Anda di halaman 1dari 3

Gunung di Tengah Gurun

Enam tahun hidup di Bandung, aku mengira Bandung telah memenuhi kriteria untuk disebut daerah pegunungan. Ntah latar belakang kota kelahiranku Padang yang merupakan kota pesisir membuatku tak cukup kompeten dalam mengambil keputusan tersebut. Sekarang aku mengerti bagaimana rasanya tinggal di antara deretan gunung! Ini yang disebut pegunungan sesungguhnya.

Setelah melalui serangkaian penerbengan panjang yang jelas tak bisa aku labeli dengan kata menyenangkan akhirnya untuk pertama kalinya aku menginjakan kaki di Tolikara tanah Papua. Perjalanan ini menyita waktu lebih dari setengah hari, dimulai pada pukul 10.30 malam dengan garuda dari Jakarta menuju Makasar, Makasar kemudian Biak dan akhirnya sekitar pk 07.30 paginya aku tiba di Bandara udara Sentani, Jayapura. Menunggu beberapa jam di Sentani dan sekitar pk 10.30 siang kami bertolak dari Jayapura menuju Wamena dengan Trigana. Setibanya di Wabena, tanpa berlama-lama sebagian dari penumpang langsung berpindah ke pesawat yang lebih kecil, maklum kapasitas pesawat terakhir ini hanya 15 orang. Hal yang lebih luar biasa, aku bisa melihat dengan jelas setiap gerak gerik dari pilot dan co-pilotnya, ntah harus kusebut luar biasa atau mengerikan.

Bandara udara wamena - Papua Pesawat ini lebih serperti terbang layang buatku, naik perlahan, namun dengan tiba-tiba dapat turun dengan cepat, cara tepat untuk menguji kekuatan jantung. Ditambah dengan landasan pesawat di karubaga yang tidak datar dan sedikit menungkik. Ketika akan landing pesawat seakan ingin menubruk landasan sungguh-sungguh menjadi pengalaman tak terlupakan buatku. Mengerikan, mendebarkan dan luar biasa!

Sebenarnya ada cara lain untuk mencapai Tolikara selain lewat udara, yaitu dengan off-road dari wamena dengan jeep selama 3 jam. Jalanannya berbatu penuh lubang, naik gunung, turun lembah dan tak perlu lagi diingatkan bahwa kamu pasti akan terlempar ke sana kemari sepanjang perjalanan tersebut. Namun semua penderitaan itu tentu saja dibalas dengan pemandangan indah dan murni di kiri dan kanan jalannya. Kamu tak akan berhenti berdecak kagum melihat keindahan alamnya yang begitu murni. Sungguh beruntung aku sempat merasakan hal tersebut dalam perjalanan kembali dari Tolikara ke Wamena. Tak banyak foto yang bisa aku ambil dalam perjalanan pulang tersebut. Ternyata banyak hal yang memang tak bisa diframekan dan hanya bisa dinikmati saja. Terlalu megah untuk sekedar dipindahkan kedalam sebuah foto.

Begitu menginjakan kaki di Kabupatan Karubaga aku dan rombongan disambut dengan semarak, jeepjeep telah tersedia untuk melanjutkan perjalanan menuju Tolikara. Masyarakat lokal yang berjejer di depan rumahnya dan menyambut kami sambil melambaikan tangan. Rupa-rupanya mereka jarang kedatangan tamu dan begitu senang menerima aku dan rombongan. Tak pernah kukira sebelumnya Tolikara adalah daerah pegunungan, maksudku benar-benar gunung. Yang ada dipikiranku, Papua adalah tanah yang kering, bagaimana mungkin ada tempat setinggi Bromo di sana selain gunung Jayawijaya, dan aku salah. Aku harus menelan sendiri segala penilaianku, karena Tolikara sungguh berada di atas gunung, kami butuh 15 menit dengan jeep untuk mendaki hingga sampai ke penginapan kami yang tak diragukan berada di atas gunung.Dibutuh sekitar 2 jam berjalan kaki untuk mencapai penginapan tersebut.

Selama perjalanan ini kami dihibur dengan pemandangan yang masih bersih dan murni, sungguhsungguh murni. Masih banyak kuda dan babi yang berkeliaran di sekitar jalanan tersebut. Masih banyak suku asli yang meminggul kayu untuk turun dan naik. Udaranya segar yang jelas tak akan pernah bisa aku nikmati di sembarangan tempat, tempat ini sungguh surga yang belum tersentuh. Aku belum pernah merasa sedekat ini dengan sesuatu yang alami. Dari alamnya dapat dirasakan betapa tenang dan khidmatnya belahan dunia ini, hening dan sungguh membuatmu ingin lebih mensyukuri hidupmu. Alam papua memang sungguh kaya sesuai dengan lirik lagu mereka.. Tanah papua tanah yang kaya.. Surga kecil jatuh ke bumi dan memang begitulah adanya.

Seperti tak semua scenery dapat dipindahkan ke dalam frame karena kemegahannya, begitu juga pengalaman ini tak mampu dituangkan hanya dalam bentuk kata-kata.

Anda mungkin juga menyukai