Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Negara Indonesia dikenal sebagai Negara maritim yang hampir satu per tiga dari luas wilayahnya adalah berupa lautan. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah di sektor lautnya. Udang adalah salah satu komoditi ekspor Indonesia. Udang Indonesia yang diekspor dalam bentuk bekuan dan tanpa kulit dan kepalanya. Sehingga hal ini akan menimbulkan suatu limbah dari sisasisa produksi ekspor udang ini. Apabila ini dibiarkan akan mengakibatkan pencemaran lingkungan. Namun, meskipun telah menjadi limbah bukan berarti tidak memiliki manfaat. Limbah kulit dan kepala udang ini dapat dimanfaatkan untuk dijadikan kitin dan kitosan yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan. Pemanfaatan kulit dan kepala udang windu (Penaeus monodon) sebagai bahan baku kitin dan kitosan yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan dasar industri seperti kosmetik, makanan kesehatan, pertanian, koagulasi untuk pengolahan limbah industri, kultur sel, imobilisasi enzim, dan pembuatan membran dan bioplastik (John Hendri, 2001 dalam Wijaya, 2007). Kitin merupakan salah satu tiga besar dari polisakarida yang paling banyak ditemukan selain selulosa dan starch (zat tepung) (Apsari,A,T dan Fitriasti,D, 2010). Kitosan berbentuk serpihan putih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa (Wijaya,2007). Kitosan tidak larut dalam air, dalam larutan basa kuat, dalam asam sulfat, dalam pelarut-pelarut organik seperti dalam alkohol, dalam aseton, dalam dimetilformamida, dan dalam dimetilsulfoksida. Sedikit larut dalam asam klorida dan dalam asam nitrat, larut dalam asam

asetat 1%-2%, dan mudah larut dalam asam format 0,2%-1,0% (Oktaviana, 2002 dalam Wijaya, 2007). Banyak industri di Indonesia yang menghasilkan limbah bahkan yang mengandung logam berat yang dapat mencemari lingkungan disekitarnya dan dapat berdampak buruk bagi kesehatan warga sekitar lingkungan industri tersebut. Logam berat dinyatakan sebagai polutan yang sangat toksik dan berbahaya karena sifatnya yang sukar terurai (Hidayat,2007). Kitosan merupakan bahan pengkelat ion yang sangat baik (Wan Ngah et al., 1998 dalam Kamelia, 2009). Dengan sifatnya yang sebagai pengkelat ion yang sangat baik, kitosan ini bisa digunakan sebagai adsorben untuk limbah industri karena sifatnya yang dapat mengikat logam berat. Kitosan ini dapat dimanfaatkan sebagai penyerap logam Cu, Pb, Ni, Hg, Cd, Cr (Gao dan filho, 2000 dalam Suharsih, 2008). Kitosan polimer polikationik alami yang dapat berperan sebagai adsorben terhadap logam berat dalam air limbah (Onsoyen & Shaugrud., 1990 dalam Kamelia, 2009). Salah satunya adalah logam Pb logam berat yang sifatnya sangat toksik dan berbahaya bagi tubuh manusia. Penyerapan logam berat oleh kitosan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti aktivitas kitosan, konsenterasi penyerap, suhu, pH, lama penyerapan, lama pengadukan, ukuran partikel dan jenis adsorbat serta konsenterasi logam dalam larutan. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas, didapatkan rumusan masalah yaitu Seberapa efektif kitosan dari cangkang udang putih (Penaeus vannamei) sebagai adsorben logam Timbal (Pb).

1.3 Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Sumber kitosan bersal dari cangkang udang putih (Penaeus vannamei). 2. Vareasi pH larutan kompleks Pb-ditizon yaitu : 1, 3, 5, 7, 9, dan 11. 3. Vareasi lama pengadukan yaitu : 10, 15, 20, 25, 30 menit. 4. Vareasi konsenterasi larutan kompleks Pb-ditizon yaitu : 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50 ppm. 5. Adsorpsi kitosan terhadap kompleks Pb-ditizon dilakukan pada kondisi optimum. 1.4 Tujuan Penelitian Mengetahui efektifitas kitosan dari cangkang udang putih (Penaeus vannamei) sebagai adsorben logam Timbal (Pb). 1.5 Manfaat Penelitian Memberikan pengetahuan bahwa kitosan yang dibuat dari limbah cangkang udang putih (Penaeus vannamei) dapat dijadikan sebagai adsorben pada logam.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Udang Udang sebagai salah satu komoditi ekspor terbagi atas tiga macam, yaitu (1) produk yang terdiri dari bagian badan dan kepala secara utuh, (2) badan tanpa kepala dan (3) dagingnya saja. Pengolahan produksi udang berdasarkan ketiga macam produk tersebut, menyebabkan terdapat bagian-bagian udang yang terbuang seperti kepala, ekor dan kulitnya. Bagian tersebut merupakan limbah industri pengolahan udang beku yang disebut limbah udang (Mudjiman, 1986 dalam Abun, 2009). Limbah udang ini dapat diperoleh dari industri pengolahan udang beku dan industri kerupuk udang (Raharjo, 1983 dalam Abun, 2009). Limbah udang tersebut pada umumnya terdiri dari bagian kepala, kulit ekor dan udang kecil-kecil disamping sedikit daging udang (Parakkasi, 1983; Raharjo, 1985 dalam Abun, 2009). Berat limbah udang ini mencapai 30-40% berat udang (Atmosumarsono, 1974 dalam Abun, 2009), sedangkan menurut Moeljanto (1984 dalam Abun, 2009), berat limbah udang ini dapat mencapai 30-70 persen. Limbah udang yang terdiri dari kepala dan kulit masih mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi, yaitu 25-40% protein, 45-50% kalsium karbonat, 15-20% kitin (Altschul, 1976 dalam Abun,2006). Selain itu mengandung karotinoid berupa axtasantin (Abun,2006). 2.2 Udang Putih (Penaeus vannamei) Penaeus vannamei, biasa juga disebut sebagai udang putih dan masuk ke dalam famili Penaidae. Anggota famili ini menetaskan telurnya di luar tubuh setelah telur dikeluarkan oleh udang betina. Udang Penaeid dapat dibedakan dengan jenis lainnya dari bentuk dan jumlah gigi pada rostrumnya. Penaeid vannamei memiliki 2 gigi pada tepi

rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal (Anonim 1, 2007 dalam Erwinda, 2008). Penaeus vannamei memiliki karakteristik kultur yang unggul. Berat udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan
2

densitas tinggi (100 udang/m ). Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan diatas berat tersebut, Penaeus vannamei tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat daripada udang jantan (Wyban et al., 1991 dalam Erwinda, 2008). Penaeus vannamei memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 2 40 ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah, saat lingkungan dan darah isoosmotik (Wyban et al., 1991 dalam Erwinda, 2008). 2.3 Kitin 2.3.1 Pengertian Kitin Kitin berasal dari bahasa yunani chitin, yang berarti kulit kuku. Yang merupakan komponen utama dari eksoskeleton invertebrata, crustacea, insekta, dan juga dinding sel dari fungsi dan yeast dimana komponen ini berfungsi sebagai komponen penyokong dan pelindung. Senyawa kitin adalah suatu polimer golongan polisakarida yang tersusun atas satuan-satuan beta-(1 4) 2-asetamido-2-deoksi-D-glukosa, yang secara formalnya dapat

dipertimbangkan sebagai suatu senyawa turunan selulosa yang gugus hidroksil pada atom C-2 digantikan oleh gugus asetamido (Suhardi, 1992 dalam Apsari,A,T dan Fitriasti,D, 2010). Nama lain senyawa kitin adalah 2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranosa

(Apsari,A,T dan Fitriasti,D, 2010). Kitin adalah biopolimer polisakarida dengan rantai lurus, tersusun dari 2000-3000 monomer (2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa) yang terangkai dengan ikatan 1,4- -

glikosida . Kitin memiliki rumus molekul [C8H13NO5]n dengan berat molekul 1,2x10-6 Dalton ini tersedia berlebihan di alam dan banyak ditemukan pada hewan tingkat rendah, jamur, insekta dan golongan Crustaceae seperti udang, kepiting dan kerang (Damajanti, 1999 dalam Wijaya,2007).

Gambar 2.1. Struktur Kitin (Wijaya,2007) 2.3.2 Sumber Kitin Kitin merupakan salah satu tiga besar dari polisakarida yang paling banyak ditemukan selain selulosa dan starch (zat tepung). Kitin menduduki peringkat kedua setelah selulosa sebagai komponen organik paling banyak di alam. Selulosa dan starch merupakan zat penting bagi tumbuhan untuk membentuk makanannya (zat karbohidrat) dan pembentukan dinding sel. Kitin banyak ditemukan secara alamiah pada kulit jenis crustacea, antara lain kepiting, udang, lobster. Kitin juga banyak di temukan di dalam rangka luar marine zoo-plankton termasuk jenis coral dan jellyfish. Jenis serangga yaitu kupu-kupu, kumbang mempunyai zat kitin terutama pada lapisan kutikula luar. Pada dinding sel yeast, mushroom, dan jenis jamur lainnya banyak ditemukan kitin (Apsari,A,T dan Fitriasti,D, 2010). 2.3.3 Sifat Kitin Kitin tidak larut dalam air (bersifat hidrofobik), larutan basa encer dan pekat, larutan asam encer dan pelarut organik. Tetapi senyawa ini larut dalam asam mineral pekat, seperti asam klorida, asam sulfat, asam nitrat dan asam pospat. Namun, asam
6

sulfat, asam nitrat dan asam fospat dapat merusak kitin yang menyebabkan kitin terdegradasi menjadi monomer-monomer sederhana yang lebih kecil (Bastaman, 1989 dalam Wijaya, 2007). Kitin dapat larut dengan proses degradasi menggunakan asamasam mineral pekat, seperti asam formiat anhidrous, namun tidak jelas apakah semua jenis kitin dapat larut dalam asam formiat anhidrous (Lee, 1974 dalam Apsari,A,T dan Fitriasti,D, 2010). Mudah tidaknya kitin terlarut sangat tergantung pada derajat kristalisasi, karena hanya -kitin yang terlarut dalam asam formiat anhidrous. Sifat kelarutan, derajat berat molekul, kelengkapan gugus asetil berbeda-beda menurut sumber bahan dan metode yang diterapkan (Austin dkk, 1981 dalam Apsari,A,T dan Fitriasti,D, 2010). 2.4 Kitosan 2.4.1 Pengertian Kitosan Kitosan adalah produk deasetilasi kitin yang merupakan polimer rantai panjang glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-Glukosa), memiliki rumus molekul [C6H11NO4]n dengan bobot molekul 2,5x10-5 Dalton. Kitosan berbentuk serpihan putih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa (Wijaya,2007) .

Gambar 2.2. Struktur Kitosan (Wijaya,2007). 2.4.2 Sifat Kitosan Kitosan tidak larut dalam air, dalam larutan basa kuat, dalam asam sulfat, dalam pelarut-pelarut organik seperti dalam alkohol, dalam aseton, dalam dimetilformamida, dan dalam dimetilsulfoksida. Sedikit larut dalam asam klorida dan dalam asam nitrat,
7

larut dalam asam asetat 1% - 2%, dan mudah larut dalam asam format 0,2% - 1,0% (Oktaviana, 2002 dalam Wijaya,2007). Kitosan merupakan bahan pengkelat ion yang sangat baik (Wan Ngah et al., 1998 dalam Kamelia, 2009). Kitosan dapat diperoleh dengan berbagai macam bentuk morfologi diantaranya struktur yang tidak teratur, bentuknya kristalin atau semikristalin. Selain itu dapat juga berbentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal kitin murni. Kitin memiliki sifat biologi dan mekanik yang tinggi diantaranya adalah biorenewable, biodegradable, dan biofungsional. Kitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai kitin. Kelarutan kitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Terdapat dua metode untuk memperoleh kitin , kitosan dan oligomernya dengan berbagai derajat deasetilasi, polimerisasi, dan berat molekulnya (Mw) yaitu dengan kimia dan enzimatis (Apsari,A,T dan Fitriasti,D, 2010). Suatu molekul dikatakan kitin bila mempunyai derajat deasetilasi (DD) sampai 10% dan kandungan nirogennya kurang dari 7%, dikatakan kitosan bila nitrogen yang terkandung pada molekulnya lebih besar dari 7% berat (Muzzarelli,1985 dalam Apsari,A,T dan Fitriasti,D, 2010) dan derajat deasetilasi lebih dari 70% (Li et al., 1992 dalam Apsari,A,T dan Fitriasti,D, 2010) Kitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100 oF maka sifat keseluruhannya dan viskositasnya akan berubah. Bila kitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka maka akan terjadi dekomposisi warna menjadi kekuningan dan viskositasnya berkurang (Apsari,A,T dan Fitriasti,D, 2010).

2.4.3 Manfaat Kitosan Kitosan memiliki sifat polikationik yang menjadi dasar pemanfaatanya dalam dalam berbagai bidang. Kitosan dapat dimanfaatkan dalam bidang pertanian karena bersifat biodegradable. Tanaman yang diperlakukan dengan kitosan memilki ketahanan terhadap jamur (Wiyarsi dan Priyambodo). Dalam bidang kesehatan, kitosan bermanfaat dalam program diet karena kemampuannya menurunkan menurun kolesterol, antikoagulan dalam darah serta digunakan sebagai antibakteri. Bidang bioteknologi memanfaatkan kitosan sebagai zat yang berperan dalam imobilisasi enzim, pemisahan protein dan regenerasi sel. Dalam industri makanan, kitosan digunakan sebagai antioksidan, pengawet alami, penyerap zat warna dan pengemulsi. Kitosan juga dimanfaatkan sebagai adsorben/pengkhelat logam (Wiyarsi dan Priyambodo). 2.5 Timbel/Plumbum (Pb) Menurut G.Svehla (2000) Timbel adalah logam logam yang berwarna abu-abu kebiruan, dengan rapatan yang tinggi (11,48 g.ml-1 pada suhu kamar). Mudah larut dalam asam nitrat yang sedang pekatnya (8M). Timbal ditemukan di alam sebagai galena sulfida (PbS), sumber minor lainnya antara lain anglesit (PbSO4) yang tidak larut dalam air, serusit (PbCO3) juga tidak larut dalam air, dan timbal monoksida (PbO) (Apriliani,R, 2009). Timbal dalam bentuk ion logam/kation (Pb2+) dapat bereaksi dengan suatu anion atau molekul netral membentuk suatu senyawa kompleks. Ion logam di dalam kompleks disebut atom pusat sedangkan kelompok yang terikat pada atom pusat disebut ligan. Beberapa industri yang menggunakan timbal, seperti PbO dan Pb3O4 pada industri baterai, Pb3O4 dan Pb sulfat pada industri cat, PbO pada industri karet, Pb arsenat pada

insektisida, serta Pb naftenat sebagai pengering pada industri kain katun, cat, tinta, cat rambut, insektisida, amunisi, dan kosmetik. Timbal juga digunakan sebagai zat warna, yaitu Pb karbonat dan Pb sulfat sebagai zat warna putih dan Pb kromat sebagai krom kuning, krom jingga, krom merah, dan krom hijau (Palar, 1994). Timbal adalah logam toksik yang bersifat kumulatif sehingga toksisitasnya dibedakan menurut beberapa organ yang dipengaruhinya yaitu system hemopoiteik, sistem saraf pusat dan tepi, system ginjal, system gastrointestinal, system kardiovaskuler, system reproduksi, dan system endoktrin (Darmono, 2001 dalam Armanda,F, 2009). Timbal bersifat toksik jika terhirup atau tertelan oleh manusia dan di dalam tubuh akan beredar mengikuti aliran darah, diserap kembali di dalam ginjal dan otak, dan disimpan di dalam tulang dan gigi (Azis,V, 2007). 2.6 Ditizon Ditizon adalah suatu ligan pengkelat yang dapat bereaksi dengan ion-ion logam tertentu, warna kompleks logamnya adalah lembayung tua, merah jingga, kuning atau warna lain tergantung ion logamnya (Stary dan Irving, 1964 dalam Hidayat 2007). Difeniltiokarbazon (ditizon) berperilaku dalam larutan tautometrik dari (C) dan (D) : suatu campuran

Gambar 2.3. struktur Ditizon (Vogel, 1989)

10

Ditizon mempunyai rumus C13H12N4S (HDZ) berbentuk padatan berwarna hitam keunguan, tidak larut dalam air tetapi mudah larut dalam kloroform (CHCl3) dan karbon tetraklorida (CCl4). Sebagai asam lemah, ditizon di dalam air terionisasi dengan konstanta asam (Ka = 2,8.10-5). Koefisien distribusinya di antara air dan kloroform sangat tinggi (2.10-5) dengan demikian diharapkan koefisien distribusi logam ditizonat yang netral juga sangat tinggi. Reaksi yang terjadi antara ion Pb dengan ditizon adalah :

Gambar 2.4. Reaksi yang terjadi antara ion Pb(II) dengan ligan Ditizon (Christian dan O.Reilley,1086 dalam Hidayat 2007) 2.7 Spektrofotometer Uv-Vis Spektrofotometer adalah suatu instrumen untuk mengukur transmitan/absorbans suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang, pengukuran terhadap sederetan sampel pada suatu panjang gelombang tunggal (Underwood, 2002). Komponen utama dari spektrofotometer dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

11

Gambar 2.5. Diagram komponen utama spektrofotometer (http://catatankimia.com/catatan/spektofotometri-uv-vis.html). Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. (Khopkar, 2003) Kelebihan spektrofotometer dibandingkan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih lebih dapat terseleksi dan ini diperoleh dengan alat pengurai seperti prisma, grating ataupun celah optis. Pada fotometer filter, sinar dengan panjang gelombang yang diinginkan diperoleh dengan berbagai filter dari berbagai warna yang mempunyai spesifikasi melewatkan trayek panjang gelombang tertentu. Pada fotometer filter, tidak mungkin diperoleh panjang gelombang yang benar-benar monokromatis, melainkan suatu trayek panjang gelombang 30-40 nm. Sedangkan pada spektrofotometer, panjang gelombang yang benar-benar terseleksi dapat diperoleh dengan bantuan alat pengurai cahaya seperti prisma. Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum tampak yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau
12

blangko dan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar S,M,1990). Suatu grafik yang menghubungkan antara banyaknya sinar yang diserap dengan frekuensi (panjang gelombang) sinar merupakan spektrum absorpsi. Transisi yang dibolehkan untuk suatu molekul dengan struktur kimia yang berbeda adalah tidak sama sehingga spektra absorpsinya juga berbeda. Dengan demikian, spektra dapat digunakan sebagai bahan informasi yang bermanfaat untuk analisis kualitatif. Banyaknya sinar yang diabsorpsi pada panjang gelombang tertentu sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi, sehingga spektra absorpsi juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif ( Rohman, Abdul, 2007). Semua molekul dapat mengabsorpsi radiasi daerah UV-Vis karena mereka mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi (Underwood, 2002). Pada Hukum Lambert-Beer, terdapat beberapa batasan, antara lain : 1. Sinar yang digunakan dianggap monokromatis. 2. Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang luas yang sama. 3. Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan. 4. Tidak terjadi peristiwa flouresensi atau fosforisensi. 5. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan.

13

Salah satu hal yang penting juga diingat adalah untuk menganalisis secara spektrofotometri UV-Vis diperlukan panjang gelombang maksimal. Adapun beberapa alasan mengapa harus menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu : 1. Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap konsentrasi adalah yang paling besar. 2. Di sekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Berr akan terpenuhi. 3. Jika dilakukan pengukuran ulang, maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan panjang gelombang maksimal.

14

BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 27 Februari-30 Maret 2012 di Laboratorium Kimia UIN SGD untuk persiapan larutan dan pembuatan kitosan dan di Laboratorium Kimia UNPAD untuk melakukan analisis terhadap kitosan. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain, pipet ukur (10 ml), pipet volume (1 ml, 10 ml, 25 ml), gelas ukur, labu ukur (50 ml, 100 ml, 250 ml), labu pemanas (100 ml,250 ml,1000 ml), beaker glass (100 ml,250 ml,1000 ml), erlenmeyer 25 ml, corong, corong pisah, ayakan 0,25 mm, pH meter, kertas saring, magnetic stirrer, neraca analitik, oven, spektrofotometer UV-Vis. Adapun bahan yang akan digunakan antara lain, cangkang udang putih, aquades, NaOH, HCl p.a 1M 37%, H2SO4 Pekat, CH3COOH Pekat, Timbal (II) nitrat (Pb(NO3)2), Ditizon (C13H12N4S), Kloroform (CHCl3). Kalium Sianida (KCN), Natrium sulfit (Na2SO3). 3.3 Tahapan Penelitian 3.3.1 Persiapan Larutan 1. Larutan NaOH 3,5 % Sebanyak 3,5 gram NaOH dilarutkan dalam 100 ml aquades. 2. Larutan HCl 1M 37% Sebanyak 83 ml HCl diencerkan dalam 1000 ml.

15

3. Larutan ditizon Larutkan 5 mg zat padat ditizon dalam 100 ml kloroform. 4. Larutan ammonia sianida sulfit Sebanyak 35 ml larutan ammonia pekat dan 3 ml larutan kalium sianida (KCN) 10% ( hati-hati ) diencerkan sampai menjadi 100 ml, lalu tambahkan sebanyak 0,15 gram natrium sulfit (Na2SO3) dalam larutan tersebut. 5. Larutan standar Pb Larutkan sebanyak 0,160 g timbal nitrat p.a dalam 1 L aquades, kemudian 10,0 mL larutan ini diencerkan sampai 250 ml. 3.3.2 Isolasi Kitosan 3.3.2.1 Persiapan Bahan Persiapan bahan dimulai dengan mencuci limbah cangkang udang mentah dengan air hingga bersih. Kemudian menjemur cangkang udang yang telah dicuci di bawah sinar matahari hingga benar-benar kering. Kemudian dilanjutkan dengan menghaluskan cangkang udang yang sudah kering dengan blender. Setelah itu, mengeringkan lagi cangkang udang dalam oven pada suhu 600C selama 6 jam. Serbuk cangkang udang kemudian di ayak menggunakan ayakan 0,25 mm. 3.3.2.2 Deproteinasi Tujuan deproteinasi ini adalah untuk menghilangkan protein yang terdapat pada serbuk cangkang udang. Deproteinasi dilakukan dengan mereaksikan serbuk cangkang udang dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 1:10 (w/v) pada suhu 650C selama 2 jam sambil dilakukan pengadukan menggunakan magnetic steerer. Kemudian larutan disaring, selanjutnya larutan dicuci dengan aquades sampai

16

netral. Kemudian residu netral yang merupakan kitin kasar dikeringkan dalam oven pada suhu 650C selama 24 jam, kitin kasar didinginkan, lalu ditimbang. 3.3.2.3 Demineralisasi Demineralisai bertujuan untuk menghilangkan mineral-mineral yang terdapat dalam serbuk cangkang udang. Demineralisasi dilakukan dengan cara melarutkan sebuk kitin kasar hasil deproteinasi dengan HCl 1M dengan perbandingan 1:15 (w/v) dan diaduk menggunakan magnetic steerer selama 1 jam pada suhu kamar. Kemudian larutan yang dihasilkan disaring dan dicuci dengan menggunakan aquades sampai netral. Lalu residu dikeringkan dalam oven pada suhu 650C selama 24 jam. Produk yang diperoleh disebut kitin, berupa tepung berwarna putih kemerahan. 3.3.2.4 Deasetilasi Kitin yang diperoleh dari tahap sebelumnya kemudian diasetilasi untuk memperoleh kitosan. Diawali dengan melarutkan kitin dalam NaOH 50% perbandingan 1:10 (w/v) selama 2 jam pada suhu 1000C. Campuran diaduk menggunakan magnetic steerer dengan suhu konstan. Hasil ekstrak kitin dicuci dengan aquades sampai netral dan disaring. Residu dikeringkan dalam oven pada suhu 650C selama 24 jam. Kemudian diperoleh kitosan. 3.3.3 Pembuatan kompleks Pb-ditizon Sebanyak 10,0 mL larutan kerja timbal dimasukkan ke dalam corong pisah 250 ml, tambahkan 75 mL larutan amonia-sianida-sulfit dan ditambahkan asam klorida encer (hati-hati) untuk mengatur pH larutan menjadi 9,5 (pH meter). Kemudian tambahkan 7,5 mL reagen dithizone ke corong pisah, diikuti dengan

17

17,5 mL kloroform. Kocok selama 1 menit, untuk memisahkan lapisan, kemudian buang lapisan kloroform. Tetapkan absorbansi 1 cm dan panjang gelombang 510 nm (hijau filter). 3.3.4 Analisis Adsorpsi Kompleks Pb-ditizon Penentuan kondisi optimum adsorpsi kitosan terhadap larutan kompleks Pbditizon dilakukan dengan memakai metode batch dengan melakukan variasi yang meliputi variasi pH larutan kompleks Pb-ditizon, variasi konsentrasi larutan kompleks Pb-ditizon dan variasi waktu kontak. Optimasi adsorpsi didasarkan pada orientasi berikut : a. Pembuatan Spektrum Absorpsi Kompleks Pb-ditizon Larutan kompleks Pb-ditizon 20 ppm sebanyak 25 ml diukur absorbansinya pada panjang gelombang 480-560 nm dengan spektroskopi Uv Vis untuk mendapatkan panjang gelombang maksimumnya. b. Pembuatan Kurva Standart Untuk Spektroskopi UV-Vis Larutan standart kompleks Pb-ditizon dengan variasi 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm diukur absorbansinya dengan spektroskopi Uv-Vis. c. Variasi pH larutan Kompleks Pb-ditizon Sebanyak 25 ml larutan kompleks Pb-ditizon dengan konsentrasi 20 ppm diatur pH-nya dengan penambahan HCl atau NaOH menjadi pH 1, 3, 5, 7, 9 dan 11. Kemudian kedalam masing-masing larutan ditambahkan 50 mg kitosan. Campuran dishaker dengan kecepatan 150 rpm selama 30 menit. Setelah itu larutan disaring dan kadar adsorpsi kompleks Pb-ditizon oleh kitosan dianalisa dengan spektroskopi Uv-Vis.
18

d. Variasi Waktu Pengadukan Sebanyak 25 ml larutan kompleks Pb-ditizon pada konsentrasi dan pH optimum hasil orientasi sebelumnya ditambahkan 50 mg kitosan, diaduk dengan kecepatan 150 rpm dengan variasi waktu pengadukan selama 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit. Larutan disaring kemudian dianalisa dengan spektroskopi Uv-Vis. e. Variasi Konsentrasi Larutan Kompleks Pb-ditizon Sebanyak 25 ml larutan kompleks Pb-ditizon dengan variasi konsentrasi 20, 25, 30, 35, 40, 45, dan 50 ppm diatur pada pH optimum hasil orientasi sebelumnya, kemudian ditambahkan 50 mg kitosan kemudian diaduk dengan kecepatan 150 rpm pada waktu optimum. Larutan kemudian disaring dan dianalisa dengan spektroskopi Uv-Vis. f. Adsorpsi larutan kompleks Pb-ditizon Sebanyak 25 ml larutan kompleks Pb-ditizon dengan konsentrasi dan pH optimum ditambahkan 50 mg kitosan, kemudian dilakukan pengadukan selama waktu optimum pada suhu kamar. Campuran disaring dan diukur dengan spektroskopi UV-Vis (Astuti, 2007). 3.3.5 Alur kerja Pencarian Bahan, Persiapan Larutan

Isolasi Kitosan

Pembuatan Larutan Kompleks Pb-ditzon

Adsorpsi Larutan Kompleks Pb-ditzon


19

3.3.6 Rencana Kegiatan Penelitian Rencana Kegiatan Pencarian, persiapan sampel dan pembuatan larutan Isoalsi kitosan Analisis Penulisan Laporan Feburari 4 Maret 2 3 April 2 3

3.3.7 Biaya Penelitian Bahan HCl 37% NaOH teknis H2SO4 teknis CH3COOH teknis Aquades PbNO3 Ditizon Kloroform (CHCl3) Natrium Sulfit (Na2SO3) Ammonia kalium sianida (KCN) Jumlah Banyaknya 100 ml 100 gram 100 ml 100 ml 10 L 100 gram 1 gram 200 ml 1 gram 100 ml 10 gram Harga Rp. 12.000 Rp. 2.000 Rp. 1.500 Rp. 2.500 Rp. 15.000 Rp. 10.000 Rp. 200.000 Rp. 86.000 Rp. 15.000 Rp. 44.000 Rp. 20.000 Rp. 408.000

Instrument, dan sewa lab Instrument Spektro UV-vis dan Sewa Rp. 400.000 Laboratorium Jumlah Rp. 400.000

Harga

Bahan Instrument Spektro UV-vis dan Sewa Laboratorium Biaya Tak Terduga JUMLAH

Rp. 408.000 Rp. 400.000 Rp. 100.000 Rp. 908.000

20

DAFTAR PUSTAKA

Abun, 2006. Bioproses Limbah Udang Windu melalui Tahapan Deproteinasi dan Demineralisasi Terhadap Protein dan Mineral Terlarut. Makalah Ilmiah. Universitas Padjadjaran. Abun, 2009. Pengolahan Limbah Udang Windu secara Kimiawi dengan NaOH dan H2SO4 terhadap Protein dan Mineral Terlarut. Makalah Ilmiah. Universitas Padjadjaran. Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi. Apriliani,R, 2009. Studi Penggunaan Kurkumin sebagai Modifier Elektroda Pasta Karbon untuk Analisis Timbal (II) secara Stripping Voltammetry. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Apsari,A,T dan Fitriasti,D, 2010. Studi Kinetika Penjerapan Ion Khromium dan Ion Tembaga Menggunakan Kitosan Produk dari Cangkang Kepiting. Skripsi. Universitas Diponegoro. Armanda,F, 2009. Studi Pemanfaatan Buah Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia Swingle) sebagai Chelator Pb dan Cd Dalam Udang Windu (Penaeus Monodon). Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Astuti, Puji. 2007. Adsorpsi Limbah Zat Warna Tekstil Jenis Procion Red mx 8b oleh Kitosan dan Kitosan S ulfat Hasil Deasetilasi Kitin Cangkang Bekicot (achatina fullica). Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Austin, P., C.J., Brine, J.E. Castle, and J.P. Zikakis. 1981. Chitin : New of Research. Science. 212 : 749. Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shell (Nephrops norvegicus). Thesis. The Departement of Mechanical, Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. Faculty of Engineering The Queens University of Belfast. Erwinda, Eka. Yola. 2008. Pembenihan Udang Putih (Penaeus vannamei) Secara Intensif. Institut Teknologi Bandung. G. Svehla. 2000. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro, Bagian I, oleh Vogel. Jakarta: Kalman Media Pustaka. Hamdani. Syarif. 2011. Tersedia di : http://catatankimia.com/catatan/spektofotometri-uv-vis.html diakses tanggal 30 november 2011. Hidayat, Syamsul. 2007. Pengaruh Penambahan KoH Sebagai Zat Penopeng (masking agent) pada Ekstraksi Timbal-Ditizon dalam Kloroform. Tugas Akhir II. Semarang. UNNES.

21

Kamelia,Susi 2009. Pengaruh Derajat Deasetilasi Nano Kitosan untuk Ion Zn2+ dari Limbah Cair Industri Karet. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Muzzarelli, R.A.A., Chitin in the Polysaccharides vol 3, p.147. Aspinall (ed) Academic press Inc., Orlando, San Diego, 1985. Onsonyen, E., and Skaugrud,O. 1990. Metal Recovery Using Chitosan. J Chem Technol Biotechnol. 49:395-404. Palar, H., 1994, Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta. Savitri, E, Soesono, N, dan Adiarto, T. 2010. Sintesis Kitosan, Poli(2-amino-2-deoksi-DGlukosa), Skala Pilot Project dai Limbah Kulit Udang sebagai Bahan Baku Alternatif Pembuatan Biopolimer. ISSN 1693 4393. Suharsih, 2008. Pengaruh Derajat Deasetilasi Kitosan Terhadap Kadar Plumbum (Pb) Darah dan Aktivitas Enzim Delta Aminolevulinic Acid Dehydratase ( -Alad) Mencit Albino ( Mus musculus L.). Tesis. Universitas Sumatera Utara. Vogel, Arthur Israel. 1989. Vogel's textbook of quantitative chemical analysis. - 5th ed. Longman Group UK Limited. Wan-Ngah, W. S., and Isa, I. M. 1998. Comparasion Study of Copper Ion Adsorption. On Chitosan, Dowex A-I and Zeolit 225. J. Applied Polymer Science. 67:1067-1070. Wijaya, G.P.A. 2007. Pembuatan Kitosan Dari Kulit Udang Windu (Penaeus monodon). Laporan Kerja Praktek. Universitas Lampung. Wiyarsi,A dan Priyambodo, E. Pengaruh Konsenterasi Kitosan dari Cangkang Udang Terhadap Efesiensi Penjerapan Logam Berat. UNY.

22

Anda mungkin juga menyukai