Anda di halaman 1dari 14

PRIVATISASI SEKTOR PUBLIK 1. Konsep Privatisasi Sektor Publik 1.

1 Pengertian Privatisasi Landasan teoritis penting yang mendukung privatisasi adalah aplikasi Teorema Coase : Dalam pasar bebas biaya transaksi lebih kecil disbanding pada suatu hirarki besar. Dalam pasar bebas pertukaran lebih fleksibel dan arus informasi lebih efisien. Dengan makin rumitnya perekonomian maka kemampuan memproses informasi di pusat makin tertinggal dibandingkan arus informasi yang harus diolah. Karenanya, pengambilan keputusan sering terlambat dan kualitasnya pun menurun. Hal ini berdampak pada rendahnya efisiensi produksi. Menurut Steve H. Hanke, privatisasi adalah : ..is the transfer of assets and service functions from public to private hands. It includes, therefore, activities that range from selling state owned enterprise to contracting out public service with private contractor. Sedangkan Master Plan Reformasi BUMN yang dikeluarkan Kantor Mentri Negara Pendayagunaan BUMN, 1999, mendefinisikan privatisasi sebagai : .penyerahan kontrol efektif dari sebuah perseroan kepada manajer dan pemilik swasta, hal tersebut umumnya dicapai ketika mayoritas kepada swasta. Privatisasi disini mengandung makna sebagai berikut : 1. Perubahan peranan pemerintah dari sebagai pemilik dan pelaksana menjadi sebagai regulator dan promotor dari kebijaksanaan dan penetapan sasaran baik nasional maupun sektoral.
2. Para manajer selanjutnya bertanggung jawab kepada pemilik baru, yang

saham

perusahaan dialihkan atau dalam jangka waktu dekat akan dijual kepemilikannya

diharapkan akan mengejar pencapaian sasaransasaran perusahaan dalam

rangka perdagangan persaingan, keselamatan kerja dan peraturan lainnya yang ditetapkan pemerintah termasuk kewajiban pelayanan masyarakat. 3. Memilih metode dan waktu privatisasi, serta memilih pembeli yang terbaik bagi perseroan dan negara dengan mengacu kepada sasaran pemerintah. Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Privatisasi merupakan pengubahan status kepemilikan pabrik-pabrik, badan-badan usaha, dan perusahaan-perusahaan, dari kepemilikan negara atau kepemilikan umum menjadi kepemilikan individu. Privatisasi merupakan salah satu ide dalam ideologi Kapitalisme, yang menetapkan peran negara di bidang ekonomi hanya pada aspek pengawasan pelaku ekonomi dan penegakan hukum. Privatisasi selain diterapkan di Amerika Serikat dan Eropa, juga dipropagandakan dan diterapkan di Dunia Ketiga melalui lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO, sebagai salah satu program reformasi ekonomi untuk membayar utang luar negeri. Privatisasi pertamakali didengungkan dan dilakukan ketika suatu negara menganut sistem ekonomi liberal, kebebasan yang diartikan sebagai bebasnya barang dan jasa keluar masuk tanpa adanya hambatan lintas negara. Masyarakat bebas melakukan apa yang mau dilakukan tanpa ada aturan dan tekanan dari pemerintah setempat, pasar yang diberikan keleluasaan untuk mengatur dirinya sendiri tanpa adanya intervensi pemerintah, semuanya merupakan hasil dari penerapan ekonomi liberal. Namun Kebebasan /Liberalisasi ekonomi juga berkorelasi erat dengan kebebasan politik. Privatisasi, yang banyak diartikan banyak orang sebagai pengalihan kepemilikan pemerintah atas suatu perusahaan (BUMN) ke kepemilikan swasta (publik), tidak selalu mendapatkan izin yang mutlak dari masyarakat yang berada pada suatu negara. Ini dikarenakan karena mereka memandang privatisasi lebih banyak ruginya dari pada keuntungan yang akan didapat. Beralihnya kepemilikan pemerintah ke swasta ini dikhawatirkan hanya menguntungkan kaum pemilik modal (Kapitalis). Pengalihan kepemilikan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu menjual saham sebagian perusahaan (BUMN)

kepada swasta, menjual keseluruhan saham dan aset perusahaan (BUMN) kepada swasta, merger atau akuisisi juga merupakan cara dan proses privatisasi. 1.2 Tujuan Privatisasi Secara umum tujuan privatisasi dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Agar tercipta suatu sinergi antara efisiensi, kompetisi dan laba diantara perusahaan-perusahaan milik negara yang ada. 2. Mengurangi beban negara (APBN) dan mengurangi distorsi ekonomi yang disebabkan oleh terlalu besarnya campur tangan pemerintah. 3. Mengurangi campur tangan birokrasi pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan dan meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan. Bank Dunia dalam rekomendasinya kepada pemerintah Indonesia menyatakan, tujuan privatisasi adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan efisiensi dan investasi di bawah pengelolan manajemen swasta; 2. Meningkatkan pendapatan BUMN yang diprivatisasi sebagai perubahan peran pemerintah dari pemilik badan usaha menjadi regulator; 3. Mendorong sektor swasta untuk lebih berkembang dan meluaskan usahanya pada pelayanan publik; dan 4. Untuk mempromosikan pengembangan pasar modal nasional. Paket departemen keuangan Inggris tentang privatisasi yang diterbitkan pada 1986, menyatakan bahwa program privatisasi memiliki dua tujuan utama: 1. Untuk mempromosikan kompetisi dan peningkatan efisiensi, sinerji antarperusahaan harus dilakukan. Spirit kompetisi merupakan cara terbaik untuk meyakinkan bahwa barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen dapat disediakan pada biaya ekonomi terendah; 2. Program privatisasi sering digunakan untuk mempromosikan kepemilikan saham secara lebih luas kepada para pekerja dan masyarakat. Berdasarkan ulasannya terhadap pelaksanaan privatisasi yang dijalankan oleh pemerintahan Thatcher di Inggris, Safri Nugraha, dalam disertasi doktoralnya memaparkan tujuh tujuan privatisasi: 1. Mengurangi pengaruh pemerintah dalam industri;

2. Meningkatkan efisiensi baik pada perusahaan-perusahaan swasta maupun pada sektor publik; 3. Mengurangi Public Sector Borrowing Requirement (PSBR); 4. Mengurangi masalah-masalah di sektor publik menyangkut tawar-menawar soal upah melalui pelemahan serikat pekerja; 5. Memperluas pembagian kepemilikan; 6. Mendorong pembagian kepemilikan pekerja; 7. Untuk memperoleh keuntungan politik. Kembali mengutip William L. Megginson, tujuan dilaksanakannya privatisasi ada lima: 1. Meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah; 2. Mendorong efisiensi ekonomi; 3. Mengurangi campur tangan pemerintah dalam perekonomian; 4. Memberikan kesempatan untuk mengenalkan persaingan; dan 5. Mengembangkan pasar modal negara. Untuk mencapai tujuan privatisasi itu, metode privatisasi menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Terkadang, metode yang satu cocok diterapkan di sebuah negara tapi, gagal diterapkan di negara lain. Motivasi pemerintah dan situasi politik suatu negara sangat menentukan pilihan metode privatisasi yang terbaik. Dengan memahami metode privatisasi, kita bisa menghindar dari perdebatan kosong tentang makna privatisasi. Selama ini yang kerap diartikan sebagai privatisasi adalah penjualan aset publik kepada pihak swasta yang bisa dilihat pada komposisi kepemilikan aset, misalnya. Jadi, jika belum ada transaksi maka tidak terjadi privatisasi. 1.3 Metode Privatisasi Dari beberapa pengalaman pelaksanaan privatisasi, ada beberapa metode yang sering dipakai: 1. Penjualan langsung seluruh perusahaan kepada publik (Direct Sale of Entire Company to Public). Dalam beberapa kasus, negara-negara memilih untuk mentransfer kepemilikan industri atau pergeseran perusahaan secara

menyeluruh. Argentina, Inggris, Chili, dan Selandia Baru, adalah negaranegara yang menerapkan metode ini. 2. Penjualan sebagian perusahaan kepada publik (Partial Sale of Company to Public). Metode ini sering disebut sebagai metode penjualan yang bertahap (gradual), dan paling banyak diterapkan. Contohnya, dalam kasus British Petroleum, dimana pada 1977, pemerintah Inggris mengurangi kepemilikannya dari 66 persen menjadi 51 persen, menjadi 46 persen pada 1979, 31 persen pada 1983, kurang dari 2 persen pada 1987, dan menjadi nol persen pada 1995. 3. Menjual perusahaan milik negara kepada perusahaan lain atau konsorsium (Sale of State-Owned Company to Another Company or Consortium). Kerapkali pemerintah memilih untuk menjual perusahaan milik negara secara langsung kepada perusahaan apakah kepada perusahaan asing atau perusahaan domestik. Sebagai contoh, pemerintah Bolivia memprivatisasi perusahaan listrik negara yang monopolistik dengan menjual langsung kepada perusahaan asing, terutama perusahaan Amerika Serikat. 4. Deregulasi (Deregulation). Bentuk lain dari privatisasi adalah deregulasi yakni, pengurangan aturan-aturan pemerintah yang bersifat membatasi aktivitas ekonomi pasar. 5. Pencabutan subsidi-subsidi (Removal of Subsidies). Subsidi dianggap sebagai bagian dari intervensi negara dalam pasar yang mengakibatkan timbulnya distorsi pasar. Di samping itu, subsidi juga melanggar prinsip kompetisi karena memberikan keistimewaan terhadap salah satu pelaku pasar. Penghapusan subsidi untuk operasi batubara di Eropa, sebagai contoh, mempercepat penyatuan industri penambangan ke penambang Amerika, Australia, dan Amerika Latin. 6. Skema Voucher (Voucher Schemes). Aspek lain dari privatisasi adalah perhatian agar kepemilikan publik tercapai. Di banyak negara bekas komunis, skema voucher ini berhasil sebagai cara untuk mentransfer kepemilikan industri kepada masyarakat umum tanpa pertukaran tunai. Kesenjangan batubara Eropa dan mendorong pergeseran besar-besaran dalam investasi dari penambang Eropa

dalam hal pengembangan equity markets, bisa didorong dengan jalan skema voucher ini. Dengan memiliki voucher, seseorang bisa membeli atau menjual dengan voucher tersebut dengan cara mendorong terciptanya pasar modal. 7. Kontrak luar (Contracting Out atau sering disebut Outsourcing). Melalui metode ini, pemerintah mengompetisikan kontrak dengan sebuah organisasi swasta, baik profit maupun non-profit, untuk menyediakan sebuah pelayanan atau sebagian pelayanan. 8. Kontrak Manajemen (Management Contracts). Melalui metode ini, fasilitas operasi perusahaan dikontrakkan kepada sebuah perusahaan swasta. Fasilitas dimana manajemen dikontrakkan termasuk lapangan udara, lokasi dan pusatpusat konvensi. 9. Franchise. Di sini, sebuah perusahaan swasta diberi hak istimewa untuk menyediakan pelayanan dalam sebuah area geografi tertentu. 10. Korporatisasi (Corporatization). Dalam metode ini, organisasi pemerintah direorganisasi seluruh lini bisnisnya. Biasanya, korporatisasi ini dilakukan untuk membayar pajak, meningkatkan modal dalam pasar (tanpa dukungan pemerintah eksplisit maupun implisit), dan beroperasi menurut prinsipprinsip komersial. Perusahaan pemerintah difokuskan untuk memaksimalisasi keuntungan dan mendapatkan keuntungan dari investasinya. Mereka juga bebas dari fasilitas pemerintah, personal, maupun sistem anggaran. 2. Dilema Privatisasi Sektor Publik 2.1 Bahaya Privatisasi Meskipun diiklankan bahwa privatisasi akan menghasilkan keuntungankeuntungan, namun privatisasi sebenarnya menimbulkan ekses-ekses berbahaya yang akhirnya menafikan dan menghapus keuntungan yang diperoleh. Bahaya atau kerugian yang paling menonjol adalah:
1.

Tersentralisasinya aset suatu negeri di sektor pertanian, industri, dan perdagangan pada segelintir individu atau perusahaan yang memiliki modal besar dan kecanggihan manajemen, teknologi, dan strategi. Artinya, mayoritas rakyat tercegah untuk mendapatkan dan memanfaatkan aset

tersebut. Aset tersebut akhirnya hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Dengan demikian, privatisasi akan memperparah buruknya distribusi kekayaan. Hal ini telah terbukti di negeri-negeri kapitalis, khususnya Amerika Serikat dan Eropa.
2.

Pengalihan kepemilikan khususnya di sektor industri dan pertanian dari kepemilikan negara/umum menjadi kepemilikan individu, umumnya akan mengakitbatkan PHK, atau paling tidak pengurangan gaji pegawai. Sebab investor dalam sistem ekonomi kapitalis cenderung beranggapan bahwa PHK atau pengurangan gaji pegawai adalah jalan termudah dan tercepat untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk. Pada gilirannya, jumlah pengangguran dan orang miskin akan bertambah. Padahal sudah diketahui bahwa pengangguran dan kemiskinan sangat berpengaruh terhadap kondisi masyarakat, tingkat produksi, dan pertumbuhan ekonomi.

3.

Menghapuskan kepemilikan umum atau kepemilikan negara artinya adalah negara melepaskan diri dari kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat. Negara tidak akan sanggup melaksanakan banyak tanggung jawab yang seharusnya dipikulnya, karena negara telah kehilangan sumber-sumber pendapatannya. Negara tak akan mampu lagi memenuhi secara sempurna kebutuhan pokok bagi rakyat yang miskin. Negara juga tak akan dapat lagi memenuhi kebutuhan rakyat dalam bidang kesehatan dan pendidikan secara layak, dan lain-lain.

4.

Negara akan disibukkan untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru untuk menggantikan sumber-sumber pendapatan yang telah dijualnya. Dan negara tak akan mendapatkan sumber lain yang layak, selain memaksakan pajak yang tinggi atas berbagai pabrik, sektor, dan badan-badan usaha yang telah dijualnya maupun yang memang dimiliki oleh individu. Jelas ini akan melambungkan harga-harga dan tarif-tarif yang membebani masyarakat. Dengan kata lain, konsumen sendirilah yang akan membayar pajak itu kepada negara, bukan para investor. Jika negara sudah tidak bertanggung jawab lagi terhadap rakyatnya, serta pengangguran terus meningkat, maka akan tercipta kondisi sosial yang rawan dan sangat membahayakan.

5.

Dana yang diperoleh negara dari penjualan kepemilikan umum atau negara, umumnya tidak dikelola dalam sektor-sektor produktif. Sebagian besarnya akan habis sesuai dikte dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF untuk dibelanjakan pada apa yang disebut dengan pembangunan infrastruktur, pelestarian lingkungan, pengembangan sumber daya manusia, dan sebagainya. Semua ini jelas merupakan pintu-pintu untuk menyerap modal asing dari luar. Ini merupakan tindakan menghambur-hamburkan kekayaan umat, dengan jalan membelanjakan harta umat untuk kepentingan investor asing.

6.

Menghalangi masyarakat umumnya untuk memperoleh hak mereka, yaitu memanfaatkan aset kepemilikan umum, seperti air, minyak, sarana transportasi air, dan pelabuhan-pelabuhan. Dengan demikian, privatisasi merupakan kezhaliman yang merusak penghidupan rakyat.

7.

Privatisasi media massa khususnya televisi dan radio akan memberi peluang masuknya serangan pemikiran dan budaya kapitalis. Ini menimbulkan bahaya peradaban bagi umat, karena umat akan dicekoki pola pikir dan pola jiwa kufur, dengan standar moral dan perilaku ala Barat yang bejat dan rendah.

2.2 Dilema Pemerintahan Indonesia Memang benar, bahwasanya privatisasi diharapkan akan menjadi jalan yang dilematis apabila tidak memiliki dukungan dan akseptabilitas. Sebagai suatu kebijakan publik, tentu saja proses privatisasi harus dapat mengadopsi aspekaspek berupa dukungan politik dan akseptabilitas publik. Yang menjadi kendala bagi Indonesia adalah hingga saat ini Pemerintah kita belum bisa menyelaraskan antara dua aspek tersebut. Kebijakan penjualan BUMN cenderung mengabaikan kepentingan nasional dan selama ini berakhir, tidak pada swasta dan masyarakat dalam negeri, tetapi cenderung menjualnya ke pihak asing. Ini jelas sekali menafikkan nilai-nilai nasionalisme dan terlalu bersifat liberal. Di satu sisi, pemerintah harus melakukan privatisasi karena menyangkut defisit anggaran, namun di lain pihak, pemerintah juga harus berhadapan dengan publik yang menolak aset negaranya dijual ke pihak asing. Opini masyarakat atas

sikap pemerintah yang telah menggadaikan aset negaranya, telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi anti privatisasi. Apa pun bentuk dan tujuan dari kebijakan ini pada akhirnya akan ditentang oleh publik. Hal tersebut cukup beralasan karena dampak dari proses privatisasi ini lebih banyak menyengsarakan ketimbang manfaatnya, terutama dari pihak pekerja. Efisiensi, reposisi dan pengurangan karyawan adalah dampak negatif dari program privatisasi. Kejadiankejadian masa lalu telah menjadi pelajaran yang berarti dan harus dihindari di masa-masa mendatang. Privatisasi memang sebuah dilema dan sulit dihindarkan, namun dalam melaksanakan kebijakan ini, kita harus selektif dan ekstra hati-hati, sehingga nantinya akan dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Agar dalam implementasinya tidak mengundang kontroversi dan pertentangan, untuk meminimalisasi gejolak yang timbul akibat privatisasi, sebaiknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, perlu landasan filosofi, proses dan tujuan yang jelas. Kedua, mendahulukan kepentingan nasional dengan mengutamakan penjualan aset BUMN kepada pemerintah daerah atau swasta nasional. Ketiga, transparansi dan fairness. Proses yang tidak transparan akan menimbulkan kecurigaan dan lebih jauh dapat menjadi komoditas politik para elite yang anti pemerintah. Kebijakan privatisasi BUMN tetap harus dilanjutkan pada tahun 2003 ini. Pemerintah memang tidak punya pilihan. Namun, privatisasi yang terus berlanjut tampaknya akan tetap menjadi bahan perdebatan panjang, selama proses dan implementasinya tidak memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dan negara. Di Indonesia sendiri, privatisasi banyak ditentang, juga karena perusahaan (BUMN) yang dialihkan ke swasta memiliki dan menyangkut hajad hidup orang banyak, seperti perusahaan air, telekomunikasi, eksplorasi SDA dan lainnya, masyarakat Indonesia yang notabene kapabilitas ekonominya yang masih dibawah normal atau masih banyak masyarakat yang miskin, menentang privatisasi karena takut perusahaan (BUMN) yang dialihkan kepemilikannya itu tidak lagi memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan biaya yang murah, ini karena

perusahaan (BUMN) yang telah di privatisasi hanya akan memihak dan menguntungkan pemilik modal. Dari segala pertentangan privatisasi diatas yang memiliki citra buruk di mata masyarakat Indonesia, sebenarnya tidak selalu buruk dan mengandung kerugian, privatisasi akan baik dan bermanfaat bagi masyarakat dan pemilik modal jika dilakukan dengan cara yang benar dan untuk tujuan yang tepat, maka negara dan masyarakat tak akan merugi, beberapa contoh diantaranya yaitu :
Pertama, Privatisasi dilakukan atas dasar transfer teknologi yang lebih

moderen dan atas dasar menambah modal sehingga produksi suatu perusahaan (BUMN) akan lebih berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi dengan perusahaan swasta lainnya yang bergerak dalam jenis usaha yang sama.
Kedua, Privatisasi dilakukan tidak untuk meraih keuntungan pemerintah

semata sehingga masyarakat pun dapat merasakan dari hasil privatisasi, dalam hal ini pemerintah harus tetap mengontrol proses pengambilan keputusan yang dilakukan perusahaan (BUMN) yang telah dialihkan dan dalam preoses privatisasi pemerintah harus memikirkannya matang-matang, bukan karena desakan finansial.
Ketiga, Privatisasi yang dilakukan pemerintah atas perusahaan (BUMN), tidak

menjual sepenuhnya saham yang ada pada Perusahaan (BUMN) dalam hal ini porsi penjualan saham BUMN ke swasta lebih kecil dibanding kepemilikan pemerintah sehingga swasta tidak dapat berbuat banyak dan pemerintah dapat konsisten melayani masyarakat dengan menyediakan barang atau jasa dengan biaya yang murah.
Keempat,

Aturan

perundang-undangan

tentang

penanaman

modal

(lokal/asing) dan persaingan usaha yang kuat dan jelas akan memberikan dampak secara tidak langsung kepada masa depan perusahaan (BUMN) karena swasta yang telah memilki hak atas perusahaan (BUMN) yang di privatisasi memiliki kontrak hukum sehingga swasta hanya dapat melakukan tindakan dan mengambil kebijakan yang masih dalam koridor hukum tersebut. Jika semua hal itu terpenuhi, maka akan akan memperkecil kerugian yang selama ini ditakutkan masyarakat oleh dampak dari privatisasi, yaitu dapat diperoleh hasil

10

yang yang menguntungkan, diantaranya yaitu menambah APBN, membuat perusahaan (BUMN) lebih transparan, adil dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, rasanya di Indonesia, Privatisasi masih menjadi momok yang mengerikan bagi masyarakat, hal ini wajar terjadi dan dialami masyarakat karena selama ini pemerintah Indonesia melakukan privatisasi atas desakan kekurangan atau devisit APBN sehingga proses dan dampak privatisasi kedepannya tidak begitu diperhatikan. Sebagai contoh kita dapat lihat dari perusahaan telekomunikasi terbesar yang telah diprivatisasi guna menambal APBN, yaitu PT. Telkomsel dan PT. Indosat Tbk. Apa yang harus dilakukan pemerintah? Pertama, pemerintah mencoba memperbaiki sendiri perusahaan-perusahaan BUMN itu yaitu dengan cara melakukan restrukturisasi. Tetapi cara ini masih kurang berhasil selain terbatasnya anggaran pemerintah untuk memperbaiki kinerja, pemerintah juga dihadapkan dengan masalah budaya korupsi yang sudah melekat di setiap BUMN yang ada. Maka dibutuhkan keterlibatan pihak lain yang membantu untuk memperbaikinya, oleh karena itu, privatisasi merupakan salah satu alternatif terbaik untuk meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan-perusahaan BUMN. 3. Tanggungjawab Perusahaan Sektor Publik 3.1 Klasifikasi BUMN Dengan cara pandang dari fungsi-fungsi yang berbeda-beda, selanjutnya bisa dibuat gradasi susunan kedudukan BUMN dari segi fungsi penghasil penerimaan, fungsi membangun kedaulatan negara, fungsi pelayanan publik atau fungsi lainnya. Berdasarkan cara pandang itu, berarti pengelompokan BUMN lebih tepat dibuat dalam bentuk matrik. Untuk BUMN yang diberi misi utama mencetak laba, memang semestinya BUMN tersebut memiliki pertumbuhan laba sekurang-kurangnya rata-rata 10 persen per tahun. Jenis-jenis BUMN yang seharusnya dikenakan standar minimal seperti ini adalah BUMN Telekomunikasi, Perbankan, Jasa Keuangan, Semen, Energi, dan Pertambangan. Bahkan khusus untuk BUMN Telekomunikasi dan Pertambangan, semestinya meraih laba jauh di atas 10 persen mengingat

11

pertumbuhan permintaan dan keberhasilan yang dicapai pihak swasta beberapa tahun terakhir.Tetapi, untuk BUMN yang juga punya fungsi menjaga integrasi nasional dan menjaga keseimbangan roda pembangunan, parameter laba tentu lebih adil diganti dengan parameter efsiensi. Sementara kinerja BUMN ini tentu harus dilihat dari fungsinya mencegah ketertinggalan wilayah, mencegah konflik sosial, melindungi HAM Ekosob, dan sebagainya. Contoh BUMN-BUMN yang bisa masuk kategori ini adalah PT Pelni, PT Pos Indonesia dan Biofarma.Sementara, tentu ada BUMN yang mengemban fungsi di tengah-tengah antara menciptakan profit dan menjalankan fungsi pelayaan publik. BUMN yang bergerak di bidang farmasi untuk konsumsi massal, transportasi kereta api (PT KAI) dan penyediaan energi listrik (PT PLN), bisa masuk kategori ini. 3.2 Fungsi Pelayanan Publik Kita dapat melihat secara jernih bahwa tidak dapat dipisahkan antara pelayanan publik dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menangani. Ada keterkaitan antara satu dan lainya, yang hingga hari ini masih tumpang-tindih belum berjalan sesuai dengan fungsi masing-masing.Dibutuhkan penyesuaian ke arah strategi, sinergi serta struktur budaya dan sumber daya manusia yang lebih luas, fokus pada motivasi, semangat dan inisiatif. Paling tidak kita bisa menyerap pengertian bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas, diperlukan sesuatu yang berbeda (different thing) dititikberatkan pada bagaimana fungsi tersebut diterapkan, serta sentuhan gaya seni budaya untuk mewujudkan berbagai hal tersebut (The touch of art and style). Demikian juga dengan BUMD. Masyarakat masih melihat ada sebagian fungsi yang dijalankan BUMN, BUMD terutama fungsi public service obligation (PSO) belum berjalan optimal. Tentu saja, tak semua BUMN, BUMD tergolong 'menguasai hajat hidup orang banyak'. Sebagian di antaranya bahkan tidak terkait secara langsung, kecuali dalam pengertian sebagai sumber dana untuk membiayai kegiatan negara, termasuk tentunya untuk pelaksanaan kewajiban publik. Perbaikan diperlukan guna memberikan pelayanan publik agar menjadi lebih baik.Sektor-sektor yang

12

menguasai hajat hidup orang banyak, antara lain pangan, perumahan, energi, transportasi dan jasa pos. Artinya, pemerintah memiliki sejumlah BUMN, BUMD yang menjalankan cabang-cabang produksi tersebut. Status BUMN BUMD yang tidak ditujukan untuk mendapatkan laba adalah perusahaan jawatan (perjan) dan perusahaan umum (perum). 3.3 Peran Dalam Pemulihan ekonomi BUMN memiliki peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun agar peran tersebut bisa lebih maksimal, BUMN harus memebuhi syaratsyarat berikut;

Dikelola berdasarkan prinsip dan kultur korporasi yang sehat; Dikelola oleh manajemen profesional, integritas dan leadership yang kuat, serta memiliki sense of business yang tinggi. Untuk itu pola rekrutmen dan pola remunerasi harus dikembangkan sesuai dengan standar korporasi;

Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG), secara konsis-ten dan berkesinambungan; Mampu terus menciptakan nilai tambah dan inovasi; Siap bersaing di era kompetisi global, dan memiliki kemampuan untuk survive dalam segala kondisi; Memiliki tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility), baik dalam hal kepedulian terhadap lingkungan hid up, pengentasan problem masyarakat sekitar, dan pengembangan pengusaha kecil.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan pengelolaan BUMN membutuhkan keterlibatan yang aktif dari semua pihak, baik Pemerintah, manajemen BUMN, karyawan BUMN, akademisi, parlemen, dan masyarakat luas yang memiliki perhatian terhadap BUMN. Karena itu, marilah bersama-sama kita pikirkan dan pantau bersama pengelolaan BUMN ini, untuk dapat memberikan hasil yang seoptimal mungkin bagi masyarakat dan negara ini.

13

4. Daftar Rujukan Bappenas, 2011. Dilema Privatisasi BUMN (Online), (http://els.bappenas.go.id/upload/other/Dilema%20Privatisasi %20BUMN.htm, diakses 22 Maret 2011). Gaul Islam, 2011. Privatisasi, Fakta dan Bahayanya (Online), 22 (http://www.gaulislam.com/privatisasi-fakta-dan-bahayanya/, Maret 2011). Wordpress, 2011. BUMN Untuk Mensejahterakan Masyarakat (Online), (http://andrinof.wordpress.com/2007/05/31/bumn-untuk-mensejahterakanmasyarakat/, diakses 22 Maret 2011). Wordpress. 2011). 2011. Privatisasi (Online), (http://coenpontoh.wordpress.com/2005/09/13/privatisasi/, diakses 22 Maret diakses

14

Anda mungkin juga menyukai