Anda di halaman 1dari 3

Agama dan Kekerasan

REP | 15 March 2011 | 13:45 318 8 Nihil

Dalam perjalanan sejarah, agama memiliki banyak fungsi dalam masyarakat pluralistik. Beberapa intelektual dan pemimpin agama setuju bahwa agama banyak berperan dalam mendukung perdamaian, harmoni dan peradaban. Akan tetapi, ilmuwan lain berpendapat bahwa agama merupakan sumber konflik dan kekerasan. Pandangan terakhir ini didukung oleh banyaknya peristiwa kekerasan agama di seluruh dunia. Kekerasan yang bersifat keagamaan sangat komplikatif dan untuk memahaminya membutuhkan penyelidikan mendalam. Kekerasan tidak dapat dilepas dari kejelekan agama dengan mengacu pada adanya pandangan atau pembedaan oleh masyarakat untuk memberi label agama yang jelek dan agama yang baik. Namun benarkah agama melegitimasi kekerasan dan mengandung kekerasan? Atau adakah faktor-faktor lain yang berperan dibalik? Agama sumber Kekerasan? Dunia agama telah membuat sebuah pemisahan antara orang beriman dan tidak beriman yang memungkinkan muncul kekerasan. Kelompok yang merasa diri bahwa agama mereka adalah satusatunya yang benar memiliki sedikit simpati atau toleransi bagi kelompok yang berbeda. Sangat jelas dalam Perjanjian Lama memerintahkan melawan dengan kekerasan kelompok lain yang tidak percaya. Contohnya dalam Bilangan 13:7-18 dan dalam Ulangan 13:6-9. Islam juga, mewarisi kemutlakan monastik Yudaisme dan Kristianitas, menyetujui kekerasan atas nama agama. Hal ini ditunjukkan dalam Sura 9: 5,28,123. kekerasan dapat dilakukan demi membela diri apabila hukum mereka diganggu dan adanya penyalagunaan kekuasanan dalam masyarakat(bandingkan juga dalam Sura 2.217) Agama Hindu juga dalam kitab klasik muncul dalam Bhagavad Gita, di dalamnya melegalkan kekerasasn dan perang di mana Arjuna berperan sebagai kesatria yang memimpin perang. Dalam hal ini dan jalan ini, kekerasan adalah hukum dan benar-benar diberi kuasa dalam agama. ( Ortner, 1978). Hampir semua kelompok keagamaan mempunyai sejarah episode kelam kelompok mereka karena kekerasan yang mereka alami. Tapi tidak semuanya melakukan perang, tidak semua membuat institusi militer yang dipakai baik untuk mempertahan diri maupun untuk menyerang kelompok lain, bahkan untuk menduduki suatu wilayah tertentu, atau untuk membasmi kelompok kepercayaan lain. Perang suci akhirnya malah menjadi agama universal. Yang bukan hanya cara untuk mempertahankan kebenaran yang diyakini, tetapi malah menjadi objek kompetisi dengan agama lain. (dengan segala hormat saya kepada saudara-saudari umat Islam) Islam adalah agama yang paling dekat dengan asosiasi kekerasan dengan doktrin jihad mereka. Tapi konsep Kristen tentang Crusade juga kurang lebih sama dengan jihad. Dua-duanya berakar pada doktrin yang dalam bahasa Ibrani disebut milhemet mitzvah, yaitu kewajiban perang. Milhemet mitzvah juga diizinkan untuk mempertahankan diri, untuk mencegah serangan. Meluaskan wilayah kekuasaan Tuhan adalah kewajiban. Perang kuno di Ibrani pertama-tama dimaksudkan untuk menawarkan perdamaian dengan musuh, kalau penawaran ini diterima berarti musuh menyerah dan bersedia diperbudak oleh penyerangnya. Siapa yang mau diperbudak? Demikianlah perang suci dimaksudkan untuk menjaga keutuhan agama dan terbebas dari pengaruh asing. Argumen klasik penentang kekerasan di bawah panji agama adalah bahwa semua agama menjunjung tinggi doktrin suci anti kekerasan dan mendukung perdamaian. Oleh karena itu, ketika

kekerasan agama terjadi, para pemimpin agama sering secara sepihak menuding bahwa militan agama merupakan penyebab timbulnya aksi kekerasan. Setelah menganalisis berbagai kasus kekerasan agama, penulis mengatakan bahwa kedua hipotesis di atas harus diperiksa lagi melalui aspek-aspek kekerasan dalam doktrin keberagamaan dan penyalahgunaan doktrin oleh para militan agama untuk membenarkan kekerasan. Keduanya sama berpotensi untuk menyebabkan kekerasan. Yang pertama menunjukkan sumbangan agama terhadap aksi-aksi kekerasan dan yang kedua merujuk pada budaya kekerasan yang diciptakan oleh para militan agama. Konflik Etno-Religius Sebagai fenomena sosial, agama selalu bersentuhan dengan berbagai identitas dan kepentingan yang lain. Ketika kepentingan suatu kelompok agama diganggu, konflik dan kekerasan tentu akan terpercik. Meski demikian tak dapat disimpulkan dengan tergesa-gesa bahwa agamalah penyebab konflik tersebut. Agama lebih sebagai pembungkus kelompok-kelompok yang bertikai dan bukanlah poin utama penyebab kekacauan dalam masyarakat. Kebetulan saja, kelompok-kelompok yang berperang berbeda agamanya. Akan lebih tepat untuk melihat kasus-kasus tersebut sebagai konflik antar komunitas dan kepentingan identitas daripada konflik antaragama. Secara sosiologis radikalisme kerap muncul ketika masyarakat mengalami anomi atau kesenjangan antara nilai-nilai dengan pengalaman, dan para warga masyarakat merasa tidak mempunyai lagi daya untuk mengatasi kesenjangan itu, sehingga radikalisme dapat muncul ke permukaan. Tentu banyak faktor yang mendorong munculnya radikalisme. Sosiolog Max Rudd mengingatkan bahwa fungsi politik yang konfrontatif dapat mendorong proses radikalisme . Weber melihat radikalisme dalam konteks politik massa. Kapitalime yang mula-mula begitu optimis terhadap masa depan manusia, kemudian telah menimbulkan suasana rutinitas-ritualistis, yang sangat monoton dan fatalisme, dan telah menyeret manusia ke penjara besi (iron cage) yang tanpa jiwa, tanpa nurani. Kapitalisme telah menyebabkan manusia teralienasi (terasing)meminjam istilah Marx dan mendorong godaan radikalisme sebagai solusi utopis. Pudarnya ikatan kelompok primer dan komunitas lokal, tergusurnya ikatan parokial menurut Daniel Bell dalam The End of Ideology juga dapat mendorong munculnya radikalisme. Sedangkan dalam istilah Sigmund Freud, yang dapat mendorong munculnya gagasan radikalisme adalah apa yang dia sebut sebagai melancholia, yaitu kejengkelan mendalam yang menyakitkan (a profoundly painful dejection) . Ada beberapa sudut pandang lain yang dapat menimbulkan koflik atau kekerasan antarumat beragama. Dari Politikagama yang banyak terjadi di negara yang baru merdeka, yang berjuang untuk menentukan identitas nasionalnya dan adanya kelompok minoritas yang menegaskan hak-haknya, mengakibatkan agama memainkan peran yang lebih besar. Lituania, Armenia, dan Azerbaijan adalah beberapa contoh di antaranya. Penguasa menganggap kekerasan, teror dan otoritas mutlak sebagai hak prerogatif yang tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Agama telah dimanipulasi untuk kepentingan politik sebagai upaya untuk membebaskan dirinya dari kewajiban moral jika merasa eksistensinya terancam. Kekerasan telah dibingkai agama sebagai ekspresi keinginan untuk menetralisir dosa. Kekerasan dilegitimasi oleh negara untuk mempertahakan kekuasaan. Lebih lanjut, Gejalah kekerasan agama lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaprah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam, lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme . Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal

dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan mulia dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis . Jack David Eller mengatakan bahwa agama sangat mudah mengobarkan kekerasan karena di dalam agama mengandung unsur yang potensial untuk memicu kekerasan. Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa kekerasan dan konflik antarumat beragaa dalam masyarakat sering dipacu oleh faktor lain seperti terdapat perbedaan strafikasi sosial ekonomi antarpemeluk agama. Perbedaan yang cukup senjang ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang dapat memicu unculnya kekerasan. Penutup Banyak yang baik datang dari agama. Banyak kesalahan juga datang dari agama. Dan banyak juga sumber kesalahan datang dari sumber lain dari pada dari agama. Bagaimanapun karateristik agama adalah- kelompok alami, dengan prinsip otoritas, memiliki identitas, tujuan praktis dan ideologi khusus-bisa dan telah menhasilkan kekerasan. Seperti tidak semua filsuf anti agama, Blaise Pascal perna berkata: orang tidak pernah menjadi setan secara penuh dan dengan gembira, seperti ketika mereka melakukannya berdasarkan pendirian agama Komitmen anti-kekerasan merupakan tujuan luhur manusia. Siapa yang ingin ada pertumpahan darah, pembantaian wanita, dan anak-anak yang tak berdosa hidup dalam ancaman? Tujuan luhur manusia itu sejajar dengan ajaran semua agama juga memiliki tujuan yang sama: kedamaian dan anti-kekerasan. Semua agama yang ada di muka bumi ini mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam. Dengan demikian, mau tidak mau ataupun suka tidak suka, agama sebagai sebuah institusi sosial akan selalu berhubungan dengan kekerasan dan konflik. Hal ini terjadi karena agama telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Kekerasan pun sudah ada dalam kehidupan masyarakat. Sehingga jelaslah agama dan kekerasan pasti akan selalu terjadi. Daftar Pustaka Eller, Jack D Introduction Antropology Of Religion. New York: Routledge.2007 Kuswanjono, Kekerasan dalam Perspektif Etika dan Agama Relief: Journal of Religion Issue.Vol 1.No.2 Mei 2003 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekerasan, Jakarta, KOMPAS, 2003, hal 4 Tugas Akhir Sosiologi Agama, STF Driyarkara, Jakarta

http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/15/agama-dan-kekerasan/

Anda mungkin juga menyukai