Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Istilah filsafat dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah Philosophia.. Berdasarkan kata Philosophia, dapat diartikan sebagai sebuah kebijaksanaan. Serta terdapat kosakata lain yang bertalian erat dengan kata philosophia, yaitu philosophos yang diartikan seorang pecinta kebijaksanaan. Jadi terdapat dua istilah yang saling bertaiat erat dan berdampingan dalam ruang lingkup ilmu filsafat, yaitu philosophia dan philosophos. Jika kedua istilah tersebut disimpulkan, dapat menjadi sebuah definisi dalam keilmuan filsafat. Definisi keilmuan filsafat adalah suatu upaya untuk mencari sebuah kebijaksanaan dan kebenaran yang hakiki melalui sebuah pemikiranpemikiran yang dilakukan oleh para pencari kebijaksanaan. Munculnya ilmu filsafat sendiri lahir di negara Yunani. Maka terdapat para ilmuwan-ilmuwan filsafat atau filsuf yang berasal dari negara tersebut yakni Plato,Socrates, Aristoteles, dan beberapa filsuf lainnya. Apabila dijabarkan secara singkat terhadap pemikiran-pemikiran yang dituangkan oleh para filsuf tersebut. Maka, Plato sendiri menuangkan suatu pemikiran Otensitas dan Kronologis. Kedua pemikiran tersebut sebagai sarana atau metode yang dapat digunakan untuk menelusuri dan menyelidiki sebuah permasalahan. Tujuannya demi menemukan sebuah kebenaran sejati. Jika dijelaskan, Otensitas merupakan suatu bukti-bukti dalam sejarah yang dapat dujadikan pegangan atau pedoman. Kronologis adalah suatu urutan peristiwa yang merupakan rangkaian fakta antara yang satu dengan yang lain. Filsafat Plato memiliki beberapa karakteristik khusus. Diantaranya, bersifat sokratik, filsafat sebagai dialog, peranan mitos dalam dialog-dialog Plato, dan ajaran lisan. Salah satu karakteristik filsafatnya yaitu filsafat sebagai dialog merupakan suatu ranah yang diberikan untuk mencapai sebuah kebenaran dengan cara melakukan tukar pikiran antara individu yang satu

dengan individu yang lain. Perlu diingat, media dialog pun semakin diterapkan pada saat era modernisasi saat ini. Terutama dipraktekkan di negara-negara yang memiliki sistem demokrasi. Selain Plato, terdapat juga seorang filsuf lainnya yaitu Socrates. Pemikiran-pemikiran falsafi yang merupakan ajaran dari Socrates sendiri diantaranya adalah metode, etika, dan pemikiran tentang politik. Metode yang dituangkan oleh Socrates artinya suatu upaya untuk mengamati dan menganalisis pendapat-pendapat para ahli agar ditemukan titik-titik perbedaannya. Sehingga dengan ditemukannya titik-titik perbedaan tersebut dapat mengetahui dasar pemikiran para ahli tersebut. Agar dapat menjaankan metode, perlunya suatu upaya dialektika agar dapat mengamati pendapatpendapat para ahli.

Etika yang dimaksudkan di sini ialah suatu tingkah laku dan ekspresi suatu individu yang merupakan bentuk pengejawantahan dari jiwanya. Untuk menentukan apakah manusia itu baik atau buruk, dapat ditentukan dari etika yang dibawa oleh masing-masing individu. Menurut Sokrates, seharusnya manusia tidak perlu memikirkan harta kekayaan dan ketenarannya, tetapi sebaiknya mereka memerhatikan kebahagiaan jiwa mereka. Karena dalam menentukan suatu kualitas hidup manusia, indikatornya dapat dilihat dari tingkat kebahagiaan jiwanya. Kebahagiaan atau happiness merupakan tujuan hidup manusia. Di saat kebahagiaan menempati urutan teratas dari sebuah tujuan utama manusia, maka kekayaan dan ketenaran seolah semakin terkikis peranannya dalam menentukan tujuan hidup manusia. Pemikiran terakhir dari Socrates adalah pemikiran tentang politik. Menurut Socrates, pemikiran ini merupakan jalan untuk mencari sebuah kebijakan yang yang memiliki nuansa kebijaksanaan yang tinggi. Proses politik tersebut dilalui dengan cara merespon suatu persoalan, merumuskan mengidentifikasi, menganalisa, memusyawarahkan,

formula/pendekatannya, dan menerapkan formula tersebut. 2

Suatu rangkaian formal yang begitu panjang guna menyelesaikan suatu persoalan tentu memiliki konsekuensi. Salah satu konsekuensi yang perlu dicermati adalah banyaknya pendapat dan pemikiran sehingga membuat kesepakatan tidak cepat tercapai. Segala permasalahan di sektor kehidupan bernegara muai dari sektor ekonomi, hukum, sosial, militer,dan sebagainya, selalu diselesaikan melalui proses politik Para filsuf lainnya yaitu Aristoteles. Begitu banyaknya ajaran-ajaran yang dikeluarkan oleh Aristoteles, maka ajaran-ajarannya dapat digolongkan menjadi golongan logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika, etika, politik, ekonomi, dan retorika. Golongan-golonga ajaran Aristoteles tersebut turut berkontribusi dalam menyumbangkan suatu bentuk media untuk mengetahui seperti apa kebijaksanaan yang diharapkan, seperti apa penyelesaiannya, dan penerapan kesepakatannya. Sumbangan pemikiran-pemikiran para filsuf yang dijelaskan diatas mampu memengaruhi setiap individu untuk menemukan suatu permasalahan dan menyelesaikannya. Terutama permasalahan yang timbul di kehidupan suatu negara. Di dalam negara sendiri begitu banyak individu yang bermukim dalam wilayahnya. Sehingga menimbulkan suatu konsekuensi bahwa individu tersebut harus dilindungi kepentingannya oleh negara. Apabila terdapat permasalahan yang timbul di kehidupan masyarakat maka negara harus mencari solusi untuk menyelesaikannya. Proses mencari solusi haruslah dilakukan secara obyektif atau tidak memihak golongan masyarakat tertentu. Hal tersebut agar kebijakansebagai rumusan solusi yang telah dikeluarkan memiliki kualitas yang tinggi. Artinya kebijakan tersebut mampu menjangkau permasalahan yang dialami oleh seluruh lapisan atau golongan masyarakat. Demi menghindari kebijakan yang bersifat semantik, yang hanya menyelesaikan peramsalahan sebagian masyarakat tertentu.

Kebijakan yang semantik tidak menunjukkan kebijakan tersebut memiliki kualitas yang baik. Justru menibulkan anggapan bahwa kebijakan sematik yang dikeluarkan diselimuti nuansa pengakomodiran kepentingan tertentu. Dalam memiliki kebijakan yang baik dan berkualitas tinggi, diperlukan sikap yang profesional, kredibel, dan berintegritas tinggi dalam merumusakn kebijakan. Tanpa unsur-unsur tersebut maka harapan untuk memiliki kebijakan yang berkualitas dan mampu menyelesaikan permasalahan di kehidupan masyarakat hanyalah impian belaka. Negara harus mampu menciptakan suatu sistem pemerintahan yang transparan dan menjunjung tinggi profesionalisme. Hal tersebut merupakan sarana yang tepat untuk menciptakan kebijakan yang berkualitas. Mengingat suatu proses perumusan kebijakan harus melalui berbagai tahapan dalam sistem. Dengan adanya sistem yang transparan dan mampu mendorong para pegawai/birokrat bersikap profesional, maka timbulnya potensi-potensi penyimpangan dalam ranah goverment pun dapat diminimalisisir. Meskipun sesempurna mungkin suatu sistem yang diciptakan tetap akan memunculkan penyimpangan sekecil apapun. Tindakan-tindakan yang berpotensi besar muncul dalam ranah goverment seperti, korupsi, kolusi, nepotisme, kinerja yang buruk, dan etos kerja yang buruk. Tindakan menyimpang tersebut secara terus menerus merusak sistem pemerintahan. Sehingga berdampak kepada pelayanan yang buruk terhadap masyarakat. Tindakan menyimpang yang telah disebutkan diatas turut memberikan kontribusi yang besar terhadap terciptanya kebijakan yang tidak berkualitas. Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam suatu negara, baik masalah korupsi, kepadatan penduduk, pengangguran, dan kesejahteraan yang tidak merata, merupakan permasalahan yang seringkali muncul. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah harus membuat kebijakan yang baik dan benar agar masalah dapat terselesaikan. Permasalahan yang disebutkan diatas justru seringkali muncul di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. 4

Mengingat di negara bekembang belum memiliki sistem yang kuat untuk menciptakan kondisi bangsa yang sehat dan stabil. Di Indonesia sendiri, masalah korupsi sampai dengan permasalahan sosial seperti distribusi kesejahteraan yang tidak merata menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut merupakan indikator yang menetukan bahwa pemerintahan tidak mampu atau meminimalisir suatu persoalan yang melanda bangsa kita. Jika fokus terhadap masalah kesejahteraan penduduk yang tidak merata, permasalahan sosial ekonomi ini hampir terjadi di titik-titik daerah di Indonesia. Terutama daerah-daerah yang jauh dari kehidupan perkotaan. Dengan kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah, tidaklah pantas apabila terdapat survey yang menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam kategori negara berkembang bahkan negara yang kehidupan rakyatnya masih berada di bawah garis kemiskinan. Survey tersebut dilakukan oleh lembaga survey internasional. Krisis kesejahteraan terus melanda daerah-daerah di Indonesia. Yang turut menjadi perhatian adalah daerah bagian timur dari Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Papua. Daerah-daerah tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Terutama daerah paling timur Indonesia, yaitu Provinsi Papua. Apabila kita melihat kehidupan masyarakat Papua yang terus memprihatinkan, menunjukkan masyarakat Papua seolah terdiskriminasi oleh sikap pemerintah yang tidak memperdulikan nasib kesejahteraan mereka. Padahal kekayaan tambang di bumi Papua sangat melimpah,teruama tambang emas. Banyaknya perusahaan multinasional asing yang mengincar konsesi pertambangan di Papua. Pada akhirnya pengelolaan tambang emas di Papua jatuh ke tangan Freeport, merupakan perusahaan tambang Amerika yang terbesar di dunia.

Freeport menguasai konsesi tambang emas di Papua sejak tahun 1967. Kesepakatan antara pemerintah dengan Freeport melalui sebuah perjanjian Kontrak Karya (KK). Isi dari perjanjian tersebut tidak memberikan 5

keuntungan bagi Indonesia terutama masyarakat Papua. Hal tersebut dapat dilihat dari pembagian royalti kepada pemerintah Indonesia yang terlalu sedikit sampai dengan tidak adanya ketentuan tentang kewajiban Freeport dalam memperbaiki lingkungan yang rusak akibat dampak dari proses pertambangan. Ketentuan dalam isi perjanjian tersebut secara jelas merugikan Indonesia khususnya rakyat Papua. Dengan hadirnya Freeport selaku investor asing, bukannya dapat memecahkan persoalan kemiskinan atau ketidaksejahteraan di Papua malah membuat persoalan tersebut semakin kompleks. Permasalahan kesenjangan sosial dan pemberontakan yang terjadi di Papua merupakan permasalahan yang muncul diakrenakan pokok permasalahannya tidak kunjung teratasi, yaitu krisis kesejahteraan. Sehingga dengan tidak terselesaikannya persoalan krisis kesejaheraan berdampak pada munculnya persoalan-persoalan yang kompleks. Apabila hal ini terus dibiarkan oleh pemerintah Indonesia maka dapat diprediksi potensi timbulnya pemberontakan-pemberontakan sebagai bentuk akumulasi kekecewaan rakyat Papua terhadap pemerintah menjadi semakin besar. Pemerintah dituntut untuk menyelesaikan persoalan krisis kesejahteraan di Papua. Dengan terselesaikannya krisis kesejahteraan maka persoalanpersoalan kompleks lainnya dapat terselesaikan. Permasalahan krisis kesejahteraan di Papua harus terus menerus menjadi perhatian seluruh masyarkat Indonesia. Penulis mencoba untuk mengidentifikasi dan memberikan suatu solusi terhadap persoaan tersebut melalui pengamatan paradigma konstriksivisme. Bentuk pengamatan tersebut dianggap mampu untuk memahami dan memecahkan suatu persoalan yang sedang terjadi.

B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan paradigma konstruksivisme ? 2. Seperti apa bentuk pengamatan paradigma konstruksivisme terhadap krisis kesejahteraan yang terjadi pada masyarakat provinsi Papua ?

BAB II PEMBAHASAN

A.

Penjelasan Umum Tentang Paradigma Sebelum menjelaskan tentang paradigma kontruksivisme, maka perlu

dijelaskan terlebih dahulu pengertian paradigma. Menurut Guba dan Lincoln dalam bukunya yang berjudul Handbook of Qualitative Research, paradigma dimaknai sebagai suatu sistem filosofis payung yang melingkupi atau terbangun oleh ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu yang tidak begitu saja dapat dipertukarkan antara satu paradigma dengan paradigma lainnya, serta yang merepresentasikan belief system dasar yang merekatkan si penganut/pemegang/pemakai paradigma tersebut pada worldview tertentu. Setelah melihat definisi paradigma yang dijeaskan diatas, maka terdapat unsur-unsur definisinya, yaitiu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Ketiga unsur tersebut merupakan basic belief system yang mampu mendefinisikan masing-masing mendasar yaitu : 1. Pertanyaan ontologi : Bagaimanakah bentuk dan sifat dari realitas yang ada dan karenanya, apakah yang dapat diketahui dari hal realitas tersebut ? 2. Pertanyaan epistemologi : Bagaimanakah sifat hubungan antara peneliti dan yang diteliti dan apa yang dapat diketahui tentang hal ini ? paradigma. Sehingga dapat menimbulkan pertanyaan

3. Pertanyaan metodologi : Bagaimanakah peneliti dapat menemukan segala hal yang diyakini dapat diketahui seperti yang telah disebutkan diatas ?

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari masing-masing belief system tesebut dapat mendefinisikan masing-masing paradigma yang ditawarkan. Paradigma yang ditawarkan diantaranya, positivisme, post positivisme, chritical theory et al, dan konstruksivisme. Berikut ini adalah definisi masingmasing paradigma menurut kacamata tiap-tiap belief systemnya, diantaranya adalah : 1. Ontologi : 1.1. Positivisme : Suatu realisme artinya realitas eksternal, objektif, real, dan dapat dipahami. Suatu generalisasi bebas konteks, merupakan hukum sebab akibat, reduksionis, dandeterministik. 1.2. Post positivisme : Suatu realisme kritis artinya realitas eksternal, objektif, dan real yang mungkin saja dapat dipahami tetapi tidak sempurna, karena terbatasnya mekanisme intelektual manusia, realitas yang diuji secara kritis guna dipahami sedekat miungkin. 1.3. Crhitical theory et al : Suatu realisme historis artinya realitas virtual yang terbentuk oleh faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender, lalu sejalan dengan waktu sehingga terkristalisasi dan dianggap real. 1.4. Konstruksivisme : Suatu relativisme artinya realitas majemuk dan beragam, beradasarkan pengalaman sosial individual, lokal, dan spesifik, merupakan konstruksi mental/intelektualitas manusia, bentik dan isi berpulang pada penganut/pemegang, dapat berubah menjadi lebih informed dan/atau sophisticated humanis. 2. Epistemologi : 2.1 Positivisme : Suatu dualis/objektivis artinya penganut/pemegang dan objek observasi/investigasi adalah dua entity independen, bebas nilai dan bebas bias, serta suatu prosedur ketat, temuan berulang dapat diartikan benar. 9

2.2 Post positivisme : Suatu modifikasi dualis/ objektivis artinya dualisme surut dan objektivitas menjadi kriteria penentu, eksternal objektivitas, suatu kesesuaian dengan pengetahuan yang ada dan komunitas ilmiah yang kritis, temuan berulang berarti barangkali benar.

2.3 Chritical theory et al : Suatu transaksional/subjektivis artinya penganut /pemegang dan objek observasi/investigasi terkait secara interaktif, temuan di mediasi oleh nilai yang dipegang semua pihak terkait, serta fusi antara ontologi dan epistemologi. 2.4 Konstruksivisme : Suatu transaksional/subjektivis artinya

penganut/pemegang dan objek observasi/investigasi terkait secara interaktif, temuan di cipta atau dikonstruksi bersama. Merupakan fusi antara ontologi dan epistemologi.

3. Metodologi : 3.1. Positivisme : Suatu eksperimental/manipulatif artinya uji empiris dan verifikasi research question dan hipotesa, manipulasi dan kontrol terhadap kondisi berlawanan, utamanya metoda kuantitatif. 3.2. Post positivisme : Suatu modifikasi ekperimental/manipulatif artinya falsifikasi dengan cara critical multiplism atau modifikasi triangulasi, utilitasi teknik kualitatif, setting lebih natural, informasi lebih situasional dan cara pandang emic.

3.3. Chritical theory et al : Suatu dialogis/dialektika artinya adanya dialog antara penganut/pemegang dengan objek investigasi/observasi, bersifat dialektikal, mentransfer kemasa bodohan dan kesalah

10

pahaman menjadi kesadaran bahwa struktur historis dapat diubah dan karenanya peru aksi nyata. 3.4. Konstruksivisme : Suatu hermeneutikal/dialektikal artinya konstruksi ditelusuri melalui interaksi antar dan sesama penganut/pemegang dan objek observasi/investigasi, dengan teknik hermeneutikal dan pertukaran dialektikal konstruksi tersebut di interpretasi, dibandingkan dan ditandingkan, tujuannya untuk distilasi konstruksi konsensus atau resultante konstruksi.

B. Papua

Peta Permasalahan Krisis Kesejahteraan Masyarakat Provinsi

Permasalahan krusial yang dihadapi oleh masyarakat Provinsi Papua dari dahulu hingga saat ini yaitu krisis kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan penduduk dapat diukur dengan berbagai hal. Seperti ketersedianya akses pendidikan, tingkat pendapatan/perekonomian masyarakat, daya beli masyarakat, tersedianya sarana sosial, adanya akses kesehatan. Ukuran-ukuran tingkat kesejahteraan yang telah disebutkan tersebut dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat Papua. Ukuran kesejahteraan tersebut tentu berlaku terhadap seluruh daerah di Indonesia. Kalau diklasifikasikan, terdapat daerah yang sejahtera di semua bidang (daerah maju/modern), daerah yang tingkat kesejahteraannya tidak di semua bidang (daerah menengah), dan daerah yang sama sekali tidak sejahtera di semua bidang (daerah terbelakang). Di Indonesia, klasifikasi-klasifikasi daerah tersebut telah berlaku. Hal itu menunjukkan bahwa, pemerintah tidak mampu melakukan distribusi kesejahteraan yang merata dan proposional. Provinsi Papua termasuk dalam kategori daerah terbelakang. Karena kehidupan masyarakatnya tidak sejahtera pada semua bidang. Apabila kita jelaskan secara rinci sperti apa krisis kesejahteraan yang terjadi di Papua, 11

maka dapat dijelaskan dengan berpedoman pada ukuran-ukuran kesejahteraan yang disebutkan diatas. Peta permasalahannya adalah sebagai berikut : 1. Tingkat pendapatan/perekonomian : Perlu diketahui hampir seluruh masyarakat Papua hidup di bawah garis kemiskinan. Penyebabnya adalah tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang luas dan cukup. Sehingga ratarata kehidupan mereka sangat bergantung oleh keadaan alam dan iklim karena kebanyakan diantaranya hidup dari sektor pertanian dan berburu. 2. Daya beli masyarakat : Kalau dilihat dari segi ini, maka keterkaitannya dengan tingkat perekonomian masyarakatnya. Daya beli mereka yang sangat kurang disebabkan karena tingkat pendapatan mereka sangat minim.

3. Tersedianya akses pendidikan : Tidak adanya akses pendidikan, baik berupa tenaga pengajar yang berkompeten, distribusi sarana penunjang pendidikan, keadaan sekolah yang memprihatinkan menyebabkan anakanak sekolah di Papua tidak dapat mengembangkan kompetensi dan bakat mereka. Sehingga tingkat akademisnya pun menjadi sangat rendah. Dan tidak mampu menghasilkan individu-individu yang berpendidikan dan berkualitas dari tanah Papua. 4. Tersedianya sarana sosial : Tidak terdapat sarana sosial yang memadai, seperti jalanan umum yang memadai dan fasilitas-fasilitas yang memadai. Tidak tersedianya sarana sosial tersebut dapat menghambat aktivitasaktivitas masyarakat.

5. Tidak tersedianya akses kesehatan : Tidak adanya fasilitas kesehatan yang layak dan tidak tersalurkannya program-program kesehatan membuat kualitas hidup masyarakat menjadi rendah. Sosialisasi mengenai kesehatan pun tidak diterapkan disana. Hal tersebut membuat tingkat pemahaman masyarakat mengenai masalah kesehatan menjadi rendah sehingga 12

mengakibatkan masyarakat tidak peduli dengan kondisi kesehatan mereka. Ditambah lagi dengan adanya peningkatan penderita HIV/AIDS yang terjadi di daerah Merauke.

C. Pengamatan Paradigma Konstruksivisme Terhadap Krisis Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Papua Setelah melihat peta permasalahan kesejahteraan masyarakat Papua yang telah dijelaskan diatas maka kita dapat melihat permasalahan tersebut ke dalam ruang lingkup paradigma konstruksivisme. Paradigma ini digunakan untuk membantu pemahaman kita untuk melihat seperti apa pokok permasalahan yang sedang terjadi dan seperti apa respon yang harus dilakukan, terutama oleh pemerintah. Paradigma konstruksivisme digunakan karena mengingat paradigma ini lebih mengedepankan suatu uraian realitas yang terjadi dan respon terhadap reaitas tersebut. Maka pantaslah apabila kita menggunakan paradogma konstruksivisme dalam melihat permasalahan yang sedang dibahas. Paradigma konstruksivisme menawarkan suatu metode untuk melihat permasalahan. Yaitu melalui metode kontruksi permasalahan. Setelah melihat peta permasalahan yang terjadi pada masyarakat Papua, maka dapat dikatakan persoalan pokoknya adalah tingkat kesejahteraan yang rendah yang terjadi di wilayah paling timur Indonesia. Permasalahan tersebut tidak kunjung terselesaikan sehingga muncul sub-sub permasalahan lainnya yang terangkum dalam permasalahan yang sangat kompleks. Yaitu munculnya aksi-aksi pemberontakan olem rakyat Papua sebagai bentuk akumulasi kekecewaan mereka karena kesejahteraan mereka tidak dipedulikan oleh pemerintah. Selain itu, adanya kesenjangan sosial. Adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Sebagian besar masyarakat Papua yang hidup di bawah garis kemiskinan sedang terjajah oleh para investor yang menanamkan modalnya disana. Masyarakat Papua tidak mendapatkan penghidupan yang layak di tanah mereka sendiri.

13

Respon terhadap permasalhan tersebut yang dilakukan pemerintah selama ini tidak mampu menyelesaikan pokok permasalahan yang sedang terjadi. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah lebih melihat persoalan krusial yang sedang terjadi di Papua yaitu persoalan pemberontakan rakyat setempat. Sehingga membuat pihak pemerintah melakukan pendekatan keamanan dengan menempatkan aparat militer di titik-titik daerah terjadinya aksi pemberontakan. Padahal masalah sebenarnya yang sedang terjadi adalah masalah krisis kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dianggap keliru dalam melakukan respon terhadap masalah tersebut. Pemberontakan hanyalah bagian kecil dari persoalan pokok sebenarnya yaitu krisis kesejahteraan. Apabila permasalahan krisis kesejahteraan terselesaikan maka secara otomatis persoalan pemberontakan dan kesenjangan sosial juga terselesaikan. Pemerintah harus menyelesaikan akar persoalannya jika ingin menyelesaikan persoalan yang kompleks yang terjadi di Provinsi Papua. Pemerintah harus mersepon dengan baik dan benar, yaitu dengan cara menyediakan akses pendidikan, sosial, dan kesehatan yang luas kepada masyarakat Papua. Selain itu, pemerintah harus mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan cara mengadakan pembinaan dan pelatihan kerja kepada masyarakat agar masyarakat menjadi terampil dan mampu berinovasi. Dan memberikan lapangan pekerjaan yang luas.

14

BAB III KESIMPULAN

Setelah melihat penjelasan dan permasalaha yang diuraikan oleh Penulis diatas maka Penulis memiliki sebuah kesimpulan sebagai berikut : 1. Paradigma konstruksivisme dianggap mampu dan berkontribusi besar dalam melakukan pemgamatan terhadap permasalahan krisis kesejahteraan yang terjadi di Papua. 2. Pemerintah harus merespon dengan baik dan benar tehadap permasalhan yang sebenarnya terjadi di Papua. Sehingga mampu melakukan pendekatan yang benar terhadap penyelesaian masalah tersebut.

15

DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Titus, Harold H. & Smith, Marilyn S. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta : Penerbit Bulan Bintang. Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

16

Anda mungkin juga menyukai