Anda di halaman 1dari 3

Politik Media Politik

Beberapa hari belakangan ramai diberitakan ketidaksukaan Menteri Sekretaris Negara, Dipo Alam terhadap beberapa media yang menurutnya menyebarkan kebencian terhadap pemerintah. Dipo, menyebutkan beberapa contoh peristiwa dimana media massa dinilainya cenderung mendiskreditkan pemerintah. Buntut dari hal ini adalah Dipo menyerukan kepada semua lembaga pemerintah memboikot beberapa media yang sudah dinilai positif menyebarkan kebencian. Boikot tersebut berupa tidak memasang iklan dan melarang aparatnya untuk datang pada undangan acara dan sejenisnya yang dilayangkan oleh media yang bersangkutan. Politik Citra vs Politik Wacana Banyak para pengamat politik mengatakan bahwa rejim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah rejim politik citra. Hal ini terindikasi dari upaya-upaya pencitraan positif diri SBY dan pemerintahannya di banyak kesempatan. Bahkan secara sinis beberapa pengamat politik mengatakan bahwa SBY lebih sering mengumpulkan media di Istana ketimbang para pembantunya untuk memecahkan problematika rakyat. Dimana pun dan dalam kondisi apapun, para pengamat mengatakan, SBY nampak begitu memberhatikan pencitraan ketimbang memberi dan mengarahkan solusi-solusi atas permasalahan hidup rakyatnya. Politik citra, yang menurut ahli politik, dijalankan oleh SBY tentunya tidak sejalan dengan apa yang akan dilakukan oleh Dipo Alam sebagai pembantu SBY. Boikot media massa tentu bukanlah hal yang sejalan dengan apa yang dilakukan SBY untuk memberikan citra positif politik yang dijalankannya. Memboikot media berarti mengurangi salah satu sarana pencitraan efektif. Melakukan boikot media justru akan lebih merugikan strategi pencitraan politik apalagi kalau sungguh-sunggu pemerintah akan memerintahkan jajarannya untuk tidak memberi pernyataan atau datang pada saat di undang oleh media yang di boikot tersebut. Keluhan Dipo Alam bahwa ada beberapa media massa yang menurutnya cenderung menyebarkan kebencian kepada pemerintah sebenarnya bisa dilihat sebagai politik wacana media massa. Dengan lain perkataan, media massa juga memainkan peran politik khususnya dalam hal pembentukan opini/wacana masyarakat. Hal ini tentu dilakukan media massa untuk kepentingan nya secara luas. Terlepas apa bentuk kepentingannya, namun media massa tidak dapat dipandang sebagai hidup di ruang hampa yang tanpa kepentingan. Paling tidak kepentingan komersial selain kepentingan politik secara luas juga ikut bermain dalam praktek media massa khususnya jurnalisme sejak awal perkembangannya. Memilih peristiwa, memilah nara sumber, menyesuaikan kalimat termasuk didalamnya menyaring fakta dan menekankan atau menghilangkan sebuah peristiwa adalah beberapa bentuk politik wacana yang dijalankan oleh media massa. Ahli Komunikasi menyebutnya dengan Agenda-Setting (McComb&B.Shaw,1972). Selain berkaiatan dengan kepentingan politik media massa, dewasa ini politik media berkait juga dengan kepentingan bisnis perusahaan. Dengan peran politik yang dijalankan media massa maka sebenarnya menjadi lumrah tatkala media melakukan pemilihan dan pemilahan terhadap apa yang akan disampaikannya. Ia bisa saja memilih menggunakan bingkai pesan tertentu untuk mencapai kepentingannya atau Ia bisa juga menggunakan strategi wacana tertentu untuk memberi efek yang sesuai dengan kepentingannya. Meskipun kepentingan yang ingin dicapai adalah kepentingan pragmatis

seperti rating, namun media tidak dapat tidak dilihat sebagai agen dari politik wacana tertentu. Aktifitas Presiden SBY yang berkunjung ke sebuah tempat untuk meresmikan pembangunan yang seharusnya ditanggapi positif misalnya, dapat saja diberitakan dengan teknik tertentu oleh suatu media massa untuk dapat menggambarkan sisi yang justru berkebalikan. Bisa saja media memberitakan dengan cara mengkontraskan kunjungan peresmian pembangunan dengan maraknya korupsi, kemiskinan di wilayah sekitar atau mewawancarai pihak yang justru menentang pembangunan dan seterusnya. Dalam kondisi yang demikian ini pertarungan antara politik citra dan politik media tidak dapat dihindari. Hanya ketika kepentingan keduanya dapat bersinggungan maka keduanya nampak seolah damai dan rukun. Namun ketika sudah tidak bersinggungan keduanya dapat berseteru dan ramai. Yang menjadi menarik adalah menelisik posisi pemirsa/khalayak dalam pertarungan antara politik citra dan politik media. Menjadi Khalayak Cerdas Media Semakin berkembangnya media massa pada akhirnya menuntut khalayak-masyarakat untuk lebih seksama dalam menikmati media. Terpaan informasi yang bertubi-tubi dan semakin tidak terbendung semakin menuntut kita untuk dapat juga berpolitik khalayak, memilih dan memilah informasi yang akan dinikmati. Menutup diri dari informasi bukanlah pilihan yang tepat dalam situasi dimana sehari-hari kita dibanjiri oleh sekian banyak informasi. Khalayak-masyarakat tidak dapat menutup mata atas kepentingan politik yang dijalankan media massa baik itu yang terselubung maupun yang terang-terangan. Sekecil apapun itu, dapat dipastikan media massa menjalankan kepentingan yang menjadi tujuannya. Untuk itulah khalayak perlu melakukan seleksi atas informasi yang menerpa dirinya. Secara naluriah sebenarnya hal ini sudah dilakukan khalayak tatkala ia memilih media massa apa yang akan dinikmatinya. Akan lebih baik lagi jika khalayak juga dapat mengetahui latar belakang media yang akan dinikmatinya. Perkembangan industri media massa sekarang ini sedikit banyak juga memudahkan khalayak untuk dapat mengetahui siapa aktor dibalik media dan bagaimana kepentingannya. Dengan aktif memilih media yang akan dinikmatinya, setidaknya khalayak juga semakin sadar menseleksi isi suntikan yang dibiarkan masuk kedalam dirinya dan membangunkan kesadarannya. Fase selanjutnya dalam upaya menjadi khalayak cerdas media adalah berperan aktif dalam mengisi wacana dimasyarakat. Wacana dominan yang dibawakan media massa dan pusatpusat kekuasaan akan memudahkan masyarakat tertipusecara hegemonik. Tanpa disadari masyarakat akan mudah mengkonfirmasi kebenaran atas wacana dominan yang disampaikan oleh pihak berkuasa. Kalau sudah demikian maka spiral of silence (Neuman) akan menjadikan khalayak justru ragu akan nilai kebenaran terhadap dirinya sendiri. Untuk itulah maka masyarakat perlu mengembangkan wacananya sendiri dan bertarung dengan wacana-wacana dominan dilingkungannya. Tujuannya adalah membendung kuasa wacana dominan dalam membangun kesadaran semu.

Dalam kondisi dimana perkembangan teknologi komunikasi sedemikian pesat berlangsung didalam lingkungan kita, hal ini bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Media-media massa murah meriah dapat diselenggarakan masyarakat untuk dapat mulai menandingi wacanawacana dominan. Mulai dari short message service (SMS) berantai sampai membuat sendiri media massa di dunia maya dapat secara individual dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Tidak menutup kemungkinan juga, masyarakat dapat menggunakan berbagai media massa yang luas tersedia saat ini untuk membangun wacana dan kesadarannya. Banyaknya media massa penyedia informasi saat ini harus dapat dipandang sebagai tantangan bagi masyarakat untuk mulai membiasakan memanfaatkan media massa untuk kepentingannya. Ini juga yang dapat kita cermati tatkala berkembangnya situs-situs jejaring sosial digunakan sebagai wadah mendulang keuntungan ekonomis. Fakta juga telah membuktikan bahwa ketersediaan media massa juga dapat dimanfaatkan untuk membangun counter hegemony wacana dominan sampai membangun sebuah gerakan perubahan sebagaimana ditampilkan oleh masyarakat di negeri timur-tengah yang akhir-akhir ini mengalamai pergolakan

Anda mungkin juga menyukai