Prinsip-prinsip negara demokrasi yang telah disebut di muka kemudian dituangkan dalam konsep yang lebih praktis untuk dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat

pelaksanaan demokrasi yang berjalan di suatu negara. Untuk mengukur suatu negara atau pemerintah dalam menjalankan tata pemerintahannya dikatakan demokratis dapat dilihat dari empat aspek. Pertama, masalah pembentukan negara. Kita percaya bahwa proses pembentukan kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas, watak dan pola hubungan yang akan terbangun. Sementara ini pemilihan umum dipercaya sebagai salah satu instrumen penting guna memungkinkan berlangsungnya suatu proses pembentukan pemerintahan yang baik. Kedua, dasar kekuasaan negara. Masalah

ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta pertanggungjawaban langsung kepada rakyat. secara distributif Ketiga, susunan kekuasaan negara. Kekuasaan negara dijalankan untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu

tangan/wilayah. Penyelenggaraan kekuasaan negara sendiri haruslah diatur dalam suatu tata aturan yang membatasi dan sekaligus memberi koridor dalam

pelaksanaannya. Aturan yang ada harus mengandung dua hal, yaitu; a) memungkinkan terjadinya desentralisasi untuk menghindari sentralisasi; b) memungkinkan pembatasan agar kekuasaan tidak menjadi tidak tak terbatas. Keempat, masalah kontrol rakyat.

Apakah dengan koridor tersebut sudah dengan sendirinya akan berjalan suatu proses yang memungkinkan terbangun sebuah relasi yang baik, yakni suatu relasi yang simetris, memiliki sambungan yang jelas, dan adanya mekanisme yang memungkinkan check and balance terhadap kekuasaan yang dijalankan eksekutif dan legeslatif. 6

Kriteria negara demokratis menurut

G. Bingham Powell Jr (Tim ICCE

UIN:2003) meliputi : a) pemerintah mengklaim mewakili hasrat para warganya; b) klaim itu berdasarkan adanya pemilihan kompetitif secara berkala antara calon alternatif; c) partisipasi orang dewasa sebagai pemilih dan calon yang dipilih; d) pemilihan bebas; e) warga negara memiliki kebebasan-kebebasan dasar yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berorganisasi serta membentuk partai politik. Frans Magnis Suseno (1997) mengatakan kriteria negara demokratis adalah: a) negara terikat pada hukum; b) kontrol efektif terhadap pemerintah oleh rakyat; c) pemilu yang bebas, d) prinsip mayoritas; e) adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis. W. Ross Yates (tim ICCE UIN:2003) mengajukan enam ciri negara demokrasi ialah: a) toleransi terhadap orang lain; b) perasaan fair play; c) optimisme terhadap hakikat manusia; d) persamaan kesempatan; e) orang yang terdidik; f) jaminan hidup, kebebasan dan hak milik. Sedangkan Affan Gafar (1993) menyebutkan sejumlah prasyarat untuk mengamati apakah sebuah political order (pemerintahan) merupakan sistem yang demokratik atau tidak melalui ukuran : a) akuntabilitas; b) rotasi kekuasaan; c) rekruitmen politik; d) pemilihan umum; e) adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar. Kelima elemen tersebut berlaku secara universal di dalam melihat demokrasi tidaknya suatu rezim pemerintahan (potical order)

B. Sejarah Perkembangan Demokrasi Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran hubungan negara dan hukum di Yunani dan dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 M. Demokrasi yang dilaksanakan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung (direct democracy) artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini bisa berjalan karena pada masa itu di Yunani Kuno hanya berbentuk negara kota (polis) dengan jumlah penduduk relatif sedikit, bahkan warga negara yang bisa menikmati hak demokrasi hanyalah warga negara yang resmi, sedangkan budak belian, pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak dapat menikmatinya.

Gagasan demokrasi Yunani Kuno ini berakhir pada abad pertengahan, karena pada abad ini masyarakat Eropa bercirikan masyarakat feodal, kehidupan spiritual dikuasai oleh Paus dan pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan di antara para bangsawan. Dengan demikian kehidupan sosial politik dan agama pada masa ini hanya ditentukan oleh elit-elit masyarakat, yaitu kaum bangsawan dan kaum agamawan. Oleh karena itu demokrasi tidak muncul pada abad pertengahan ini. Namun demikian menjelang akhir abad pertengahan, tumbuh lagi keinginan menghidupkan demokrasi. Lahirnya Magna Charta yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dengan Raja John di Inggris merupakan tonggak baru kemunculan demokrasi empirik, yang isinya memuat dua prinsip yang sangat mendasar: pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di dunia barat adalah gerakan renaissance dan reformasi. Renaissance merupakan gerakan yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno. Gerakan ini lahir karena adanya kontak dengan dunia Islam yang ketika itu berada di puncak kejayaan peradaban ilmu pengetahuan. Para ilmuwan Islam seperti Ibnu Khaldun, Al-Razi, Oemar Khayam, Al Khawarizmi dan sebagainya, bukan hanya berhasil

mengasimilasikan pengetahuan Parsi Kuno (baca; Bagdhad sebagai pusatnya) dan warisan klasik (Yunani Kuno), melainkanjuga berhasil berdasarkan kebutuhankebutuhan yang sesuai dengan alam pikiran mereka sendiri. Sehingga menurut Philip K. Hitti dunia Islam telah memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan dan perkembangan Eropa melalui terjemahan-terjemahan terhadap warisan Parsi Kuno dan Yunani Kuno dan menyeberangkannya ke Eropa. Dengan kata lain, renaissance di Eropa bersumber dari tradisi keilmuan Islam dan berintikan pada pemuliaan akal pikiran untuk selalu mencipta dan mengembangkan ilmu pengetahuan, telah mengilhami munculnya kembali gerakan demokrasi. Gerakan reformasi di Eropa juga mendorong munculnya gerakan demokrasi, yaitu suatu gerakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad ke-16 yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan dalam gereja Katolik yang sebelumnya begitu dominan dalam menentukan tindakan warga negara dan semuanya ditentukan oleh gereja. Dengan dimotori Martin Luther menyulut api pembrontakan terhadap dominasi gereja yang telah mengungkung kebebasan berpikir dan bertindak. 8

Di samping itu ada dua filusuf besar John Locke dan Montesquieu memberikan sumbangan besar bagi gagasan pemerintahan demokrasi. John Locke (1632-1704) mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak memiliki (live, liberal, property) harus dilndungi. Sedang Montesquieu (1689-1944) mengungkapkan sistem pokok yang dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui trias politica, yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara menjadi tiga bentuk kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif yang masing-masing dipegang harus dipegang oleh organ sendiri-sendiri secara merdeka. Hak-hak politik rakyat dan hak-hak asasi manusia merupakan tema dasar dalam pemikiran politik (ketatanegaraan), untuk itu timbullah gagasan tentang cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi baik tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga kekuasaan pemerintah diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembagalembaga hukum. Gagasan inilah yang kemudian dinamakan konstitusionalisme atau demokrasi konstitusional. Salah satu ciri demokrasi konstitusional yang hidup pada abad ke-19 ialah sifat pemerintah yang pasif, dalam arti hanya menjadi wasit atau pelaksana sebagai keinginan rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen. Menurut Carl J. Frederick pemerintah di sini dibatasi agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya, pemerintah hanya menjalankan undang-undang yang telah dibuat oleh parlemen atas nama rakyat. Jadi pemerintahan demokrasi yang demikian ini pemerintah hanya memiliki peran yang terbatas pada tugas eksekutif. Konsep demokrasi konstitusional ini disebut Negara Hukum Formal (klasik) pada abad ke-19 atau menurut Arif Budiman disebut negara Pluralisme, yaitu negara yang tidak mandiri yang hanya bertindak sebagai penyaring berbagai keinginan dari interest group dalam masyarakat. Konsep Negara Hukum Formal di atas mulai digugat menjelang abad ke-20 tepatnya setelah Perang Dunia II, beberapa faktor yang mendorong gugatan ini menurut Mariam Budihardjo antara lain adalah akses-akses dalam industrialisasi dan sistem kapitalis, tersebarnya paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekuasaan secara merata serta kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa. Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara di bidang sosial maupun ekonomi bergeser ke dalam gagasan baru, yakni bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Maka pemerintah tidak boleh bersifat pasif atau

berlaku hanya sebagai penjaga malam, melainkan harus aktif melaksanakan upayaupaya untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya dengan cara mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. 9

Gagasan baru ini dikenal sebagai gagasan Welfare State atau Negara Hukum Material (Dinamis). Pemerintah Welfare State diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (Bestuurzorg) dengan konskuensi pemberian kemerdekaan administrasi negara dalam menjalankannya. Pemerintah diberi

kemerdekaan bertindak atas inisiatif sendiri, tidak hanya atas inisiatif parlemen. Itulah sebabnya kepada pemerintah diberikan Fres Ermessen atau Pouvoir

discretionnair, yaitu kemerdekaan yang dimiliki oleh pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial dan keleluasaan untuk selalu terikat pada produk legislasi parlemen. Gagasan Welfare State ini menyebabkan peranan pemerintah semakin luas, di bidang legislasi misalnya, bahkan fres ermessen mempunyai tiga macam aplikasi, yaitu adanya hak inisiatif (membuat peraturan yang sederajad dengan Undang-undang tanpa persetujuan lebih dulu dari parlemen, berlakunya dibatasi oleh waktu tertentu), hak legislasi (membuat peraturan di bawah undang-undang) dan droit function (menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif). Tetapi pada akhirnya demokrasi Welfare State ini juga mulai ditinjau ulang, karena konsep demokrasi di Barat masih terus berjalan dan mengalami perubahan yang signifikan. Negara Indonesia termasuk menganut konsep demokrasi welfare state, sebagaimana tersurat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang memuat tujuan nasional ; ... yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...
C. Kehidupan Demokrasi dalam Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

Demokrasi telah lama berkembang di bumi Indonesia sebagai contoh adanya musyawarah adat, rembug desa, rapat nagari dan sebagainya. Dalam kegiatan berdemokrasi tersebut warga mengambil bagian dalam proses pembuatan keputusan atau kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama. Kehidupan demokrasi ini sangat nyata diterapkan ketika ada suatu masalah dan semua warga dilibatkan untuk memecahkan masalah tersebut. Jadi tidak hanya ketua adat atau kepala suku saja yang berhak membuat keputusan. Masing-masing warga tentu memiliki pandangan atau pendapat tertentu terhadap masalah dan pemecahannya. Tetapi demokrasi tidak hanya diterapkan dalam memecahkan masalah saja, bisa saja dalam hal merumuskan 10

kebijakan-kebijakan bersama bernegara.

dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan

Perlu diketahui dalam mengembangkan pemerintahan demokratis ada beberapa nilai demokrasi yang mutlak harus dilaksanakan ialah : Kebebasan berpendapat, hal ini sangat dihargai dalam kehidupan demokrasi karena hal ini merupakan hak setiap warga negara. Hak ini bergena untuk menyuarakan aspirasi dan gagasan setiap wara negra melalui berbagai saluran publik, seperti media massa, buku, karya seni maupun melalui wakil-wakil rakyat di parlemen. Pengekangan terhadap kebebasan berpendapat akan menyebabkan negara menjadi represif dan tidak dapat dikontrol, bahkan sangat mungkin negara akan mudah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Akibat lebih lanjut kehidupan demokrasi akan mati. Kebebasan berkelompok, merupakan naluri dasar manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan demokrasi membuka banyak alternatif bagi warga negara untuk memiliki kebebasan berkelompok ini misal ikut berorganisasi, menjadi anggota atau membentuk partai politik, memberikan dukungan kepada siapapun sesuai dengan kepentingannya. Kebebasan berpartisipasi, hal ini sebenarnya ini sebenarnya gabungan dari kebebasan berpendapat dan kebebasan berkelompok yang meliputi : (1) Pemberian suara dalam pemilihan umum, (2) Kontak atau berhubungan dengan pejabat pemerintah, (3) Melakukan protes terhadap lembaga masyarakat atau pemerintah agar sistem politik bekerja lebih baik, dan (4) Mencalonkan diri dalam pemlihan jabatan publik seperti kepala desa/lurah, bupati/wali kota, gubernur, anggota legeslatif bahkan presiden, sesuai dengan sistem pemilihan yang berlaku. Kesetaraan gender merupakan keniscayaan demokrasi, di mana kedudukan lakilaki dan perempuan memiliki kodrat yang sama sebagai makhluk sosial, memiliki akses yang sama dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi. Oleh karena itu demokrasi tanpa kesetaraan gender akan berdampak ketidak adilan atau bahkan deskriminasi. Kedaulatan rakyat, di dalam negara demokrasi rakyat memiliki kedaulatan. Hal ini mengandung arti rakyat berdaulat dalam ikut menentukan pemerintahan. Esensi kedaulatan adalah penciptaan otorisasi dan penegakan hukum sesuai standar persyaratan kebaikan umum. Dalam kehidupan demokrasi ini politisi harus accountable, yakni melayani segala kebutuhan rakyat. Mereka harus menyadari bahwa mandat yang mereka peroleh dari rakyat harus dikembalikan dalam bentuk pemberian pelayanan sebaik mungkin kepada rakyat. Hal ini sesuai dengan makna demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rasa percaya, sSuatu pemerintahan demokrasi akan sulit 11

berkembang bila rasa saling percaya antar kelompok masyarakat tidak tumbuh. Apabila yang ada adalah rasa ketakutan, kecurigaan, kekhawatiran, dan bahkan permusuhan, maka dapat dipastikan hubungan kelompok antar masyarakat akan terganggu secara permanen. Kondisi yang demikian akan sangat merugikan keseluruhan sistem politik dan sosial. Akibat lebih lanjut agenda pemerintahan tidak terlaksana karena dukungan masyarakat sangat lemah karena adanya rasa tidak saling percaya tersebut. Dan yang terakhir Kerja sama, salah satu nilai yang mampu mendorong terwujudnya demokrasi adalah kerja sama. Kerja sama bukan berarti menutup munculnya perbedaan pendapat antar individu atau antar kelompok, karena tanpa perbedaan maka demokrasi justru tidak berkembang. Kerja sama ini dapat diwujudkan dalam bentuk sikap mau menerima pendapat orang lain dan konsisten dalam menerima segala keputusan yang telah ditetapkan bersama. Contoh kongkrit misalnya, dalam suatu pemilihan individu atau kelompok diharapkan siap menang dan siap kalah. Apabila sikap ini dapat terwujud alangkah harmonisnya kehidupan demokrasi itu. Selanjutnya menurut Asykuri Ibn Chamim (2003) nilai-nilai demokrasi seperti tersebut di atas merupakan wacana normatif yang memerlukan kondisi tertentu sebagai landasan pengembangannya. Kondisi yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi, pluralisme dan hubungan yang seimbang antara negara dan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi, jika memadai menjadi salah satu aktor kondisional yang ikut mendorong tumbuhnya kehidupan demokrasi, karena kemakmuran ekonomi akan menghasilkan orang-orang yang lebih percaya diri dan menumbuhkan etos dalam dirinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan. Hal ini menuntut tumbuhnya institusi politik yang responsif terhadap kebutuhan rakyatnya. Akibat yang timbul dari pertumbuhan ekonomi ini juga mendorong masyarakat untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, sehingga hal ini juga akan memperbesar persentase masyarakat yang cenderung kritis, percaya diri dan bermotivasi tinggi dalam kehidupan mereka. Keadaan yang demikian dapat dibuktikan bahwa banyak negara yang

pertumbuhan ekonominya rendah cenderung pemerintahnnya tidak demokratis. Pluralisme, masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok. Di dalam masyarakat plural ini setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada tanpa adanya rintangan-rintangan sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu. Kemudahan bergabung dengan setiap kelompok yang ada juga diperkuat oleh kesediaan dan keragaman suatu kelompok dlam menerima kemenangan kelompok lain 12

dalama sebuah persaingan secara jujur.

Masyarakat yang heterogen membuka

peluang bagi persaingan dan konflik antar kelompok yang ada. Akan tetapi kemenangan suatu kelompok yang telah sesuai dengan aturan yang diakui secara kolektif harus diterima dengan tangan terbuka, sehingga konflik dapat dihindari. Hubungan yang seimbang antara negara dan masyarakat, pola hubungan negara dan masyarakat merupakan kondisi lain yang menentukan kualitas

pengembangan demokrasi. Demokrasi akan sulit berkembang apabila berada pada posisi negara kuat , karena ada kecenderungan negara kuat akan melakukan represi terhadap masyarakat yang dianggap membahayakan negara. Biasanya dalam keadaan negara kuat tidak mengenal adanya kelompok kritis atau oposisi. Sehingga negara kuat cenderung akan melemahkan pondasi demokrasi. Kalau begitu apakah memerlukan negara lemah ? Jawabnya, jelas tidak, karena negara yang lemah tidak mungkin bisa memainkan peran utamanya yaitu melindungi masyrakat dan mempertahankan kedaulatan negara. Oleh karena itu yang diperlukan dalam negara demokrasi adalah hubungan antara negara dan masyarakat/rakyat yang seimbang. Demokrasi memerlukan sebuah negara kuat tetapi menghormati hukum, memerlukan adanya partai politik, legeslatif, media massa, dan rakyat. Negara seperti inilah yang dapat memberikan perlindungan bagi rakyatnya dan menjadi penopang bagi pengembangan nilai-nilai demokrasi. Pada perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sekarang ini demokrasi merupakan pilihan banyak negara, alasanya sangat jelas yaitu dengan demokrasi maka pemerintah akan dapat dikontrol oleh masyarakat. Di samping itu dengan demokrasi maka rakyat dapat membentuk asosiasi-asosiasi yang dapat mengimbangi kekuasaan pemerintah, warga mesyarakat dapat mengartikulasikan aspirasinya dan menyatakan dengan jelas apa kepentingannya. Dengan demokrasi warga masyarakat memiliki peluang untuk mengajukan alternatif kebijaksanaan ketimbang hanya menerima begitu saja apa yang diajukan pemerintah. Dengan kata lain, demokrasi akan membatasi peluang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan yang berlawanan dengan kehendak masyarakat luas. Untuk itulah ada parameter untuk

mengamati apakah demokrasi terwujud atau tidak dalam suatu negara, antara lain :
1. Pemilihan umum yang dilakukan secara teratur dengan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur dan adil. Pemilu merupakan gerbang utama yang haus dilewati

pemerintahan demokrasi, karena dengan pemilu lembaga-lembaga kenegaraan dapat dibentuk baik legeslatif maupun eksekutif. Melalui pemilu juga akan diketahui seberapa

13

besar kemungkinan rotasi kekuasaan, karena apabila suatu negara hanya seseorang yang berkuasa secara terus menerus atau hanya ada satu partai politik yang berkuasa mengendalikan pemerintahan, maka dapat dikatakan negara yang demikian jauh dari demokrasi. 2. Rekrutmen politik secara terbuka. Demokrasi memberikan peluang untuk mengadakan kompetisi karena semua orang dan kelompok memili hak dan peluang yang sama di bidang pemerintahan. Di negara totaliter atau otoriter tidak akan terjadi karena rekrutmen politik hanya dilakukan tertentu baik individu maupun kelompoknya. 3. Akuntasi publik. Para pemegang jabatan politik harus bisa mempertanggungjawabkan kepada publik apa yang telah dilakukannya baik secara pribadi maupun sebagai pejabat publik. Apa yang dlakkan harus secara terbuka untuk diketahui publik, karena jabatan yang mereka terima merupakan kepercayaan dari rakyat. 4. Dilaksanakan atau tidaknya hak-hak dasar individu atau disebut sebagai basic human right. Hal terutama menyangkut kebebasan berserikat, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan dari rasa takut, dan sebagainya. Apabila hak-hak dasar ini dilakukan dengan sepenuhnya maka dapat dinyatakan demokrasi sudah berjalan dengan baik, sehingga rakyat mempunyai peluang untuk melakukan kontrol terhadap proses penyelenggaran negara. 5. Terwujudnya sebuah pengadilan yang independen. Pengadilan adalah yuri yang mampu bertindak netral apabila terjadi konflik dalam masyarakat, baik konflik antara lembaga politik maupun konflik antara warga negara dengan pemerintah. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka menciptakan keseimbangan antar berbagai kekuasaan yang ada dalam negara.

Parameter lain untuk dapat mengetahui demokratis atau tidaknya suatu pemerintahan dapat dilihat dari dipenuhi atau tidaknya unsur-unsur sebagai berikut : (a) kedaulatan rakyat; (b) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (c) kekuasaan mayoritas; (d) hak minoritas; (e) jaminan HAM; (f) pemilihan yang bebas dan jujur; (g) persamaan di depan hukum; (h) proses hukum yang wajar; (i) pembatasan pemerintah secara konstitusional; (j) pluralisme sosial, ekonomi dan politik; (k) nilainilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat (Alamudi:1994). Lebih lanjut Alamudi menjelaskan bahwa dalam negara yang demkratis warga negara bebas mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas, namun tidak benar bahwa kekuasaan mayoritas itu selalu demokratis. Suatu negara dapat dikatakan demokratis apabila kekuasaan mayoritas digandengkan dengan jaminan hak asasi manusia (HAM). Kelompok mayoritas dapat melindungi kelompok minoritas, hak-hak minoritas tidak dapat dihapuskan oleh suara mayoritas.

14

Oleh karena itu demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat membutuhkan dukungan dari berbagai lapisan sosial, terutama dukungan dari unit-unit keluarga dan berbagai komunitas sosial lainnya. Musyawarah dan kesepakatan dalam keluarga merupakan bagian terpenting dalam proses pembelajaran demokrasi. Karakter pribadi seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dari setiap individu adalah wajib dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Karakter publik juga tidak kalah pentingnya, seperti kepedulian sebagai warga negara, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi, dan kompromi merupakan karakter yang sangat diperlukan agar demokrasi dapat terlaksana.

BAB II BUDAYA DEMOKRASI MENUJU MASYARAKAT MADANI

Kompetensi Dasar :
1. Mendiskripsikan pengertian dan prinsip-prinsip budaya demokrasi 2. Mengidentifikasikan ciri-ciri masyarakat madani 3. Menganalisis pelaksanaan demokrasi di Indonesia A. Pengertian dan Prinsip-prinsip Budaya Demokrasi

Mempelajari budaya demokrasi sudah barang tentu tidak bisa lepas dari budaya politik yakni pola-pola sikap dan orientasi politik yang dimiliki anggota suatu sistem politik. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa budaya politik demokrasi merupakan pola-pola sikap dan orientasi politik yang bersumber dari nilainilai dasar demokrasi dan yang seharusnya dimiliki setiap warga dari sistem politik demokrasi. Macridis & Brown (1986) menyebut bahwa ada berbagai jenis budaya politik yang dapat menopang kehidupan politik demokratis, tetapi juga ada jenis budaya politik yang lebih menopang kehidupan politik totaliter. Budaya politik yang diwarnai oleh kerja sama atas dasar saling percaya atarwarga masyarakat akan lebih mendukung demokrasi dari pada budaya politik yang diwarnai rasa saling curiga, kebencian dan saling tidak percaya dalam hubungan antarwarga. Kesediaan warga masyarakat untuk saling toleransi terhadap keanekaragaman dan konflik antarkelompok maupun kesediaan untuk mengakui keabsahan kompromi juga sangat bermanfaat bagi perkembangan demokrasi. Selain itu budaya politik yang memberi nilai tinggi terhadap hubungan-hubungan hirarkis dan perbedaan yang sangat ekstrim akan sangat 15

mendukung pemerintahan non-demokratis dan kurang mendukung perkembangan demokrasi. Sedang masyarakat yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan memperoleh kekuasaan dan mengabaikan kebutuhan pihak lain akan cocok memiliki rezim yang otoriter atau totaliter, dan bukan demokrasi. Berdasarkan pernyataan di atas diperoleh pengertian budaya demokrasi adalah kerja sama, saling percaya, menghargai keanekaragaman, toleransi, kesederajadan, dan kompromi. totalitarian ditandai oleh Sedangkan budaya politik non-demokratis atau kecurigaan, keseragaman, tidak toleran,

konflik,

ketidapercayaan, kebencian, hirarki, dan ketidaksamaan derajat. Dalam tingkatan kehidupan individu sebagai warga negara, Branson (2001) menyebutkan bahwa setiap warga negara di dalam negara demokrasi harus memiliki civics virtues (kebajikan-kebajikan kewarganegaraan), sebab tanpa hal ini sistem pemerintahan demokrasi tidak mungkin berjalan sebgaimana mestinya. Inti kebajikan kewarganegaraan ialah tuntutan agar semua warga negara menempatkan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi. Hal ini meliputi dua aspek, yaitu : (a) disposisi kewarganegaraan, dan (b) komitmen kewarganegaraan. Disposisi kewarganegaraan ialah sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan warga negara yang menopang perwujudan kebaikan bersama serta berfungsinya sistem demokrasi secara sehat. Sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan ini antara lain : (1). Keadaban (civility, termasuk hormat kepada orang lain dan penggunaan wacana yang beradab), (2). Tanggung jawab pribadi dan kesediaan untuk menerima tanggung jawab bagi dirinya sendiri serta konsekuensi dari tindakan-tindakannya, (3). Disiplin diri dan kesetiaan pada aturan-aturan yang diperlukan untuk memelihara pemerintahan demokratis tanpa tekanan dari otoritas di luar dirinya sendiri, (4). Sikap batin dan kehendak untuk menempatkan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi, (5). Keterbukaan pikiran termasuk sikap skeptis yang sehat dan pengakuan terhadap sifat ambiguitas (mendua arti) kenyataan sosialdan politi, (6). Kesediaan untuk berkompromi dan menerima kenyataan bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip kadangkala saling bertentangan, (7). Toleransi terhadap keanekaragaman, (8). Sabar dan gigih dalam mengejar tujuan bersama, (9). Mengasihi sesama, (10). Murah hatu terhadap sesama dan masyarakat luas. Sedangkan komitmen kewarganegaraan adalah kesetiaan kritis warga negara terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Komitmen ini dapat dipilah menjadi : (1). Komitmen kepada prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti kedaulatan 16

rakyat, persamaan politik, konsultasi kepada rakyat, mayority rule-minority right, pembagian kekuasaan negara, sistem check and balance, dan sebagainya, dan (2). Komitmen kepada nilai-nilai dasar demokrasi, seperti kemerdekaan, persamaan, solidaritas/persaudaraan, dan sebagainya. Sebagai contoh kebajikan kenegaraan menurut Quigley (2002) adalah hormat pada harkat dan martabat setiap orang, keberadaban, integritas, disiplin diri, toleransi, kasih sayang, dan patriotisme. Sedang komitmen-komitmen kenegaraan antara lain mencakup dedikasi kepada hak asasi manusia (HAM), kebaikan bersama,

kesamaderajatan, dan rule of law. Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai budaya demokrasi itu meliputi kebebasan, persamaan, persaudaraan, menghormati kebenaran,

menghormati penalaran, dan keberadaban. Selanjutnya dalam bahasan budaya demokrasi ini harus diketahui pula prinsipprinsip atau unsur-unsur yang mendukungnya, yakni meliputi kebebasan, persamaan, solidaritas, toleransi,kejujuran, penalaran, keadaban (Bambang Suteng, dkk:2006) Kebebasan adalah keleluasaan untuk membuat pilihan terhadap beragam pilihan atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan bersama atas kehendak sendiri tanpa tekanan pihak manapun. Keleluasaan di sini bukannya tanpa batas, tetapi harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat dan dengan cara yang tidak melanggar aturan yang sudah disepakati bersama. Sebagai nilai maka kebebasan ini menjadi pedoman perilaku rakyat bedaulat yang tercermin dalam menghargai kebebasan orang lain dan memanfaatkan kebebasan diri sendiri secara bertanggung jawab. Nilaim ini juga tercermin dalam tanggung jawab pribadi dan kesediaan menerima tanggung jawab bagi dirinya sendiri serta konsekuensi dari tindakantindakannya. Persamaan. Pandangan demokrasi bahwa manusia itu berbeda-beda tetapi hakikatnya sama sederajat dalam nilainya dan harga keluhurannya sebagai manusia (dignity of man as human being) dalam masyarakat, sama kedudukannya di dalam hukum, politik, pemerintahan, dan sebagainya. Dengan demikian persamaan berarti tiadanya keistimewaan bagi siapapun dan memberi kesempatan yang sama kepada setiap dan semua orang. Sehingga sebagai nilai, persamaan menjadi pedoman perilaku rakyat berdaulat agar mereka mampu menghargai harkat martabat sesamanya, serta memiliki kesediaan untuk berkompromi dan menerima kenyataan bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip kadangkala saling bertentangan. 17

Solidaritas atau kesetiakawanan adalah kesediaan untuk memperhatuikan kepentingan dan bekerja sama dengan orang lain. Dalam kehidupan yang demokratis dikenal ungkapan agree to disagree (setuju untuk tidak setuju). Ungkapan ini menunjukkan adanya prinsip solidaritas, sebab meskipun berbeda pandangan atau kepentingan mereka tetap sepkat untuk mempertahankan kesatuan atau ikatan bersama. Solidaritas ini menjadi penting dalam kehidupan demokrasi karena menjadi perekat agar tidak jatuh ke dalam perpecahan sebgai akibat terlalu mengutamakan kebebasan pribadi tanpa mengingat adanya persamaan hak maupun semangat kebersamaan. Sebagai nilai, maka solidaritas ini dapat menumbuhkan sikap batin dan kehendak ntuk menempatkan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi, mengasihi sesama dan murah hati terhadap sesama warga masyarakat. Toleransi adalah sikap atau sifat menghargai, membiarkan, membolehkan

pendapat, pendirian, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya yang bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalam masyarakat demokratis seseorang berhak memiliki pandangannya sendiri, tetapi ia akan memegang teguh pendiriannya itu dengan cara yang toleran dengan pandangan orang lain yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan pendiriannya. Sebagai nilai, toleransi dapat mendorong

tumbuhnya sikap toleran terhadap keanekaragaman, sikap saling percaya dan kesediaan untuk berkerja sama antar pihak yang berbeda keyakinan, prinsip, pandangan dan kepentingannya. Kejujuran adalah keterbukaan untuk menyatakan kebenaran. Kejujuran diperlukan agar hubungan antarpihak berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan benih-benih konflik di masa depan. Komunikasi antarwarga negara sangat memerlukan kejujuran agar terbangun solidaritas yang kokoh antarsesama pendukung masyarakat demokratis. Demikian juga pemerintah harus jujur dan terbuka kepada rakyat, misalnya tentang bagaimana semua keputusan pemerintah itu dibuat, dan atas pertimbangan apa sebuah kebijakan dipilih di antara sejumlah alternatif kebijakan yang ada. Walapun ada pengecualiannya, yakni demi alasan keamanan tidak perlu dinyatakan kepada rakyat. Sebab, dalam negara demokratis prinsipnya rakyat mempunyai hak untuk mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah dan bagaimana pemerintah mengerjakan tugasnya. Sebagaim nilai, penghormatan terhadap kejujuran akan menumbuhkan integritas diri, sikap diplin diri, dan kesetiaan pada aturan-aturan. Penalaran adalah penjelasan mengapa seseorang memiliki pandangan tertentu, membela tindakan tertentu, dan menuntut hal serupa dari orang lain. Kebiasaan 18

memberi penalaran akan menumbuhkan kesadaran bahwa ada banyak alternatif sumber informasi dan ada banyak kemungkinan cara untuk mencapai tujuan. Penalaran ini akan mendorong terbangunnya masyarakat demokratis. Pemerintah wajib memberikan penalaran terhadap kebijakan yang ditetapkannya agar warga negara mengetahui dengan benar apa yang dikerjakan pemerintah. Sebagai nilai, penalaran dapat mendorong

tumbuhnya keterbukaan pikiran, termasuk sikap skeptis yang sehat dan pengakuan terhadap sifat ambiguitas (kemenduaartian) kenyataan sosial dan politik. Keadaban adalah ketinggian tingkat kecerdasan lahir batin atau kebaikan budi pekerti. Perilaku yang beradab adalah perilaku yang mencerminkan penghormatan terhadap dan mempertimbangkan kehadiran pihak lain sebagaimana dicerminkan oleh sopan santun dalam bertindak, termasuk penggunaan bahasa tubuh dan berbicara beradab. Sebagai nilai, keadaban akan menjadi pedoman perilaku warga negara yang serba santun, mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat, menghindari penggunaan kekerasan, dan kepatuhan pada norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bersama. Kemudian nilai-nilai dasar itu dijabarkan lebih rinci dan operasional dalam kehidupan demokrasi. Menurut Henry B. Mayo (Budihardjo:1980) nilai operasional yang menjadi landasan pelaksanaan demokrasi meliputi : (1). Menyelesaikan perselisihan secara damai dan melembaga antara lain melalui perundingan serta dialog terbuka agar tercapai kompromi, konsensus atau mufakat. (2). Menjamin

terselenggaranya perubahan masyarakat secara damai. Kehidupan masyarakat memang selalu berubah, maka pemerintah harus dapat menyesuaikan kebijakan publiknya dengan perubahan-perubahan itu, tetapi pemerintah juga hjarus menjaga agar perubahan-perubahan dalam masyarakat tetap terkendali. (3). Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur. (4). Membatasi penggunaan kekerasan seminimal mungkin. (5). Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, keanekaragaman kepentingan dan tingkah laku. (6). Menjamin tegaknya keadilan. Dalam demokrasi ada mayoritas dan minoritas dalam pengambilan keputusan, maka harus dijaga agar demokrasi tidak berubah menjadi tirani mayoritas. Perlu diketahui bahwa tantangan terberat bagi sebuah bangsa yang hendak membangun demokrasi adalah bagaimana mengembangkan budaya demokrasi dalam kehidupan bangsa yang bersangkutan. Dalam hal ini paling tidak ada empat bidang yang harus mendapat perhatian (Bambang Suteng, dkk:2006), yakni lembaga-lembaga negara 19

termasuk birokrasi pemerintah, partai-partai politik, pelaku ekonomi, dan masyarakat madani (civil society), dengan penjelasan berikut: Lembaga-lembaga negara termasuk birokrasi pemerintah harus dibangun

agar menjadi lembaga pelaksana kedaulatan rakyat, antara lain pengisian jabatan lembaga negara harus demokratis melalui pemilihan umum atau pemilihan oleh wakil rakyat, pejabat negara harus mempertganggungjawabkan penggunaan kekuasa. kekuasaannya kepada rakyat, harus mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, harus menerapkan asas keterbukaan (transparan), akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan), dan partisipatif, dan harus mampu bekerja secara efektif dan efisien. Mental dan keahlian aparat penegak hukum harus dibangun sehingga benarbenar mampu menerapkan prinsip rule of law demokrasi. Partai-partai politik harus dibangun agar mampu berperan sebagai perumus dan pemadu aspirasi rakyat untuk kenudian memperjuangkannya melalui wakil-wakil rakyat di lembaga pemerintahan. Partai politik juga harus mampu melakukan kaderisasi agar mampu menyediakan calon-calon pemimpin bangsa yang bisa mewujudkan aspirasi rakyat. Pelaku ekonomi harus pula membangun diri agar mampu melakukan kegiatan ekonomi dalam suasana kehidupan demokrasi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Untuk itu pelaku ekonomi harus mengindari suap, korupsi, kolusi dan nepotisme yang hanya mensejahterakan sekelompok orang. Masyarakat madani (civil society). Kehidupan masyarakat harus dibangun agar mampu menjadi kekuatan pengontrol terhadap penyelenggara negara agar pemerintah tidak menyimpang dari koridor demokrasi. Membangun masyarakat madani merupakan bagian dari upaya melewati masa transisi menuju demokrasi melalui pengembangan budaya politik demokratis. yang dibutuhkan dalam negara

B. Masyarakat Madani (civil society) Masyarakat madani (civil society) memiliki ciri sebagai masyarakat terbuka, masyarakat yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif serta masyarakat egaliter (Tim ICCE UIN:2003). Masyarakat madani merupakan elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Sebab salah satu syarat penting bagi demokrasi adalah terciptanya 20

partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintahan. Masyarakat madani mensyaratkan adanya civic engagement yaitu keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi sosial, sehingga memungkinkan tumbuhnya sikap terbuka, percaya dan toleran antarsatu dengan yang lain yang sangat penting artinya bagi bangunan politik demokrasi (Saiful Mujani:2001). Istilah civil society adalah berkaitan dengan interaksi-interaksi sosial yang tidak dikuasai oleh negara (Patrick: 2001). Lebih dari itu, para pengguna istilah itu umumnya sependapat bahwa civil society adalah jaringan kerja yang kompleks dari organisasi-organisasi yang dibentuk secara sukarela, yang berbeda dari lembaga-lembaga negara yang resmi, dan yang bertindak secara mandiri atau dalam kerja sama dengan lembaga-lembaga negara. Maka sebagai jaringan kerja antarlembaga yang terpisah dari negara namun tunduk terhadap aturan hukum yang berlaku, civil society merupakan wilayah publik yang diciptakan dan dijalankan oleh warga negara biasa (bukan pejabat pemerintah). Mohammad AS Hikam (1993) memberikan batasan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain : kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating) dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Civil society mewujudkan dalam berbagai organisasi yang dibuat masyarakat di luar pengaruh negara. Lary Diamond (2003) menyatakan bahwa civil society melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, suka rela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai bersama. Civil society ini meliputi : (1). perkumpulan dan jaringan perdagangan yang produktif, (2). perkumpulan keagamaan, kesukuan, kebudayaan yang membela hak-hak kolektif, nilai-nilai, kepercayaan, dan sebagainya, (3). organisasi-organisasi yang bergerak di bidang produksi dan penyebaran pengetahuan umum, ide-ide, berita-berita, dan informasi publik (contoh; yayasan penyelenggara sekolah swasta, asosiasi penerbitan, dan sebagainya), (4). gerakan-gerakan perlindungan konsumen,

perlindungan hak-hak perempuan, perlindungan etnis minoritas, perlindungan kaum cacat (difabel), perlindungan korban diskriminasi, dan sebagainya. Berdasarkan hal-hal di atas maka dapat diketahui bahwa civil society tersusun atas berbagai organisasi kemasyarakatan, yang memupunyai ciri-ciri : (1) lahir secara mandiri, warga masyarakat sendiri yang membentuknya bukan pemerintah, (2) 21

keanggotaannya bersifat suka rela, atau atas kesadaran masing-masinganggota, (3) mencukupi kebutuhannya sendiri (swadaya), paling tidak untuk sebagian, sehingga tidak bergantung pada bantuan pemerintah/negara, (4) bebas atau mandiri dari kekuasaan negara, sehingga berani mengontrol penggunaan kekuasaan negara, dan (5) tunduk pada aturan hukum yang berlaku atau seperangkat nilai/norma yang diyakini bersama. Ciri yang kelima ini menegaskan keterikatan civil society pada budaya politik demokratis. Namun keterikatan ini seringkali dilupakan oleh warga masyarakat yang baru saja menikmati kebebasan politiknya, sehingga salah mengartikan konsep kemandirian sebagai konsep yang boleh melanggar tatanan hukum yang dibuat oleh negara. Kemandirian terhadap negara tidak boleh diartikan sebagai peluang untuk melakukan tindakan anarkis, yang bertolak belakang dengan watak keberadaban. Masyarakat madani (civil society) dan demokrasi menurut Gellner (2001) merupakan dua kata kunci yang tidak dapat dipisahkan. Demokrasi dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Selain itu demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat dalam kaitan dengan pengungkapan kehendak, adanya perbedaan pandangan, adanya keragaman dan konsensus. Tatanan nilai-nilai masyarakat tersebut ada dalam masyarakat madani (civil society). Karena itu demokrasi membutuhkan tatanan nilai-nilai sosial yang ada pada masyarakat madani. Menurut Gellner, masyarakat madani bukan hanya merupakan syarat atau prakondisi bagi demokrasi semata, tetapi tatanan nilai dalam masyarakat madani seperti kebebasan dan kemandirian juga merupakan sesuatu yang inheren baik secara internal (hubungan antar sesama warga negara) maupun secara eksternal (hubungan negara dengan masyarakat atau sebaliknya). Sebagai perwujudan masyarakat madani secara kongkrit dibentuk berbagai organisasi di luar negara yang disebut dengan nama NGO (non government organization), yang di Indonesia dikenal dengan nama lembaga swadaya masyarakat (LSM). Masyarakat madani ini dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai mitra dan patner kerja lembaga eksekutif dan legeslatif serta yudikatif, tetapi juga dapat melakukan kontrol sosial (social control) terhadap pelaksanaan kerja lembaga tersebut. Dengan demikian masyarakat madani (civil society) menjadi sangat penting keberadaannya dalam mewujudkan demokrasi.

C. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia 22

Pelaksanaan demokrasi di Indonesia mengalami fluktuasi (pasang surut) dari masa awal kemerdekaan sampai saat sekarang. Namun sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia menyatakan komitmennya untuk mewujudkan negara demokrasi. Hal ini dibuktikan dengan diberlakukannya tiga konstitusi yang memuat ketentuan langsung maupun tidak langsung menyatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Pasang surut pelaksanaan demokrasi ini dari segi waktu dapat dibedakan dalam empat periode, yaitu; periode 1945 1959, periode 1959 1965, periode 1965 1998, dan periode 1998 sampai sekarang. 1. Demokrasi pada Periode 1945 1959 Pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer, di mana presiden sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan di tangan Perdana Menteri. Karena fragmentasi partai-partai politik maka usia kabinet jarang dapat bertahan lama, koalisi yang dibangun sangat mudah pecah, sehingga berakibat destabilisasi politik nasional. Keadaan ini diperparah dengan gagalnya Konstituante membentuk Undang-undang Dasar yang baru, maka mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain menyatakan berlakunya kembali UUD 1945. Sejak saat itu berakhirlah masa demokrasi parlementer di Indonesia. 2. Demokrasi pada Periode 1959 1965 Pemerintahan pada periode ini dikenal sebagai Orde Lama dengan ciri-cirinya adalah dominasi dari Presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Meskipun UUD 1945 dinyatakan kembali berlaku, tetapi pada pelaksanaannya terjadi penyimpangan antara lain dengan Ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, presiden membubarkan DPR hasil pemilihan umum, presiden membentuk DPR-GR sehingga fungsi kontrol DPR hampir tidak ada. Presiden mencanangkan demokrasi pada periode dengan nama demokrasi terpimpin yang pada hakikatnya sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945. Perlu diketahui pada masa demokrasi terpimpin ini memiliki prinsip-prinsip dasar ; (a) tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, bangsa dan negara; (b) tiap-tiap orang berhak mendapat penghidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa dan negara. Dalam pandangan A. Syafii Maarif demokrasi terpimpin ini sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai ayah dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan yang terpusat di tangannya. Dengan demikian kekeliruan yang sangat 23

mendasar dalam demokrasi terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan chek and balance dari legeslatif terhadap eksekutif. 3. Demokrasi pada Periode 1965 1998 Landasan formil pada perode ini adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 serta Ketetapan-Ketetapan MPRS. Pada periode pemerintah berusaha mengembalikan kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, sehingga periode ini dikenal sebagai Orde Baru. Kehidupan demokrasi berusaha dibangun untuk melaksanakan pemerintahan antara lain mulai tahun 1971 pemilihan umum diselenggarakan untuk kurun waktu tiap lima tahun ke depan. Demokrasi pada periode dikenal dengan istilah demokrasi Pancasila dengan beberapa perumusannya (Tim ICCE UIN: 2003) : (a) Demokrasi pada bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas negara hukum dan kepastian hukum; (b) Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara; (c) Demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas yang tidak memihak. Sehingga secara umum dapat dijelaskan bahwa demokrasi Pancasila tidak berbeda dengan demokrasi pada umumnya, yakni memandang kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Namun demikian demokrasi Pancasila dalam rezim Orde Baru hanya sebagai retorika dan gagasan belum sampai pada tataran praksis atau penerapan. Karena dalam praktik kenegaraan dan pemerintahan rezim ini sangat tidak memberikan ruang bagi kehidupan berdemokrasi. Seperti yang dikatakan oleh M. Rusli Karim (Tim ICCE UIN: 2003) rezim Orde Baru ditandai oleh : (a) Dominannya peranan ABRI; (b) Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan; (c) Pengibirian peran dan fungsi partai politik; (d) Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik; (e) Massa mengambang; (f) Monolitasi ideologi negara; (g) Inkorporasi lembaga non pemerintah. Tujuh ciri tersebut menjadikan hubungan negara versus masyarakat secara berhadap-hadapan dan subordinat, di mana negara atau pemerintah sangat mendominasi. Dengan demikian nilai-nilai demokrasi juga belum ditegakkan dalam demokrasi Pancasila Soeharto.

4. Demokrasi Periode 1998 sekarang

24

Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi runtuhnya rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi di Indonesia. Transisi demokrasi ini merupakan fase krusial yang kritis, karena bisa saja perjalanan demokrasi bangsa Indonesia kembali lagi ke masa otoriter seperti masa Orde Lama dan Orde Baru. Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat faktor kunci (Azyumardi Azrz: 2002), yakni : (a) komposisi elite politik; (b) desain institusi politik; (c) kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik di kalangan elite dan non-elite; (d) peran civil society (masyarakat madani). Sehingga yang harus dilakukan dalam transisi demokrasi di Indonesia sekurang-kurangnya mencakup reformasi dalam tiga bidang. Pertama, reformasi sistem (constitutional reform) yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem politik. Kedua, reformasi kelembagaan (institutional reform and empowerment) yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik. Ketiga, pengembangan kultur dan budaya politik (political culture) yang lenih demokratis. Indikasi ke arah terwujudnya kehidupan demokratis dalam era transisi menuju demokrasi di Indonesia antara lain adanya: (a) reposisi dan redefinisi TNI dalam kaitannya dengan keberadaannya pada sebuah negara demokrasi, (b) diamandemennya pasal-pasal dalam konstitusi negara Republik Indonesia (amandemen I-IV), (c) adanya kebebasan pers, (d) dijalankannya kebijakan otonomi daerah, dan sebagainya. Akan tetapi sampai saat inipun masih dijumpai indikasi-indikasi kembalinya kekuasaan status quo yang ingin membalikkan arah demokrasi Indonesia kembali ke periode sebelum orde reformasi. Oleh sebab itu, kondisi transisi demokrasi di Indonesia untuk saat ini masih berada di persimpangan jalan belum jelas ke arah mana berlabuhnya. Perubahan sistem politik melalui paket amandemen konstitusi (UUD 1945) dan pembuatan paket perundang-undangan politik (UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pemilihan Presiden dan wakil Presiden, UU Susunan dan Kedudukan DPR, DPRD dab DPD) mampu mengawal transisi menuju demokrasi, masih menjadi pertanyaan besar. BAB III HAK ASASI MANUSIA Kompetensi Dasar 1. Merumuskan pengertian dan hakikat hak asasi manusia. 2. Mendeskripsikan perkembangan pemikiran hak asassi manusi secara umum dan yang berkemabng di Indonesia. 25

3. Merumuskan bentuk-bentuk hasi asasi manusia. 4. Memahami perundang-undangan nasional yang mengatur mengenai hak asasi manusia. 5. Menseskripsikan mengenai pelanggaran dan proses peradilan hak asasi manusia. 6. Menseskripsikan penanggungjawab, penegakan, pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan akan hak asasi manusia. A. Pengetian dan Hakikat Hak Asasi Manusia Secara definisi hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak menpunyai nunsur-unsur sebagai berikut : (1) Pemilik hak; (2) ruang lingkup penerapan hak; c) pihak yang bersedia dalam penerapan hak Ketika unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Istilah yang dikenal di Barat mengenai HAM ialah right of man, yang mengantikan istilah natural right. Istilah right of man ternyata tidak secara otomatis mengakomodasi pengertian yang mencakup right of woman. Karena itu istilah right of man diganti dengan istilah human right oleh Eleanor Roosevelt karena dipandang lebih netral dan universal. Sementara iru HAM dalam Islam dikenal dengan istilah huquq al-insan ad-dhoruriyah dan huquq Allah. Dalam Islam antara huqua al-insan addhoruriyah dan huquq Allah tidak dapat dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan satu dengan alainnya. Inilah yang menyebabkan konsep Barat tantang HAM dengan konsep Islam. Menurut pendapat Jan Materson (dari Komisi HAM PBB), hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada satiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Selanjutnya John Locke manyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hal-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang kodrati (Mansyhur Effendi, 1994). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hal kodrati yang tidak terlepas dari dan dalam kehidupan manusia. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 1 disebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai nakhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupupakan 26

anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta negara perlindungan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM di atas, dapat disimpulkan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugrah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh seriap individu, masyarakat atau negara. Dengan demikian hakikat penghomatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan ekstensitas manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan dengan kepentingan umum. Upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara inividu, pemerintah, bahkan negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu, pemenuhan perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus dikuti dengan pemenuhan terhadap KAM (kewajiban asasi manusia) TAM (tanggung jawab asasi manusia) dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Jadi dapat disimpulkan hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara HAM, KAM, dan TAM yang berlangsung secara sinergis dan seimbang. Bila ketiga unsur asasi (HAM, KAM dan TAM) yang melekat pada setiap individu manusia, baik dalam tatanan dalam kehidupan pribadi beemasyarakat, berbangsa, bernegara dan pergaulan global tidak berjalan secara seimbang, dapat dipastikan akan menimbulakan kekacauan anarkisme dan kesewenangwenangan dalam tata kehidupanumat beragama. Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM yuaitu: (1) HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian darimanusia secara otomatis, (2) HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etmis, pandangan politik asal usul sosial dan bangsa, dan (3) HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain.orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yamg tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansour Fakih, 2003). B. Perkembangan Pemikiran HAM di Barat dan Indonesia 27

Pembicaraan mengenaig HAM tidak terlepas dari pengakuan terhadap adanya hukum alam (natural law) yang menjadi cikal bakal bagi kelahiran HAM. Hukum alam merupakan satu konsep dari prinsip-prinsip umum moral dan sistem keadilan yang berlaku untuk seluruh umat manusia. Hukum alam diatur berdasarkan logika manusia, karenannya manusia akan mematuhi hukum alam tersebut. Hukum alam merupakan produk rasio manusia demi terciptanya keadilan abadi. Salah satu muatan hukum alam adaklah hak-hak pemberian dari alam (naturals rights), karena dalam hukum alama ada sistem keadilan yang berlaku universal (Masyur Effendi, 1994). Dengan demikian, masalah keadilan yang merupakan inti dari hukum alam menjadi pendorong bagi upaya penghormatan dan perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan universal. Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dumulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain membuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggunggungjawabannya dimuka hukum (Masyhur Effendi,1994). Magna Charta telah menghilangkan hak absolutisme raja. Sejak itu mulai dipraktikan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan pertanggungjawabkan kebijakan pemerintahannya kepada parlemen. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence. Dalam deklarasi ini dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu. Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Parncis), yang merumuskan hak lebih dirinci lagi, sebagaimana dimuat dalam the Rule of Law yang antara lain isinya tidak boeh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alasan yang sah dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dalam kaitan itu berkaitan berlaku prinsip Presumtion of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak beralah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Kemudian prinsip itu dipertegas oleh prinsip freedom of exspressio]n (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut kenyakinan/agama yang dikehendaki), The right of property (perlindungan hak milik), dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam french Declaration sudah tercakup hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hokum (Masyhur Efendi, 1994). 28

Perkembangaannya yang lebih signifikan adalah dengan kemunculan The Four Freedom dari Presiden Roosevelt pada Tahun 1941. Ada empat hak yang dikemukakannya, yaitu hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadat sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya, kebebasan dari kemiskainan dalam pengertian setiap bangas berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa (negara) berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap negara lain (Mayhur Efendi, 1994). Pemikiran HAM terus berlangsung dalam rangka mencariu rumusan HAM yang sesuai dengan konteks ruang dan zamannya. Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM dibagi pada 4 generasi. Generasi pertama berpendapat bahwa pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan suatu tertib hukum yang baru. Generasi kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak asasi sosial ekonimi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukkan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada generasi kedua ini lahir dua covemen yaitu International Covenant on Economic, sosial and Cultural Eights dan International Covement on civil and political Rights. Kedua Covenant tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik. Generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam satu keranjang yang desebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan (The Rights of Development).. Dalam pelakasanaan hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan, hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar. Kalau kata pembangunan tetap dipertahankan, maka pembangunan haruslah berpihak pada rakyat dan diarahkan untuk redistrbusi kekayaan national serta redistribusi sumber-sumber daya sosial, ekonomi, hukum, politik dan budaya secara merata. Keadalan dan 29

pemenuhan hak asasi haruslah dimulai sejak dimulainnya pembangunan itu sendiri, bukan setelah pembangunan itu selesai. Setelah banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari pemikiran HAM generasi ketiga, kahirlah generasi keempat yang mekritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak degatif seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan kelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara di kawasan asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang menginginkan lahirnya tatanan sosial berkeadilan. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan generasi ketiga, karena tidak saja mencakup tuntutan struktural tetapi juga berpihak kepada terciptanya tahanan sosial yang berkeadilan. Selain itu deklarasi HAM Asia tersebut juga telah berbicara mengenai masalah kewajiban asasi bukan hanya hak asasi. Deklarasi tersebut juga secara positif mengukuhkan keharusan imperatif dari negara untuk memenuhi hak asasin rakyatnya. .Sedangkan pemahaman HAM di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, konsep yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya telah berlangsung cukup lama. Secara garis besar Bagir Manan (2001) membagi perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode, yaitu periode sebelum dan sesudah kemerdekaan. 1. Periode Sebelum Kemerdekaan Boedi Oetomo, sebagai organisasi pergerakan, menaruh perhatian terhadap

masalah HAM. Pemimpin Boedi Utomo memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dimuat surat kabar Goeroe Desa. Bentuk pemikirannya mencakup bidang hak kebesaran berserikat dan mengeluarkan pendapat. Pemikiran HAM juga muncul di Perhimpunan Indonesia, tema-temanya banyak

dipengaruhi oleh para tokohnya seperti Muhammad Hatta, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis dan sebagainya. Pemikiran HAM mereka lebih menitik beratkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Sedang pemikiran HAM dalam Sarekat Islam lebih menekankan pada usahausaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Sedangkan pemikiran HAM dalam Partai Komunis Indonesia sebagai partai berlandaskan Maxisme lebih condong pada hak-hak sosial dan 30

menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan dengan alat produksi. Konsen terhadap HAM pada Indische Partij. Lebih menonjol pada hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan. Sementara itu pemikiran HAM pada Partai Nasional Indonesia mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan (the right self detemination). Pemikiran HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi dalam perdebatan di Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak berkumpul, hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Dengan demikian gagasan dan pemikiran HAM di Indonesia telah menjadi perhatian besar dari para tokoh pergerakan bangsa dalam rangka penghormatan penegakan HAM, karena itu HAM di Indonesia mempunyai akar sejarah yang sangat kuat. 2. Periode Setelah Kemerdekaan Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka (self deteriminasi), hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang dirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di perlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi) yaitu UUD 1945. Bersamaan dengan itu prinsip kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan negara Indonesia merdeka. Komitmen terhadap HAM pada periode awal kemerdekaan diantaranya ditunjukan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 dan 3 November 1945 yang menyatakan akan adanya pemilu dan rakyat diberi kesempatan atau hak mendirikan partai politik: Pemikiran HAM pada periode tahun 1950-an, erpa demokrasi parlementer. sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi leberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat dikalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Bagir Manan, pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami pasang dan menikmati bulan madu kebebasan. Indikatornya ada tiga aspek yait : (1). Semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam idiologinya masing-masing, (2). Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi 31

betul menikamati kebebasannya., dan (3). Pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokrasi. Pada periode 1959-1966, sistem pemerintahan yang berlaku adalah demokrasi terpimpin, yang lahir dari reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem masa ini kekuasan terpusat dan berada di tangan presiden. Akibatnya Presiden melakukan tindakan inkonstitusional pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastrutur politik. Dalam kaitannya dengan HAM,, terjadi pamasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan lisan. Dengan kata lain telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipildan hak politik warga negara. Pada periode awal terajadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal perode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil (judicial review) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS1966, MPRS malalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam Terntang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara. Sementara itu, pada awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran elit penguasa pada saat ini sangat diwarnai oleh sikap penolakannya terhadap HAM sebagai produk barat dan individualistik serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilainilai luhur budaya bangsa yang tercermin Pancasila dan Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagai mana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM. Selain itu, sikap depensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM sering kali

32

digunakan oleh negara-negara barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan masyarakat akademisi yang concern terhadap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pemebtukan jaringan dan lobi Internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, Kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi penggeseran strategi pemerintah dari represif dan depensif kestrategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan

dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentukknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan kepres No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan dan saran kepada Pemerintah perihal pelaksanaanHAM. Selain itu, Komisi ini bertujuan ,untuk membantu pengembangan kondisis-kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila UUD 1945 (termasuk hasil amandemen UUD 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Piaga Madinah, Deklarasi Kairo dan deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM. Pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan bermasyarakat di Indonesia. Demikian pula dilakukan pengkajian dam retifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditinkatkan. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen internasional dalam bidang HAM. C. Bentuk-bentuk Hak Asasi Manusia 33

Deklarasi Universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang juga dikenal dengan istilah DUHAM, mengelompokkan HAM kedalam beberapa jenis, yaitu hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak sipil dan politik, hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan) serta hak ekonom, sosial dan budaya. Hak personal, hak legal, hak sipil dan politik yang terdapat dalam pasal 3-21 dalam DUHAM tersebut memuat: (1) Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi, (2) Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan, (3) Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan ataupun merendahkan derajat manusia, (4) Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi, (5) Hak untuk pengampunan hukum secara efektif, (6) Hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang, (7) Hak untuk peradihan yang independen dan tidak memihak, (8) Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah, (9) Hak bebas dari campur tangan yang sewenangwenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat, (10) Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik, (11) Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu, (12) Hak bergerak, (13) Hak memperoleh suaka, (14) Hak atas suatu kebangsaan, (15) Hak untuk menikah dan membentuk keluarga, (16) Hak untuk mempunyai hak milik, (17) Hak bebas berpikir, berkesadaran dan beragama, (18) Hak bebas berpkir dan menyatakan pendapat, (19) Hak untuk berhimpun dan berserikat, dan (20) hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat. Sedangkan hak ekonomi, sosial dan budaya berdasarkan pada pernyataan DUHAM menyangkut hal-hal sebagai berikut, yaitu: (1) Hak atas jaminan social, (2) Hak untuk bekerja, (3) Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, (4) Hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh, (5) Hak atas istirahat dan waktu senggang, (6) Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan, (7) Hak atas pendidikan, dan (8) Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat. Sementara itu dalam UUD 1945 (amandemen I IV UUD 1945) menurut hak asasi manusia yang terdiri dari hak: (1) Hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, (2) Hak kedudukan yang sama di dalam hokum, (3) Hak kebebasan berkumpul, (4) Hak kebebasan beragama, (5) Hak penghidupan yang layak, (6) Hak kebebasan berserikat, dan (7) Hak memperoleh pengajaran atau pendidikan. 34

Selanjutnya secara operasional beberapa bentuk HAM yang terdapat dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM sebagai berikut: (1) Hak untuk hidup, (2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, (3) Hak mengembangkan diri, (4) Hak memperoleh keadilan, (5) Hak atas kebebasan pribadi, (6) Hak atas rasa aman, (7) Hak atas kesejahteraan, (8), Hak turut serta dalam pemerintahan, (9) Hak wanita, dan (10) Hak anak. D. Hak Asasi Manusia dalam Perundang-Unndangan Nasional Paling tidak terdapat empat bentuk hukum tertulis atau praturan perundangundangan yang memuat tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (UUD 1945). Kedua, dalam ketetapan MPR. Ketiga, dalam Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya. Pengaturan HAM dalam konstitusi atau UUD 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat, karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal di dalamnya harus melalui proses yang berat dan panjang, yaitu melalui amandemen. Sedangkan

kelemahannya rumusan ketentuan yang diatur masih umum. Sementara itu bila pengaturan HAM melalui Ketetapan MPR, kelemahannya tidak dapat memberikan sangsi hukum bagi pelanggarnya.. sedangkan pengaturan HAM dalam bentuk UndangUndang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan. Pengaturan HAM dalam konstitusi negara RI tidak hanya ditemukan pada UUD 1945, baik sebelum maupun setelah amandem, juga ditemukan Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Konstitusi RIS mengaturbya dalam bab khusus tentang HAM, mulai pasal 7 sampai pasal 33. Sedang dalam UUDS 1950 pengaturan HAM tidak jauh berbeda dengan yang dimuat dalam Konstitusi RIS, namun perbedaan antara KRIS dengan UUDS 1950 terletak pada penomoran pasal dan perubahan sedikit redaksional dalam pasal-pasal. Selain itu adanya penambahan pasal UUDS 1950 yang signifikan yaitu tentang fungsi sosial hak milik, hak tiap warga negara untuk mendapat pengajaran,hak demonstrasi dan mogok. Pengaturan HAM dalam Ketetapan MPR terdapat dalam TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional. Sedangkan dalam Undang-Undang, di antaranya dalam: (1). UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (2). UU No. 5 tahun 1998 35

tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat, (3). UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (4). UU No. 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat, (5). UU No. 11 tahun 1998 tentang Amandemen terhadap UU No. 25 tahun 1997 tentang Hubungan Perburuhan, (6). UU No. 19 tahun 1999 tentang ratifikasi Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Pekerja secara Paksa, (7). UU No. 20 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum Bagi Pekerja, (8). UU No. 21 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan, (9). UU No. 26 tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi, (10). UU No. 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi, (11). UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (12). UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, dan (13). UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengaturan HAM dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan Prsiden antara lain adalah: (1). Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, (2).Keputusan Presiden (KEPRES) Nomor 181 TAHUN 1998 tentang Pendirian Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita, (3). Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1998-2003, yang memuat rencana ratifikasi berbaagi instrumen hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta tindak lanjutnya, (4). Keputusan Presiden No. 31 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makassar, (5). Keputusan Presiden No. 5 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diubah dengan Keputusan Presiden no. 96 tahun 2001, (6). Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Keseluruhan ketentuan perundang-undangan di atas merupakan pintu pembuka bagi strategi selanjutnya, yaitu tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap ini diupayakan tumbuhnya kesadaran penghormatan dan penegakan HAM baik di kalangan aparat pemerintah maupun masyarakat, karena HAM merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu diperjuangkan, dihormati dan dilindungi oleh setiap manusia. Penataan aturan secara konsisten memerlukan 36

persyaratan yang harus ada. Persyaratan pertama adalah demokrasi dan supremasi hukum, kedua, HAM sebagai tatanan sosial. Demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum merupakan instrumen bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan penegakan HAM. Oleh karena itu hubungan keseimbangan keduanya merupakan simbiosis-mutualistik. Selanjutnya, HAM sebagai tatanan sosial merupakan pengakuan masyarakat terhadap pentingnya nilai-nilai Ham dalam tatanan sosial, politik, ekonomi yang hidup. Dalam kerangka menjadikan HAM sebagai tatanan sosial, pendidikan HAM secara kurikuler maupun melalui Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) sangat diperlukan dan terus dilakukan secara berkesinambungan. E. Pelanggaran dan Peradilan Hak Asasi Manusia Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia, seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku, yaitu UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan demikan pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu lain tanpa dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya. Pelanggaran HAM dikelompokkan pada dua bentuk yaitu: pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan (UU No. 26/200 tentang Pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM).

37

Sementara itu kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis elamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan baik oleh aparatur negara mapun bukan. Karena itu penindakan terhadap pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggar HAM tersebut dilakukan melaui proses peralihan HAM mulai dari penyelidkan, penyidikan, penuntutan dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat nondiskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum. Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumannya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan disetiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berada dan dilakukan di luar batas territorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara pengadilan HAM sebagaimana terdapat dalam undang-undang pengadilan HAM. 38

F.

Penanggungjawab dalam Penegakan, Memajukan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia. Siapa yang bertanggungjawab dalam penegakan, memajuan, perlindungan dan

pemenuhan HAM? Ada dua pandangan mengenai hal tersebut. Pandangan pertama menyatakan bahwa yang harus bertanggungjawab memajukan HAM adalah negara, karena negara dibentuk sebagai wadah untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat yang cerdas dan sadar sehingga mampu menghargai dan menghormati HAM perlu diberikan pendidikan terutama masalah yang berkaitan dengan HAM. Negara yang tidak memfasilitasi rakyat melalui pendidikan HAM berarti negara telah mengabaikan amanat rakyat. Begitu pula tanggung jawab HAM adalah negara. Oleh karena itu, deklarasi PBB tentang HAM yang dikenal dengan Piagam HAM Dunia, Beberapa Kovenan, Hukum Perjanjian Internasional, Piagam Madinah, Deklarasi Kairo dan sebagainya harus diletakkan sebagai norma hukum internasional yang mengatur bagaimana negara-negara di dunia menjamin hak-hak individunya. Setiap individu (warganegara) mempunyai hak asasi baik dalam keadaan darurat maupun keadaan normal harus dilindungi. Hak-hak inilah yang harus dijamin realisasinya oleh negara. Oleh karenanya, bila negara tidak mampu melindungi HAM warganegaranya, negara yang bersangkutan dengan sendirinya akan kehilangan legitimasi rakyatnya. Dengan demikian, analisis terhadap pelanggaran HAM pun selalu berada dalam wilayah pelanggaran HAM oleh negara terhadap rakyat seperti kasus Tanjung Priok, kasus DOM di Aceh, kasus Haur Koneng di Tasikmalaya, kasus di Irian Jaya. Pelanggaran HAM oleh negara terhadap rakyat yang disebut pelanggaran HAM secara vertikal, tidak hanya berwujud pelanggaran secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung, yaitu negara membiarkan terjadinya pelanggaran HAM. Pelanggaran terhadap pemenuhan HAM juga lebih mengedepankan tanggung jawab perlindungan, pemajuan, dan penghormatan HAM ada pada pemerintah. Pandangan kedua, menyatakan bahwa tanggung jawab pemajuan,

penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada individu warga negara. Artinya negara dan individu sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM. Karena itu, pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan oleh rakyat kepada rakyat yang disebut dengan pelanggaran HAM secara horizontal. Bentuk pelanggaran HAM jenis ini antara lain adanya penembakan rakyat oleh sipil bersenjata seperti dalam kasus 39

penembakan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Rektor Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan beberapa tokoh lainnya, penganiayaan buruh atau budak oleh majikan seperti kasus Marsinah, para perampok dan sebagainya. Ada tiga alasan mengapa individu memiliki tanggung jawab dalam penegakan dan perlindungan HAM. Pertama, sejumlah besar problem HAM tidak hanya melibatkan aspek pemerintah, tetapi juga kalangan swasta atau kalangan di luar negara dalam hal ini rakyat. Kedua, HAM sejati bersandar pada pertimbangan-pertimbangan normatif agar umat manusia diperlakukan sesuai dengan human dignity-nya. Ketiga, individu memiliki tanggung jawab atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, karenaa setiap orang memiliki kewajiban untuk ikut mengawasi tindakan pemerintah. Dalam masyarakat yang demokratis, suatu yang menjadi kewajiban pemerintah juga menjadi kewajiban rakyat.

Catatan Bab ini banyak diambil dari Bab IX buku Tim ICCE UIN Jakarta (Dede Rosyada, dkk), 2003, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Penerbit Prenada Media, Jakarta. BAB IV SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA Kompetensi Dasar 1. Merumuskan konsep sistem pemerintahan.. 2. Mendeskripsikan konsep sistem pemerintahan dalam arti luas, sangat luas, dan sempit. 3. Mendeskripsikan konsep organisasi pemerintahan dalam garis vertika dan horizontal. 4. Merumuskan cirri-ciri sistem pemerintahan parlementer, presidensiil dan referendum. 5. Menseskripsikan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. 6. Membandingkan Sistem Pemerintahan Indnesia dengan Amerika Serikat. A. Pengertian Sistem Pemerintahan Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional terhadap keseluruhan. Hubungan dimaksud menimbulkan ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik, akan mempengaruhi keseluruhannya itu (Kusnardi dan Harmailyi Ibrahim, 40

1980: 160). Dengan demikian dalam usaha ilmiah sistem adalah suatu tatanan / susunan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang berkaitan antara satu dengan lainnya secara teratur dan terencana untuk mencapai suatu tujuan. Apabila salah satu dari komponen atau bagian tersebut berfungsi melebih atau kurang dari wewenangnya, maka akan mempengaruhi komponen yang lain. Sedangkan pemeritahan dalam arti luas adalah segala bentuk kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organ-organ negara yang mempunyai otoritas atau kewenangan untuk menjalankan kekuasaan. Pengertian pemerintahan seperti ini mencakup kegiatan atau aktifitas penyelenggarakan negara yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif maupun judikatif. Sedangkan pengertian pemerintahan dalam arti sempit tidak tidak lain adalah aktifitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh fungsi eksekutif, presiden ataupun perdana dengan level birokrasi yang paling rendah tingkatannya. Dari dua pengertian tersebut, maka dalam melakukan pembahasan mengenai Pemerintah Negara. Titik tolak yang dipergunakan adalah dalam konteks pemerintahan dalam arti luas. Yaitu meliputi pembagian kekuasaan dalam negara, hubungan antar alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan tersebut baik hubungan horizontal (pemisahan atau pembagian kekuasaan) maupun hubungan vertikal (pemencaran kekuasaan), antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal atau daerah. Dengan demikian, jika pengertian pemerintahan tersebut dikaitkan dengan pengertian sistem, maka yang deimaksud dengan sistem pemerintahan adalah suatu tatanan atau susunan pemerintahan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari organorgan pemegang kekuasaan didalam negara dan saling melakukan hubungan fungsional diantara organ-organ negara tersebut baik secara vertikal maupun horizontal untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. menteri, sampai

B. Tiga Pengertian Sistem Pemerintahan Negara Pengertian sistem pemeintahan negara meurut doktrin Hukum Tata Negara dapat dibagi kedalam tiga pengertian, yaitu : (1). Sistem Pemerintahan Negara dalam arti paling luas, yakni tatanan yang berupa struktur dari suatu negara dengan menitik beratkan pada hubungan antara negara dengan rakyat. Pengertian seperti ini akan 41

menimbulkan model pemerintahan monarkhi, aristokrasi dan demokrasi. (2). Sistem Pemerintahan Negara ari lua, yakni tatanan atau struktur pemerintahan negara yang bertitik tolak dari hubungan antara semua organ negara, termasuk hubungan antara pemerintah pusat dengan bagian-bagian yang terdapat dalam negara ditingkat lokal atau daeraah. Sistem pemerintahan negara seperti ini meliputi: (a).Bangunan Negara Kesatuan, dalam bangunan ini pemerintah pusat memegang otoritas penuh (berkedudukan lebih tinggi) ketimbang pemerintah lokal. (b). Bangunan Negara Serikat (Federal), dalam negara seperti ini pemerintah pusat dan negara bagian mempunyai kedudukan yang sama. (c). Bangunan Negara Konfederasi, dalam negara seperti ini pemerintah lokal (kanton atau wilayah) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pemerintah pusat. Berikutnya (3) disebut Sistem Pemerintahan Negara dalam arti sempit yakni suatu tatanan atau struktur pemerintahan yang bertitik tolak dari hubungan sebagian organ negara ditingkat pusat, khususnya hubungan antar eksekutif dan legislatif.

Struktur atau tatanan pemerintahan negara seperti ini, akan menimbulkan model : (a). Sistem Parlementer, dalam sistem ini parlemen (legislatif) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi ketimbang eksekutif, contoh Inggris, Jepang, India. (b).Sistem Pemisahan Kekuasaan (Presidensiil), pada sistem ini parlemen (legeslatif) dan pemerintah mempuyai kedudukan yang sama dan saling melakukan kontrol (chek and balances), contohnya AS. (c). Sistem Pemerintahan dengan Pengawasan Langsung Oleh rakyat, pada sistem ini pemerintah (eksekutif) pada hakekatnya adalah Badan Pekerja dari Parlemen (Legislatif), dengan kata lain eksekutif merupakan bagian yang tak terpisahkan dari legislatif (Parlemen). Oleh karena itu parlemen tidak diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada eksekutif, sehingga yang berhak mengawasi parlemen dan eksekutif adalah rakyat secara langsung, contohnya di Swiss. C. Organisasi Sistem Pemerintahan Negara Pada umumnya dalam sistem pemerintahan negara, baik itu di negara serikat maupun kesatuan dikenal adanya dua organisasi (pengelompokan) dari sistem Pemerintahan yang saling melakukan interaksi antara satu dengan lainnya. Organisasi dari sistem pemerintahan negara tersebut, adalah: 1. Organisasi Pemerintahan Dalam Garis Horizontal Menurut konsep Trias Politika kekuasaan didalam negara dapat dibagi menjadi menjadi tiga cabang kekuasaan utama , yaitu : (a) Kekuasaan Legislatif, yakni 42

kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Biasanya diserahkan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. (b). Kekuasaan Ekekutif yakni kekuasaan untuk menjalankan undang-undang atau disebut juga kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Kekuasaan ini biasanya dilakukan oleh pemerintah dalam arti sempit, yaitu Presiden atau Perdana Menteri.(c). Kekuasaan Judikatif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan peradilan. Kekuasaan ini dilakukan oleh badan-badan peradilan dengan susunan bertingkat-tingkat sesuai dengan kewenangan masing-masing tingkat dan berpuncak pada supreme Court atau Mahkamah Agung. Ketiga cabang kekuasaan negara ini dipegang oleh lembaga atau badan kenegaraan yang sifatnya dapat terpisah antara satu dengan yang lain secara tegas. Namun dapat pula terpisah secara kelembagaan, tetapi masing-masing masih dapat saling melakukan hubungan antara satu dengan yang lainnya. Kesemuanya itu

tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh masing-masing negara. Maksud pembentukan organisasi pemerintahan seperti ini tidak lain adalah agar kekuasaan yang terdapat didalam suatu negara tidak lagi dipegang dan menumpuk atau dikendalikan, oleh seorang atau sekelompok orang, melainkan dipecah menjadi tiga cabang kekuasaan utama yang dipegang oleh badan-badan negara yang berbeda ditinjau dari fungsi dan kedudukannya. Dengan demikian konsep pengorganisasian

pemerintahan dalam garis horizontal pada hakikatnya merupakan implementasi dari konsep trias politika yang dilandasi oleh adanya reaksi terhadap organisasi pemerintahan yang absolut-diktatorik yang pada umunya terjadi dalam negara yang berbentuk monarkhi. 2. Organisasi Sistem Pemerintahan Dalam Garis Vertikal Membahas Organisasi sistem Pemerintahan dalam garis Vertikal pada intinya bertitik tolak dari bangunan negara, khususnya bangunan negara serikat dan bangunan negara kesatuan. Masing-masing banguan negara ini memiliki satuan pemerintahan yang lebih rendah di bawah pemerintah pusat. Di Negara Serikat, satuan pemerintahan yang lebih rendah diwujudkan dalam bentuk negara-negara bagian. Sedangkan di Negara kesatuan, khususnya yang mempergunakan asas desentrlisasi dikenal; adanya pemerintah daerah yang berwenang untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat dimasing-masing daerah (otonomi). Menurut Kranenburg (dalam Miriam Budiardjo, 1986: 143) kedua satuan pemerintahan yang lebih rendah dibawah pemerintah pusat, baik yang terdapat di negara kesatuan maupun serikat, masing-masing mempunyai ciri-ciri yang berbeda-beda antara 43

satu dengan yang lain berdasarkan hukum positif, yaitu: (a). Negara bagian yang terdapat di dalam Negara Serikat memiliki wewenang untuk membentuk UUD sendiri serta mempunyai wewenang untuk membentuk Organisasi sendiri dalam rangka dan batas-batas konstitusi federal. Sedangkan dalam negara Kesatuan organisasi bagianbagian negara (Pemerintah Daerah) secara garis besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang Pusat. (b).Dalam negara federal (serikat), wewenang membentuk Undang-Undang Pusat untuk bidang tertentu telah diperinci satu persatu dalam konstitusi federal. Sedangkan dalam negara kesatuan wewenang pembentukan Undang-Undang Pusat ditetapkan dalam satu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang undang rendahan (sering disebut Peraturan Daerah/Perda), tergantung pada badan pembentuk Undang-Undang Pusat itu. Menurut F. Isjawara (dalam Miriam Budiardjo, 1986:143), dalam negara federal wewenang legislatif terbagi dalam dua bagian, yakni antara badan legislatif pusat (federal) dan badan legislatif dari negara-negara bagian. Sedangkan dalam negara kesatuan wewenang legislatif berada dalam tangan badan legislatif pusat, untuk kekuasaan badan legislatif rendahan (Lokal) didasarkan atas penentuan dari badan legislatif pusat itu dalambentuk Undang-Undang Organik. Sedangkan Hans Kelsen mengemukakan bahwa, dalam negara federal tidak hanya wewenang legislatif saja yang diberi antara negara federal dengan negara-negara bagian, akan tetapi juga wewenang eksekutif dan administratif. Sedang meurut F.Sugeng Istanto (1971:16) prinsip yang terkandung pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah Pemerintah Pusat tanpa adanya gangguan oleh delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah. D. Macam-macam Sistem Pemerintahan Negara Ada tiga macam sistem pemerintahan yang sering dibahas dalam kajian Hukum Tatanegara, sistem perlementer, adalah seagai berikut: 1. Sistem Pemerintahan Parlementer (Parliamentary Executive) Pada prinsipnya system pemerintahan parlementer menitik beratkan pada hubungan antara organ negara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislative. Sistem ini merupakan sisa-sisa peninggalan sistem pemerintahan dalam arti paling luas, yakni morankhi. Dikatakan demikian karena kepala negara apapun sebutannya-mempunyai kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan penyelenggara pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Menteri (Perdana Menteri). 44 dan referendum. Penjelasannya secara lebih rinci

Adapun ciri-ciri sistem pemerintahan ini, pada umumnya dapat digambarkan sebagai berikut : (a). Terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif (parlemen), bahkan antara keduanya saling tergantungsatu dengan yang lainnya. (b). Eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibentuk oleh parlemen dari partai politik / organisasi peserta pemiluyang menduduki kursi mayoritas diparlemen. Dalam hal ini rakyat tidak secara langsung memilih Perdana Menteri dan Kabinetnya. Jika ternyata didalam parlemen tidak ada satupun partai politik yang menduduki kursi mayoritas. Maka penyusunan Kabinet dan Perdana Menteri, pada umunya dilakukan dengan cara koalisi, yakni penggabungan dua partai atau lebih untuk memperkuat posisi perolehan suara di parlemen. (c). Kepala Negara (apapun sebutannya) hanya berfungsi ataupun berkedudukan sebagai kepala negara saja. Tidak sebagai kepala eksekutif dan Pemerintahan. Kedudukan seperti ini mengakibatkan Kepala Negara tidak dituntut pertanggungjawaban konstitusional apapun, sebab Kepala Negara hanya berfungsi sebagai simbol negara juga diberi wewenang untuk menunjuk formulir kabinet dan membubarkan kabinet bila keadaan negara menghendaki, dan (d). Dikenal adanya mekanisme pertanggung jawaban Menteri kepada Perlemen yang mengakibatkan Parlemen dapat membubarkan atau menjatuhkan mosi tidak percayakepada Kabinet, jika pertanggung jawaban atas pelaksanaan pemerintahan yang dilakukan oleh Menteri baik secara perseorangan ataupun kolektif tidak dapat diterima oleh parlemen.

2. Sistem Pemerintahan Presidensiil (Fixed Executive) Sestem pemerintahan ini bertitik tolak dari konsep pemisahan kekuasaan sebagaimana dianjurkan oleh teori trias politika. Sistem ini menghendaki adanya pemisahan kekuasaan aksekutif dan badan pemegang kekuasaan legislatif. Ciri-ciri utama dari sistem pemerintahan ini adalah sebagai berikut: (a). Kedudukan Presiden disamping sebagai Kepala Negara juga sebagai kepala Eksekutif (Pemerintahan). (b). Presiden dan Parlemen masing-masing dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum. Sehingga tidak jarang terjadi bahwa Presiden terpilih berasal dari Partai Politik yang berbeda dengan mayoritas partai politik yang ada diparlemen. (c). Karena Presden dan Parlemen dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum, maka kedudukan antara kedua lembaga ini tidak bisa saling mempengaruhi (menjatuhkan). Hal ini karena kedua lembaga tersebut sama-sama bertanggung jawab kepada rakyat pemilih. (d). Presiden tidak dapat diberhentikan oleh Parlemen ditengah45

tengah masa jabatannya, namun jika presiden melakukan perbuatan yang melanggar hukum, dapat dikenai impeachment (pengadilan DPR). Pelaksana Impeachment ini dilakukan oleh Hakim Tinggi pada supreme Court. Tidak dilakukan oleh anggota parlemen. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah Impeachment yang dikembangkan di AS. (e). Dalam rangka menyusun kabinet (menteri), Presiden wajib minta persetujuan Parlemen, namun presiden hanya menyampaikan nominasi anggota kabinet, Parlemen yang menentukan personilnya secara definitif. Kemudian Presiden mengangkat menteri-menteri tersebut setelah mendapat persetujuan Parlemen. (f).Menteri-menteri yang diangkatoleh Presiden tersebut tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dari kedua sistem tersebut, sering dijumpai juga varian dari keduanya, yaitu sistem presidensiil semu dan sistem parlementer semu. Sistem presidensiil semu pernah berlangsung dalam pola ketatanegaran Indonesia. Sebelum Amandeman, dalam pasal 4 UUD 1945 di tegaskan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian dipasal 17 ayat 2 ditegaskan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Ketentuan seperti ini jelas mengindikasikan bahwa Indonesia menganut Sistem Presidensiil. Akan tetapi jika menyimak Penjelasan Umum UUD 1945, unsur-unsur Sistem Parlementer terlihat jelasa. Disana dinyatakan bahwa Presiden yang diangkat oleh MPR, tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Presiden wajib menjalankan MPR. Penjelasan semacam ini mengandung unsur sistem parlementer, karena MPR bertindak laksana parlemen. Sedangkan sistem Pemerintahan Parlementer yang tidak murni terlihat dalam ketatanegaraan Perancis. Presidennya dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilu. Begitu pula dengan parlemennya. Pola seperti ini nampak mirip dengan sistem presidensiil di AS. Namun Presidennya mempunyai kekuasaan yang besar dalam seluruh kehidupan negara dan pemerintahan. Presiden juga dapat membubarkan parlemen, tetapi juga mempunyai wewenang untuk mengangkat perdana menteri dari partai Politik yang menduduki kursi mayoritas di parlemen. Perdana menteri dan Kabinetnya bertanggung jawab kepada parlemen. Akan tetapi jika pertanggung jawaban tersebut ditolak oleh parlemen, tidak otomatis Kabinet diberi mosi tidak percaya dan dapat dijatuhkan oleh parlemen. Dalam kasus seperti ini Presiden akan memberikan pertimbangan apakah dalam persoalan adanya mosi tidak percaya tersebut memang disebabkan oleh Kabinet yang tidak mampu lagi menjalankan garis-garis kebijaksanaan politik yang ditetapkan oleh parlemen, ataukah justru parlemen yang bertindak malampaui batas46

batas kewenangannya. Jikalau dalam pertimbangan tersebut, Presiden menganggap bahwa parlemenlah yang malampaui kewenangannya, maka justru parlemenlah yang dapat dibubarkan oleh presiden. Demikian pula sebaliknya. Kekuasaan Presiden Perancis yang demikian besar karena dipilih langsung oleh rakyat. Ini berarti Presiden juga berkedudukan dan bertindak sebagai representasi rakya, khususnya menyangkut kedaulatan rakyat dibidang pemerintahan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jikalau dalam konflik antara Kabinet dan Parlemen, presiden dapat bertindak sebagai mediator bahkan dapat juga disebut sebagai hakim dalam mengatasi konflik tersebut. Inilah letak ketidak murnian dari sistem parlementer yang dikembangkan di Perancis. 3. Sistem Pemerintahan Dengan Pengawasan Langsung oleh Rakyat Acuan sistem pemerintahan ini adalah Negara Konfederasi Swiss. Menurut Konstitusi Federal Konfederasi Swiss dinyatakan antara lain : (a). Pemegang kedaulatan tertinggi ada pada Sidang Federal yang terdiri dari dua kamar, yaitu Dewan Nasional dan Negara, (b). .Pemegang kekuasaan eksekutif dan badan Pelaksana Kekuasaan Tertinggi dipegang oleh Dewan Federal, yang terdiri dari tujuh anggota dan dipiliholeh Sidang Federal, dan (c). Presiden dan wakil presiden Konfederasi Swiss dipilih oleh sidang federal, diantara para anggota dewan untuk masa jabatan satu tahun. Memperhatikan konstruksi ketatanegaraan tersebut diatas, maka tidaklah mungkin apabila Sidang Federal (pemegang kedaulatan tertinggi) dan dewan federal (pemegang kekuasaan eksekutif) saling melakukan kontrol seperti halnya dalam sistem pemerintahan Parlementer. Karena Dewan federal pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpiasahkan dari sidang federal. Bahkan dapat dikatakan bahwa Dewan Federal hanyalah merupakan Badan Pekerja dari Sidang Federal. Pola seperti inilah yang mengakibatkan munculnya sistem Pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat. Dewan federal (pemegang kekuasaan eksekutif) dan Sidang Federal (pemegang kedaulatan tertinggi) sama-sama memperoleh kekuasaan dari rakyat. Sehingga yang berhak untuk melakukan kontrol atas jalannya sistem ketatanegaraan tidak lain adalah rakyat secara langsung. Adapun cara yang dapat ditempuh oleh rakyat Konfederasi Swiss untuk melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan adalah dengan melalui : (a). Referendum, yaitu suatu penentuan oleh rakyat untuk memberikan keputusan setuju atau menolak terhadap kebijaksanaan yang diambil oleh parlemen. Referendum terdiri dari (tiga) macam, yaitu: (1). Referendum obligator (Wajib) yaitu meminta pendapat secara langsung dari rakyat terhadap suatu 47

Rancangan UU yang akan di undangkan. (2). Referendum fakultatif (tidak Wajib), yaitu meminta pendapat secara langsung dari rakyat apakah setuju atau tidak terhadap UU yang sudah berlaku, tetapi ada sementara rakyat yang meggugatnya. Apabila mayoritas rakyat berpendapat bahwa UU tersebut tetap berlaku seperti semula, maka UU terebut tetap berlaku, demikian sebaliknya. (3). Referendunm optatif, yaitu meminta pendapat secara langsung pada rakyat apakah setuju atau tidak terhadap Rancangan UU Pemerintah Federal atau pemerintah pusat di wilayah-wilayah negara bagian atau daerah otonom. (b). Usul Inisiatif Rakyat, yaitu hak rakyat untuk mengajukan rancangan UU kepada Parlemen dan Pemerintah. E. Sistem Pemerintahan Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia pernah

mempergunakan beberapa Konstitusi tertulis selain UUD 1945. Masing konstitusi tersebut mengatur mengenai sistem pemerintahan yang berbeda. Berikut ini akan dikemukakan sistem pemerintahan Indonesia menurut konstitusiyang pernah dan sedang berlaku. 1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut Konstitusi RIS Sistem pemerintahan Indonesia menurut Konstitusi RIS adalah sistem Pemerintahan Parlementer yang tidak murni. Pasal 118 Konstitusi RIS antara lain menyebutkan, (a) Presiden tidak dapat diganggu gugat, (b). Menteri-menteri

bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanakan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya. Maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Ketentuan pasal tersebut menunjukkan bahwa RIS mempergunakan sistem pertanggung jawaban menteri. Kendatipun demikian pasal 122 Konstitusi RIS juga disebutkan bahwa DPR tidak dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri untuk meletakkan jabatannya. Dengan menyimak pasal tersebut, maka sisem yang dipergunakan adalah sistem parlementer yang tidak murni. Karena pertanggung

jawaban yang dimaksud tidak ada artinya atau disebut pertanggung jawaban dalam arti sempit. 2. Sistem Pemerintahan Indonesia menurut UUDS 1950 UUDS 1950 masih tetap mempergunakan bentuk sistem pemerintahan seperti yang diatur dalam Konstitusi RIS. Artinya sistem pemerintahan negara yang digunakan masih seperti yang diatur dalam Konstitusi RIS. Hal ini karena UUDS 1950 pada hakikatnya merupakan hasil amandemen dari Konstitusi RIS dengan menghilangkan 48

pasal-pasal yang bersifat federalis. Didala pasal 83 UUDS 1950 dinyatakan : (a). Presiden dan Wk.Presiden tidak dapat diganggu gugat, (b). Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. 3. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen Didalam sistematika UUD 1945, sistem Pemerintahan Negara tidak secara implisit tertuang didalamnya. Hal ini agak berbeda dengan kedua Konstitusi RIS dan UUDS 1950.. Pada beberapa ketentuan, secara eksplisit mengindikasikan adanya bentuk campuran antara sistem Presidensiil dan parlementer. Dalam Penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa DPR tidak bisa dibubarkan oleh presiden. Presiden adalah kepala eksekutif dan tidak boleh merangkap menjadi anggota DPR, Mahkamah Agung, dan pimpinan MPR. Meteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Konstruksi semacam ini memperlihatkan kecenderungan kearah sistem presidensiil. Akan tetapi karena presiden RI tidak dipilih oleh rakyat secara langsung melainkan oleh MPR, dan dapat diberhentikan jika melanggar UUD 1945 dan GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN), maka menunjukkan bahwa sistem presidensiil yang dianut, tetapi bukan bukan yang murni. Bahkan kecenderungan kearah sistem parlementer demikian kental. Guna mengetahui sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945, apakah betul menganut Presidensiil yang tidak murni (quasi Presidensiil), maka perlu

memperbandingkan dengan sistem pemerintahan negara lain. Khususnya yang menganut sistem pemerintahan Presidensiil yang murni seperti di Amerika Serikat. Karakteristik sistem presidensiil di Amerika Serikat adalah sebagai berikut: (a). Legislatif, eksekutif, dan judikatif merupakan lembaga yang terpisah, namun mekanisme Check and Balances (saling mengadakan kontrol dan pertimbangan) berlangsung diantara ketiganya. (b). Dalam bidang legislatif, wewenang pembuat UU adalah Congres (yang terdiri dari dua kamar : House of Representative dan senat. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu Presiden AS mempunyai hak veto, yakni hak Presiden untuk tidak menyetujui suatu RUU yang diajukan leh Congres. (c). Kekuasaan eksekutif berada ditangan Presiden, dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh para menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. Sedangkan Presiden sendiri bertanggung jawab kepada rakyat yang telah memilihnya. (d). Apabila ada perbedaan pendapat antara Presiden dengan Congres (utamanya senate), presiden sebagai kepala eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh Congres. Presiden tidak dapat diganggu-gugat sebelum masa 49

jabatannya habis. Akan tetapi jika ada kejadian luar biasa, misalnya presiden melakukan perbuatan melanggar hukum, maka badan Perwakilan dapat menuntut presiden melalui Impeachment (pengadilan oleh DPR). Mekanisme impeachmenti tidak dilakukan

sendiri oleh anggota DPR, melainkan oleh Hakim Agung yang dipanggil ke DPRuntuk melakukan pemeriksaan terhadap Presiden, dan (e). Badan-badan peradilan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun. Hakim peradilan ada yang dipilih oleh rakyat dan ada pula yang diangkat untuk seumur hidup atau selama tenaganya masih mampu menjalankan tugas dan wewenang nya. Berdasarkan karakteristik sistem presidensiil di AS tersebut di atas, maka dapat menarik garis persamaan dengan yang ada di Indonesia, sebagaimana dikonstruksikan di dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) sebagai berikut : (a). Pasal 4 ayat 1 ; Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (b). Pasal 17 ayat 1 dan 2 ; Presiden dibantu oleh menteri-menteri, yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden. (c). Pasal 5 ayat 1 ; Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR, (d). Pasal 21 ayat 1 ; Anggota-anggota DPR berhak memajukan Rancangan UU, dan (e) Pasal 21 ayat 2 : Jika Rancangan UU meskipun disetujui DPR, tapi tidak disahkan Presiden, maka tidak boleh dimajukan dalam persidangan masa itu. Ketentuan pasal-pasal diatas menunjukkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia dengan yang dianut di AS. Akan tetapi, mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih dan diangkat oleh MPR dengan suara terbanyak (pasal 6 ayat 2), tidak sesuai dengan proses pemilihan Presiden langsung seperti AS. Juga dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang menegaskan bahwa Presiden dalam melaksanakan pemerintahan bertanggung jawab kepada MPR, mirip dengan ciri sistem pemerintah parlementer.

4. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Setelah Amandemen Amandemen pertama terhadap UUD 1945 berlangsung pada Sidang Umum MPR Tahun 1999, hasil amandemen pertama ini sangat terkait dengan penegasan sistem pemerintahan, hasil dimaksud sebagai berikut : (a) Pasal 5 ayat 1; Presiden berhak mengajukan Rncangan Undang-Undang. Pasal ini dukunya berbunyi Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, (b). Pasal 7 ; Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, 50

hanya untuk satu kali masa jabatan. Pasal ini merupakan bentuk perubahan signifikan dari ketentuan sbelum amandemen yang menegaskan : Pesiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Sebeleum berubah, pasal tersebut menjadi dasar konstitusional bagi Presiden Soeharto untuk dipilih berulang kali, sehingga masa jabatannya mencapai 32 tahun. (c). Pasal 17 ayat 2; Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta (d). Pasal 20 ayat 1: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Kendati pasal-pasal UUD 1945 yang sudah di amandemen tersebut memberikan indikasi pelaksanaan sistem presidensiil, namun dalam prakteknya masih tetap belum dilaksanakan secara murni. Hal nampak jelas tertuang di dalam Ketetapan MPR No.VI/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yang isinya antara lain bahwa calon Presiden diajukan oleh Fraksi MPR, dan pemilihannya dilakukan oleh anggota MPR. Pada tahun 1999 memang amandemen sudah dilakukan untuk pertama kali, namun belum sampai pada ketentuan pemilihan Presiden. Karena itu pemilihan Presiden masih mengacu pada pasal yang belum di amandem. Baru setelah amandemen keempat ditetapkan pada sidang tahunan MPR tahun 2002, ditegaskan bahwa psresiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat. Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR. Hasil amandemen terkait dengan pemilihan Presiden dimuat dalam Pasal 6A, antara lain menegaskan (1). Perisiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, (2). Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, (3). Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumllah provinsi di Indonesia. Dilantik menjadi presiden dan wakil presiden, (4). Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden tepilih, maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai pasangan Presiden dan wkil presiden, (5).Tata cara pelaksanaan peilihan Presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka presiden dan wakil presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR. Melainkan bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat. Berkaitan dengan hal ini, pasal 3 ayat (3) Amandemen UUD 1945 menegaskan 51

Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang. Menurut pasal 7A UUD 1945, pemberhentian Presiden dan atau wakil presiden atas usul Dewan

Perwakilan Rakyat apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau

perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau Wakil presiden. Untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tentang adanya indikasi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Mengenai hal ini, pasal 7B UUD 1945 secara lengkap menyatakan : (1). Usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaranhukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan tercela, dan atau pendapat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil presiden. (2). Pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden, telah melakukan pelanggaran hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. (3). Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. (4). MK wajib memeriksa, mengadili,dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lambat sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK, (5). Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau pebuatan tercela, dan atau terbukti bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepala MPR, (6). MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR menerima usul tersebut, (7). Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Pesiden 52

harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Berdasarkan mekanisme pertanggung jawaban tersbut diatas, maka setelah UUD 1945 diamandemenkan, terdapat perubahan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia yang cukup fundamental. Perubahan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut: a. Sistem pemerintahan negara mempergunakan Sistem Presidensiil murni. b. Presiden dan atau Wakil Presiden serta parlemen yang terdiri dari dua kamar (DPR dan DPD) dipilih langsungoleh rakyat melalui Pemilihan Umum. c. Di pandang politik, kedudukan Presiden dan atau Wakil Presiden serta parlemen sama-sama kuat. Artinya antara kedua lembaga ini tidak bisa saling menjatuhkan. d. Dikenal adanya lembaga peradilan konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempunyai wewenang untuk melakukan impeachment kepada Presiden dan atau Wakil Presiden, jikalau ditengarai telah melakukan pelanggaran hukum berat. Hal ini berarti Presiden dan atau Wakil Presiden hanya dapat dijatuhkan, jikalau melakukan perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat yuridis. e. Pertanggung jawaban yang dibebankan kepada Presiden dan atau Wakil Presiden kepada parlemen harus diawali dengan adanya pertanggung jawaban hukum (yuridis). Sedangkan untuk pertanggung jawaban politis merupakan konsekuensi logis, jikalau Presiden dan atau Wakil Presiden telah melaksanakan pertanggung jawaban hukum tersebut. Hal ini berarti telah mengubah paradigma yang selama ini mewarnai sistem pertanggung jawaban Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR. Dalam paradigma lama, pertanggung jawaban Pesiden dam atau Wakil Presiden lebih menekankan pada pertanggung jawaban politis.

Catatan Bab ini banyak diambil dari Bab III buku Hestu Cipto Handoyo, 2003, Hukum Tatanegara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasasi Manusia. Penerbit UAJ Yogyakarta.

53

BAB V OTONOMI DAERAH Kompetensi Dasar 1. Merumuskan pengertian dan hakikat otonomi daerah dan desentralisasi. 2. Mendeskripsikan pentingnya otonomi dan desentralisasi 3. Mendeskripsikan argumentasi memilih otonomi dan desentralisasi. 4. Mendeskripsikan perkembangan otonomi dan desentralisasi di Indonesia. 5. Membandingkan kebijakan otonomi dan desentralisasi dalam UU. No. 22 Tahun 1999 dengan UU. No. 32 Tahun 2004. 6. Merumuskan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. A. Pengertian dan Hakikat Otonomi Daerah Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan bergantian. Kekdua istilah tersebut secara akademik bisa dibedakan, namun secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Karena itu tidak mungkin masalah otonomi daerah dibahas tanpa mempersandingkannya dengan konsep desentralisasi. Bahkan menurut banyak kalangan otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Karenanya pembahasan otonomi daerah biasanya diulas dengan memakai istilah desentralisasi. Kedua istilah tersebut bagaikan dua sisi mata uang yang saling menyatu namun dapat dibedakan. Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organorgan penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut. Konsep desentralisasi sering dibahas dalam konteks pembahasan mengenai sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pada masa sekarang, hampir setiap negara menganut desentralisasi sebagai asas dalam sistem penyelenggaraan

pemerintahan negara. Desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri melainkani merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar. Suatu negara menganut desentralisasi bukan karena alternatif dari sentralisasi. Antara Desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan, dan karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub-sub sistem dalam kerangka sistem organisasi negeranya. Karenanya, suatu negara merupakan payung desentralisasi dan sesntralisasi. Otonomi dalam maka sederhana dapat diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Otonnomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan perbuatan dan pengambilan 54

keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar.. Desentralisasi sebagaimana didefinisikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah penyerahan kewenangan dari pusat kepada daerah. Proses itu melalui dua cara yaitu, delegsi kepada pejabat-pejabat didaerah atau dengan devolusi kepada badanbadan otonomi daerah. Akan tetapi, tidak dijelaskan isi dan keluasaan kewenangan serta konsekuensi penyerahan kewenangan itu bagi badan-badan otonomi daerah. Desentralisasi diartiakn pula sebagai transfer kewenangan untuk untuk

menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan yang mendasari tranfer ini adalah teritorial dan fungsional. Teritorial maksudnya adalah menempatkan kewenangan kepada level pemerintahan yang lebih rendah dalam wilayah geografis tertentu, sedang fungsional artinya transfer kewenangan kepada agen yang secara fungsional terspensialisasi. Transfer kewenangan secara fungsional ini memiliki tiga tipe : pertama; apabila pendelegasian kewenangan itu di dalam struktur politik formal misalnya, dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.; kedua; jika transfer itu terjadi didalam struktur administrasi publik, misalnya dari kantor pusat sebuah kementerian kepada kantor kementerian yang ada di daerah; ketiga, jika tranfer tersebut dari institusi negara kepada agen non negara, misalnya penjualan aset pelayanan publik seperti telepon atau penerbangan kepada sebuah perusahaan (M.Turner dan D. Hulme dalam Teguh Yuwono, 2001: 27) Rondinelli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab dalam perancangan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agenagennya kepada unit kementerian pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba (Teguh Yuwono, 2001: 28). Jadi desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. B. Arti Penting Otonomi Daerah dan Desentralisasi

55

Krisis Ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah memporak-porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik negeri ini yang telah dibangun cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan politik yang berlanjut menjadi multikrisis telah mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan oleh sistem manajemen negara dan pemerintahan yang sentralistik, yaitu kewenangan dan pengelolaan segala sektor pembangunan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sementara daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengatur daerahnya. Sebagai respon dari krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting, yaitu melaksanakan otonomi daerah dan pengaturan perimbanagan keuangan antara pusat dan daerah. Paradigma lama dalam manajemen negara dan pemerintahan yang berporos pada sentralisme kekuasaan diganti menjadi kebijakan otonomi yang berpusat pada desentralisasi. Kebijakan otonomi daerah terkait pula dengan upaya politik pemerintah pusat untuk merespon tuntutan kemerdekaan atau negara federal dari beberapa wilayahyang

memiliki aset sumber daya alam melimpah namun tidak mendapatkan haknya secara proposional pada masa pemerintahan Orde Baru. Desentralisasi dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab Desentralisasi menjamin penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat. Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap desentrslisasi di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendesak. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta, sementara itu pembangunan dibeberapa wilayah lain dilalaikan. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata, daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Papua, Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial antar daerah sangat terasa.

Pembangunan fisik disatu daerah berkembang pesat, sedangkan dibanyak daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai. Sementara itu ada alasan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus memberikan landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah

(desentralisasi) sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie sebagai berikut : (1). 56

Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani. (2). Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokratis. (3). Daris sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan uang efisien. Apa yang

dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah.(4). Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian dapat sepnuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya. (5). Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara membantu pembangunan tersebut. Argumentasi yang digunakan dalam memilih desentralisasi dan otonomi dalam penyelenggaran pemerintahan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Untuk Terciptanya Efesiensi-Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintahan Pemerintah berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti, bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dan lain-lainnya. Selain itu pemerintah juga mempunyai fungsi distributif dan fungsi regulatif untuk penyediaan barang dan jasa. Juga fungsi ekstraktif dalam memobilisasi sumber daya keuangan untuk membiayai aktifitas penyelenggaraan negara. Selain itu memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, menjaga keutuhan negara dan bangsa, serta mempertahankan diri dari kemungkinan serangan dari negara lain, merupakan tugas pemerintahan yang bersifat universal. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hal itu dapat dilakukan dengan cara yang sentralistik, dan pemerintahan negara menjadi tidak efisien dan tidak akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik. langsung

2.

Sebagai Sarana Pendidikan Politik Pemerintahan daerah dapat dipandang sebagai kancah pelatihan dan negara. Pemerintahan daerah akan

pengembangan

demokrasi dalam sebuah

menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berprestasi politik, baik dalam 57

rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik. Mereka yang tidak mempunyai peluang untuk terlibat dalam politik nasional dan dipilih menjadi pemimpin nasional, akan mempunyai peluang untuk ikut serta dalam politik lokal, baik dalam pemilihan umum lokal ataupun dalam rangka pembuatan kebijakan publik. Dengan demikian pendidikan politik pada tingkat lokal sangat bermanfaat bagi warga masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya. 3. Pemerintahan Daerah Sebagai Persiapan Untuk Karir Politik Lanjutan Pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karier lanjutan, terutama karier dibidang politik dan pemerintahan ditingkat nasional. Karena sesuatu yang mustahil bagi seseorang dapat muncul dengan begitu saja menjadi politisi berkaliber nasional ataupun internasional. Keberadaan institusi lokal, terutama pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif lokal), merupakan wahana yang banyak dimanfaatkan guna menapak karier politik yang lebih tinggi. 4. Stabilitas Politik Stabilitas politik nasional berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Gejolak disintegrasi yang terjadi dibeberapa daerah merupakan contoh konkrit keterkaitan ketidakstabilan politik yang muncul karena pemerintah nasional tidak menjalankan otonomi dengan tepat. Terjadinya pergolakan daerah pada tahun 19571958 dengan puncaknya adalah kehadiran PRRI dan PERMESTA, gerakan ini muncul karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan. 5. Kesetaraan Politik (Political Equalilty) Dibentuknya pemerintahan daerah akan mewudkan kesetaraan politik diantara berbagai komponen masyarakat. Masyarakat di daerah akan mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam politik, apakah melalui pemberian suara pada waktu pemilihan Kepala Desa, Bupati, Wali Kota, dan bahkan Gubernur. Disamping itu warga masyarakat, lewat kelompok atau perrangan, dapat terlibat dalam mempengaruhi

pemerintah ketika membuat kebijakan, terutama yang menyangkut kepentingan mereka. 6. Akuntabilitas Politik Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat, termasuk didaerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara. Keterlibatan ini sangat dimungkinkan sejak dari awal tahap pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi. Dengan demikian kebijakan yang dibuat akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggung jawabkan karena masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan. 58

C. Perkembangan Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Negara Indonesia memiliki penduduk yang heterogen dan tersebar di berbagai daerah dengan karakteristik sendiri-sendiri. Kenyataan ini mendasari para pendiri bangsa ketika menyusun UUD 1945, 18 dengan jelas mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan tetap menghormati keberagaman yang dimiliki daerah. Guna menindaklanjuti ketentuan Pasal 18 tersebut, untuk pertama kali pemerintah mengeluarkan UU No.1 Tahun 1945 yang mengatur pemerintah daerah. Jadi sebelum mengatur yang lain, pemerintah lebih dulu mengatur mengenai keberadaan pemerintah daerah. Menginginkan agar melaksanakan politik desntralisasi dan memberikan hak-hak otonomi kepada daerah-daerah, disamping tetanp menjalankan politik dekonsentrasi. Menyadari akan kekurangan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1945, pemerintah bersama BP-KNIP berupaya melahirkan UU Otonomi Daerah yang benarbenar didasarkan atas kedaulatan rakyat. Dalam rangka itu kemudian lahirlah UU No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini memberikan hak otonomi dan tugas pembantuan (medebewind) yang seluas-luasnya kepada badan-badan pemerintah daerah, yang tersusun secara demokratis. Saat Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan berdasarkan UUDS 1950, pemerintah mengeluarkan UU baru tentang pemerintahan daerah, yaitu UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah. UU ini secara garis besar mengandung tiga prinsip dasar desentralisasi, yaitu : (1). Di daerah-daerah (daerah besar dan kecil), hanya ada satu bentuk susunan pemerintahan, yaitu pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya atau daerah otonomi. (2). Daerah-daerah dibentuk menurut susunan derajat dari atas bawah sebanyak tiga tingka. (3). Kepada daerah diberikan hak otonom yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, dengan menganut sistem otonomi riil. Ketika konstelasi politik berubah, saat terjadi pergeseran dari Demokrasi

Parlementer ke Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959 dengan kembali ke UUD 1945, otonomi daerah mengalami kemunduran. Ketika itu pemerintah mengambil tindakan drastis dengan mengubah UU No.1 Tahun 1957 dan menggantinya dengan Penpres No. 6 Tahun 1959 dan kemudian disempurnakan melalui Penpres No. 5 Tahun 1960. Prinsip-prinsip pokok yang diatur dalam dalam Penpres No. 6 Tahun 1959 adalah sebagai berikut: (1). Penyelenggaraan tugas di bidang pemerintahan umum pusat di daaerah dan tugas dibidang ekonomi daerah, diletakkan pada satu tangan, yaitu kepala daerah. (2). Kedudukan kepala daerah tidak lagi hanya sebagai alat daerah, tetapi 59

sekaligus juga sebagai wakil pemrintah pusat didaerah. (3). Dalam kedudukan itu, kepala daerah adalah pegawai negara, tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden. (4). Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif, kepala daerah tidak bersifat kolegial, melainkan bersifat tunggal. (5). Kepala daerah mempunyai kekuasaan untuk menangguhkan keputusan DPRD yang bersangkutan dan keputusan pemerintah daerah bawahannya, dan (6). Penambahan melalui Penpres No. 5 Tahun 1960, ditegaskan bahwa kepala daerah karena jabatannya adalah Ketua DPRD dan bukan anggota. Pada Tahun 1965, pemerintah mengeluarkan UU sebagai pengganti Penpres No. 6 Tahun 1959, yaitu UU No. 18 Tahun 1965. UU ini merangkum pokok-pokok pikiran cita-cita desentralisasi dari perundang-undangan sebelumnya. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa pemerintah akan terus dan konsekuen menjalankan politik desentralisasi untuk menuju kearah tercapainya desentralisasi territorial, yaitu meletakkan tanggung jawab territorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan pemerintah daerah. Bersamaan dengan itu, dibentuk pula UU No. 19 Tahun 1965 tentang desa praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercapat terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh tahah air. Namun sayang UU ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ketika pergantian rezim dari Demokrasi terpimpin ke Rezim Orde Baru, kebijakan otonomi daerah juga mengalami perubahan. Cita-cita untuk mewujudkan politik desentralisasi menjadi terhambat. Sebab, melalui UU No. 5 Tahun 1974 selain menerapakan asas desentralisasi, pemerintah pusat masih memiliki wewenang dalam mengatur urusan-urusan yang dikelolanya didaerah lewat desentralisasi dan

medebewind. Dalam praktik, kebijakan yang dilakukan lebih mencerminkan pelimpahan wewenang ketimbang penyerahan wewenang. Meski dalam UU tersebut menyebutkan bahwa pemerintah mencanangkan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, namun dalam operasional prinsip tersebut menimulkan perubahan, yaitu dari desentralisasi menjadi dekonsentrasi. Hal ini berdampak daerah tidak memiliki ruang gerak dalam penetapan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan yang bertalian dengan urusan yang diembannya. Kenyataan lain adalah terbatasnya wewenang daerah dalam bidang keuangan, juga bidang kepegawaian yang terpusat. Singkatnya, kebijakan desentralisasi pada masa Orde Baru dalam praktik cenderung ke bandul sentralisasi. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa seperti itu. Pertama, sejak awal pemerintah Orde Baru dalam menciptakan otonomi daerah adalah untuk menciptakan keamanan, ketertiban, ketenangan, persatuan dan 60

stabilitas. Kedua, pemerintah Orde Baru menganut formula strategi pembangunan dengan menjadikan para ahli ekonomi berfungsi sebagai pembuat kebijakan, militer sebagai stabilator, dan birokrasi sipil sebagai pelaku pelaksana. Ketiga, pemerintah ingin selalu memusatkan sumber daya yang tetap langka untuk keperluan pembangunan, sehingga distribusi dan penggunaannya memenuhi kriteria keadilan dan efesiensi. 1. Kebijakan Otonomi Daerah Menurut UU No.22 Tahun 1999 Era reformasi menjadi titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi lebih nyata. Reformasi memberi hikmah besar kepada daerah-daerah untuk menikmati otonomi yang sesungguhnya. Jika sebelumnya begitu terkekang, tidak memiliki kewenangan dalam melakukan pembangunan daerah, di Era Reformasi malalui UU No. 22 tahun 1999, daerah memiliki kebebasandan berprakarsa untuk mengatur daerahnya sendiri. Semakin lengkap pengaturan daerah dengan lahirnya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pengaturan mengenai keuangan daerah ini karena adanya tuntutan keterbukaan politik (demokratisasi), juga karena pemerintah pusat ingin mengatasi masalah disintegrasi yang melanda Indonesia. Dengan peraturan itu, diharapkan tuntutan daerah untuk melepaskan diri tidak akan terjadi. Namun terlepas dari alasan yang sesungguhnya dibalik lahirnya kedua UU tersebut, kebijakan otonomi daerah Era Reformasi ini sungguh mengalami kaemajuan yang luar biasa. Crinya yang menonjol dari UU yang baru ini, yaitu: (1). Demokrasi dan Demokratisasi. Ciri ini menyangkut dua hal, yaitu rekrutmen pejabat politik di daerah dan proses legislasi di derah. Rekrutmen pejabat politik didaerah menyerahkan kewenangan sepenuhnya kepada masyarakat melalui DPRD dan tidak ada lagi campur tangan pemerintah pusat. Sedang mengenai proses legislasi dan regulasi didaerah tidak lagi harus disahkan oleh pemerintah pusat. (2). Mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Titik berat otonomi ada pada daerah kabupaten atau kota. Ini dilakukan dalam rangka lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. (3). Sistem Otonomi Luas dan Nyata. Dengan sistem ini pemerintah daerah berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan kecuali dibidang politik luar negeri, moneter, dan fiskal. (4). Tidak menggunakan sistem Otonomi bertingkat, tidak mengenal daaerah tingkat I dan II juga tidak ada hirarki antara provinsi dengan kabupaten Penyelenggaraan tugas pemerintah dan Belanja Dan Pendapatan Negar (APBN). atau kota. (5).

daerah harus dibiayai dari dana Anggaran

61

Belakangan UU No. 22 Tahun 1999 menimbulkan pro-kontra. Pihak yang setuju menyatakan bahwa UU tersebut sangat demokratis bahkan bersifat liberal. Memberikan kewenangan kepada daerah seluas-luasnya untuk mengembangkan daerah atas prakarsa sendiri. Benyak kemajuan dalam UU ini dibandingkan dengan UU No. 5 Tahun 1974. Sementara pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa UU tersebut masih bersifat setengah hati dan masih menerapkan paradigma lama. Belum terjadi perubahan yang signifikan terhadap otonomi daerah. Sebab masih banyak kewenangan yang diurus oleh pusat dan dana perimbangan belum mencerminkan rasa keadilan. Terlepas dari pro-kontra tersebut, paling tidak UU No. 22 Tahun 1999 telah memberi ruang desentralisasi (politik dan administrasi) yang lebih besar kepada daerah sehingga memungkinkan adanya ruang dan kesempatan yang lebih luas bagi partisipasi masyarakat dan pembangunan daerah. Dengan demikian, kebijakan pemerintah dituntut lebih terbuka, demokratis dan membuka ruang bagi partisipasi masyarakat. 2. Kebijakan Otonomi Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Meski UU No. 22 Tahun 1999 sudah member ruang lebih baik dalam penyelenggaraan otonomi daerah, namun ada sejumlah kelemahan di dalamnya. Dari sisi kebijakan, mengandung kelemahan sehingga memunculkan dampak negatif dalam implementasi otonomi daerah, antara lain, Pertama, aspek kelembagaan pemerintahan daerah yang menempatkan posisi DPRD selalu dominan. Kedua, akuntabilitas DPRD kepada publik. Ketiga, tidak adanya ruang partisipasi publik dalam mengontrol kebijakan publik. Keempat, kebijakan otonomi daerah hanya menguntungkan daerahdaerah kaya SDA. Kellima, tidak adanya otoritas lembaga yang kuat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antar daerah. Selain itu, sisi implementasi otonomi daerah juga memunculkan dampak negatif. Pertama, terjadi friksi antara kepala daerah dengan DPRD dalam hal Laporan Pertanggung jawaban kepala Daerah. Kedua, organisasi perangkat daerah menjadi gemuk dan besar. Ketiga, penyediaan pelayanan dasar yang belum memadai. Keempat, munculnya raja-raja kecil didaerah-daerah. Kelima, terjadi primordialisme dalam pengangkatan kepala daerah dan jajaran birokrasi. ketKeenam, terjadi konflik dalam memperebutkan sumber daya antar daerah. Ketujuh, ekonomi biaya tinggi akibat dampak upaya menigkatan sumber PAD dengan meningkatkan tarif dan ekstensifikasi retribusi dan pajak daerah. Akibat kelemahan-kelemahan tersebut muncullah desakan perlunya revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999. Desakan muncul di antaranya LIPI. Lembaga ini 62

mengusulkan perlunya revisi, bukan melakukan perubahan secara mendasar, dengan cara mengamandemen pasal-pasal yang dianggap lemah dan menambah pasal-pasal baru untuk memperkuat otonomi daerah. Diantara substansi kebijakan otonomi daerah yang perlu diperbaiki adalah: Pertama, kepala daerah dipilih langsung. Kedua, akuntabilitas pemerintahan Daerah. Ketiga, pelembagaan partisipasi masyarakat. Keempat, perluasan pendapatan dan keuangan daerah. Kelima, perlunya institusi yang menangani kerja sama dan perselisihan antar daerah. Keenam, pengawasan dan penyelesaian konfllik. Ketujuh, koordinasi keamanan daerah. Sedangkan usulan Pemerintah (Depdagri), berbeda dengan LIPI, perubahan perlu dilakukan secara mendasar, yakni memerapkan kebijakan otonomi dengan melakukan resentralisasi. Pemerintah tampaknya melihat kelemahan mendasar pada UU No.22 Tahun 1999, dipandang kebablasan bagi daerah-daerah, sehingga dianggap bebas dan tidak bisa dikendalikan oleh pusat maka perlu pengaturan kembali untuk mengendalikan daerah-daerah sesuai dengan keinginan pemerintah. Terlepas dari perbedaan pandangan di atas, UU No. 32 Tahun 2004 berhasil ditetapkan sebagai pengganti UU. No. 22 Tahun 1999. UU baru tersebut memuat materi materi tentang pemerintahan daerah atau otonomi daerah. Dalam UU itu dinyatakan bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dan prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa otonomi seluas-luasnya berarti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masayarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sedang prinsip otonomi yang nyata adalah suatu prinsip bahwa urusan pemerintahaan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatannya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraan nya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yakni pemberdayaan daerah dan meningkatkan kesejahteraan Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat tetap sebagaimanan UU sebelumnya, yaitu poitik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter yusitisi, dan agama. Pemerintah pusat dalam menyelenggarakan urusan tersebut dapat berbentuk, (1) menyelenggarakan sendiri, (2) melimpahkan sebagian kepada gubernur

63

(dekonsentrasi), (3) menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Sedangkan urusan yang menjadi kewenangan daerah terbagi atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar, sedang urusan pilihan adalah urusan pemerintahaan terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Urusan wajib pemerintahan yang diberikan kepada pemerintahan pemerintah daerah sebanyak 16 urusan. Urusan pemerintahan tersebut berlaku sama baik bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah

kabupaten/kota, sedangkan yang membedakan eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi..

adalah skala berdasarkan kriteria

Urusan pemerintahan provinsi maupun urusan pemerintahan kabupaten/kota terdiri atas urusan-urusan berikut : (1). Perencanaan dan pengendalian pembangunan, (2). Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, (3). Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masayarakat, (4). Penyediaan sarana dan prasarana umum, (5). Penanganan bidang kesehatan, (6). Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial, (7). Penanggulangan masalah sosial, (8). Pelayanan bidang ketenagakerjaan, (9). Fasilitas pembangunan koperasi, usaha kecil, dan menengah, (10). Pengendalian lingkungan hidup, (11). Pelayanan pertahanan, (12). Pelayanan kependudukan dan catatan sipil, (13). Pelayanan administrasi umum pemerintahan, (14). Pelayanan administrasi penaman modal, (15). Penyelenggaraan pelayanan dasar, dan (16). Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten /kota) selain menyelenggarakan urusan wajib juga dapat melaksanakan urusan pilihan. Urusan pilihan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah tidak disebutkan secara ekplisit. Kriteria yang menjadi acuan menetapkan urusan pilihan adalah secara nyata ada dan berpotensi

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Jenis urusan pilihan tersebut baru disebutkan secara eksplisit ada pada penjelasan Pasal 13 ayat 2 dan apsal 14 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004 : Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dalam ketentuan ini sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi yang dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan pariwisata.

64

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan juga tentang kawasan khusus, pemerinatah dapat membentuk kawasan khusus untuk kepentingan nasional. Dalam pembentukan kawasan khusus itu dapat berbentuk badan otorita, BUMN, dan sebagainya. Sedangkan dalam hal laut disebutkan bahwa laut bukan merupakan wilayah daerah, daerah hanya diberi kewenangan untuk mengelola SDA yang ada di laut. Kewenangan dalam mengelola SDA yang ada di laut ini, kewenangan provinsi hanya 12 mil dan Kabupaten/ Kota sepertiganya.

D. Peran Serta Masayarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam rangka menciptakan tata pemerintahan yang baik, good governance dan menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 68 Tahun 1999 tentang nepotisme. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan penyelenggaraan yang bersih dilaksanakan dalam bentuk: (1). hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara, (2). hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara Negara, (3). hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada kebijakan penyelenggara negara, (4). hak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan haknya, serta hadir dalam proses penyelidikan dan sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli. Sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi yang mengharuskan penyelenggara negara membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaaraan negara, maka dalam Peraturan Pemerintah tersebut diatur hak dan tanggungjawab serta kewajiban masyarakat dan penyelenggara negara secara berimbang. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memperoleh perlindungan hukum dalam menggunakan haknya untuk memperoleh perlindungan hukum dalam menggunakan haknya untuk memperleh dan menyampaikan informasi tentang penyelenggara negara. Kebebasan menggunakan hak tersebut haruslah disertai dengan tanggung jawab untuk mengemukakan fakta dan kejadian yang sebenarnya dengan menaati dan menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum serta hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 65

Masyarakat yang bermaksud mencari dan memperoleh informasi tentang penyelenggaraan negara berhak menanyakan kepada lembaga atau instalasi terkait baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat juga dapat memberi informasi mengenai suatu penyelenggaraan negara kepada instansi terkait. Masyarakat yang menyampaikan informasi kepada instansi terkait harus menyampaikannya secara bertanggung jawab dengan mengemukakan fakta yang diperoleh, menghormati hak-hak pribadi seseorang sesuai dengan norma-norma yang diakui umum, dan menaati hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat tidak diperkenankan memberikan laporan yang bersifat fitmah dan provokasi. Oleh karena itu, identitas pelapor dan fakta kejadian harus didukung oleh data yang dapat

dipertanggungjawabkan. Setiap penyelenggara negara yang menerima permintaan masyarakat untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan negara, wajib memberikan jawaban atau keterangan sesuai dengan tugas dan fungsinya dan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan, penyelenggara negara tidak boleh menolak permintaan masyarakat untuk memperoleh informasi tersebut. Penyelenggara negara yang menolak dapat dikategorikan sebagai penyelenggara negara yang tertutup, sehingga dapat diduga terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam lembaga/ unit di bawah tanggungjawabnya. Namun untuk mewujudkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara, termasuk pada pemerintahan daerah tidak mudah, karena masyarakat belum terbiasa dnegan partisipasi aktif dan sukarela. Mewujudkan hal tersebut merupakan sesuatu yang penting, karena Indonesia merupakan negara yang berada dalam masa transisi menuju demokrasi. Masyarakat masih terbiasa dengan mobilisasi yang sering digunakan secara ekstensif pada masa Orde Baru dan Orde Lama. Ironisnya dalam era reformasi ini mekanisme partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah juga masih lemah.. Ada dua cara partisipasi yang diakui oleh UU Nomor 22 tahun 1999, pertama masuknya anggota masyarakat sebagai elected member dari DPRD dan kepala daerah, serta kedua desentralisasi kepada unit yang lebih rendah yakni desa sebagai bentuk dari decentralization within cities. UU Nomor 32 Tahun 2004 lebih memperkuat partisipasi publik ini dengan mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat. Hal ini tentu derajat partisipasinya lebih tinggi daripada pemilihan kepala daerah oleh anggota DPR. 66

Khusus untuk yang pertama (elected member), masyarakat hanya dapat berinteraksi dengan politisi di DPRD yang harus menampung (termasuk memerhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat), dan menindaklanjuti (termasuk memfasilitasi tindak lanjut) aspirasi daerah dan masyarakat. Akan tetapi, tidak ada penjelasan mengenai mekanisme yang bisa dijadikan pedoman dan jaminan bagi pengakuan dan terselenggaranya partisipasi publik. Siapa yang boleh dan harus terlibat, bagaimana bentuk keterlibatannya, apa konsekuensi keterlibatannya, apa yang harus dilakukan oleh DPRD dan kepala daerah beserta perangkatnya, apa sanksi atas kelalaian dalam pengabaian partisipasi publik, apa hak dan kewenangan publik atas pejabat yang dipilihnya, dan sebagainya. Pada praktiknya, anggota DPRD yang dimaksudkan untuk mewakili

kepentingan warga yang memilihnya, ternyata karena sistem pemilu yang dipergunakan. Mereka lebih berperan sebagai kepanjangan tangan partainya daripada konstituennya. Akibatnya, wujud partisipasi warga melalui cara elected member ini disinyalir telah gagal dan tetap menempatkan warga pada posisi kurang dapat menyalurkan aspirasi dan tuntutan lokalnya dalam pemerintahan daerah. Mekanisme kedua yakni desentralisasi pada tingkatan desa yang diatur dalam bentuk kebijakan mengenai pemerintahan desa dalam UU No. 22/1999 ini dianggap lebih demokratis dan partisipatif daripada yang diatur dalam UU No. 5/1979. Akan tetapi muncul masalah baru, yakni nilai-nilai demokrasi lokal yang hidup secara tradisional kini telah rusak karena uniformitas yang dipaksakan dalam kebijakan pemerintahan desa masa Orde Baru tersebut. Sampai kini memang masih dibutuhkan lebih banyak kajian menyangkut bagaimana desa-desa adat, terutama di luar Jawa mampu merevitalisasi kembali potensi lokalnya sesuai dengan peluang yang diberikan oleh UU No. 22/1999. UU 32 Tahun 2004 tidak banyak melakukan perubahan dari apa yang diatur oleh UU sebelumnya sehingga melanjutkan format baru pemerintahan desa dalam masa reformasi. Selain kedua cara utama itu, UU tersebut tidak memberikan ruang lain bagi mekanisme partisipasi masyarakat. Tidak ada tempat bagi partisipasi dalam tahapan implementasi apalagi kontrol terhadap pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Apa yang diungkapkan oleh Gubernur Sutiyoso dalam upaya menghadapi polemik perjudian pada tahun 2002 membuktikan bahwa cara berpikir pemerintah daerah yang hanya didasarkan pada kekuatan perangkat daerah daripada melibatkan masyarakat. Pemerintah daerah hanya berfungsi untuk menjalankan urusan 67

dan kewenangan kesatuan masyarakat hukum yang ada dalam wilayah tertentu (daerah otonom). Apa yang tertuang secara eksplisit dalam UU No. 21/1999 dan UU 32/2004 membuktikan pengakuan yang masih rendah atas ragam jenis partisipasi yang diatur. Dapat dikatakan bahwa tidak ada pengakuan yang nyata bahwa stakeholder utama dalam pemerintahan daerah adalah masyarakat. Tampaknya pengakuan lebih berat timbangannya pada pemerintah daerah, baik itu DPRD maupun kepala daerah beserta perangkatnya. Bentuk partisipasi yang dinyatakan secara eksplisit lebih sering ditafsirkan sebagai sekadar masukan bagi pengambilan keputusan dan keluhan untuk menyatakan kebutuhn. Meskipun demikian, masih dibutuhkan kejelasan mekanisme dalam menyelenggarakan pemerntahan berbasis partisipasi masyarakat.

Daftar Pustaka Cipto Handoyo, Hestu. 2003. Hukum Tatanegara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasasi Manusia. Yogyakarta: Penerbit UAJ. Rosyada, Dede. dkk.. 2003. Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Penerbit Prenada Media.

68

Anda mungkin juga menyukai